Alkimia

protosains yang menggabungkan unsur-unsur kimia, fisika, astrologi, dll.
Revisi sejak 6 Juni 2005 03.21 oleh Femmy (bicara | kontrib) (tambah templat terjemah)

Alkimia adalah protosains yang menggabungkan unsur-unsur kimia, fisika, astrologi, seni, semiotika, metalurgi, kedokteran, mistisisme, dan agama. Dua tujuan yang saling berkaitan yang diupayakan oleh banyak ahli alkimia adalah batu filosof, sebuah zat mitos yang memungkinkan terjadinya transmutasi logam biasa menjadi emas; dan panacea universal, obat yang dapat menyembuhkan segala penyakit dan memperpanjang usia. Alkimia dapat dipandang sebagai cikal-bakal ilmu kimia modern sebelum dirumuskannya metode ilmiah.

Kata alkimia berasal dari Bahasa Arab al-kimiya atau al-khimiya (الكيمياء atau الخيمياء), yang mungkin dibentuk dari partikel al- dan kata Bahasa Yunani khumeia (χυμεία) yang berarti "mencetak bersama", "menuangkan bersama", "melebur", "aloy", dan lain-lain (dari khumatos, "yang dituangkan, batang logam"). Etimologi lain mengaitkan kata ini dengan kata "Al Kemi", yang berarti "Seni Mesir", karena bangsa Mesir Kuno menyebut negerinya "Kemi" dan dipandang sebagai penyihir sakti di seluruh dunia kuno.

Tinjauan umum

Pada umumnya, orang menganggap ahli alkimia sebagai ahli pseudosains yang berupaya mengubah timah menjadi emas, meyakini bahwa semua materi tersusun atas empat unsur tanah, udara, api, dan air, dan mengulik pingiran mistisisme dan Sihir. Dari sudut pandang masa kini, upaya dan keyakinan mereka dianggap memiliki keabsahan terbatas, tetapi kalau mau objektif, kita harus menilai mereka dalam konteks zaman mereka. Mereka mencoba menjelajahi dan menyelidiki alam sebelum tersedianya sebagian besar alat dan praktik ilmiah dasar, dan alih-alih bergantung pada pegalaman, tradisi, pengamatan dasar, dan mistisisme untuk mengisi lobang-lobang ini.

Untuk memahami para ahli alkimia, cobalah merenungkan betapa ajaibnya perubahan suatu zat menjadi zat lain, yang menjadi dasar metalurgi sejak dimulainya ilmu ini pada akhir zaman Neolitikum, bagi kebudayaan yang tidak memahami fisika atau kimia secara formal. Bagi ahli alkimia, tak ada alasan kuat untuk memisahkan dimensi kimiawi (material) dengan dimensi penafsiran, perlambangan, atau filsafat. Pada masa itu, fisika yang tak memiliki wawasan metafisika dianggap tak lengkap seperti halnya metafisika yang tak memiliki perwujudan fisik. Jadi, lambang dan proses alkimia biasanya memiliki baik makna batiniah yang merujuk pada perkembangan spiritual praktisinya, maupun makna material yang berkaitan dengan perubahan fisik zat.

Transmutasi logam biasa menjadi emas melambangkan upaya menuju kesempurnaan atau ketinggian tertinggi eksistensi. Ahli alkimia meyakini bahwa seluruh alam semesta sedang bergerak menuju keadaan sempurna; dan emas, karena tak pernah rusak, dianggap zat yang paling sempurna. Dengan mencoba mengubah logam biasa menjadi emas, mereka sebenarnya mencoba membantu alam semesta. Maka, cukup logis jika mereka berpikir bahwa dengan memahami rahasia ketakberubahan emas, mereka akan menemukan kunci untuk menangkal penyakit dan pembusukan organik; demikianlah pertautan antara tema-tema kimiawi, spiritual, dan astrologi menjadi ciri-ciri alkimia zaman pertengahan.

Maka, penafsiran naif sebagian ahli alkimia, atau harapan palsu yang dipromosikan sebagian yang lain, jangan sampai mengurangi nilai upaya para praktisi lain yang lebih tulus. Selain itu, bidang alkimia banyak berubah sepanjang zaman, dimulai sebagai cabang metalurgis/obat agama, menjadi dewasa menjadi bidang studi yang kaya dan sah, berdevolusi menjadi mistisisme dan penipuan blak-blakan, dan akhirnya memberikan sebagian pengetahuan empiris dasar untuk bidang kimia dan obat-obatan modern.

Hingga abad ke-18, alkimia dianggap sebagai ilmu serius di Eropa; contohnya, Isaac Newton mengabdikan banyak waktu untuk Seni ini. Ahli alkimia terkemuka lainnya di dunia Barat adalah Roger Bacon, Santo Thomas Aquinas, Tycho Brahe, Thomas Browne, dan Parmigianino. Penurunan alkimia dimulai pada abad ke-18 dengan lahirnya kimia modern, yang memberikan kerangka kerja yang lebih teliti dan andal untuk transmutasi zat dan obat-obatan, dalam desain baru alam semesta yang berdasarkan materialisme rasional.

