Muhammad Nashiruddin Al-Albani

ulama Suriah-Albania

Abu Abdirrahman Muhammad Nashiruddin bin al-Haj Nuh al-Albani (Oktober 1914 (umur -86–-85)) adalah salah seorang ulama Islam di era modern yang dikenal sebagai ahli hadits. Ia dibesarkan di tengah keluarga yang tak berpunya lantaran ketekunan dan keseriusan mereka terhadap ilmu, khususnya ilmu agama dan ahli ilmu (ulama).[1] Ayah al-Albani, yaitu al-Haj Nuh, adalah lulusan lembaga pendidikan ilmu-ilmu syariat di ibu kota negara Turki Usmani (yang kini menjadi Istanbul). Ia wafat malam Sabtu, 21 Jumada Tsaniyah 1420 H, atau bertepatan dengan tanggal 1 Oktober 1999.

Muhammad Nashiruddin bin al-Haj Nuh al-Albani
Lahir1914
Meninggal1999
EraEra modern
KawasanUlama Islam
AliranAhlus Sunnah (Sunni)
Minat utama
Pemurnian syariat Islam sesuai ajaran Muhammad
Gagasan penting
Syaikh Al-Albani memegang teguh prinsip Ahlus Sunnah yang melarang untuk meyakini bahwa ada tuhan lain yang berhak disembah selain Allah (syirik) sebagai wujud konsekuensi kata "Laa ilaaha illallah", dan melarang adanya penambahan ibadah (bid'ah) selain daripada yang dituntunkan oleh Rasulullah sebagai wujud konsekuensi kata "Muhammad-Rasulullah"

Perjalanan menuntut ilmu

Saat raja Albania yaitu Ahmad Zugu (Zog dari Albania) naik tahta, ia mengadakan perombakan total sendi-sendi kehidupan masyarakat. Sehingga menjadi maraklah gelombang pengungsian orang-orang yang ingin menyelamatkan keluarganya, salah satu diantaranya adalah Keluarga Al-Hajj Nuh An-Najjati, seorang Ulama madzab Hanafi di Albania sekaligus ayah kandung dari Syaikh Muhammad Nashiruddin, yang mengungsi dari Albania ke Syiria.

Dikota Damaskus, mulailah Al-Albani kecil menunutut ilmu bahasa arab di madrasah Jum’iyyah Al-Is’aaf Al-Khairi. Di sana ia menyelesaikan pendidikan dasar pertama. Kemudian ia melanjutkan studi intensif kepada para ulama terkemuka disekitar kota itu. Ia menimba ilmu Al-Qur’an, tilawah, tajwid dan sekilas tentang fikih Hanafi kepada ayahnya dan menamatkan beberapa buku sharaf. Lalu ia mempelajari buku Maraaqi Al-falaah, beberapa buku hadits dan ilmu balaghah dari gurunya, Syaikh Sa’id Al-Burhaani, beliau juga belajar dari beberapa ulama besar Syiria, Imam Abdul Fattah, Syaikh Taufiq Al-Barzah, dan banyak ulama lain.

Al-Albani muda pada suatu hari melihat sebuah majalah Al-Manar disebuah toko buku dan ia pun tertarik dengan tajuk tulisan yang ditulis oleh Syaikh Rasyid Ridha tentang buku Al-‘Ihya karangan Al-Ghazzali yang berisi pembahasan ilmiyah berkenaan dengan kebaikan dan kekurangan buku tersebut berdasarkan penuturan Al Ghazzali sendiri dan ulama-ulama yang menelitinya. Ia mengikuti seluruh pembahasan ‘Ihyaa’ Uluumuddin hingga dari buku aslinya dan takhrij Al-Hafizh Al-Iraaqi, tanpa terasa dalam usahanya mengikuti pembahasan ini ia harus menelaah buku-buku bahasa Arab, Balaghah dan Gharib Hadits agar dapat memahami nash-nash yang dibaca disamping melakukan takhrij. Saat itulah awalnya ia berkonsentrasi memperdalam ilmu hadits. Walaupun ayahnya selalu memperingatkan seraya berkata: “Ilmu hadits adalah pekerjaan orang-orang pailit.”

