Tenggelamnya Kapal Van der Wijck

novel karya Hamka
Revisi sejak 8 Juni 2012 15.08 oleh Sulakbar (bicara | kontrib) (lagi)

Tenggelamnja Kapal van der Wijck (EYD: Tenggelamnya Kapal van der Wijck) adalah novel sekaligus salah satu karya sastra Indonesia klasik yang ditulis oleh Hamka, nama pena Haji Abdul Malik Karim Amrullah. Novel ini diterbitkan pada tahun 1938. Ceritanya berkisah tentang percintaan antara Zainuddin, laki-laki berayah Minang beribu Bugis, dan Hayati, perempuan yang murni keturunan Minang.

Tenggelamnya Kapal van der Wijck
Berkas:Tenggelamnya-vanderwijk.jpg
Sampul depan cetakan ke-22
PengarangHamka
NegaraIndonesia
BahasaBahasa Indonesia
GenreNovel
Penerbit(lihat di bawah)
Tanggal terbit
1938
Jenis mediaPrint (kulit keras & lunak)
Halaman224 (cetakan ke-22)
ISBNISBN 978-979-418-055-6 (cetakan ke-22) Invalid ISBN
OCLC246136296

Dalam novel ini, Hamka menyatakan ketidaksetujuan terhadap beberapa tradisi dalam adat Minang, terutama mengenai diskriminasi terhadap orang keturunan campuran yang dilakukan oleh masyarakat pada saat itu. Awalnya Tenggelamnya Kapal van der Wijck dirilis sebagai cerita bersambung dalam sebuah majalah, kemudian diterbitkan sebagai novel setelah penerimaan masyarakat yang mengembirakan. Kritikus sastra Indonesia, Bakri Siregar menyebutnya sebagai karya terbaik Hamka.

Latar belakang

Haji Abdul Malik Karim Amrullah, lebih dikenal dengan singkatan Hamka, adalah Muslim asal Minangkabau yang dibesarkan dalam kalangan keluarga yang taat beragama. Ia memandang tradisi yang ada dalam masyarakat di sekitarnya sebagai penghambat kemajuan agama, sebagaimana pandangan ayahnya, Abdul Karim Amrullah.[1][2] Setelah melakukan perjalanan ke Jawa dan Mekkah sejak berusia 16 tahun untuk menimba ilmu, ia mulai bekerja sebagai guru agama di Deli, Sumatera Utara sekarang, lalu di Makassar, Sulawesi Selatan.[3] Dalam perjalanan ini, terutama saat di Timur Tengah, Hamka banyak membaca karya dari ahli dan penulis Islam, termasuk karya penulis asal Mesir Mustafa Lutfi al-Manfaluti[4] hingga karya sastrawan Eropa yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.[5] Pada tahun 1935, Hamka meninggalkan Makassar untuk pergi ke Medan, Sumatera Utara. Di Medan, Hamka menerima permintaan untuk menjadi pemimpin majalah Islam mingguan Pedoman Masjarakat, dalam majalah tersebut untuk pertama kalinya nama pena Hamka diperkenalkan.[2] Di Medan, Hamka juga menulis Van der Wijck; karya yang diilhami sebagian dari tenggelamnya suatu kapal pada tahun 1936.[6]

Plot

Zainuddin adalah anak yatim piatu. Ayahnya yang berasal dari kalangan Minang, meninggal dalam pengasingan setelah membunuh kerabatnya karena masalah warisan; sedangkan ibunya yang bukan Minang meninggal kemudian. Zainuddin tinggal bersama teman ayahnya, Mak Base di Batipuh, Sumatera. Sebagai orang blasteran, banyak diskriminasi yang ditujukan kepadanya mengingat konservatifnya masyarakat Minang pada saat itu. Biarpun Zainuddin mencintai Hayati, putri dari bangsawan Minang, Zainuddin tidak diperbolehkan untuk bersamanya. Karena itu, Zainuddin kemudian memutuskan pindah ke Padang Panjang, tetapi tetap melakukan surat-menyurat dengan Hayati.

Suatu hari, Hayati berkunjung ke Padang Panjang untuk menjumpai Zainuddin. Hayati menginap dengan sahabatnya, Khadijah. Namun, kakak Khadijah, Aziz mulai jatuh cinta dengan Hayati, sehingga Aziz dan Zainuddin harus bersaing untuk memenangkan cinta Hayati. Aziz, yang murni keturunan Minang dan berasal dari keluarga terpandang, lebih disukai keluarga Hayati; mereka meremehkan Zainuddin, yang blasteran dan miskin. Biarpun Zainuddin mendapatkan warisan yang cukup besar dari Mak Base, Zainuddin hanya bisa menyampaikan hal itu setelah Hayati menikah dengan Aziz.