Idealisme transmutasi zat dalam alkimia menjadi terkenal lagi pada abad ke-20 ketika para fisikawan mampu mengubah atom timah menjadi atom emas melalui reaksi nuklir. Namun, atom emas baru ini, karena merupakan isotop yang labil, hanya bertahan lima detik lalu terurai. Lebih belakangan, laporan mengenai transmutasi unsur atas-tabel — dengan cara elektrolisis atau kavitasi suara — menjadi pusat kontroversi fusi dingin (cold fusion) pada tahun 1989. Tak satu pun klaim-klaim ini dapat diduplikasi. Dalam kedua kasus ini, kondisi yang diperlukan berada jauh di luar jangkauan para ahli alkimia kuno.

Perlambangan alkimia sesekali digunakan pada abad ke-20 oleh psikolog dan filosof. Carl Jung memeriksa kembali perlambangan dan teori alkimia dan mulai menunjukkan makna batin dalam pekerjaan alkimia sebagai jalan spiritual. Filsafat, lambang, dan metode alkimia menikmati kelahiran kembali dalam konteks posmodern, seperti gerakan New Age. Bahkan sebagian fisikawan bermain-main dengan gagasan alkimia dalam buku-buku seperti The Tao of Physics dan The Dancing Wu Li Masters.

Sejarah alkimia menjadi bidang akademis yang giat. Seraya bahasa ahli alkimia yang kabur — dan tentunya hermetis — perlahan-lahan dapat "dipecahkan sandinya", para ahli sejarah menjadi semakin menyadari hubungan intelektual antara alkimia dengan segi-segi lain sejarah budaya Barat, seperti masyarakat Rosicrucian dan masyarakat mistis lainnya, sihir, dan tentu saja evolusi sains dan filsafat.

Sejarah

Alkimia mencakup beberapa tradisi filsafat yang tersebar selama empat ribu tahun dan tiga benua, dan ketertarikan umum mereka pada bahasa yang penuh sandi dan perlambangan menyulitkan kita melacak hal-hal yang memengaruhi dan hubungan "genetisnya".

Kita dapat membedakan sedikitnya dua benang utama, yang tampaknya tidak bercampur, setidaknya pada tahap-tahap awal: alkimia Cina, berpusat di Cina dan wilayah pengaruh budayanya; dan alkimia Barat, yang pusatnya berpindah-pindah antara Mesir, Yunani dan Roma, dunia Islam, dan akhirnya kembali ke Eropa. Alkimia Cina berkaitan erat dengan Taoisme, sementara alkimia Barat mengembangkan sistem filsafatnya sendiri, yang hanya sedikit berkaitan dengan agama-agama besar Barat. Masih belum terjawab apakah kedua benang ini memiliki asal-usul yang sama, atau sejauh apa mereka saling memengaruhi.

Alkimia dan Astrologi

Alkimia di dunia Barat dan tempat-tempat lain yang mempraktikkannya secara luas berkaitan dan bertautan erat dengan astrologi bergaya Yunani-Babilonia tradisional; dalam berbagai hal, alkimia dan astrologi dibangun untuk saling melengkapi dalam pencarian pengetahuan gaib. Secara tradisional, setiap tujuh planet dalam tata surya yang dikenal orang zaman itu bertalian dengan, menguasai, dan mengatur logam tertentu.

Karena Isaac Newton merupakan ahli alkimia yang terkenal pada masanya, sedangkan astrologi dan alkimia (sampai sekarang pun) begitu berkaitan erat, mungkin sekali Newton memiliki pengetahuan yang baik tentang astrologi, atau setidaknya pemahaman dasar mengenai metodologi astrologi yang berkaitan dengan alkimia. Maka, secara logis, seseorang pastilah tahu banyak tentang astrologi agar dapat menggunakan alkimia secara efektif, dan Newton serta para ahli alkimia terkemuka lainnya tentu mengetahui hal ini.

Alkimia Cina

Sementara alkimia Barat akhirnya berpusat pada transmutasi logam biasa menjadi logam mulia, hubungan antara alkimia Cina dan obat-obatan lebih kentara. Batu filosof milik alkimiawan Eropa dapat diperbandingkan dengan Grand Elixir of Immortality yang dicari-cari para alkimiawan Cina. Namun, dalam pandangan hermetis, kedua tujuan ini tidaklah berdiri sendiri, dan batu filsafat sering disetarakan dengan panacea universal. Dengan demikian, kedua tradisi ini mungkin memiliki lebih banyak kesamaan daripada yang diperkirakan semula.

