Soedjatmoko (lahir dengan nama Soedjatmoko Mangoendiningrat; 10 Januari 1922 – 21 Desember 1989), juga dikenal dengan nama panggilan Bung Koko,[2] adalah seorang intelektual dan duta Indonesia.

Dr.
Soedjatmoko
Berkas:ImgSoedjatmoko.jpg
Soedjatmoko pada tahun 1978
LahirSoedjatmoko Mangoendiningrat
10 Januari 1922
Sawahlunto, Sumatera Barat, Hindia-Belanda
Meninggal21 Desember 1989(1989-12-21) (umur 67)
Yogyakarta, Indonesia
KewarganegaraanIndonesia
PekerjaanDuta, akademisi
GelarAnggota Konstituante
Masa jabatan1955-1959
PendahuluDiciptakan
PenggantiDibubarkan
Partai politikPartai Sosialis Indonesia
Suami/istriRatmini Gandasubrata
Anak3 anak putri
Orang tuaSaleh Mangoendiningrat (ayah)
Isnadikin (ibu)
KerabatNugroho Wisnumurti (adik laki-laki)
Sutan Sjahrir (kakak ipar)

Soedjatmoko dilahirkan dalam keluarga bangsawan di Sawahlunto, Sumatera Barat, Hindia Belanda. Setelah menjalani pendidikan dasarnya di Belanda dan Manado, Sulawesi Utara, dia belajar ilmu kedokteran di Batavia (sekarang Jakarta). Di daerah kumuh, Soedjatmoko melihat bahwa ada banyak kemiskinan; topik tersebut menjadi bidang penelitiannya di kemudian hari. Setelah dikeluarkan dari sekolah kedoktoran oleh orang-orang Jepang pada tahun 1943 karena kegiatan politiknya, dia berpindah ke Surakarta dan membuka praktik pengobatan bersama ayahnya. Pada tahun 1947, setelah kemerdekaan Indonesia, Soedjatmoko dan dua pemuda lain dikirimkan ke Lake Success, New York, Amerika Serikat, untuk mewakili Indonesia di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Mereka berusaha agar kedaulatan Indonesia diakui secara internasional.

Setelah kerjanya di PBB, Soedjatmoko mendapatkan kesempatan belajar di Littauer Center, di Harvard; namun, dia terpaksa mengundurkan diri karena kesibukannya dalam pekerjaan lain, yaitu menjadi chargé d'affaires Indonesia pertama di London, Inggris, selama tiga bulan dan mendirikan bagian politik di Kedutaan Besar Indonesia di Washington, D.C. Pada tahun 1952 dia sudah kembali ke Indonesia. Dia bergabung dengan pers sosialis dan Partai Sosialis Indonesia, lalu terpilih sebagai anggota Konstituante dan berdinas dari tahun 1955 hingga 1959. Pada tahun 1958 dia menikah dengan Ratmini Gandasubrata. Namun, karena pemerintah Presiden Soekarno menjadi semakin otoriter, Soedjatmoko mulai mengkritik pemerintah. Untuk menghindari penyensoran, Soedjatmoko bekerja sebagai dosen tamu di Cornell University di Ithaca, New York, selama dua tahun; selama tiga tahun setelah itu dia tidak bekerja, biarpun menetap di Indonesia.

Setelah gagalnya Gerakan 30 September dan Soekarno digantikan Soeharto sebagai presiden Indonesia, Soedjatmoko kembali bekerja untuk negara. Pada tahun 1966 dia dikirim sebagai salah satu wakil Indonesia di PBB, dan pada tahun 1968 dia menjadi Duta Besar Indonesia untuk Amerika Serikat; pada waktu yang sama dia mendapatkan beberapa gelar doktor honoris causa (honorer). Dia juga menjadi penasihat untuk menteri luar negeri Adam Malik. Setelah kembali ke Indonesia pada tahun 1971, Soedjatmoko menjadi anggota beberapa wadah pemikir. Saat terjadi peristiwa Malari pada Januari 1974, Soedjatmoko ditangkap dan diinterogasi selama dua minggu setengah karena disangka telah merencanakan protes itu. Biarpun dia dibebaskan, selama dua tahun setengah dia tidak dapat keluar negeri. Pada tahun 1978 Soedjatmoko menerima Penghargaan Ramon Masaysay untuk Hubungan Internasional, dan pada tahun 1980 dia diangkat sebagai rektor United Nations University di Tokyo, Jepang. Dua tahun setelah kembali dari Jepang, Soedjatmoko meninggal akibat serangan jantung di Yogyakarta.

