Sultan Agung dari Banjar
Sultan Agung alias Pangeran Suryanata (ke-2) atau Sultan Dipati Anom (bahasa Belanda: radja de Patty Anom[2]) adalah Sultan Banjar yang memerintah antara 1663-1679[3]. Raja ini sebelumnya dikenal dengan nama Pangeran Dipati Anom (ke-2), sedangkan nama lahirnya adalah Raden Kasuma Lalana. Pangeran Dipati Anom II ini dengan bantuan suku Biaju berhasil merebut tahta Sultan Rakyatullah yang merupakan Wali Sultan Banjar yang belum dewasa yaitu Raden Bagus bin Sultan Saidullah bin Sultan Inayatullah. Padahal sebelum peristiwa tersebut Raden Bagus sempat dilantik oleh Sultan Rakyatullah dengan gelar Sultan Amrullah Bagus Kasuma, karena Sultan Rakyatullah sudah menduga adanya ambisi Pangeran Dipati Anom II yang hendak menjadi raja Banjar. Setelah berhasil merebut tahta Kesultanan Banjar, Pangeran Dipati Anom II kemudian memindahkan pusat pemerintahan ke Sungai Pangeran, Banjarmasin, dan kemudian mengangkat dirinya sebagai Sultan Banjar dengan gelar Sultan Agung, sedangkan gelar yang dimasyhurkan/dipopulerkan adalah Pangeran Suryanata [ke-2], seperti gelar pendiri dinasti kerajaan ini pada masa kerajaan Hindu, Pangeran Suryanata/Maharaja Suryanata. Sementara itu Sultan Amrullah Bagus Kasuma menyingkir ke daerah Alai sambil menyusun kekuatan untuk merebut tahta kembali dari pamannya yaitu Sultan Agung/Pangeran Suryanata II/Pangeran Dipati Anom (ke-2)/Sultan Dipati Anom.
Sultan Agung bin Sultan Inayatullah | |
---|---|
Pangiran Surjanata in Banzjarmasch[1] Pangiran Surjanata prince in Banjarmasch[1] Pangeran Suryanata II Pangeran Dipati Anom II Raden Kasuma Lalana | |
Berkuasa | 1663 - 1679 |
Pendahulu | Sultan Rakyatullah |
Penerus | Sultan Amrullah |
Sultan | Lihat daftar |
Keturunan | Pangeran Dipati |
Wangsa | Dinasti Banjarmasin |
Ayah | Sultan Inayatullah |
Ibu | Gusti Timbuk binti Raden Aria Papati bin Sultan Hidayatullah I |
Sultan Agung merupakan Sultan Banjar yang memiliki banyak pengikut dan dukungan politik di kalangan Dayak Biaju, dan ia sering dianggap sebagai keturunan Dayak [keturunan Dayak kemungkinan dari pihak neneknya sebab menurut Hikayat Banjar, kakek-kakeknya dari kedua belah pihak merupakan bangsawan Banjar].
Silsilah
Sultan Agung merupakan keturunan ke-11 dari Lambung Mangkurat dan juga keturunan ke-11 dari pasangan Puteri Junjung Buih dan Maharaja Suryanata. Maharaja Suryanata (nama lahir Raden Putra) dijemput dari Majapahit sebagai jodoh Puteri Junjung Buih (saudara angkat Lambung Mangkurat).
