Ken Arok
Ken Arok atau sering pula ditulis Ken Angrok (lahir di Jawa Timur pada tahun 1182, wafat di Jawa Timur pada tahun 1247 atau 1227), adalah pendiri Kerajaan Tumapel (yang kemudian terkenal dengan nama Singhasari). Ia memerintah sebagai raja pertama bergelar Rajasa pada tahun 1222 - 1227 (atau 1247).
Asal usul
Ken Arok adalah dikisahkan sebagai putra Dewa Brahma dengan seorang wanita desa Pangkur (Jiwut-Nglegok-Blitar) bernama Ken Ndok. Oleh ibunya, bayi Ken Arok dibuang di sebuah pemakaman, hingga kemudian ditemukan dan diasuh oleh seorang pencuri bernama Lembong.
Ken Arok tumbuh menjadi berandalan yang lihai mencuri dan gemar berjudi, sehingga membebani Lembong dengan banyak hutang. Lembong pun mengusirnya. Ia kemudian diasuh oleh Bango Samparan, seorang penjudi pula yang menganggapnya sebagai pembawa keberuntungan.
Ken Arok tidak betah hidup menjadi anak angkat Genukbuntu, istri tua Bango Samparan dari Desa Karuman (Garum-Blitar). Ia kemudian bersahabat dengan Tita, anak kepala desa Siganggeng (Senggreng-Malang). Keduanya pun menjadi pasangan perampok yang ditakuti di seluruh kawasan Kerajaan Kadiri.
Akhirnya, Ken Arok bertemu seorang brahmana dari India bernama Lohgawe, yang datang ke tanah Jawa mencari titisan Wisnu. Dari ciri-ciri yang ditemukan, Lohgawe yakin kalau Ken Arok adalah orang yang dicarinya.
Siapakah sebenarnya Ken Arok itu? Berdasarkan penelusuran lisan dan cerita masyarakat diketahui bahwa Ken Arok adalah putra Ken Endok. Ken Endok adalah gadis dari dusun Pangkur dekat Jiput (sekarang Jiwut)-Nglegok-Blitar yang menikah dengan Gajah Para dari Campara (sekarang Bacem)–Lodoyo-Blitar. Sepasang suami-istri ini adalah petani kaya yang menggarap sawah di Ayuga (sekarang Njegu)-Lodoyo-Blitar. Sebelum Ken Arok lahir, Gajah Para telah meninggal dunia. Masa kecilnya, Ken Arok dibuang oleh ibunya ke kuburan, kemudian ditemukan dan diasuh oleh perampok bernama Lembong dari Jiput (sekarang Jiwut)-Nglegok-Blitar Utara. Ken Arok dikenal sebagai pemuda nakal, suka berjudi menghabiskan harta orang tuanya, tetapi ia juga belajar baca-tulis, membuat perhiasan, dan belajar ilmu agama. Dalam masa pertumbuhannya ia berkelana dan pernah diasuh oleh (a) Lembong seorang perampok dari Jiwut-Nglegok-Blitar, (b) Bango Samparan seorang penjudi dari Karuman (sekarang Garum)-Blitar, (c) Tuan Sahaya seorang guru baca-tulis, ilmu hari, penanggalan, dan ilmu sastra dari dukuh Kapundhungan-Sagenggeng (sekarang Senggreng-Pakisaji)-Malang, (d) Empu Palot, seorang tukang perhiasan dari Turyantapada (sekarang Turen)-Malang, dan (e) Dang Hyang Lohgawe seorang brahmana dari Talloka-Timur Gunung Kawi (sekarang Talok-Turen-Malang), yang mengikuti Ken Arok merantau ke Tumapel-Singasari-Malang untuk mengabdi kepada Akuwu (setingkat bupati) Tunggul Ametung. Sebagai bukti bahwa Ken Arok berasal dari Jiwut-Nglegok-Blitar, berikut ini temuan Ferry Riyandika (2011) tentang petilasan Ken Arok yang masih dikenali oleh masyarakat Nglegok-Blitar.
