Sutan Takdir Alisjahbana

sastrawan Indonesia
(Dialihkan dari Sutan Takdir Alisyahbana)

Sutan Takdir Alisjahbana (STA), (11 Februari 1908 – 17 Juli 1994) adalah seorang budayawan, sastrawan dan ahli tata bahasa Indonesia. Ia juga salah satu pendiri Universitas Nasional, Jakarta.

Sutan Takdir Alisjahbana
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutan Takdir Alisjahbana
Lahir(1908-02-11)11 Februari 1908
Natal, Mandailing Natal, Sumatera Utara, Hindia Belanda
Meninggal17 Juli 1994(1994-07-17) (umur 86)
Jakarta
PekerjaanSastrawan, redaktur, bahasawan, akademikus, politikus
KewarganegaraanIndonesia
PendidikanGuru
PeriodePujangga Baru
GenreNovel, esai, puisi, nonfiksi
Aliran sastraNeo-romantisisme
Karya terkenalLayar Terkembang
Dian yang Tak Kunjung Padam
PenghargaanSatyalencana Kebudayaan 1970, Pemerintah RI.
PasanganRaden Ajeng Rohani Daha (Almh.)
Raden Roro Sugiarti (Almh.)
Dr. Margaret Axer (Almh.)
Anak
Dari Raden Roro Sugiarti
Dari Dr. Margaret Axer
    • Tamalia Alisjahbana
    • Marita Alisjahbana
    • Marga Alisjahbana
    • Mario Alisjahbana
KerabatBambang Harymurti (menantu)

Riwayat hidup

sunting

Pendidikan

sunting

Setelah menamatkan sekolah HIS di Bengkulu (1921), STA melanjutkan pendidikannya ke Kweekschool, Bukittinggi. Kemudian dia meneruskan HKS di Bandung (1928), meraih Mr. dari Sekolah Tinggi Hukum di Jakarta (1942), dan menerima Dr. Honoris Causa dari Universitas Indonesia (1979) dan Universitas Sains Malaysia, Penang, Malaysia (1987).

Keterlibatan dengan Balai Pustaka

sunting

Setelah lulus dari Hogere Kweekschool di Bandung, STA melanjutkan ke Hoofdacte Cursus di Jakarta (Batavia), yang merupakan sumber kualifikasi tertinggi bagi guru di Hindia Belanda pada saat itu. Di Jakarta, STA melihat iklan lowongan pekerjaan untuk Balai Pustaka, yang merupakan biro penerbitan pemerintah administrasi Belanda. Dia diterima setelah melamar, dan di dalam biro itulah STA bertemu dengan banyak intelektual-intelektual Hindia Belanda pada saat itu, baik intelektual pribumi maupun yang berasal dari Belanda. Salah satunya ialah rekan intelektualnya yang terdekat, Armijn Pane.

Pekerjaan

sunting

Ia menempuh beberapa macam karier dari bidang sastra, bahasa, dan kesenian. STA pernah menjadi redaktur majalah Panji Pustaka dan Balai Pustaka (1930-1933). Kemudian mendirikan dan memimpin majalah Poedjangga Baroe (1933-1942 dan 1948-1953), Pembina Bahasa Indonesia (1947-1952), dan Konfrontasi (1954-1962). STA menjadi guru HKS di Palembang (1928-1929), dosen Bahasa Indonesia, Sejarah, dan Kebudayaan di Universitas Indonesia (1946-1948), guru besar Bahasa Indonesia, Filsafat Kesusastraan dan Kebudayaan di Universitas Nasional, Jakarta (1950-1958), guru besar Tata Bahasa Indonesia di Universitas Andalas, Padang (1956-1958), guru besar dan Ketua Departemen Studi Melayu Universitas Malaya, Kuala Lumpur (1963-1968).

Politik

sunting

Sebagai anggota Partai Sosialis Indonesia, STA pernah menjadi anggota parlemen (1945-1949), anggota Komite Nasional Indonesia, dan anggota Konstituante (1950-1960). Selain itu, ia menjadi anggota Société de linguistique de Paris (sejak 1951), anggota Commite of Directors of the International Federation of Philosophical Societies (1954-1959), anggota Board of Directors of the Study Mankind, AS (sejak 1968), anggota World Futures Studies Federation, Roma (sejak 1974), dan anggota kehormatan Koninklijk Institute voor Taal, Land en Volkenkunde, Belanda (sejak 1976). Dia juga pernah menjadi Rektor Universitas Nasional, Jakarta, Ketua Akademi Jakarta (1970-1994), dan pemimpin umum majalah Ilmu dan Budaya (1979-1994), dan Direktur Balai Seni Toyabungkah, Bali (1994).