Bubuk hitam mungkin merupakan ciptaan terpenting alkimiawan Cina. Disebut-sebut dalam teks abad ke-9 dan sudah digunakan dalam kembang api pada abad ke-10, bubuk ini sudah digunakan dalam meriam pada 1290. Dari Cina, penggunaan mesiu menyebar ke Jepang, bangsa Mongol, dunia Arab, dan Eropa. Mesiu digunakan bangsa Mongol melawan bangsa Hongaria pada 1241, dan di Eropa dimulai pada abad ke-14.

Alkimia Cina berkaitan erat dengan obat-obatan dalam bentuk Taoisme, seperti akupunktur dan moxibustion, dan dengan bela diri seperti Tai Chi Chuan dan Kung Fu (meskipun beberapa aliran Tai Chi meyakini bahwa ilmu mereka diturunkan dari cabang-cabang Higienis atau Filosofis Taoisme, bukan cabang Alkimia).

Alkimia India

Hanya sedikit yang diketahui di Barat tentang ciri-ciri dan sejarah alkimia India. Seorang alkimiawan Iran abad ke-11 bernama al-Biruni melaporkan bahwa mereka "memiliki ilmu yang mirip dengan alkimia yang asing bagi mereka, ilmu yang disebut Rasavātam. Nama ini berarti seni yang terbatas pada operasi, obat, senyawa, dan obat-obatan tertentu, yang sebagian besar diambil dari tumbuhan. Prinsipnya adalah mengembalikan kesembuhan bagi orang yang sakit parah, dan mengembalikan kemudaan bagi usia tua." Contoh teks terbaik yang berdasarkan pada sains ini adalah The Vaishashik Darshana karya Kanad (fl. 600 SM), yang menggambarkan teori atom seabad sebelum Democritus.

Alkimia di Mesir Kuno

Alkimiawan Barat umumnya menelusur asal-usul seni mereka ke Mesir Kuno. Metalurgi dan mistisisme bertautan erat di dunia kuno, karena perubahan bijih kusam menjadi logam berkilau pasti bagi mereka serupa sihir, yang dikuasai suatu aturan misterius. Oleh karena itu, diperkirakan alkimia di Mesir Kuno dikuasai oleh kelas pendeta.

Kota Iskandariyah di Mesir adalah pusat pengetahuan alkimia, dan tetap diagungkan hingga setelah keruntuhan budaya Mesir Kuno sekalipun, selama masa-masa Yunani dan Romawi. Sayangnya, hampir tak ada dokumen Mesir asli tentang alkimia yang masih tersisa sekarang. Andaikan ada, tulisan-tulisan itu kemungkinan besar hilang ketika Kaisar Diocletian memerintahkan pembakaran buku-buku alkimia setelah meredam pemberontakan di Iskandariyah (296), yang merupakan pusat alkimia Mesir. Alkimia Mesir sebagian besar dikenal melalui tulisan para filosof kuno (Helenisme) Yunani, yang sekarang hanya tersisa sebagai terjemahan Islam.

Menurut legenda, pendiri alkimia Mesir adalah Dewa Thoth, yang disebut Hermes-Thoth atau Thrice-Great Hermes (Hermes Trismegistus) oleh bangsa Yunani. Konon ia menulis sesuatu yang disebut 42 Kitab Pengetahuan, yang mencakup semua bidang pengetahuan — termasuk alkimia. Lambang Hermes adalah caduceus atau tongkat ular, yang menjadi salah satu dari banyak lambang utama alkimia. "Tablet Emerald" atau Hermetica karya Thrice-Greatest Hermes, yang dikenal hanya melalui terjemahan Yunani dan Arab, secara umum diakui telah membentuk dasar praktik dan filsafat alkimia Barat, yang disebut filsafat hermetis oleh para praktisi awalnya.

Inti pertama "Tablet Emerald" menyampaikan tujuan ilmu hermetis: "sebenar-benarnya, seyakin-yakinnya, dan tanpa keraguan, apa-apa yang di bawah itu sama dengan apa-apa yang di atas, dan apa-apa yang di atas sama dengan apa-apa yang di bawah, untuk menciptakan mukjizat satu hal" (Burckhardt, h. 196-7). Ini adalah keyakinan makrokosmos-mikrokosmos inti bagi filsafat hermetis. Dengan kata lain, tubuh manusia (mikrokosm) dipengaruhi oleh dunia luar (makrokosm), yang mencakup langit melalui astrologi, dan bumi melalui unsur (Burckhardt, h. 34-42).

Setelahnya, bangsa Masedonia yang berbahasa Yunani menaklukkan Mesir dan mendirikan kota Iskandariyah pada 331. Ini mempertemukan mereka dengan pemikiran Mesir.

