Anak Agung Pandji Tisna

seorang sastrawan, seniman, dan tokoh politik Indonesia
Revisi sejak 6 Desember 2011 04.46 oleh WL8 Wikan (bicara | kontrib)

Anak Agung Pandji Tisna (11 Februari 1908 – 2 Juni 1978), dalam sumber lain disebutkan meninggal tahun 1976 [1] yang dikenal pula dengan nama A.A. Pandji Tisna, Anak Agung Nyoman Pandji Tisna atau I Gusti Nyoman Pandji Tisna, adalah keturunan ke-11 dari dinasti raja Buleleng di Bali Utara, Anglurah Pandji Sakti. Nama Anak Agung Pandji Tisna dipergunakan sejak tahun 1938, diubah dari nama I Gusti Njoman Pandji Tisna.[2]

Berkas:PandjiTisna.JPG
Anak Agung Pandji Tisna

Pada saat Pandji Tisna lahir,Buleleng berada di bawah pemerintahan Belanda sejak 1872. Meskipun ayahnya hanya diangkat sebagai administratur oleh Pemerintah Belanda, namun Anak Agung Putu Djelantik adalah pewaris tahta kerajaan. Pandji Tisna lahir dalam budaya dan kepercayaan Hindu-Bali, serta tumbuh di istana kerajaan Singaraja, di mana ia mengalami dan menyaksikan sendiri kekayaan artistik istana.[2]

Antara usia tujuh hingga tujuh belas tahun, Pandji Tisna belajar di sekolah menengah Belanda, mula-mula di Singaraja, kemudian dilanjutkan di Batavia (Jakarta). Sekolahnya tidak dilanjutkan, lalu ia kembali ke Singaraja, bekerja membantu ayahnya sebagai sekretaris pribadi.[2]

Pada tahun 1929, Pandji Tisna dikirim ayahnya ke Lombok, sebuah pulau di dekat Bali, di mana ia tinggal di sana sampai 1934, mengurus bisnis transportasi ayahnya. [2] Sekembalinya ke Singaraja, Pandji Tisna pindah ke desa kecil di luar kota Singaraja dan mengelola perkebunan kelapa serta usaha ekspor kopra. [2]Tampaknya kehidupan pedesaan lebih disukainya daripada kehidupan istana.[2]

Bahasa ibu Pandji Tisna adalah bahasa Bali. [2]Ia belajar bahasa Belanda saat bersekolah. [2]Bahasa Melayu atau bahasa Indonesia adalah bahasa ketiga yang dipelajarinya di sekolah sebagai bahasa "asing" ketika ia berumur 12 tahun. [2]Meski mencintai adat dan tradisi Bali, Pandji Tisna banyak menggunakan bahasa Indonesia dalam penulisan karyanya. [3] Sejak tahun 1935, ia bertekad menjadi penulis yang menghasilkan novel dalam bahasa Indonesia, yakni Ni Rawit, Ceti Penjual Orang, dilanjutkan dengan Sukreni Gadis Bali, ''I Swasta: Setahun di Bedahulu'', dan ''Dewi Karuna: Salah Satu Jalan Pengembara Dunia''.[2] Karya-karya Pandji Tisna yang menampilkan budaya dan tradisi Bali ini memberikan warna baru bagi khazanah kesusasteraan Indonesia pada masa itu yang lebih didominasi kesusasteraan Sumatera.[3]


Pada 1942, Jepang menyerang dan mengambil alih hampir semua bekas jajahan Belanda di Hindia, termasuk Bali. Pada saat itu, Pandji Tisna hidup tenang di pedesaan Singaraja hingga tahun 1944, ketika dia ditangkap oleh militer Jepang karena dicurigai melakukan kegiatan anti-Jepang. Ia dibebaskan tidak lama kemudian, namun Jepang telah menghancurkan perpustakaannya yang memiliki banyak koleksi buku berbahasa asing.

Pada tahun 1945, menjelang takluknya Jepang ayah Pandji Tisna meninggal. Sebagai putra sulung, ia mewarisi takhtanya dari ayahnya, Anak Agung Putu Djelantik, pemimpin Buleleng, wilayah di bagian utara Bali pada 1944.[2] Dalam buku karangannya sendiri yang berjudul I Made Widiadi, pada halaman terakhir disebutkan bahwa ia sejak semula tidak mau diangkat raja. Karena tentara pendudukan Jepang memerlukan, maka dengan dipaksa ia diangkat sebaga "syucho".[4]



Dalam kedudukannya sebagai raja, pada 1946 ia menjadi Ketua Dewan Raja-raja se-Bali (Paruman Agung) dan menjadi pemimpin Bali pada saat itu yang setara dengan jabatan gubernur. Anak Agung Pandji Tisna juga unik karena beragama Kristen, di tengah masyarakat Bali yang umumnya beragama Hindu. Karena itu, ia sendiri menulis bahwa karena ia beragama Kristen sementara masyarakatnya beragama Hindu, ia tidak cocok menjadi raja Buleleng.