Pemikiran

sunting

Liberalisme Barat

sunting

STA merupakan salah satu tokoh pembaharu Indonesia yang berpandangan liberal. Berkat pemikirannya yang cenderung pro-modernisasi sekaligus pro-Barat, STA sempat berpolemik dengan cendekiawan Indonesia lainnya. STA sangat gelisah dengan pemikiran cendekiawan Indonesia yang anti-materialisme, anti-modernisasi, dan anti-Barat. Menurutnya, bangsa Indonesia haruslah mengejar ketertinggalannya dengan mencari materi, memodernisasi pemikiran, dan belajar ilmu-ilmu Barat.[1]

Perkembangan bahasa Indonesia

sunting

Dalam kedudukannya sebagai penulis ahli dan kemudian ketua Komisi Bahasa selama pendudukan Jepang, STA melakukan modernisasi Bahasa Indonesia sehingga dapat menjadi bahasa nasional yang menjadi pemersatu bangsa.[2] Ia yang pertama kali menulis Tata Bahasa Baru Bahasa Indonesia (1936) dipandang dari segi Indonesia, yang mana masih dipakai sampai sekarang serta Kamus Istilah yang berisi istilah-istilah baru yang dibutuhkan oleh negara baru yang ingin mengejar modernisasi dalam berbagai bidang. Setelah Kantor Bahasa tutup pada akhir Perang Dunia kedua, Ia tetap mempengaruhi perkembangan Bahasa Indonesia melalui majalah Pembina Bahasa yang diterbitkan dan dipimpinnya. Sebelum kemerdekaan, STA adalah pencetus Kongres Bahasa Indonesia pertama di Solo. Pada tahun 1970, STA menjadi Ketua Gerakan Pembina Bahasa Indonesia dan inisiator Konferensi Pertama Bahasa- bahasa Asia tentang "The Modernization of The Languages in Asia (29 September-1 Oktober 1967)

Sampai akhirnya hayatnya, ia belum mewujudkan cita-cita terbesarnya, yakni menjadikan Bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar kawasan di Asia Tenggara. Ia kecewa, Bahasa Indonesia semakin surut perkembangannya. Padahal, bahasa itu pernah menggetarkan dunia linguistik saat dijadikan bahasa persatuan untuk penduduk di 13.000 pulau di Nusantara. Ia kecewa, bangsa Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, sebagian Filipina, dan Indonesia yang menjadi penutur Bahasa Melayu gagal mengantarkan bahasa itu kembali menjadi bahasa pengantar kawasan.

Anak Perawan di Sarang Penjamun

sunting

Anak Perawan di Sarang Penjamun awalnya ditulis oleh Sutan Takdir sebagai sebuah cerita bersambung. Penerbitannya dalam majalah Penindjauan sejak tahun 1932. Setelah delapan tahun, cerita bersambung ini disatukan sebagai buku sehingga menjadi novel. Pada tahun 1940, novel Anak Perawan di Sarang Penjamun diterbitkan di Jakarta oleh Pustaka Rakyat. Novel ini termasuk dalam karya sastra Angkatan Pujangga Baru. Cetakan kedua dan ketiganya juga diterbitkan oleh Pustaka Rakyat pada tahun 1957 dan 1963.[3]

Sebagai penulis

sunting
  • Tak Putus Dirundung Malang (novel, 1929)
  • Dian Tak Kunjung Padam (novel, 1932)
  • Tebaran Mega (kumpulan sajak, 1935)
  • Tatabahasa Baru Bahasa Indonesia (1936)
  • Layar Terkembang (novel, 1936)
  • Puisi Lama (bunga rampai, 1941)
  • Puisi Baru (bunga rampai, 1946)
  • Pelangi (bunga rampai, 1946)
  • Pembimbing ke Filsafat (1946)
  • Dari Perjuangan dan Pertumbuhan Bahasa Indonesia (1957)
  • The Indonesian language and literature (1962)
  • Revolusi Masyarakat dan Kebudayaan di Indonesia (1966)
  • Kebangkitan Puisi Baru Indonesia (kumpulan esai, 1969)
  • Grotta Azzura (novel tiga jilid, 1970 & 1971)
  • Values as integrating vorces in personality, society and culture (1974)
  • The failure of modern linguistics (1976)
  • Perjuangan dan Tanggung Jawab dalam Kesusastraan (kumpulan esai, 1977)
  • Dari Perjuangan dan Pertumbuhan Bahasa Indonesia dan Bahasa Malaysia sebagai Bahasa Modern (kumpulan esai, 1977)
  • Perkembangan Sejarah Kebudayaan Indonesia Dilihat dari Segi Nilai-Nilai (1977)
  • Lagu Pemacu Ombak (kumpulan sajak, 1978)
  • Amir Hamzah Penyair Besar antara Dua Zaman dan Uraian Nyanyian Sunyi (1978)
  • Kalah dan Menang (novel, 1978)
  • Menuju Seni Lukis Lebih Berisi dan Bertanggung Jawab (1982)
  • Kelakuan Manusia di Tengah-Tengah Alam Semesta (1982)
  • Sociocultural creativity in the converging and restructuring process of the emerging world (1983)
  • Kebangkitan: Suatu Drama Mitos tentang Bangkitnya Dunia Baru (drama bersajak, 1984)
  • Perempuan di Persimpangan Zaman (kumpulan sajak, 1985)
  • Seni dan Sastra di Tengah-Tengah Pergolakan Masyarakat dan Kebudayaan (1985)
  • Sajak-Sajak dan Renungan (1987).
  • Pemikiran Islam Dalam Menghadapi Globalisasi Dan Masa Depan Umat manusia (1992)

Sebagai editor

sunting
  • Kreativitas (kumpulan esai, 1984)
  • Dasar-Dasar Kritis Semesta dan Tanggung Jawab Kita (kumpulan esai, 1984).