Namanya semasa muda adalah Raden Kasuma Lalana. Ketika abang tirinya Pangeran Kasuma Alam (= Ratu Anom/Sultan Saidullah) dilantik sebagai Sultan Banjar oleh pamannya Pangeran Dipati Anta-Kasuma(= Ratu Kota-Waringin/Ratu Bagawan), bersamaan dengan pelantikan itu Raden Kasuma Lalana juga dilantik sebagai Dipati dengan gelar Pangeran Dipati Anom [ke-2] karena itu ia sering dipanggil Dipati Anom/Pangeran Anom. Tetapi pada masa sebelumnya seorang pamannya juga pernah memakai gelar Pangeran Dipati Anom (= Panembahan di Darat), karena itu ia disebut Pangeran Dipati Anom II. Ayahandanya adalah Sultan Inayatullah (= Ratu Agung/Pangeran Dipati Tuha I). Ibundanya seorang bangsawan/permaisuri yaitu Gusti Timbuk binti Raden Aria Papati bin Sultan Hidayatullah I. [4]Raden Kasuma Lalana merupakan putera gahara sebab ibundanya berdarah bangsawan, tetapi ia bukanlah putera tertua. Sultan Agung juga dijuluki Ratu Lamak. Putera dari Sultan Agung (= Raden Kasuma Lalana) adalah Pangeran Dipati. Pangeran Dipati juga sering disebut Ratu Agung yang memiliki tanah badatu/tanah apanase/tanah lungguh berada di daerah Negara, sehingga ia menjadi Raja di Negara.
Raden Kasuma Lalana merupakan saudara sesusu/saudara angkat dari Raden Raden Marabut/Pangeran Taliwang (nama lahir Raden Subangsa). Pangeran Dipati Anom II yang memerintahkan Raden Subantaka bin Pangeran Mangkunagara untuk memperisterikan Raden Subangsa bin Pangeran Dipati Marta Saharie dengan puteri dari Raja Kerajaan Selaparang.
Kompromi Politik
Pangeran Suryanata II ini mengangkut 10 pucuk meriam dan 600 prajurit dari keraton Kayu Tangi, Martapura. Ia mengangkat adik kandungnya, Raden Kasuma Wijaya (= Raden Huju) menjadi Raja Muda dengan gelar Pangeran Purbanagara. Setelah dikudeta Pangeran Suryanata II, Sultan Amrullah Bagus Kasuma (Raden bagus) kemudian lari ke daerah Alay dan mengumpulkan kekuatan di sana.
Pangeran Suryanata II berkompromi politik dengan pamannya yaitu Dipati Halit (Pangeran Ratu) bin Sultan Mustain Billah, untuk memegang kembali kekuasaan pemerintahan di Martapura sampai mangkatnya pada tahun 1666. Pangeran Aria Wiraraja putera Pangeran Ratu diangkat sebagai mangkubumi (kepala pemerintahan) mendampingi Sultan Agung (kepala negara).
Sebelumnya Adipati Halit (Rakyatullah) sempat menjabat Sultan Banjar (kepala negara) sebagai temporary king dengan gelar Pangeran Ratu, tetapi atas desakan golongan suku Biaju, dia menyerahkan tahta kepada keponakannya Raden Bagus Kasuma (Amrullah) yang merupakan Putra Mahkota, anak almarhum Sultan Saidullah (= Ratu Anom).
Pada masa pemerintahannya, Sultan Agung banyak memiliki perkebunan lada di daerah pedalaman sehingga Dijk menyebut Pangeran Anom atau Pangeran Surya-Nata II sebagai Koning yan het pepergebergte (raja dari pegunungan lada). Pada masa itu Kesultanan Banjar sedang mengalami zaman keemasannya sebagai penghasil komoditas lada yang diekspor ke luar negeri. Di masa itu para bangsawan yang juga sebagai saudagar dan pedagang lada mempunyai pasukan sendiri dan budak-budak yang dipersenjatai.
Tahun 1666 Adipati Halit (Pangeran Tapasena) meninggal, menyebabkan golongan legitimitas bertambah kuat, sehingga Amrullah Bagus Kasuma mendapat dukungan yang kuat pula. Pada tahun 1679, Amrullah Bagus Kasuma menyerang Banjarmasin dan ia dan adiknya (Raden Basus) berhasil membinasakan Sultan Agung dan putera sulungnya,[5] dan sejak itulah Amrullah kembali dapat mengambil haknya sebagai Sultan di Banjarmasin (1680-1700) sampai akhir abad ke-17. Amrullah keluar sebagai pemenang dalam perebutan tahta Banjar melawan pamannya Sultan Agung (Ratu Lamak) dan anaknya Pangeran Dipati (Ratu Agung).