Dalam kisah Kitab Pararaton disebutkan bahwa nama Jiput merupakan sebuah desa tempat lahirnya pemuda yang bersedia menjadi korban untuk pintu gerbang asrama Mpu Tapawangkeng di Bulalak agar dijelmakan ke timur Kawi yang selanjutnya akan menurunkan anak bernama Ken Angrok (Padmapuspita, 1966: 47). Dimanakah letak Desa Djiput? Alih-alih, di daerah Blitar terdapat sebuah petilasan Ken Arok. Pada bulan November tahun 2009 akhirnya saya meluncur dan mencari keletakan petilasan tersebut. Tidak susah untuk mendapatkannya,ternyata petilasan tersebut kini berada di Desa Jiwut, Kecamatan Nglegok, Kabupaten Blitar. Nama Desa Jiwut (Djiwut) tidak menutup kemungkinan dahulu bernama Djiput. Menurut penuturan warga setempat masih percaya bahwa Desa Jiwut merupakan tempat petilasan dari seorang tokoh yang bernama Ken Angrok. Khususnya di Dusun Lumbung, Desa Jiwut pernah terdapat beberapa tinggal-tinggalan arkeologis berupa makara, jaladwara dan batu andesit yang berbentuk seperti piramida (Knebel, 1908: 75-76).
Menurut penuturan warga setempat yang terletak di dusun tersebut bahwa dahulu diyakini sebagai tempat bekas petilasan Ken Angrok dan memberitahukan dahulu terdapat tumpukan balok batu bata kuno besar-besar di tempat bekas petilasan tersebut namun sayang sekali keberadaanya sekarang sudah hancur dan beralih menjadi tempat ladang penduduk, sedangkan sisa batu batanya hancur karena termakan usia dan karena hujan.
Di pemakaman umum Dusun Klampok yang berbatasan langsung dengan Dusun Lumbung ditemukan tinggalan-tinggalan berupa beberapa balok batu bata kuno, umpak dan beberapa lumpang yang berserakan di pinggir pemakaman hingga di parit luar pemakaman. Menurut penuturan warga Dusun Klampok bahwa sejak dari dahulu lumpang tersebut sengaja di taruh atau dibuang di pemakaman guna untuk menghindari dari alamat tidak baik bila memiliki keturunan yang banyak. Selain itu juga sebuah pelipit arca pecahan dari Prasasti Kinwu yang dituliskan di balik arca Ganesha keberadaanya telah ditemukan kembali di Dusun Klampok, Desa Jiwut (Suhadi, e.a, 1996: 30).
Nama Mpu Tapawangkeng juga disebut dalam Kitab Tantu Panggelaran. Diberitakan bahwa Mpu Tapawengkeng bersama kedua mpu lainnya yaitu Mpu Tapapelet dan Mpu Barang sedang membuat, mengukir patung dari emas dengan rupa seperti Bhatara Wisnu. Setelah selesai membuat benda tersebut, raja dari Daha yaitu Maharaja Taki menginginkan benda tersebut. Akhirnya ketiga mpu ini diundang di Daha dan menyerahkan benda tersebut kepada sang prabu (Piqeaud, 1924: 116-117). Jadi Mpu Tapawengkeng merupakan salah satu pejabat terhormat di Daha.
Dalam uraian Tantu Panggelaran disebutkan bahwa Permaisuri Maharaja Taki di Daha sedang mengandung, pada saat itu juga diberitakan bahwa Sang Hyang Ciwahaditya memiliki hutang laksa kepada Raja Taki, namun pada saat ditagih hutang sang Hyang Ciwahaditya marah dan memberi perak kepada raja, hal ini diketahui oleh permaisurinya. Akhirnya pada saat melahirkan keluarlah anak yang berwujud sapi yang berwarna "Bulalak" (perak). Permaisuri akhirnya ditendang oleh sang prabhu. Anaknya yang berwujud Sapi tersebut meninggalkan Daha bersama Samget Bhaganjing. Bhatari Cri bersumbah bahwa akan ada seorang ratu wanita yang akan menguasai seluruh Nusa Jawa dan di Daha (Piqeaud, 1924: 118-119).