Sebagai penerjemah

sunting
  • Nelayan di Laut Utara (karya Pierre Loti, 1944)
  • Nikudan Korban Manusia (karya Tadayoshi Sakurai; terjemahan bersama Soebadio Sastrosatomo, 1944)

Buku tentang Sutan Takdir Alisjahbana

sunting
  • Muhammmad Fauzi, S. Takdir Alisjahbana & Perjuangan Kebudayaan Indonesia 1908-1994 (1999)
  • S. Abdul Karim Mashad Sang Pujangga, 70 Tahun Polemik Kebudayaan, Menyongsong Satu Abad S. Takdir Alisjahbana (2006)

Kehidupan pribadi

sunting

Keluarga

sunting

Ibunya, Puti Samiah adalah seorang Minangkabau yang telah turun temurun menetap di Natal, Sumatera Utara. Puti Samiah merupakan keturunan Rajo Putih, salah seorang raja Kesultanan Indrapura yang mendirikan kerajaan Lingga Pura di Natal. Dari garis ibunya, STA berkerabat dengan Sutan Sjahrir, perdana menteri pertama Indonesia.[4] Ayahnya, Raden Alisyahbana gelar Sutan Arbi, ialah seorang guru.[5]

Kakek STA dari garis ayah, Sutan Mohamad Zahab, dikenal sebagai seseorang yang memiliki pengetahuan agama dan hukum yang luas. Di atas makamnya tertumpuk buku-buku yang sering disaksikan terbuang begitu saja oleh STA ketika dia masih kecil. Meskipun demikian, banyak yang menyebut STA ketika kecil bukan seorang kutu buku melainkan seseorang yang lebih senang bermain-main di luar. Setelah lulus dari sekolah dasar pada waktu itu, STA pergi ke Bandung, dan sering kali menempuh perjalanan tujuh hari tujuh malam dari Jawa ke Sumatra setiap kali dia mendapat liburan. Pengalaman ini bisa terlihat dari cara dia menuliskan karakter Yusuf di dalam salah satu bukunya yang paling terkenal: Layar Terkembang.

Pernikahan dan keluarga

sunting

STA menikah dengan tiga orang istri serta dikaruniai sembilan orang putra dan putri. Istri pertamanya adalah Raden Ajeng Rohani Daha (menikah tahun 1929 dan wafat pada tahun 1935) yang masih berkerabat dengan STA. Dari R.A Rohani Daha, STA dikaruniai tiga orang anak yaitu Samiati Alisjahbana, Iskandar Alisjahbana, dan Sofyan Alisjahbana. Tahun 1941, STA menikah dengan Raden Roro Sugiarti (wafat tahun 1952) dan dikaruniai dua orang anak yaitu Mirta Alisjahbana dan Sri Artaria Alisjahbana. Dengan istri terakhirnya, Dr. Margaret Axer (menikah 1953 dan wafat 1994), STA dikaruniai empat orang anak, yaitu Tamalia Alisjahbana, Marita Alisjahbana, Marga Alisjahbana, dan Mario Alisjahbana.

Putra sulungnya, Iskandar Alisjahbana pernah menjabat sebagai Rektor ITB, serta mertua dari Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas pada Kabinet Indonesia Bersatu II, Armida Alisjahbana. Iskandar juga dikenal sebagai "Bapak Sistem Komunikasi Satelit Domestik Palapa." Sofjan dan Mirta Alisjahbana merupakan pendiri majalah Femina Group.[6]

Penghargaan

sunting

Pranala luar

sunting

Referensi

sunting
  1. ^ Achdiat K. Mihardja, Polemik Kebudayaan : Pokok Pikiran St. Takdir Alisjahbana, Pustaka Jaya, 1977
  2. ^ Aulia A. Muhammad, STA : Perangkum Semua Kebudayaan, Suara Merdeka Cybernews, 8 September 2008
  3. ^ Sugono, D., dkk., ed. (2003). Ensiklopedia Sastra Indonesia Modern (PDF). Jakarta: Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional. hlm. 29. ISBN 979-685-308-6. 
  4. ^ Puti Balkis Alisyabana, Natal: Ranah nan Data, Jakarta : Dian Rakyat, 1996
  5. ^ Sutan Takdir Alisjahbana, Majalah Tempo, 10 Maret 1990
  6. ^ Wini Angraeni, Keluarga Sutan Takdir Alisjahbana: Harus Menjadi Orang Extraordinary, Majalah Swa, 22 Januari 2009