Karena putus asa, Zainuddin dan temannya Muluk pergi ke Jawa, tinggal pertama kali di Batavia sebelum akhirnya pindah ke Surabaya. Di perantauan, Zainuddin menjadi penulis yang terkenal. Pada saat yang sama, Aziz juga pindah ke Surabaya bersama Hayati karena alasan pekerjaan. Namun, hubungan mereka tidak lagi berjalan dengan baik. Setelah Aziz dipecat, mereka terpaksa menginap di rumah Zainuddin. Ketika Aziz menyadari bahwa Zainuddin lebih pantas untuk Hayati, Aziz memutuskan untuk pergi ke Banyuwangi; dalam sepucuk surat, Aziz menyatakan telah mengikhlaskan Hayati untuk Zainuddin.

Zainuddin, yang merasa tersiksa karena kerinduannya akan Hayati, menolak perempuan itu untuk tetap di rumahnya dan menyuruhnya agar pulang ke Batipuh. Hari berikutnya, Hayati pergi dengan menaiki kapal Van der Wijck, yang kemudian tenggelam di pesisir utara pulau Jawa. Setelah mendengar berita itu, Zainuddin dan Muluk pergi ke Tuban untuk mencari Hayati, yang ternyata telah berada di rumah sakit. Di rumah sakit itu, Hayati meninggal setelah berbaikan dengan Zainuddin. Zainuddin pun jatuh sakit dan akhirnya meninggal. Mereka kemudian dikebumikan secara bersebelahan.

Tema

Seperti novel Hamka sebelumnya, Di Bawah Lindungan Ka'bah, Van der Wijck ditulis untuk mengkritik beberapa tradisi dalam adat Minang yang berlaku saat itu, seperti perlakuan terhadap orang berketurunan blasteran dan peran perempuan dalam masyarakat; hal ini dimunculkan dengan usaha Hayati menjadi istri yang sempurna biarpun Aziz tidak menghargainya.[7][8] Hamka beranggapan bahwa beberapa tradisi adat tersebut tidak sesuai dengan dasar-dasar Islam ataupun akal budi yang sehat.[7] Dalam karyanya yang lain, Hamka terus mengkritik adat.[9]

Rilis dan penerimaan

Van der Wijck pertama kali diterbitkan sebagai cerita bersambung dalam majalah Islam mingguan Hamka di Medan, Pedoman Masjarakat pada tahun 1938.[10] Menurut Yunan Nasution, salah satu karyawan majalah tersebut, ketika majalah itu dikirimkan ke Kutaraja, Aceh (kini Banda Aceh), banyak pembaca yang telah menunggu di stasiun kereta api agar bisa membaca bab berikutnya secepat mungkin. Hamka juga menerima surat dari beberapa pembaca, yang beranggapan bahwa novel itu mencerminkan kehidupan mereka. Namun, beberapa orang Muslim konservatif menolak Van der Wijck; mereka menyatakan bahwa seorang ulama harusnya tidak mengarang cerita tentang percintaan.[6]

Setelah mendapat sambutan yang hangat itu, Hamka memutuskan untuk menerbitkan Van der Wijck sebagai novel dengan usaha penerbitan milik temannya, M. Syarkawi; dengan menggunakan penerbit swasta Hamka tidak dikenakan sensor seperti yang berlaku di Balai Pustaka. Cetakan kedua juga dengan penerbit Syarkawi. Lima cetakan berikutnya, mulai pada tahun 1951, dengan Balai Pustaka. Cetakan kedelapan, pada tahun 1961, diterbitkan oleh Penerbit Nusantara di Jakarta; cetakan setelah itu diterbitkan oleh Bulan Bintang.[10][11] Novel Hamka ini juga pernah diterbitkan di Malaysia beberapa kali.[6]

Kritikus sastra Indonesia beraliran sosialis, Bakri Siregar menyebut Van der Wijck sebagai karya terbaik Hamka.[3] Kritikus lain, Maman S. Mahayana, berpendapat bahwa novel ini mempunyai karakterisasi yang baik dan penuh ketegangan; Maman beranggapan bahwa ini mungkin karena novel ini awalnya diterbitkan sebagai cerita bersambug.[12]