Kehidupan awal

Soedjatmoko dilahirkan pada tanggal 10 Januari 1922 di Sawahlunto, Sumatera Barat, dengan nama Soedjatmoko Mangoendiningrat. Dia anak kedua dari Saleh Mangoendiningrat, seorang dokter Jawa keturunan bangsawan asal Madiun, dan Isnadikin, seorang ibu rumah tangga Jawa asal Ponorogo; pasangan tersebut mempunyai tiga anak lain, serta dua anak angkat.[1] Adik Soedjatmoko, Nugroho Wisnumurti, saat dewasa juga bekerja untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).[2] Saat dia berusia dua tahun, Soedjatmoko dan keluarga berpindah ke Belanda setelah ayahnya mendapatkan beasiswa untuk belajar di negara itu selama lima tahun.[3] Setelah kembali ke Indonesia, Soedjatmoko melanjutkan sekolahnya di suatu sekolah dasar di Manado, Sulawesi Utara.[1]

Soedjatmoko lalu bersekolah di HBS Surabaya, di mana dia lulus pada tahun 1940.[4] Sekolah itu memperkenalkan dia dengan bahasa Latin dan Yunani Kuno, dan salah satu gurunya memperkenalkan Soedjatmoko dengan kesenian Eropa; dalam sebuah wawancara ketika sudah dewasa, Soedjatmoko mengenang bahwa hal tersebut membuat dia melihat orang Eropa sebagai lebih dari sekadar kolonis.[1] Dia lalu melanjutkan pendidikannya ke sekolah kedokteran di Batavia (sekarang Jakarta). Saat melihat daerah kumuh Jakarta, Soedjatmoko menjadi tertarik dengan masah kemiskinan; topik tersebut ditelitinya di kemudian hari.[1] Namun, setelah Jepang menduduki Indonesia, pada tahun 1943 dia dikeluarkan dari sekolah karena kekerabatannya dengan Sutan Sjahrir – yang telah menikah dengan kakak Soedjatmoko, Siti Wahyunah[2] – serta keterlibatannya dalam protes terhadap pendudukan Jepang.[1][4]

Setelah dikeluarkan, Soedjatmoko berpindah ke Surakarta. Di sana, dia membaca tentang sejarah Barat dan ilmu politik, yang memicu ketertarikannya dengan sosialisme;[4] dia juga bekerja di rumah sakit milik ayahnya. Setelah kemerdekaan Indonesia, Soedjatmoko diminta menjadi Wakil Kepala Bagian Pers Asing di Kementerian Penerangan.[1] Pada tahun 1946 dia dan dua sahabatnya mendirikan mingguan berbahasa Belanda, Het Inzicht (Di Dalam), sebagai tanggapan atas Het Uίtzicht (Pandangan) yang disponsori oleh Belanda; ini atas permintaan Sjahrir, yang sudah menjadi Perdana Menteri Indonesia. Tahun berikutnya, mereka menerbitkan jurnal sosialis Siasat, yang juga diterbitkan setiap minggu.[4][5] Dalam periode ini Soedjatmoko mulai tidak menggunakan nama Mangoendiningrat, sebab nama bapaknya itu membuat dia teringat akan aspek feudalisme dalam budaya Indonesia.[1]

Kerja di Amerka Serikat

Pada tahun 1947, Sjahrir mengirim Soedjatmoko ke New York sebagai anggota delegasi "pengamat" Indonesia di PBB.[4] Delegasi tiba di Amerika Serika (AS) setelah melalui Singapura dan Filipina. Saat mereka di Filipina, Presiden Manuel Roxas menjamin bahwa negaranya itu akan mendukung Indonesia di PBB.[1] Soedjatmoko dan kelompoknya tinggal di Lake Success, New York, yang merupakan lokasi sementara PBB pada saat itu, dan mengikuti debat mengenai pengakuan Indonesia oleh negara lain.[6] Menjelang akhir waktunya di New York, Soedjatmoko masuk di Littauer Center milik Harvard; karena pada saat itu dia masih merupakan anggota delegasi PBB, dia harus pulang-pergi antara New York dan Boston selama tujuh bulan kuliah. Setelah dibebastugaskan dari delegasi, Soedjatmoko menghabiskan hampir satu tahun di Littauer Center; namun, kuliahnya itu terganggu ketika selama tiga bulan dia menjadi chargé d'affaires – yang pertama untuk Indonesia – di bagian Hindia Belanda di Kedutaaan Besar Belanda di London, Inggris. Dia berjabatan sementara selagi didirikan kedutaan besar Indonesia.[1]