Alkimia di dunia Yunani

Bangsa Yunani mengambil keyakinan hermetis bangsa Mesir dan memadukannya dengan filsafat Pythagoreanisme, ionianisme, dan gnostisisme. Pada intinya, Filsafat Pythagorean adalah keyakinan bahwa bilangan mengatur alam semesta, keyakinan yang berasal dari pengamatan bunyi, bntang, bentuk geometris seperti segitiga, atau apa pun yang perhitungannya dapat menghasilkan angka rasio. Pemikiran Ionia didasarkan pada keyakinan bahwa alam semesta dapat dijelaskan melalui mempelajari fenomena alam; filsafat ini diyakini diciptakan oleh Thales dan muridnya Anaximander, dan kemudian dikembangkan oleh Plato dan Aristoteles, yang karya-karyanya menjadi bagian alkimia. Menurut keyakinan ini, alam semesta dapat digambarkan oleh beberapa hukum alam yang dapat diketahui melalui penjelajahan filosofis yang hati-hati, saksama, teliti. Komponen ketiga yang dimasukkan ke filsafat hermetis oleh bangsa Yunani adalah gnotisisme, keyakinan yang tersebar luas di Kekaisaran Romawi Kristen, bahwa dunia itu tidak sempurna karena diciptakan dengan cara yang tercacat, dan bahwa mempelajari sifat materi spiritual akan menuntun kita ke keselamatan. Mereka juga meyakini bahwa Tuhan tidak "menciptakan" alam semesta dalam makna klasik, tetapi bahwa alam semesta diciptakan "dari-Nya", tetapi kemudan rusak (bukan dirusakkan oleh pelanggaran Adam dan Hawa, yakni dosa waris). Menurut keyakinan Gnostisisme, memuja kosmos, alam, dan makhluk dunia, itulah memuja Tuhan Sejati. Kaum Gnostik tidak mencari keselamatan dari dosa, melainkan berupaya melepaskan diri dari ketidaktahuan, meyakini bahwa dosa hanyalah konsekuensi dari ketidaktahuan. Teori Platonis dan neo-Platonis tentang universal dan ke-Mahakuasa-an Tuhan juga diserap.

Sebuah konsep yang sangat penting yang diperkenalkan pada masa ini, berasal dari Empedocles dan dikembangkan Aristoteles, adalah bahwa semua hal di alam semesta terbentuk dari hanya empat unsur: tanah, udara, air, dan api. Menurut Aristoteles, setiap unsur memiliki lingkup asalnya, tempatnya kembali jika tidak terganggu (Lindsay, h. 16) .

Keempat unsur bangsa Yunani lebih merupakan aspek kualitatif materi, bukan kuantitatif sebagaimana unsur kimia modern. "...Alkimia sejati tak pernah menganggap tanah, udara, air, dan api sebagai zat fisik atau kimia sebagaimana makna katanya di masa kini. Keempat unsur ini sederhananya adalah sifat-sifat primer dan umum. Melalui sifat-sifat ini, zat nirbentuk dan kuantitatif dari semua benda mewujudkan dirinya dalam bentuk-bentuk yang jelas" (Hitchcock, h. 66). Para alkimiawan selanjutnya (jika Plato dan Aristoteles boleh disebut alkimiawan) mengembangkan aspek mistis konsep ini secara luas.

Alkimia di Kekaisaran Romawi

Bangsa Romawi mengambil alkimia dan metafisika Yunani, sebagaimana mereka menyerap sebagian besar pengetahuan dan filsafat Yunani. Pada akhir Kekaisaran Romawi, filsafat alkimia Yunani telah digabungkan dengan filsafat bangsa Mesir dan membentuk aliran Hermetisisme (Lindsay).

Namun, perkembangan agama Kristen di Kekaisaran tersebut membawa jalur pemikiran yang bertolak belakang, berakar dari Agustinus (354-430 M), seorang filsuf Kristen awal yang menuliskan keyakinannya menjelang runtuhnya Kekaisaran Romawi. Pada intinya, ia merasa bahwa akal dan iman dapat digunakan untuk memahami Tuhan, tetapi filsafat eksperimental itu buruk: "Dalam jiwa juga terdapat, melalui indra badaniah ini, sejenis keinginan dan keingintahuan hampa yang bertujuan bukan untuk menikmati tubuh, tetapi memperoleh pengalaman melalui tubuh, dan keingintahuan hampa ini dihormati atas nama pembelajaran dan ilmu pengetahuan" (Agustinus, h. 245).

Gagasan Augustinian jelas-jelas menentang eksperimen, tetapi ketika teknik eksperimental Aristotelian tersedia bagi dunia Barat, teknik tersebut tidak ditolak. Namun, pemikiran Augustinian sudah mendarah daging dalam masyarakat Zaman Pertengahan dan digunakan untuk menuding alkimia sebagai ilmu yang tidak ilahiah. Pada akhirnya, pada akhir era pertengahan, arus pemikiran ini menciptakan celah permanen, yang memisahkan alkimia dari agama yang justru dahulu mendorong kelahirannya.

Sebagian besar pengetahuan Romawi tentang alkimia, sebagaimana pengetahuan Yunani dan Mesir, sekarang hilang. Di Aleandria, pusat pengkajian alkimia di Kekaisaran Roma, seni tersebut disampaikan dari mulut ke mulut dan untuk mempertahankan kerahasiaan, hanya sedikit yang dituliskan. (Sejak itu kata "hermetis" berarti "rahasia") (Lindsay, h. 155). Mungkin saja ada sebagian yang ditulis di Alexandria, dan kemudian hilang atau terbakar di masa-masa kericuhan setelah itu.