Tahun 1947 ia secara sadar turun dari takhta kerajaan. Kedudukan raja dilanjutkan oleh adiknya Anak Agung Ngurah Ketut Djelantik atau I Gusti Ketut Djelantik yang dikenal dengan nama Meester Djelantik sampai pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda pada tahun 1949 dan Anak Agung Ketut Djelantik menjadi raja Buleleng terakhir.

Anak Agung Pandji Tisna meninggal dunia 2 Juni 1978 dan dikuburkan dengan upacara agama Kristen di tanah pekuburan pribadinya di atas sebuah bukit di desa Seraya - Kaliasem di sebelah sebuah gereja yang telah lebih dahulu dibangun olehnya.

Pendidikan, menjadi sastrawan

Anak Agung Pandji Tisna mendapatkan pendidikan formalnya di HIS di Singaraja dan kemudian MULO di Batavia.

Oleh masyarakat luas, Anak Agung Pandji Tisna lebih dikenal sebagai pengarang novel. Roman-romannya diterbitkan oleh Balai Pustaka, yang semuanya mengambil tempat di Bali, terutama di daerah Singaraja, tempat kelahirannya. Cerita-cerita pendeknya banyak dimuat dalam majalah "Terang Boelan" yang terbit di Surabaya. Ia juga sempat menulis sejumlah puisi, di antaranya "Ni Poetri", yang diterbitkan oleh Sutan Takdir Alisyahbana dalam majalah "Poedjangga Baroe" di Jakarta.

Perintis pariwisata

Pandji Tisna juga terkenal karena ia merupakan tokoh perintis pariwisata Bali, khususnya di daerah pantai utara. Pada tahun 1953 Pandji Tisna memilih lokasi Desa Tukad Cebol (kini Desa Kaliasem) sebagai tempat peristirahatannya. Di situ ia menulis dan menerima tamu-tamunya dari dalam maupun luar negeri. Tempat peristirahannya itu dinamainya "Lovina", yaitu singkatan dari kata "Love Indonesia". Setelah itu, Pandji Tisna mendirikan tempat-tempat penginapan di pantai barat Buleleng tersebut, dan seluruh daerah itu kemudian dikenal sebagai pantai Lovina. Karena itu Pandji Tisna juga diakui sebagai "Bapak Pariwisata Bali". Pada tahun 2003, Pemerintah Daerah Bali menganugerahi kepadanya secara anumerta penghargaan "Karya Karana" sebagai pengakuan atas jasa-jasanya dalam pengembangan pariwisata Bali.

Keluarga

Anak Agung Pandji Tisna dilahirkan dari AA Putu Djelantik dengan istrinya Jero Mekele Rengga. Ia sendiri pernah mempunyai empat orang istri, yaitu Anak Agung Istri Manik, Ni Ketut Mayas (Jero Mekele Seroja), Luh Sayang (Mekele Sadpada), dan Jro Mekele Resmi.

Menjadi Kristen

Pandji Tisna memeluk agama Kristen pada masa penjajahan Jepang. Suatu hari istrinya, Mekele Seroja, menjemur sehelai bendera Belanda. Hal ini menimbulkan kecurigaan polisi Jepang yang sedang berpatroli bahwa Pandji Tisna adalah seorang antek Belanda. Ditambah lagi di kamar Pandji Tisna ditemukan sebuah kitab Injil berbahasa Belanda, yang merupakan pemberian adiknya, Meester Djelantik.

Pandji Tisna ditangkap dan ditahan di Singaraja. Namun berkat bantuan Miora, seorang spion beragama Kristen, akhirnya Pandji Tisna diselamatkan. Sejak itu ia berjanji untuk mempelajari Alkitab dan menjadi seorang Kristen. Pada tahun itu pula datang seorang pendeta Kristen yang bernama A.F. Ambesa ke rumah kediaman Pandji Tisna di pantai Kampung Baru, sekarang bernama pantai Lovina. Setahun kemudian Pandji Tisna dibaptiskan sebagai orang Kristen.

Karya tulis

Buku tentang Anak Agung Pandji Tisna dan karyanya

Referensi

  1. ^ (Indonesia) Rampan, Korrie Layun, Leksikon Susastra Indonesia. Balai Pustaka, 2000, Jakarta. Halaman 3-4. Biografi A.A. Pandji Tisna
  2. ^ a b c d e f g h i j k (Inggris) Quinn, George. "Introduction" terjemahan bahasa Inggris Sukreni Gadis Bali, The Rape of Sukreni. Lontar, 1998, Jakarta. Halaman ix. Pengantar Terjemahan Sukreni Gadis Bali
  3. ^ a b (Inggris) Teeuw, A. Modern Indonesian Literature. University of Leiden, 1967, The Hague. Halaman 77-78. Sejarah Sastra Modern Indonesia
  4. ^ (Indonesia) Tisna, A.A. Pandji. I Made Widiadi Kembali kepada Tuhan. Satya Wacana, 1955, Semarang.


Pranala luar