Saat mendalami ilmu ini ia tidak sanggup membeli buku-buku yang dibutuhkan, sehingga ia sering mengunjungi perpustakaan Azh-Zhahiriyyah dan disitu ia bisa mendapati dan membaca buku-buku yang tidak mampu ia beli. Ia juga menjalin hubungan dengan pemilik toko buku terbesar di Damaskus sehingga memudahkannya untuk meminjam buku-buku yang diperlukan. Saat ada orang yang mau membelinya baru buku tersebut dikembalikan. Ia sering menghabiskan waktunya menyendiri di perpustakaan Azh-Zhahiriyyah selama berjam-jam, menelaah, menta’liq (mengomentari), mentahqiq (memeriksa) kecuali saat tiba waktu salat. Dan ia seringkali hanya menyantap makan ringan selama di perpustakaan. Oleh karena itu, pihak perpustakaan memberinya ruang khusus, dengan referensi induk untuk kepentingan ilmiah yang ia lakukan. Ia datang pagi hari sebelum petugas perpustakaan datang. Dan biasanya para pegawai perpustakaan sudah pulang ke rumah tengah hari dan tidak kembali lagi, namun Al-Albani tetap berada disana hingga waktu Isya’ tiba. Hal ini ia jalani selama bertahun-tahun.

Dalam kehidupannya, Al-Albani muda adalah seorang yang sangat miskin. Salah sumber mata pencahariannya sebelum menjadi guru adalah melalui reparasi jam yang mana kemampuan ini dia dapatkan dari ayahnya. Hal ini dikarenakan sebagian besar perhatiannya tercurah pada ilmu. Ia menceritakan bahwasanya ia sering mengambil sobekan-sobekan kertas dari jalan (biasanya berupa kartu undangan pernikahan) yang kemudian akan digunakannya untuk menulis catatannya, karena kemampuannya dalam harta sangatlah minim. Seringkali, ia membeli potongan-potongan kertas dari tempat pembuangan (dengan cara ini ia bisa membeli kertas dengan harga murah dalam jumlah banyak) dan membawanya ke rumah untuk dipakai.

Suatu hari di perpustakaan Zhahirriyyah, selembar kertas hilang dari manuskrip yang digunakan Syaikh Al-Albani. Kejadian ini menjadikannya mencurahkan seluruh perhatian untuk membuat katalog seluruh manuskrip hadits di perpustakaan agar folio yang hilang tersebut bisa ditemukan. Karenanya, ia mendapatkan banyak ilmu dari ribuan manuskrip hadits, sesuatu yang telah dibuktikan beberapa tahun kemudian oleh DR. Muhammad Mustafa A’dhami pada pendahuluan “Studi Literatur Hadits Awal”, dimana DR. Muhammad Mustafa A'dhami mengatakan, “Saya mengucapkan terimakasih kepada Syaikh Nashiruddin Al-Albani, yang telah menempatkan keluasan ilmunya pada manuskrip-manuskrip langka dalam tugas akhir saya”.

Syaikh Al-Albani rutin mengisi sejumlah jadwal kajian yang dihadiri para penuntut ilmu dan dosen-dosen untuk membahas kitab-kitab. Berkat taufiq Allah kemudian kerja kerasnya, maka munculah karya-karya ilmiah dalam masalah hadits, fiqih, aqidah dan lainnya yang menunjukkan betapa luar biasanya limpahan karunia ilmu yang dicurahkan Allah kepadanya berupa pemahaman yang murni, kefahaman pada berbagai macam cabang ilmu agama, serta penelitian yang spektakuler dalam ilmu hadits dan ilmu jarh wa ta’dil. Disamping metodologi ilmiahnya yang benar-benar murni, yang mendudukkan Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai hakim standar dalam menimbang segala sesuatu dalam hal agama, dibimbing dengan pemahaman Salafus Shalih (pemahaman para Shahabat dan para Imam Tabi'in & Tabi'in Tabi'ut) dalam menafsirkan Al-Qur'an & mensyarah Hadits, serta metode mereka dalam tafaqqud fid dien (mendalami agama) dan dalam istimbath hukum. Semua itu membuatnya menjadi tokoh yang memiliki reputasi yang baik dan sebagai rujukan alim ulama penegak tauhid & sunnah.

Al-Albani senantiasa berkorespondensi dengan banyak ulama, terutama yang berasal dari India, Pakistan dan negara-negara lain, mendiskusikan hal-hal yang berhubungan dengan hadits dan agama pada umumnya, termasuk dengan Syaikh Muhammad Zamzami dari Maroko dan ‘Ubaidullah Rahman, pengarang Mirqah al-Mafatih Syarh Musykilah al-Mashabih.

