Tuan Gadang

Revisi sejak 23 Juli 2012 03.40 oleh Rahman Priadi (bicara | kontrib) (Wikilink, article is on its way)

Tuan Gadang adalah gelar kebesaran untuk seseorang penghulu dalam struktur pemerintahan Kerajaan Pagaruyung.

Gelar Tuan Gadang ini disebut dalam Tambo Minangkabau, disandang oleh seseorang pembesar yang berkedudukan di Batipuh, Tanah Datar. Dari beberapa versi tambo, Tuan Gadang ini merupakan salah seorang dari Basa Ampek Balai,[1][2][3] namun versi lainnya menganggap Tuan Gadang bukanlah termasuk dalam Basa Ampek Balai tapi adalah seorang panglima perang dari Raja Pagaruyung.[4][5] Perbedaan penafsiran tambo tentang kedudukan Tuan Gadang kemungkinan besar dipengaruhi oleh Perang Padri, kemudian disusul perlawanan rakyat Batipuh terhadap pemerintah Hindia-Belanda yang dipimpin oleh Datuk Pamuncak,[2] tokoh yang terakhir kali menyandang gelar Tuan Gadang tersebut. Namun demikian dari semua versi tambo, kedudukan Tuan Gadang dalam pemerintahan Kerajaan Pagaruyung cukup tinggi dan bergengsi. Tuan Gadang dalam Langgam Nan Tujuah, dikiaskan sebagai Harimau Campo Koto Piliang. Selain itu ia juga memiliki kekuasaan yang kuat pada nagari tempat kedudukannya serta hak memunggut cukai pada kawasan rantau seperti Pariaman.[6]

Datuk Pamuncak

Pada masa awal Perang Padri, setelah jatuhnya Pagaruyung ke tangan Kaum Padri, kawasan Batipuh termasuk basis terakhir Kaum Adat di Luhak Tanah Datar yang berhasil bertahan terhadap serangan Kaum Padri. Kemudian Datuk Pamuncak yang waktu itu menyandang gelar Tuan Gadang di Batipuh, bekerja sama dengan Pemerintah Hindia-Belanda memerangi Kaum Padri. Setelah ditangkapnya Sultan Tangkal Alam Bagagar atas tuduhan pengkhianatan oleh Kolonel Elout, Datuk Pamuncak Tuan Gadang di Batipuh diangkat menjadi Regent oleh Belanda. Namun perubahan administrasi pemerintah Hindia-Belanda di Minangkabau serta ditolaknya permintaan Tuan Gadang untuk diakui sebagai raja di Minangkabau, mendorong rakyat Batipuh bersama Tuan Gadang pada tanggal 22 Februari 1841 melakukan perlawanan bersenjata terhadap pemerintah Hindia-Belanda yang dimulai dengan menyerang pos garnisun tentara Belanda yang berada di Padangpanjang. Pengaruh perlawanan rakyat Batipuh ini cepat menyebar ke kawasan lain, menebarkan huru-hara pada kawasan Fort de Kock dan Fort Van der Capellen, di mana beberapa pejabat Eropa dan pribumi terbunuh. Perlawanan rakyat ini juga tidak lepas dari penerapan cultuurstelsel di Minangkabau. Walau perlawanan ini dapat cepat diredam oleh Belanda, Tuan Gadang sendiri berhasil ditawan dan diasingkan ke Batavia.[7]

Setelah berakhirnya Pemberontakan Batipuh, kedudukan Tuan Gadang ini tidak lagi ada diisi oleh penghulu yang ada di Batipuh dan kemungkinan sistem pewarisan gelar tersebut diwariskan kepada pihak kemenakan sebagaimana halnya dalam sistem matrilineal yang dianut oleh masyarakat Minang.[8]

Rujukan

  1. ^ Amran, Rusli (1981). Sumatra Barat hingga Plakat Panjang. Penerbit Sinar Harapan. 
  2. ^ a b Radjab, Muhamad (1964). Perang Paderi di Sumatera Barat, 1803–1838. Balai Pustaka. 
  3. ^ Mustika adat alam Minangkabau. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Penerbitan Buku Bacaan dan Sastra Indonesia dan Daerah. 1979. 
  4. ^ Djaelani, Abdul Qadir (2004). Sejarah konfrontasi umat Islam dengan umat Kristiani dan sekularis di Indonesia. Yayasan Pengkajian Islam Madinah al-Munawwarah. ISBN 9799815525. 
  5. ^ de Jong, Josselin (1980). Minangkabau and Negri Sembilan: socio-political structure in Indonesia. AMS Press. ISBN 0404167322. 
  6. ^ Andaya, Leonard Y. (2008). Leaves of the Same Tree: Trade and Ethnicity in the Straits of Melaka (dalam bahasa Inggris). University of Hawaii Press. ISBN 0824831896. 
  7. ^ Dobbin, Christine E. (1992). Kebangkitan Islam dalam ekonomi petani yang sedang berubah: Sumatra Tengah, 1784–1847. Inis. ISBN 9798116127. 
  8. ^ Pamuncak, Chatib (1871). Asal Usul Tuan Gadang di Batipuh.  Naskah tersimpan di Perpustakaan Nasional RI di Jakarta.