Pada uraian selanjutnya disebutkan bahwa anak yang berwujud sapi tersebut mengembara hingga ke Mandala Bhulalak tempat Mpu Tapawangkeng yang letaknya jauh dari Daha. Adapun alasan pergi ke Mandala Bhulalak adalah untuk berobat (Piqeaud, 1924: 121-122). Apabila uraian dari Kitab Tantu Panggelaran kita sejajarkan dengan Kitab Pararaton hasilnya memiliki kesamaan, yaitu: 1. Nama Mandala Bhulalak tempat Mpu Tapawangkeng dalam Kitab Tantu Panggelaran letaknya sama dengan apa yang diberitakan oleh Kitab Pararaton. 2. Makna dari pengorbanan seorang pemuda dalam Kitab Pararaton memiliki persamaan dengan uraian dalam Kitab Tantu Panggelaran bahwa anak yang berwujud sapi pergi ke Mandala Bhulalak bertujuan untuk berobat dalam arti adalah "Ruwatan". 3. Diberitakan dalam uraian Kitab Pararaton bahwa pemuda tersebut memiliki tingkah laku tidak baik dan memutuskan tali kekang kesusilaan, dan menjadi gangguan Hyang yang gaib (Padmapuspita, 1966: 47) memiliki persamaan arti dari uraian Kitab Tantu Panggelaran dengan anak yang berwujud hewan (sapi). 4. Diberitakan bahwa anak yang berwujud sapi tersebut diusir dari Daha oleh ayahnya sama halnya dengan Pemuda yang memiliki ibu saja hal ini bisa "janda". 5. Dalam Kitab Tantu Panggelaran perjalanannya Anak berwujud sapi tersebut menjurus ke timur hingga sampai di Mandala Kawi, setelah itu kebarat menuju ke Mandala Dupaka dan berakhir di Mandala Bhulalak (Piqeaud, 1924: 121). Dalam uraian “Kitab Pararaton” diberitakan bahwa sebelum menuju Bhulalak, Pemuda tersebut berada dari Djiput (Djiwut) yang hingga sekarang masih tersisa tinggalannya. Jadi Mandala Bhulalak tempatnya harus dicari di sebelah barat Kawi. 6. Dalam Kitab Pararaton dijelaskan bahwa Ken dedes akan menurunkan raja-raja Jawa hal ini sama dengan apa yang diberitakan dalam Kitab Tantu Panggelaran tentang kutukan Bhatari Sri akan adanya ratu yang menguasai Nusa Jawa dan Daha.
Dari persamaan uraian dari kedua Kitab karya sastra tersebut maka pengorbanan yang dimaksudkan dalam Pararaton adalah ruwatan atau pengobatan yang diberitakan dalam Tantu Panggelaran. Selanjutnya Pararaton menyebutkan bahwa Pemuda tersebut menjelma menjadi seorang tokoh yang bernama Ken Arok di Timur Kawi. Dari uraian di atas kiranya kita berpikir sejenak dari mana asal Ken Arok? Dari gambaran di atas bahwa dia berasal dari Daha yang mengungsi ke Barat Kawi dan menjadi besar atau raja di Timur Kawi. Jadi, Ken Arok adalah anak dari penguasa di Daha. Dari Petilasan Ken Arok inilah kita mengetahui siapa Ken Arok, namun kini asal Ken Arok nasibnya tinggal kenangan tanpa ada perawatan dan terlupakan oleh sang waktu.