Syaikh Al-Albani pernah bertemu dengan salah satu ulama hadits abad 20, Syaikh Ahmad Syakir dan ia pun ikut berpartisipasi dalam diskusi dan penelitian mengenai hadits. Ia juga bertemu dengan ulama hadits terkemuka asal India, Syaikh Abdus Shamad Syarafuddin, yang telah menjelaskan hadits dari jilid pertama kitab Sunan Al-Kubra karya Imam An-Nasai, kemudian juga karya Imam Al-Mizzi yang monumental yaitu Tuhfat al-Asyraf, yang selanjutnya mereka berdua saling berkirim surat tentang ilmu. Dalam salah satu surat, Syaikh Abdus Shamad menunjukkan keyakinan beliau bahwa Syaikh Al-Albani adalah ulama hadits terbesar saat ini.

Selama hidupnya, Syaikh Al-Albani telah banyak meneliti dan men-ta’liq lebih dari 30.000 silsilah perawi hadits (isnaad) pada hadits-hadits yang sudah tak terhitung jumlahnya, dan menghabiskan waktu enam puluh tahun untuk belajar buku-buku hadits, sehingga buku-buku tersebut menjadi sahabat sekaligus berhubungan dengan ulama-ulamanya (pengarang kitab-kitab Sunnah tersebut, pent).

Syaikh Al-Albani wafat pada waktu ashar hari sabtu tanggal 22 Jumadil Akhir, tahun 1420 H di yordania. Penyelenggaraan jenazahnya dilakukan secara sederhana dan dihadiri ribuan orang, mulai dari masyarakat hingga pejabat, bahkan para penuntut ilmu, murid-muridnya, maupun simpatisannya. Jenazahnya dimakamkan di perkuburan sederhana dipinggir jalan sesuai yang ia harapkan. Ia juga berwasiat agar isi perpustakaannya, baik yang sudah dicetak, difotokopi atau masih tertulis dengan tulisannya atau tulisan selainnya agar diberikan kepada perpustakaan Al-jami’ah A-Islamiyah Al-Madinah Al-Munawwarah. Karena ia memiliki kenangan manis di sana dalam berdakwah kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah di atas manhaj Salafus Shalih, saat menjadi tenaga pengajar disana.

Perkataan ulama tentang Al-Albani :

1. Syaikh Muhammad bin Ibrahim aalisy Syaikh berkata: “Ia adalah ulama ahli sunnah yang senantiasa membela Al-Haq dan menyerang ahli kebatilan.”

2. Syaikh Abdul Aziz bin Baz berkata: “Aku belum pernah melihat di kolong langit pada saat ini orang yang alim dalam ilmu hadits seperti Al-Allamah Muhammad Nashiruddin Al-Albani.” Saat ditanya tentang hadits Rasulullah shallahu’alaihi wasallam, “Sesungguhnya Allah akan membangkitkan dari umat ini setiap awal seratus tahun seorang mujaddid yang akan mengembalikan kemurnian agama ini.” Ia ditanya siapakah mujaddid abad ini, ia menjawab, “Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, ialah mujaddid abad ini dalam pandanganku, wallahu’alam.”

3. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin berkata: “Ia adalah alim yang memilki ilmu yang sangat luas dalam bidang hadits baik dari sisi riwayat maupun dirayat, seorang ulama yang memilki penelitian yang dalam dan hujjah yang kuat.”

Cobaan di penjara

Dalam menegakkan dakwah tauhid diatas landasan manhaj "Salafus Shalih" (pendahulu orang-orang sholeh (Rasulullah & para Shahabatnya)), Syaikh Albani mengalami banyak cobaan. Ia sering menghadapi penentangan yang keras dari orang-orang ekstrimis (khawarij), bahkan juga dari ulama-ulama madzhab yang fanatik, guru-guru sufi, kaum khurafat, dan para liberalis yang menjulukinya sebagai wahabi sesat, bahkan banyak diantaranya yang menebarkan fitnah dan tuduhan-tuduhan tak berhujjah kepada Al-Albani.

Dikalangan khawarij, Al-Albani dituduh sebagai orang munafik yang tak keras terhadap orang-orang kafir dan pelaku maksiat serta dosa besar. Sedangkan dikalangan kaum sufi & liberalis, Al-Albani dituduh sebagai orang khawarij yang gemar mengkafirkan serta memvonis sesat. Selain itu, ada juga sebagian orang yang menuduh bahwasanya Al-Albani telah belajar ilmu agama mutlak secara otodidak tanpa guru maupun sanad, bahkan sempat terbit buku yang berisi biografi palsu tentang Al-Albani yang berisi tuduhan-tuduhan dari beberapa orang yang membencinya dengan tujuan menjatuhkan reputasi keilmuan Al-Albani dimata orang-orang yang sedang semangat belajar padanya.