Alkimia di dunia Islam

Setelah runtuhnya Kekaisaran Romawi, fokus perkembangan alkimia berpindah ke Timur Tengah. Yang diketahui tentang alkimia Islam jauh lebih banyak karena dokumentasinya lebih baik: malah, sebagian besar tulisan yang diturunkan selama bertahun-tahun diabadikan dalam bentuk terjemahan Islam (Burckhardt, h. 46).

Dunia Islam merupakan tempat peleburan bagi alkmia. Pemikiran Platonis dan Aristotelian, yang sudah sedikit-banyak disisihkan menjadi ilmu hermetis, terus diasimilasi. Alkimiawan Islam seperti Abu Bakr Mohammad Ibn Zakariya al-Razi (Rasis atau Rhazes dalam Bahasa Latin) juga menyumbangkan temuan-temuan kimiawi penting, seperti teknik penyulingan (kata alembic dan alkohol juga berasal dari Bahasa Arab), asam klorida, asam sulfat, dan asam nitrat, al-natrun, dan alkali — yang kemudian membentuk nama untuk unsur natrium dan kalium — dan banyak lagi. Penemuan bahwa air raja atau aqua regia, campuran asam nitrat dan asam klorida, dapat melarutkan logam termulia — emas — adalah penemuan yang mengompori imajinasi para alkimiawan selama seribu tahun berikutnya.

Para filosof Islam juga memberikan sumbangan besar untuk hermetisisme alkimia. Penulis yang paling berpengaruh dalam hal ini adalah Jabir Ibn Hayyan (جابر إبن حيان dalam Bahasa Arab, Geberus dalam Bahasa Latin; Geber dalam Bahasa Inggris). Tujuan utama Jabir adalah takwin, penciptaan buatan makhluk hidup dalam laboratorium alkimia, hingga dan termasuk manusia. Ia menganalisis setiap unsur Aristotelian, panas, dingin, kering, dan lembap (Burkhardt, h. 29). Menurut Jabir, dalam setiap logam, dua sifat ini berada di dalam dan dua berada di luar. Misalnya, timah itu dingin dan kering di luar, sedangkan emas itu panas dan lembap. Maka, Jabir berteori, dengan mengatur ulang sifat-sifat sebuah logam, bisa dihasilkan logam lain (Burckhardt, h. 29). Dengan penalaran ini, pencarian batu filosof diperkenalkan dalam alkimia Barat. Jabir mengembangkan numerologi yang rumit, yakni huruf-akar dari nama sebuah zat dalam Bahasa Arab, jika ditransformasi, akan berkaitan dengan sifat fisika unsur tersebut.

Sekarang sudah umum diterima bahwa alkimia Cina memengaruhi alkimiawan Arab (Edwards hh. 33-59; Burckhardt, h. 10-22), meskipun sejauh apa pengaruh itu masih diperdebatkan. Demikian pula, ilmu Hindu diasimilasi ke dalam alkimia Islam, tetapi, sekali lagi, besarnya dan pengaruhnya tidak banyak diketahui.

Alkimia di Eropa Zaman Pertengahan

Because of its strong connections to the Greek and Roman cultures, alchemy was easily accepted into Christian philosophy, and Medieval European alchemists extensively absorbed Islamic alchemical knowledge. Gerbert of Aurillac, who was later to become Pope Silvester II, (d. 1003) was among the first to bring Islamic science to Europe from Spain. Later men such as Adelard of Bath, who lived in the 12th century, brought additional learning. But until the thirteenth century the moves were mainly assimilative. (Hollister p. 124, 294)

In this period there appeared some deviations from the Augustinian principles of earlier Christian thinkers. Saint Anselm (10331109) was an Augustinian who believed faith must precede rationalism, as Augustine and most theologians prior to Anselm had believed, but Anselm put forth the opinion that faith and rationalism were compatible and encouraged rationalism in a Christian context. His views set the stage for the philosophical explosion to occur. Saint Abelard followed Anselm's work, laying the foundation for acceptance of Aristotelian thought before the first works of Aristotle reached the West. His major influence on alchemy was his belief that Platonic universals did not have a separate existence outside of man's consciousness. Abelard also systematized the analysis of philosophical contradictions. (Hollister, p. 287-8)

Robert Grosseteste (11701253) adalah perintis teori ilmiah yang kemudian digunakan dan dipoles oleh para ahli kimia. Ia mengambil metode analisis Abelard dan menambahkan penggunaan pengamatan, eksperimentasi, dan penyimpulan dalam membuat evaluasi ilmiah. Grosseteste juga banyak menjembatani pemikiran Platonis dan Aristotelian. (Hollister hh. 294-5)