Berdasarkan bukti petilasan, cerita lisan masyarakat Jiwut, kitab Pararaton, dan kitab Tantu Pagelaran, dapat diambil penafsiran bahwa: (1) Ken Arok adalah anak Gajah Para, seorang Penguasa Daerah Campara (Bacem)-Lodoyo-Blitar. Ibunya, Ken Endok, direbut Raja Kediri. Saat itu Ken Endok adalah temanten baru yang telah menikah dengan Gajah Para, lelaki dari Desa Campara (Bacem)-Lodoyo-Blitar, temanten baru selama 40 hari. Dengan demikian analisis yang menyatakan bahwa Ken Endok diperkosa Tunggul Ametung, “perlu dipertanyakan ulang”. Pemerkosaan oleh Tunggul Ametung tidak logis karena Tunggul Ametung tidak mungkin berburu di hutan sekitar Blitar karena waktu itu Blitar menjadi wilayah kerajaan Daha (Kediri), dan Tumapel menjadi wilayah Kerajaan Jenggala, dua kerajaan yang sedang bermusuhan (walaupun bersaudara kandung sama-sama keturunan Airlangga).
Ken Arok adalah anak raja Kediri hasil hubungan dengan Ken Endok putri dari dusun Pangkur Kelurahan Jiwut Kecamatan Nglegok kabupaten Blitar yang tidak disetujui oleh permaisuri. Saat itu hutan Jiwut-Blitar di Gunung Kelud lereng selatan merupakan wilayah kerajaan Kediri. Saat hubungan-cinta-paksa dengan raja Daha (Sri Kameswara), Ken Endhok telah bersuami (temanten baru) dengan Gajah Para. Gajah Para adalah seorang pemimpin bawahan kerajaan Jenggala setara dengan wedana (“Gajah”) di Campara, sehingga terkenal dengan sebutan Gajah Para, yang sekarang ini tepatnya di wilayah Bacem-Lodoyo-Blitar. Dengan demikian, sebenarnya Ken Arok adalah anak laki-laki yang sah antara Gajah Para dan Ken Endhok. Beberapa hari setelah Ken Endhok “dikumpuli” Kameswara, Gajah Para meninggal dunia, tanpa ada penjelasan karena sakit atau kena apa, sehingga misterius. Sejumlah analisis yang mengatakan bahwa Ken Arok itu dari Malang, adalah runutan sejarah yang belum tuntas. Pada saat itu nama “Malang” belum dipakai, yang ada adalah nama Tumapel atau Singasari. Dengan demikian, Ken Arok bukanlah rakyat biasa tetapi keturunan raja atau anak bangsawan Jenggala (Gajah Para) dengan seorang putri keluarga brahmana di dusun Pangkur Desa Jiwut-Nglegok-Blitar (sebelah selatan Candi Penataran), yang situsnya masih bisa ditemukan dan masyarakat Jiwut masih melestarikannya lewat tradisi lisan.
Runtuhnya kekuasaan Jawa seperti lazimnya, bersumber dari masalah internal keluarga, seperti yang dialami kerajaan Kediri, Kertajaya dibunuh saudaranya lain ibu, yakni Ken Arok saat peperangan di Ganter (Gentor)-Ponggok-Blitar. Tempat peperangan itu diabadikan sebagai makam Ken Arok sebagai penganut Hindu-Syiwa di dukuh Genengan-Kalicilik-desa Candirejo-Ponggok-Blitar. Menurut penelitian para ahli, makam itu pernah diperbaiki oleh Raja Hayam Wuruk era Majapahit.
Menurut cerita Bapak Turmudzi di candi kecil yang di pinggir sungai dahulu pernah ditemukan sejumlah perhiasan emas cukup banyak dan beragam. Ada perhiasan lelaki ada perhiasan untuk perempuan mencapai satu “capil” (tutup kepala dari bambu dianyam). Perhiasan itu sepertinya milik keluarga raja. Oleh penemunya dijual dan pemerintah terlambat menyelamatkan barang bersejarah tersebut. Bapak Turmudzi menuturkan “emas niku rodok awon, karatipun endek, rupane kuning pucet” (emas itu agak jelek, karatnya rendah soalnya warnanya kuning pucat).