Dalam merespon tuduhan yang mengatakan bahwa Al-Albani mudah mengkafirkan dan memvonis sesat ini, Al-Albani sempat menulis kitab "Fitnatut Takfiir" yang berisi tentang prinsip-prinsip Ahlussunnah dalam masalah kufur dan takfir (pengkafiran) untuk membersihkan stigma dalam masyarakat awam bahwa dakwah tauhid itu adalah dakwah para ekstrimis yang brutal. Dengan poin-poinnya sebagai berikut:

  1. Masalah pengkafiran adalah hukum syar’i dan tempat kembalinya kepada Allah Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
  2. Barangsiapa yang tetap keislamannya secara meyakinkan, maka keislaman itu tidak bisa lenyap darinya, kecuali dengan sebab yang meyakinkan pula.
  3. Tidak setiap ucapan dan perbuatan (yang disifatkan nash sebagai kekufuran) merupakan kekafiran yang besar (kufur akbar) yang mengeluarkan seseorang dari agama, karena sesungguhnya kekafiran itu ada dua macam, yaitu: kekafiran kecil (asghar) dan kekafiran besar (akbar). Maka, hukum atas ucapan-ucapan maupun perbuatan-perbuatan ini, sesungguhnya berlaku menurut ketentuan metode para ulama Ahlus Sunnah dan hukum-hukum yang mereka sepakati.
  4. Tidak boleh menjatuhkan hukum kafir kepada seorang muslim, kecuali telah ada petunjuk yang jelas, terang dan mantap dari al-Qur‘an dan as-Sunnah atas kekufurannya. Maka, dalam permasalahan ini, tidak cukup hanya dengan syubhat dan zhan (persangkaan) atau tuduhan saja.

Namun meski begitu, kebencian dikalangan sebagian orang itu sudah mendarah daging sehingga fitnah itu tetap menyebar sekalipun sudah jelas tak terbukti bahkan jelas-jelas berlawanan dengan prinsip dakwah Al-Albani. Hingga pada puncaknya Al-Albani pun dipenjara karena fitnah dari orang-orang yang memusuhi dakwahnya, namun setelah 6 bulan dipenjara pada akhirnya Al-Albani dibebaskan karena terbukti bersih dari segala macam tuduhan. Sebelumnya ia pun pernah dipenjara selama 2 bulan pada tahun 1967 dengan sebab yang sama. Walaupun banyak orang memusuhinya, namun banyak juga ulama-ulama dan kaum pelajar yang simpati terhadap dakwahnya sehingga dalam majelisnya selalu dipenuhi oleh para penuntut ilmu yang haus akan kajian ilmu yang sesuai dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah, karena ia termasuk ulama penegak dakwah tauhid & sunnah.

Beberapa tugas yang pernah diemban

Keahliannya dalam bidang Hadits diakui oleh banyak ulama hadits yang lain, baik masa lalu maupun sekarang, termasuk DR. Amin Al-Mishri, kepala Studi Islam di Universitas Madinah yang juga termasuk salah satu murid Syaikh Al-Albani, juga Dr. Syubhi Ash-Shalah, mantan kepala bidang Ilmu Hadits di Universitas Damaskus, DR. Ahmad Al-Asal, kepala Studi Islam di Universitas Riyadh, Ulama Hadits Pakistan sekarang, ‘Allamah Badi’uddien Syah As-Sindi; Syaikh Muhammad Thayyib Awkij, mantan kepala Ilmu Tasfir dan Hadits dari Universitas Ankara di Turki; belum lagi pengakuan dari Ulama Kibar dari Saudi Arabia, Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz, Syaikh Muhammad bin Shalih ‘Utsaimin, Syaikh Muqbil bin Hadi, dan banyak lagi yang lain pada masa berikutnya.