Albertus Magnus (11931280) dan Thomas Aquinas (12251274) were both Dominicans who studied Aristotle and worked at reconciling the differences between philosophy and Christianity. Aquinas also did a great deal of work in developing the scientific method. He even went as far as claiming that universals could be discovered only through logical reasoning: this ran contrary to the commonly held Platonic belief that universals were found through divine illumination alone. Magnus and Aquinas were among the first to take up the examination of alchemical theory, and could be considered to be alchemists themselves, except that these two did little in the way of experimentation. One major contribution of Aquinas was the belief that since reason could not run in opposition to God, reason must be compatible with theology. (Hollister p. 290-4, 355)

The first true alchemist in Eropa Zaman Pertengahan adalah Roger Bacon. His work did as much for alchemy as Robert Boyle's was to do for chemistry and Galileo Galilei untuk astronomi dan fisika. Bacon (12141294) adalah Franciscan Oxford yang mengulik optik dan bahasa selain alkimia. The Franciscan ideals of taking on the world rather than rejecting the world led to his conviction that experimentation was more important than reasoning: "Of the three ways in which men think that they acquire knowledge of things: authority, reasoning, and experience; only the last is effective and able to bring peace to the intellect." (Bacon p. 367) "Experimental Science controls the conclusions of all other sciences. It reveals truths which reasoning from general principles would never have discovered." (Hollister p. 294-5) Roger Bacon has also been attributed with originating the search for the philosopher's stone and the elixir of life: "That medicine which will remove all impurities and corruptibilities from the lesser metals will also, in the opinion of the wise, take off so much of the corruptibility of the body that human life may be prolonged for many centuries." The idea of immortality was replaced with the notion of long life; after all, man's time on Earth was simply to wait and prepare for immortality in the world of God. Immortality on Earth did not mesh with Christian theology. (Edwards p. 37-8)

Bacon was not the only alchemist of the high middle ages, but he was the most significant. His works were used by countless alchemists of the fifteenth through nineteenth centuries. Other alchemists of Bacon's time shared several traits. First, and most obviously, nearly all were members of the clergy. This was simply because few people outside the parochial schools had the education to examine the Arabic-derived works. Also, alchemy at this time was sanctioned by the church as a good method of exploring and developing theology. Alchemy was interesting to the wide variety of churchmen because it offered a rationalistic view of the universe when men were just beginning to learn about rationalism. (Edwards p. 24-7)

So by the end of the thirteenth century, alchemy had developed into a fairly structured system of belief. Most importantly, the alchemists were all true Christians. They believed in the macrocosm-microcosm theories of Hermes, that is to say, they believed that processes that affect minerals and other substances could have an effect on the human body (e.g., if one could learn the secret of purifying gold, one could use the technique to purify the human soul.) These men believed the philosophers' stone was a substance that was capable of purifying base metals (and thereby transmuting them to gold) as well as purifying the soul. They believed in the four elements and the four qualities as described above, and they had a strong tradition of cloaking their written ideas in a labyrinth of coded jargon set with traps to mislead the uninitiated. Finally, the alchemists practiced their art: they actively experimented with chemicals and made observations and theories about how the universe operated. Their entire philosophy revolved around their belief that man's soul was divided within himself after the fall of Adam. By purifying the two parts of man's soul, man could be reunited with God. (Burckhardt p. 149)

In the fourteenth century, these views underwent a major change. William of Ockham, an Oxford Franciscan who died in 1349, attacked the Thomist view of compatibility between faith and reason. His view, widely accepted today, was that God must be accepted on faith alone; He could not be limited by human reason. Of course this view was not incorrect if one accepted the postulate of a limitless God versus limited human reasoning capability, but it virtually erased alchemy from practice in the fourteenth and fifteenth centuries. (Hollister p. 335) Paus Yohanes XXII in the early 1300s issued an edict against alchemy, which effectively removed all church personnel from the practice of the Art. (Edwards, p.49) The climate changes, Black plague, and increase in warfare and famine that characterized this century no doubt also served to hamper philosophical pursuits in general.

 
Nicholas Flamel had these mysterious alchemical symbols carved on his tomb in the Church of the Holy Innocents in Paris.

Alchemy was kept alive by men such as Nicolas Flamel, who was noteworthy only because he was one of the few alchemists writing in those troubled times. Flamel lived from 1330 to 1417 and would serve as the archetype for the next phase of alchemy. He was not a religious scholar as were many of his predecessors, and his entire interest in the subject revolved around the pursuit of the philosopher's stone, which he is reputed to have found; his work spends a great deal of time describing the processes and reactions, but never actually gives the formula for carrying out the transmutations. Most of his work was aimed at gathering alchemical knowledge that had existed before him, especially as regarded the philosophers' stone. (Burckhardt pp.170-181)

Through the high middle ages (1300-1500) alchemists were much like Flamel: they concentrated on looking for the philosophers' stone and the elixir of youth, now believed to be separate things. Their cryptic allusions and symbolism led to wide variations in interpretation of the art. For example, many alchemists during this period interpreted the purification of the soul to mean the transmutation of lead into gold (in which they believed elemental mercury, or 'quicksilver', played a crucial role). These men were viewed as magicians and sorcerers by many, and were often persecuted for their practices. (Edwards pp. 50-75; Norton pp lxiii-lxvii)

Tycho Brahe, better known for his astronomical and astrological investigations, was also an alchemist. He had a laboratory built for that purpose at his Uraniborg observatory/research institute.