Perhiasan itu kemungkinan besar milik keluarga Raja Kertajaya. Seperti diceritakan masyarakat saat terjadi peperangan dengan Ken Arok, Kertajaya terdesak. Untuk menghindari kejaran tentara Ken Arok, Kertajaya melepas semua atribut/perhiasan keluarga raja dan ditanam di sekitar candi, kemudian berpura-pura sebagai masyarakat biasa yang sedang berdoa di candi kecil pinggir sungai kecil (kali cilik). Akan tetapi penyamaran itu sudah diketahui Ken Arok, maka dibunuhlah Kertajaya dan keluarganya di candi itu. Saat itu tentara Singasari dan Kediri sedang bertempur di desa Ganter (sekarang berubah nama menjadi Gentor). Dari peristiwa ini bisa dipahami bahwa pembangunan Candi Kalicilik ini selain sebagai candi pendarmaan dan penyimpanan abu Ken Arok, juga sebagai prasasti kemenangan Ken Arok sebagai penganut Syiwa dalam memusnahkan kejahatan. Daerah Kalicilik ini relatif dekat dengan desa Jiwut, desa kelahiran Ken Arok (Sukatman, 2012).
Merebut Tumapel
Tumapel merupakan salah satu daerah bawahan Kerajaan Kadiri. Yang menjadi akuwu (setara camat zaman sekarang) Tumapel saat itu bernama Tunggul Ametung. Atas bantuan Lohgawe, Ken Arok dapat diterima bekerja sebagai pengawal Tunggul Ametung.
Ken Arok kemudian tertarik pada Ken Dedes istri Tunggul Ametung yang cantik. Apalagi Lohgawe juga meramalkan kalau Ken Dedes akan menurunkan raja-raja tanah Jawa. Hal itu semakin membuat Ken Arok berhasrat untuk merebut Ken Dedes, meskipun tidak direstui Lohgawe.
Ken Arok membutuhkan sebilah keris ampuh untuk membunuh Tunggul Ametung yang terkenal sakti. Bango Samparan pun memperkenalkan Ken Arok pada sahabatnya yang bernama Mpu Gandring dari desa Lulumbang (sekarang Lumbang, Pasuruan), yaitu seorang ahli pembuat pusaka ampuh.
Mpu Gandring sanggup membuatkan sebilah keris ampuh dalam waktu setahun. Ken Arok tidak sabar. Lima bulan kemudian ia datang mengambil pesanan. Keris yang belum sempurna itu direbut dan ditusukkan ke dada Mpu Gandring sampai tewas. Dalam sekaratnya, Mpu Gandring mengucapkan kutukan bahwa keris itu nantinya akan membunuh 7 orang, termasuk Ken Arok sendiri.
Kembali ke Tumapel, Ken Arok menjalankan rencananya untuk merebut kekuasaan Tunggul Ametung. Mula-mula ia meminjamkan keris pusakanya pada Kebo Hijo, rekan sesama pengawal. Kebo Hijo dengan bangga memamerkan keris itu sebagai miliknya kepada semua orang yang ia temui, sehingga semua orang mengira bahwa keris itu adalah milik Kebo Hijo. Dengan demikian, siasat Ken Arok berhasil.
Malam berikutnya, Ken Arok mencuri keris pusaka itu dari tangan Kebo Hijo yang sedang mabuk arak. Ia lalu menyusup ke kamar tidur Tunggul Ametung dan membunuh majikannya itu di atas ranjang. Ken Dedes menjadi saksi pembunuhan suaminya. Namun hatinya luluh oleh rayuan Ken Arok. Lagi pula, Ken Dedes menikah dengan Tunggul Ametung dilandasi rasa keterpaksaan.