Sebagai pengakuan ulama Arab terhadap keilmuannya mengenai hadits, pihak Al-jami’ah Al-Islamiyyah (Universitas Islam Madinah) di Madinah Al-munawwarah memilihnya sebagai pengajar materi hadits, ilmu dan fiqih hadits di perguruan tinggi tersebut. Ia bertugas selama 3 tahun dari 1381 H sampai 1383 H. Pada tahun 1395 H sampai 1397 H pengurus Al-Jami’ah mengangkatnya sebagai salah satu anggota majelis tinggi Al-Jami’ah. Saat berada disana ia menjadi tokoh panutan dalam kesungguhan dan keikhlasan. Ketika jam istirahat tiba dimana dosen-dosen lain menimati hidangan teh dan kurma, ia lebih asyik duduk-duduk di pasir bersama murid-muridnya untuk memberi pelajaran tambahan. Hubungannya dengan murid adalah hubungan persahabatan, bukan semata hubungan guru-murid saja. Ia juga pernah diminta oleh Menteri Penerangan Kerajaan Arab Saudi untuk menangani jurusan hadits pada pendidikan S2 di Al-Jami’ah Makkah Al-Mukarramah pada tahun 1388 H, namun karena beberapa hal keinginan tersebut tidak tercapai. Atas jasanya berkhidmat untuk As-Sunnah An-Nabawiyah, ia mendapatkan sebuah penghargaan dari kerajaan Arab Saudi berupa Piagam King Faisal pada tanggal 14 Dzulqa’idah 1419 H.

Setelah menganalisa Hadits-hadits pada kitab Shahih Ibnu Khuzaimah, seorang ulama hadits India, Syaikh Muhammad Musthofa A’dhami (kepala Ilmu Hadits di Makkah), memilih Syaikh Al-Albani untuk memeriksa dan mengoreksi kembali analisanya, dan pekerjaan tersebut telah diterbitkan empat jilid lengkap dengan ta’liq (catatan) dari keduanya. Ini adalah tazkiyah dari ulama yang lain atas keilmuan hadits Syaikh Al-Albani.

Pada edisi dari himpunan Hadits terkenal, Misykah al-Mashabih, penerbit Maktabah Islamy meminta Syaikh Al-Albani untuk memeriksa pekerjaan mereka sebelum diterbitkan. Pihak penerbit telah menulis pada bagian pendahuluan, ”Kami meminta kepada ulama hadits, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, untuk membantu kami dalam memeriksa Misykat dan bertanggung jawab untuk memberi tambahan hadits-hadits yang diperlukan dan meneliti serta memeriksa kembali sumber-sumber dan keasliannya pada tempat-tempat yang diperlukan, dan membetulkan kesalahan-kesalahan…”.

Karya

Hasil karya Syaikh yang telah dicetak, terutama pada bidang hadits dan ilmu perangkatnya (seperti ilmu Mustholah Hadits, Jarh wa Ta’dil, Rijalul Hadits, dll) berjumlah sekitar 112 buku. Tujuh belas diantaranya sebanyak 45 jilid. Ia meninggalkan manuskrip minimal tujuh puluh buah.

Beberapa diantaranya yang telah diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia adalah:

  1. Adabuz Zifaaf fis Sunnah Muthaharrah
  2. Ahkaamul Janaaiz
  3. Irwaaul Ghalil fi Takhrij Ahaadits Manaaris Sabiil
  4. Tamaamul Minnah fi Ta’liq ‘Alaa Fiqh Sunnah
  5. Silsilah Ahaadits Ash-Shahihah wa syai-un min fiqiha wa fawaa-iduha
  6. Silsilah Ahaadits Adh-Dhaifah wal Maudhuu’ah wa Atsaaruha As-Sayyi’ fil Ummah
  7. Shifat salat Nabi shallahu’alaihi wasallam minat Takbiir ilat Taslim kaannaka taraaha
  8. Shahih At-Targhib wat Tarhiib
  9. Dha’if At-Targhib wat Tarhiib
  10. Fitnatut Takfiir
  11. Jilbaab Al-Mar’atul muslimah
  12. Qishshshah Al-Masiih Ad-Dajjal wa Nuzuul Isa ‘alaihis sallam wa qatluhu iyyahu fi akhiriz Zaman.

Selain itu murid-muridnya juga memiliki kaset hasil rekaman ceramahnya, bantahan terhadap berbagai syubhat dan jawaban terhadap berbagai masalah yang bermanfaat.

Telah terekam suatu kejadian (dan kejadian ini terdapat pada dua kaset – murid-murid beliau sering merekam pelajaran beliau), bahwa seorang laki-laki telah mengunjungi Syaikh Al-Albani di rumahnya di Yordania dan menyatakan bahwa dirinya adalah seorang Nabi, Syaikh Al-Albani meminta lelaki itu duduk dan mendiskusikan pernyataannya tersebut dalam waktu yang lama, sehingga pada akhirnya, si tamu tersebut bertaubat dari klaimnya itu, si tamu pun kemudian menangis, dan semua yang hadir termasuk Syaikh Al-Albani pun turut menangis. Pada kenyataannya, Syaikh Al-Albani adalah salah satu ulama yang paling sering terlihat menangis ketika berbicara mengenai Allah, Rasul-Nya, dan muamalah antar Muslim.