One of these men who emerged at the beginning of the sixteenth century was named Heinrich Cornelius Agrippa. This alchemist believed himself to be a wizard and actually thought himself capable of summoning spirits. His influence was negligible, but like Flamel, he produced writings which were referred to by alchemists of later years. Again like Flamel, he did much to change alchemy from a mystical philosophy to an occultist magic. He did keep alive the philosophies of the earlier alchemists, including experimental science, numerology, etc., but he added magic theory, which reinforced the idea of alchemy as an occultist belief. In spite of all this, Agrippa was still a Christian, though his views often came into conflict with the church. Edwardes p56-9; Wilson p.23-9)

Alkimia di Zaman Modern dan Renaisans

Alkimia Eropa terus berlanjut seperti ini hingga terbitnya Zaman Renaisans. Era ini juga menyaksikan menjamurnya penipu yang menggunakan tipuan kimiawi dan sulap untuk "mendemonstrasikan" transmutasi logam biasa menjadi emas, atau yang mengaku memiliki pengetahuan rahasia yang — dengan modal awal "sedikit" — pasti akan mencapai tujuan tersebut.

Nama terpenting pada masa ini adalah Philippus Aureolus Paracelsus (Theophrastus Bombastus von Hohenheim, 14931541) yang mencetak alkimia menjadi bentuk baru, menolak sebagian okultisme yang telah bertimbun selama bertahun-tahun, mempromosikan penggunaan pengamatan dan eksperimen untuk mempelajari tubuh manusia. Ia menolak tradisi Gnotisisme, tetapi mempertahankan sebagian besar filsafat Hermetis, neo-Platonis, dan Pythagorean; namun, ilmu Hermetis memuat begitu banyak teori Aristotelian sehingga penolakannya terhadap Gnotisisme hampir tak ada artinya. Khususnya, Paracelsus menolak teori-teori sihir Agrippa dan Flamel. Ia tak menganggap dirinya seorang penyihir, dan mengecam orang-orang yang mengaku demikian (Williams hh. 239-45).

Paracelsus merintis penggunaan zat kimia dan mineral dalam bidang kedokteran, dan menulis "Banyak orang berkata bahwa alkimia bertujuan membuat emas dan perak. Bagiku, tujuan alkimia bukan itu, melainkan untuk mempelajari kebaikan dan kekuatan yang terkandung dalam obat" (Edwardes, h. 47). Pandangan hermetisnya adalah bahwa penyakit dan kesehatan dalam tubuh bergantung pada keselarasan antara manusia si mikrokosm dan Alam si makrokosm. Ia memakai pendekatan yang berbeda dengan para pendahulunya, yakni menggunakan analogi ini bukan dalam rangka pemurnian-jiwa, tetapi dengan maksud bahwa manusia harus memiliki keseimbangan mineral tertentu dalam tubuhnya, dan bahwa penyakit-penyakit tubuh tertentu dapat disembuhkan dengan obat tertentu (Debus & Multhauf, p.6-12). Meskipun upayanya mengobati penyakit dengan obat seperti air raksa mungkin tampak keliru dari sudut pandang modern, gagasan dasarnya tentang obat kimiawi ternyata bertahan diuji waktu.

Di Inggris, topik alkimia dalam masa ini sering dikaitkan dengan Dokter John Dee (13 Juli 1527Desember 1608), yang lebih dikenal sebagai astrolog, kriptografer, dan "konsultan ilmiah" umum bagi Ratu Elizabeth I. Dee dipandang sebagai ahli karya-karya Roger Bacon, dan cukup tertarik pada alkimia sehingga menulis buku tentang topik ini (Monas Hieroglyphica, 1564) dengan pengaruh Kabbala. Teman Dee, Edward Kelley — yang mengklaim bercakap-cakap dengan malaikat melalui bola kristal dan memiliki bubuk yang dapat mengubah air raksa menjadi emas — mungkin merupakan asal-usul citra charlatan-alkimiawan yang banyak dikenal.

Di antara alkimiawan-alkimiawan lain pada masa ini, yang patut dicatat adalah Michał Sędziwój (Michael Sendivogius) (1566 - 1636), seorang alkimiawan berkebangsaan Polandia, filosof dan dokter, perintis ilmu kimia. Ia mengasumsikan bahwa udara mengandung oksigen, 170 tahun sebelum Scheele dan Priestley, dengan menghangatkan nitre (saltpetre). Dia menganggap gas yang dihasilkannya sebagai "minuman kehidupan".