Pagi harinya, Kebo Hijo dihukum mati karena kerisnya ditemukan menancap pada mayat Tunggul Ametung. Ken Arok lalu mengangkat dirinya sendiri sebagai akuwu baru di Tumapel dan menikahi Ken Dedes. Tidak seorang pun yang berani menentang kepustusan itu. Ken Dedes sendiri saat itu sedang mengandung anak Tunggul Ametung.
Mendirikan Kerajaan Tumapel
Pada tahun 1222 terjadi perselisihan antara Kertajaya raja Kadiri dengan para brahmana. Para brahmana itu memilih pindah ke Tumapel meminta perlindungan Ken Arok yang kebetulan sedang mempersiapkan pemberontakan terhadap Kadiri. Setelah mendapat dukungan mereka, Ken Arok pun menyatakan Tumapel sebagai kerajaan merdeka yang lepas dari Kadiri. Sebagai raja pertama ia bergelar Sri Rajasa Bhatara Sang Amurwabhumi
Kertajaya (dalam Pararaton disebut Dhandhang Gendis) tidak takut menghadapi pemberontakan Tumapel. Ia mengaku hanya dapat dikalahkan oleh Bhatara Siwa. Mendengar sesumbar itu, Ken Arok pun memakai gelar Bhatara Siwa dan siap memerangi Kertajaya.
Perang antara Kadiri dan Tumapel terjadi di dekat desa Ganter. Pihak Kadiri kalah. Kertajaya diberitakan naik ke alam dewa, yang mungkin merupakan bahasa kiasan untuk mati.
Keturunan Ken Arok
Ken Dedes telah melahirkan empat orang anak Ken Arok, yaitu Mahisa Wonga Teleng, Panji Saprang, Agnibhaya, dan Dewi Rimbu. Ken Arok juga memiliki selir bernama Ken Umang, yang telah memberinya empat orang anak pula, yaitu Tohjaya, Panji Sudatu, Tuan Wergola dan Dewi Rambi.
Selain itu, Ken Dedes juga memiliki putra dari Tunggul Ametung yang bernama Anusapati.
Kematian Ken Arok
Anusapati merasa heran pada sikap Ken Arok yang seolah menganaktirikan dirinya, padahal ia merasa sebagai putra tertua. Setelah mendesak ibunya (Ken Dedes), akhirnya Anusapati mengetahui kalau dirinya memang benar-benar anak tiri. Bahkan, ia juga mengetahui kalau ayah kandungnya bernama Tunggul Ametung telah mati dibunuh Ken Arok.
Anusapati berhasil mendapatkan Keris Mpu Gandring yang selama ini disimpan Ken Dedes. Ia kemudian menyuruh pembantunya yang berasal dari desa Batil untuk membunuh Ken Arok. Ken Arok tewas ditusuk dari belakang saat sedang makan sore hari. Anusapati ganti membunuh pembantunya itu untuk menghilangkan jejak.
Peristiwa kematian Ken Arok dalam naskah Pararaton terjadi pada tahun 1247.
Versi Nagarakretagama
Nama Ken Arok ternyata tidak terdapat dalam Nagarakretagama (1365). Naskah tersebut hanya memberitakan bahwa pendiri Kerajaan Tumapel merupakan putra Bhatara Girinatha yang lahir tanpa ibu pada tahun 1182.
Pada tahun 1222 Sang Girinathaputra mengalahkan Kertajaya raja Kadiri. Ia kemudian menjadi raja pertama di Tumapel bergelar Sri Ranggah Rajasa. Ibu kota kerajaannya disebut Kutaraja (pada tahun 1254 diganti menjadi Singasari oleh Wisnuwardhana).
Sri Ranggah Rajasa meninggal dunia pada tahun 1227 (selisih 20 tahun dibandingkan berita dalam Pararaton). Untuk memuliakan arwahnya didirikan candi di Kagenengan, di mana ia dipuja sebagai Siwa, dan di Usana, di mana ia dipuja sebagai Buddha.