Sikap Anti VOC di Masa Sultan Agung
Perebutan kekuasaan di Kesultanan Banjar pada abad ke-17 menghasilkan kompromi politik, Pangeran Ratu/Sultan Rakyatullah/Raden Halit tetap berkuasa di Martapura, sedangkan Sultan Agung/Pangeran Surya Nata II/Raden Kasuma Lalana berkuasa di Banjarmasin. Martapura yang merupakan daerah tambang emas dan hasil kebun lada terletak di sebelah hulu dari Banjarmasin, sehingga cara ini dapat mematikan perdagangan Pangeran Ratu/Sultan Rakyatullah saingannya. [6]
Sehubungan dengan ini Pangeran Suryanata II/Sultan Agung mengirim dutanya ke Betawi yaitu Souta Nella dan Nala tahun 1665. Kepada VOC disampaikan surat Pangeran Suryanata II yang isinya :
- Supaya VOC memanggil kembali orang orangnya yang berada di Martapura dan menutup lojinya.
- Mengenai lada VOC tidak perlu khawatir, karena akan dikirim Sultan sendiri dengan kapal ke Batavia.
- Meminta agar isi kapal Sultan yang dirampas VOC sekembalinya dari Aceh diberikan kembali dengan perantaraan dutanya.
- Surat ini menyebutkan pula pemberian Sultan Agung/Pangeran Suryanata kepada VOC sebanyak 2.000 gantang lada dan dua lembar tikar rotan.[1]
Utusan yang membawa surat Pangeran Suryanata ini terjadi pada tahun 1665, dan hal ini berarti perjanjian sebelumnya yang dibuat tahun 1664 hanya merupakan kertas kosong belaka.
Sikap Sultan Agung ini (Pangeran Suryanata) yang meminta VOC-Belanda keluar dari Banjarmasin, diduga atas motivasi dari Kesultanan Mataram, agar Banjarmasin membuka front terbuka sikap anti-VOC. Sikap ini diperlukan sebab kerajaan lainnya terutama Kesultanan Mataram mengalami kemunduran dalam bidang perdagangan akibat sepak terjang Belanda yang selalu memegang monopoli perdagangan.[6]
Pada bulan Juli 1665 menurut laporan Residen Gerret Lemmes, tiba-tiba Pangeran Suryanata II pergi ke daerah Negara untuk membeli lada secara monopoli dari rakyat penghasil lada dan menjualnya kepada pedagang-pedagang Makassar, Inggris, Portugis dan Cina, sedangkan utusan VOC-Belanda sama sekali tidak diberinya kesempatan memperoleh lada. Bahkan pelabuhan Banjarmasin dipenuhi dengan pedagang-pedagang dari segala bangsa dan perdagangan dilakukan secara bebas. Untuk mempertahankan perdagangan bebas ini dan menghapus keinginan VOC-Belanda untuk memperoleh monopoli, Pangeran Suryanata II mengirim utusan ke Kesultanan Banten (Sultan Ageng Tirtayasa), meminta bantuan dan mengakui kekuasan Banten atas Kesultanan Banjarmasin.[6]
Sekitar tahun 1670-an terjadi perubahan besar di Indonesia Timur yang membahayakan bagi perdagangan bebas Banjarmasin, yaitu jatuhnya bandar internasional Makassar dibawah kontrol sesuai Perjanjian Bungaya (18 November 1667), ancaman inilah yang menyebabkan Sultan Agung/Pangeran Suryanata II mengirimkan utusan-utusan ke Batavia untuk memperoleh monopoli senjata dan mesiu. Kemunduran perdagangan di Indonesia Timur ini sebagai akibat dari taktik dan strategi VOC-Belanda yang selalu berusaha memperoleh monopoli perdagangan dengan menerapkan politik divide et impera-nya. [6]
Sikap Sultan Banjar yang anti VOC-Belanda pada masa tersebut karena beberapa pertimbangan:
- Hubungan dagang dengan Belanda, selalu diakhiri dengan peristiwa pembantaian dan permusuhan di kedua belah pihak.