Keruntuhan Alkimia Barat

Berakhirnya alkimia Barat disebabkan oleh bangkitnya sains modern, yang menekankan eksperimen with its emphasis on rigorous quantitative experimentation and its disdain for "kebijaksanaan kuno". Meskipun benih peristiwa-peristiewa ini ditanam seawal abad ke-17, alkimia masih flourished selama dua ratusan tahun, and in fact may have reached its apogee in the 18th century.

Robert Boyle (16271691), better known for his studies of gases (cf. Boyles law) pioneered the scientific method in chemical investigations. He assumed nothing in his experiments and compiled every piece of relevant data; in a typical experiment, Boyle would note the place in which the experiment was carried out, the wind characteristics, the position of the sun and moon, and the barometer reading, all just in case they proved to be relevant. (Pilkington p.11) This approach eventually led to the founding of modern chemistry in the 18th and 19th centuries, based on revolutionary discoveries of Lavoisier and John Dalton — which finally provided a logical, quantitative and reliable framework for understanding matter transmutations, and revealed the futility of longstanding alchemical goals such as the philospher's stone.

Meanwhile, Paracelsian alchemy led to the development of modern medicine. Experimentalists gradually uncovered the workings of the human body, such as blood circulation (Harvey, 1616), and eventually traced many diseases to infections with germs (Koch and Pasteur, 19th century) or lack of natural nutrients and vitamins (Lind, Eijkman, Funk, et al.). Supported by parallel developments in organic chemistry, the new science easily displaced alchemy from its medical roles, interpretive and prescriptive, while deflating its hopes of miraculous elixirs and exposing the ineffectiveness or even toxicity of its remedies.

Thus, as science steadily continued to uncover and rationalize the clockwork of the universe, founded on its own materialistic metaphysics, Alchemy was left deprived of its chemical and medical connections — but still incurably burdened by them. Reduced to an arcane philosophical system, poorly connected to the material world, it suffered the common fate of other esoteric disciplines such as Astrology and Kabbalah: excluded from university curricula, shunned by its former patrons, ostracized by scientists, and commonly viewed as the epitome of charlatanism and superstition.

These developments could be interpreted as part of a broader reaction in European intellectualism against the Romantic movement of the preceding century. Be as it may, it is sobering to observe how a discipline that held so much intellectual and material prestige, for more than two thousand years, could disappear so easily from the universe of Western thought.

Alkimia dalam sastra

Many authors lampooned alchemists and used them as the butt of satirical attacks. The most famous of these is the play The Alchemist by Ben Johnson.

Dalam buku anak Harry Potter, "Batu Filosof" disebut-sebut. This stone was created by alchemists within the world created by J.K. Rowling. This stone could turn any metal into pure gold, and created an "Elixir of Life" that enabled the drinker to live forever.

In the second part of Faust, Johann Wolfgang von Goethe portrays Faust's servant Wagner using alchemy to create a homunculus.

The term 'alchemical' is sometimes used to refer to a study that is stumbling toward becoming science but has not reached that state yet. For instance, Larry Niven in his Known Space stories describes twentieth century psychology as being 'in its alchemical stages', before it is perfected by later generations into a true science.

Rujukan

  • Augustine (1963). The Confessions. Trans. Rex Warner. New York: Mentor Books.
  • Burckhardt, Titus (1967). Alchemy: Science of the Cosmos, Science of the Soul. Trans. William Stoddart. Baltimore: Penguin.
  • Debus, Allen G. and Multhauf, Robert P. (1966). Alchemy and Chemistry in the Seventeenth Century. Los Angeles: William Andrews Clark Memorial Library, University of California.
  • Edwardes, Michael (1977). The Dark Side of History. New York: Stein and Day.
  • Gettings, Fred (1986). Encyclopedia of the Occult. London: Rider.
  • Hitchcock, Ethan Allen (1857). Remarks Upon Alchemy and the Alchemists. Boston: Crosby, Nichols.
  • Hollister, C. Warren (1990). Medieval Europe: A Short History. 6th ed. Blacklick, Ohio: McGraw-Hill College.
  • Lindsay, Jack (1970). The Origins of Alchemy in Graeco-Roman Egypt. London: Muller.
  • Marius (1976). On the Elements. Trans. Richard Dales. Berkeley: University of California Press.
  • Norton, Thomas (Ed. John Reidy) (1975). Ordinal of Alchemy. London: Early English Text Society.
  • Pilkington, Roger (1959). Robert Boyle: Father of Chemistry. London: John Murray.
  • Weaver, Jefferson Hane (1987). The World of Physics New York: Simon & Schuster.
  • Wilson, Colin (1971). The Occult: A History. New York: Random House.
  • Zumdahl, Steven S. (1989). Chemistry. 2nd ed. Lexington, Maryland: D. C. Heath and Co.

Halaman alkimia lainnya

Filsafat alternatif

Hubungan ilmiah

Zat yang digunakan alkimia

Sumber lain

Pranala luar