Kematian Sang Rajasa dalam Nagarakretagama terkesan wajar tanpa pembunuhan. Hal ini dapat dimaklumi karena naskah tersebut merupakan sastra pujian untuk keluarga besar Hayam Wuruk, sehingga peristiwa pembunuhan terhadap leluhur raja-raja Majapahit dianggap aib.
Adanya peristiwa pembunuhan terhadap Sang Rajasa dalam Pararaton diperkuat oleh prasasti Mula Malurung (1255). Disebutkan dalam prasasti itu, nama pendiri Kerajaan Tumapel adalah Bhatara Siwa yang meninggal di atas takhta kencana. Berita dalam prasasti ini menunjukkan kalau kematian Sang Rajasa memang tidak sewajarnya.
Keistimewaaan Ken Arok
Nama Rajasa selain dijumpai dalam kedua naskah sastra di atas, juga dijumpai dalam prasasti Balawi yang dikeluarkan oleh Raden Wijaya, pendiri Majapahit tahun 1305. Dalam prasasti itu Raden Wijaya mengaku sebagai anggota Wangsa Rajasa. Raden Wijaya memang adalah keturunan Ken Arok.
Nama Ken Arok memang hanya dijumpai dalam Pararaton, sehingga diduga kuat merupakan ciptaan si pengarang sebagai nama asli Rajasa. Arok diduga berasal dari kata rok yang artinya "berkelahi". Tokoh Ken Arok memang dikisahkan nakal dan gemar berkelahi.
Pengarang Pararaton sengaja menciptakan tokoh Ken Arok sebagai masa muda Sang Rajasa dengan penuh keistimewaan. Kasus yang sama terjadi pula pada Babad Tanah Jawi di mana leluhur raja-raja Kesultanan Mataram dikisahkan sebagai manusia-manusia pilihan yang penuh dengan keistimewaan. Ken Arok sendiri diberitakan sebagai putra Brahma, titisan Wisnu, serta penjelmaan Siwa, sehingga seolah-olah kekuatan Trimurti berkumpul dalam dirinya.
Terlepas dari benar atau tidaknya kisah Ken Arok, dapat ditarik kesimpulan kalau pendiri Kerajaan Tumapel merupakan perkawinan seorang bangsawan yang dipercaya sebagai titisan Dewa Brahma dengan seorang rakyat jelata, namun memiliki keberanian dan kecerdasan di atas rata-rata sehingga dapat mengantarkan dirinya sebagai pembangun suatu dinasti baru yang menggantikan dominasi keturunan Airlangga dalam memerintah pulau Jawa.
Keturunan
- Ken Arok dikenal sebagai pendiri Dinasti Rajasa, yakni dinasti yang menurunkan raja-raja Singhasari dan Majapahit hingga abad ke-16. Raja-raja Demak, Pajang, dan Mataram Islam, juga merupakan keturunan Dinasti Rajasa.
Kepustakaan
- Poesponegoro & Notosusanto (ed.). 1990. Sejarah Nasional Indonesia Jilid II. Jakarta: Balai Pustaka
- R.M. Mangkudimedja. 1979. Serat Pararaton Jilid 2. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah
- Slamet Muljana. 2005. Menuju Puncak Kemegahan (terbitan ulang 1965). Yogyakarta: LKIS
- Slamet Muljana. 1979. Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta: Bhratara
- Pogadaev, V. A. The Bloody Throne of Java. Zhivaya istoriya Vostoka (The Live History of Orient). Мoscow: Znanie, 1998, p.172-179.
- Sukatman.2012. "Mitos Asal-usul Ken Arok: Kajian Tradisi Lisan". Laporan Penelitian. Jember: FKIP Universitas Jember.
Pranala luar
Lihat pula
Gelar kebangsawanan | ||
---|---|---|
Didahului oleh: - |
Raja Tumapel (Singhasari) 1222 — 1227 |
Diteruskan oleh: Anusapati |