Tuduhan plagiat

Pada bulan September 1962, Abdullan S.P. menulis dalam koran Bintang Timur bahwa novel Van der Wijck diplagiat dari Sous les Tilleuls (1832) karya Jean-Baptiste Alphonse Karr, melalui terjemahan berbahasa Arab oleh Mustafa Lutfi al-Manfaluti; desas-desus plagiat sebenarnya sudah lama ada.[13][14] Hal ini menjadi polemik luas dalam pers Indonesia. Sebagian besar orang yang menuduh Hamka berasal dari Lekra, sebuah organisasi saster beraliran kiri[a] Sementara itu, penulis yang tidak beraliran ke kiri melindungi Hamka.[13][15] Beberapa kritikus menemukakan keserupaan antara dua buku tersebut, baik dari segi alur maupun teknik penceritaaan.[16]

Ahli dokumentasi sastra HB Jassin, yang membandingkan kedua karya itu dengan menggunakan terjemahan Sous les Tilleuls berbahasa Indonesia yang diberi judul Magdalena, menulis bahwa novel ini tidaklah mungkin menjadi plagiat, sebab cara Hamka mendeskripsikan tempat itu sangat mendalam dan sesuai dengan gaya bahasanya dalam tulisan sebelumnya.[17] Jassin juga menegaskan bahwa novel Van der Wijck membahas masalah adat Minang, yang tidak mungkin ditemukan dalam suatu karya sastra luar.[7] Akan tetapi, Bakri Siregar, beranggapan bahwa kesamaan antara Zainuddin dan Steve, serta Hayati dan Magdalena, terlalu banyak, yang menandai adanya plagiat.[3] Kritikus sastra asal Belanda A. Teeuw mencatat, tanpa berpendapat kalau kesamaan yang terkandung dalam novel itu dilakukan secara sadar, bahwa memang ada banyak hal yang mirip di antara kedua karya itu, tetapi Van der Wijck memang mempunyai tema yang murni Indonesia.[14]

Rujukan

  1. ^ Lekra menentang agama. Oleh sebab itu, Hamka, yang merupakan seorang guru Islam, dianggap sasaran yang penting.[13]

Referensi

Catatan kaki
  1. ^ Siregar 1964, hlm. 60.
  2. ^ a b Teeuw 1980, hlm. 104.
  3. ^ a b c Siregar 1964, hlm. 61.
  4. ^ Jassin 1985, hlm. 46.
  5. ^ Jassin 1985, hlm. 47.
  6. ^ a b c Tempo 2008, Hamka Menggebrak Tradisi.
  7. ^ a b c Jassin 1985, hlm. 63.
  8. ^ Mahayana 2007, hlm. 169.
  9. ^ Jassin 1985, hlm. 64.
  10. ^ a b Mahayana 2007, hlm. 168.
  11. ^ Siregar 1964, hlm. 123.
  12. ^ Mahayana 2007, hlm. 170.
  13. ^ a b c Mahayana, Sofyan & Dian 1995, hlm. 78–79.
  14. ^ a b Teeuw 1980, hlm. 105.
  15. ^ Jassin 1985, hlm. 59.
  16. ^ Jassin 1985, hlm. 65-66.
  17. ^ Jassin 1985, hlm. 61.
Daftar pustaka
  • "Hamka Menggebrak Tradisi". Tempo (dalam bahasa Indonesian). Jakarta. 19 May 2008. Diarsipkan dari versi asli tanggal 4 June 2012. Diakses tanggal 4 June 2012. 
  • Jassin, HB (1985). "Apakah Tenggelamnya Kapal van der Wijck Plagiat?". Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esei I (dalam bahasa Indonesian). Jakarta: Gramedia. hlm. 59–69. OCLC 36434233. 
  • Mahayana, Maman S. (2007). Ekstrinsikalitas Sastra Indonesia (dalam bahasa Indonesian). Jakarta: RajaGrafindo Persada. ISBN 978-979-769-115-8. 
  • Mahayana, Maman S.; Sofyan, Oyon; Dian, Achmad (1995). Ringkasan dan Ulasan Novel Indonesia Modern (dalam bahasa Indonesian). Jakarta: Grasindo. ISBN 978-979-553-123-4. 
  • Siregar, Bakri (1964). Sedjarah Sastera Indonesia. 1. Jakarta: Akademi Sastera dan Bahasa "Multatuli". OCLC 63841626. 
  • Teeuw, A. (1980). Sastra Baru Indonesia (dalam bahasa Indonesian). 1. Ende: Nusa Indah. OCLC 222168801.