Pada tahun 1951, Soedjatmoko pindah ke Washington D.C. untuk membentuk bagian politik di Kedutaan Besar Republik Indonesia di kota itu;[4] dia juga menjadi Wakil Indonesia Alternat di PBB. Jadwal yang padat ini, yang memerlukan banyak perjalanan antara tiga kota, dianggap terlalu berat, sehingga Soedjatmoko mengundurkan diri dari Littaur Center.[1] Pada akhir tahun 1951, dia mengundurkan diri dari pekerjaan lainnya dan pergi ke Eropa selama sembilan bulan, mencari ilham politik. Di Yugoslavia, dia bertemu dengan Milovan Djilas, yang membuatnya kagum.[1][4]

Kembali ke Indonesia

Setelah kembali ke Indonesia, Soedjatmoko sekali lagi menjadi redaktur Siasat. Pada tahun 1952, dia menjadi salah satu pendiri harian Pedoman, yang milik Partai Sosialis Indonesia (PSI); ini disusul oleh pendirian jurnal politik Konfrontasi. Soedjatmoko juga ikut serta dalam pendirian Penerbit Pembangunan, yang dia pimpin hingga tahun 1961.[4] Soedjatmoko bergabung dengan PSI pada tahun 1955, dan terpilih sebagai anggota Konstituante pada tahun yang sama; Soedjatmoko bertugas dalam Konstituante sehingga badan itu dibubarkan pada tahun 1959.[4] Pada tahun 1955 pula, dia menjadi bagian delegasi Indonesia di Konferensi Tingkat Tinggi Asia-Afrika; Soedjatmoko juga mendirikan Indonesian Institute of World Affairs dan menjadi sekretaris umum selama empat tahun.[7] Pada tahun 1958, Soedjatmoko menikah dengan Ratmini Gandasubrata. Bersama mereka mempunyai tiga anak perempuan.[1][8]

Menjelang akhir dasawarsa 50-an, Soedjatmoko dan Presiden Soekarno, yang awalnya mempunyai hubungan baik, berpisah jalan karena cara memerintah Soekarno yang semakin otoriter. Pada tahun 1960 Soedjatmoko menjadi salah satu pendiri Liga Demokratik, yang berusaha untuk mempromosikan demokrasi di Nusantara;[1] dia juga menolak kebijakan-kebijakan Demokrasi Terpimpin.[6] Ketika usaha itu gagal, Soedjatmoko kembali ke AS dan menjadi dosen tamu di Universitas Cornell, di Ithaca, New York. Ketika dia kembali lagi ke Indonesia pada tahun 1962, dia mengetahui bahwa para pembesar PSI telah ditangkap, dan partai politik itu telah dilarang; selain itu, baik Siasat maupun Pedoman tidak diberikan izin terbit. Untuk menghindari masalah dengan pemerintah, secara suka rela Soedjatmoko memilih untuk tidak bekerja, sampai pada tahun 1965 saat dia menjadi salah satu editor buku An Introduction to Indonesian Historiography.[1]

Menjadi duta besar dan kegiatan akademis

Setelah gagalnya Gerakan 30 September pada tahun 1965 dan digantikannya Soekarno oleh Soeharto sebagai Presiden Indonesia, Soedjatmoko kembali bekerja untuk pemerintah. Dia menjadi wakil ketua delegasi Indonesia pada PBB pada tahun 1966, lalu pada tahun berikutnya ditugaskan sebagai penasihat untuk delegasi PBB tersebut serta Menteri Luar Negeri Adam Malik. Dia juga menjadi anggota International Institute for Strategic Studies, sebuah wadah pemikir di London. Tahun berikutnya, yaitu pada tahun 1968, dia menjadi Duta Besar Indonesia untuk Amerika Serikat, sebuah jabatan yang dia pegang sehingga tahun 1971. Selama menjadi duta besar, Soedjatmoko menerima beberapa doktorat honoris causa (honorer) dari beberapa universitas Amerika, termasuk Cedar Crest College pada tahun 1969 dan Universitas Yale pada tahun 1970. Dia juga menerbitkan satu buku lagi, Southeast Asia Today and Tomorrow (Asia Tenggara: Kini dan Besok; 1969).[1]