Pada kejadian yang lain, Al-Albani dikunjungi tiga orang yang kesemuanya menuduhnya kafir. Ketika waktu sholat tiba, mereka menolak untuk bermakmum kepada Syaikh, mereka mengatakan bahwasanya tidak mungkin bagi seorang kafir menjadi Imam Sholat. Syaikh menerima hal ini, dan mengatakan bahwa menurut pandangannya, ketiga orang ini adalah Muslim, sehingga salah satu dari mereka berhak menjadi Imam Sholat. Tak lama kemudian, mereka bertiga berdiskusi lama sekali, bahkan mereka bertiga sempat beberapa lama berdebat mengenai perbedaan diantara mereka sendiri didepan Syaikh Al-Albani, dan ketika waktu sholat berikutnya telah tiba, tiba-tiba ketiga laki-laki ini mendesak untuk ikut sholat di belakang Syaikh Al-Albani sebagai makmum.

Pendidikan

Ketika Raja Ahmet Zogu naik tahta di Albania dan mengubah sistem pemerintahan menjadi pemerintah sekuler, Syeikh Nuh amat mengkhawatirkan dirinya dan diri keluarganya. Akhirnya, ia memutuskan untuk berhijrah ke Syam (Suriah, Yordania dan Lebanon sekarang). Ia sekeluarga pun menuju Damaskus.

Setiba di Damaskus, Al-Albani kecil mulai aktif mempelajari bahasa Arab. Ia masuk madrasah yang dikelola Jum'iyah al-Is'af al-Khairiyah hingga kelas terakhir tingkat Ibtida'iyah. Selanjutnya, ia meneruskan belajarnya langsung kepada para syeikh ulama. Ia mempelajari al-Qur'an dari ayahnya sampai selesai, selain mempelajari pula sebagian fiqih madzhab, yakni madzhab Hanafi, dari ayahnya.

Al-Albani juga mempelajari ketrampilan memperbaiki jam dari ayahnya sampai mahir betul, sehingga ia menjadi seorang ahli yang mahsyur. Ketrampilan ini kemudian menjadi salah satu mata pencariannya.

Pada umur dua puluh tahun, al-Albani mulai mengonsentrasikan diri pada ilmu hadits lantaran terkesan dengan pembahasan-pembahasan yang ada dalam majalah ''al-Manar'', sebuah majalah yang diterbitkan oleh Syeikh Muhammad Rasyid Ridha. Kegiatan pertama di bidang ini ialah menyalin sebuah kitab berjudul al-Mughni 'an Hamli al-Asfar fi Takhrij ma fi al-Ishabah min al-Akhbar, sebuah kitab karya al-Iraqi, berupa takhrij terhadap hadits-hadits yang terdapat pada Ihya' Ulumuddin karangan Imam Al-Ghazali. Kegiatan Al-Albani dalam bidang hadits ini ditentang oleh ayahnya yang berkomentar, "Sesungguhnya ilmu hadits adalah pekerjaan orang-orang pailit."

Namun, Al-Albani justru semakin menekuni dunia hadits. Pada perkembangan berikutnya, Syeikh al-Albani tidak memiliki cukup uang untuk membeli kitab. Karenanya, ia memanfaatkan Perpustakaan azh-Zhahiriyah di sana (Damaskus), di samping juga meminjam buku dari beberapa perpustakaan khusus. Karena sibuknya, ia sampai-sampai menutup kios reparasi jamnya. Ia tidak pernah beristirahat menelaah kitab-kitab hadits, kecuali jika waktu salat tiba.

Akhirnya, kepala kantor perpustakaan memberikan sebuah ruangan khusus di perpustakaan untuknya. Bahkan kemudian ia diberi wewenang untuk membawa kunci perpustakaan. Dengan demikian, ia menjadi leluasa dan terbiasa datang sebelum pengunjung lain datang. Begitu pula, ketika orang lain pulang pada waktu salat dhuhur, ia justru pulang setelah salat isya. Hal ini dijalaninya sampai bertahun-tahun.

Pranala luar

Situs-situs berikut menyediakan unduhan kitab-kitab karya Syaikh al-Albani:

Catatan

troid.org (Penerjemah: Webmaster Jilbab Online (2003) | Muroja’ah: Abu Hudzaifah)