Soedjatmoko kembali ke Indonesia pada tahun 1971. Setiba di nusantara, dia menjadi Penasihat Khusus Urusan Budaya dan Sosial untuk Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. Dia juga menjadi anggota dewan International Institute for Environment and Development, yang berada di London; dia memegang jabatan tersebut sampai tahun 1976.[1] Pada tahun 1972 Soedjatmoko terpilih sebagai anggota dewan direktur Ford Foundation, jabatan yang dipegangnya selama dua belas tahun. Pada tahun yang sama dia menjadi gubernur Asian Institute of Management, suatu jabatan yang dipegang selama dua tahun.[1][5] Tahun berikutnya dia menjadi gubernur International Development Research Centre. Pada tahun 1974, berdasarkan dokumen palsu dia dituduh telah merencanakan peristiwa Malari yang terjadi pada bulan Januari 1974, yaitu suatu peristiwa ketika mahasiswa melakukan demonstrasi dan akhirnya massa berhuru-hara saat kunjungan oleh Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka. Soedjatmoko ditahan selama dua minggu setengah untuk interogasi, dan dia tidak diizinkan meninggalkan Indonesia selama dua tahun setengah.[1]

Pada tahun 1978 Soedjatmoko menerima Ramon Magsaysay Award for International Understanding, yang kerap disebut Nobel Prize untuk Asia.[1][5] Alasan mengapa penghargaan itu diberikan kepada dia dikutip sebagian di bawah:

Dengan mendorong baik orang Asia maupun orang luar untuk melihat cara tradisional pedesaan yang mereka hendak memodernisir, [Sodjatmoko] membuat orang semakin sadar akan dimensi manusia yang diperlukan dalam pembangunan. [...] Tulisannya sudah menambahkan banyak pengetahuan dalam pemikiran internasional mengenai apa yang bisa dilakukan untuk menghadapi salah satu tantangan terbesar masa kini; bagaimana membuat kehidupan lebih baik dan memuaskan untuk 40 persen orang Asia Tenggara dan Asia Selatan yang paling miskin.[6]

Dalam menanggapi penghargaan itu, Soedjatmoko menyatakan bahwa dia merasa "rendah hati, karena kesadaran[nya] bahwa sumbangan sekecil apapun yang [dia] buat masih jauh lebih kecil daripada masalah kemiskinan dan kesengsaraan manusia di Asia, dan seberapa banyak kerja yang mesti diselesaikan."[9]

United Nations University dan kematian

Pada tahun 1980 Soedjatmoko berpindah ke Tokyo, Jepang. Pada bulan September, dia mulai berjabat sebagai rektor United Nations University, menggantikan James M. Hester. Di universitas tersebut, Soedjatmoko menjadi rektor hingga tahun 1987. Selama di Jepang dia menerbitkan dua buku lagi, The Primacy of Freedom in Development dan Development and Freedom. Pada tahun 1985 dia menerima Asia Society Award, dan mendapatkan Universities Field Staff International Award for Distinguished Service to the Advancement of International Understanding tahun berikutnya.[5][8] Soedjatmoko meninggal karena serangan jantung pada tanggal 21 Desember 1989, saat sedang memberi kuliah di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.[8][10]

Rujukan

  1. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t "Biography of Soedjatmoko" (dalam bahasa Inggris). Ramon Magsaysay Award Foundation. Diarsipkan dari versi asli tanggal 22 March 2012. Diakses tanggal 22 March 2012. 
  2. ^ a b c "Contemplating Soedjatmoko's Thought about Intellectuals" (dalam bahasa Inggris). Universitas Gadjah Mada. Diarsipkan dari versi asli tanggal 23 March 2012. Diakses tanggal 23 March 2012. 
  3. ^ Kahin & Barnett 1990, hlm. 133
  4. ^ a b c d e f g h i Kahin & Barnett 1990, hlm. 134
  5. ^ a b c d "Dr. Soedjatmoko" (dalam bahasa Inggris). United Nations University. Diarsipkan dari versi asli tanggal 22 March 2012. Diakses tanggal 21 March 2012. 
  6. ^ a b c "Citation for Soedjatmoko" (dalam bahasa Inggris). Ramon Magsaysay Award Foundation. Diarsipkan dari versi asli tanggal 22 March 2012. Diakses tanggal 22 March 2012. 
  7. ^ Kahin & Barnett 1990, hlm. 134–135
  8. ^ a b c "Soedjatmoko, 67, Indonesia Diplomat And Social Scientist". The New York Times (dalam bahasa Inggris). 22 December 1989. Diakses tanggal 21 March 2012. 
  9. ^ "Response of Soedjatmoko" (dalam bahasa Indonesian). Ramon Magsaysay Award Foundation. Diarsipkan dari versi asli tanggal 22 March 2012. Diakses tanggal 22 March 2012. 
  10. ^ Kahin & Barnett 1990, hlm. 139

Bibliografi