- Dalam setiap perjanjian kontrak dagang, VOC-Belanda selalu ingin monopoli, dan tidak memberi peluang terciptanya perdagangan bebas.
- Adat istiadat orang-orang Belanda, bertentangan dengan adat istiadat orang Banjar, sehingga lambat laun akan timbul konflik budaya.[6]
Pertimbangan-pertimbangan tersebut, didasarkan atas kemungkinan dukungan dan kemufakatan Dewan Mahkota, khususnya yang anti VOC. Walau demikian, VOC-Belanda terus menerus mencari peluang dan dukungan untuk bercokol di Banjarmasin, karena perdagangan VOC-Belanda di Kesultanan Banjarmasin tidak macet.[6]
Perdagangan Bebas
Pertengahan abad ke- 17 Banjarmasin mengalami kemajuan dan kemakmuran yang pesat. Menurut Barra pada tahun 1662 ada 12 jung orang Melayu, Inggris, Portugis mengangkut lada dan emas ke Makassar. Sementara di pelabuhan Banjarmasin dipenuhi lebih dari 1000 perahu layar, baik perdagangan interinsuler maupun perdagangan inter-kontinental, karena kontrak perdagangan (monopoli) dengan VOC yang dilakukan tahun sebelumnya hanya merupakan kontrak kosong belaka. [6]
Kesultanan Banjarmasin tidak terikat terhadap bangsa manapun juga dan lebih mengacu kepada perdagangan bebas dimana semua bangsa boleh berdagang di Banjarmasin. Orang-orang Banjar akan bebas pula melakukan hubungan dagang dengan bangsa-bangsa lain dan tidak terikat kepada VOC-Belanda, EIC-Inggris atau Portugis. Kesultanan Banjar memberikan keleluasaan kepada para saudagar untuk berniaga, dan dengan sendirinya pertumbuhan ekonomi kesultanan akan meningkat, asalkan sistem yang berlaku saat itu berfungsi.[6]
Hasil dari perdagangan bebas tersebut, Banjarmasin mengalami kemakmuran yang pesat, dan akibatnya muncul kemelut politik istana seperti pergeseran dan perebutan kekuasaan, namun walau begitu, dilihat dari pihak luar negeri, kondisi Kesultanan Banjarmasin tetap utuh.[6]
Didahului oleh: Amrullah Bagus Kasuma |
Sultan Banjar 1663-1679 |
Diteruskan oleh: Amrullah Bagus Kasuma |
Referensi
- ^ a b c (Indonesia) Bandjermasin (Sultanate), Surat-surat perdjandjian antara Kesultanan Bandjarmasin dengan pemerintahan2 V.O.C.: Bataafse Republik, Inggeris dan Hindia- Belanda 1635-1860, Penerbit Arsip Nasional Republik Indonesia, Kompartimen Perhubungan dengan Rakjat 1965
- ^ (Belanda) van Dijk, L. C. (1862). Ne©erland's vroegste betrekkingen met Borneo, den Solo-Archipel, Camobdja, Siam en Cochin-China. J. H. Scheltema.
- ^ Regnal Chronolgies Southeast Asia: the Islands
- ^ (Melayu)Johannes Jacobus Ras, Hikayat Banjar diterjemahkan oleh Siti Hawa Salleh, Percetakan Dewan Bahasa dan Pustaka, Lot 1037, Mukim Perindustrian PKNS - Ampang/Hulu Kelang - Selangor Darul Ehsan, Malaysia 1990.
- ^ (Indonesia) Sejarah daerah Kalimantan Selatan Sejarah daerah Kalimantan Selatan, Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1978, hal. 33
- ^ a b c d e f g h i (Indonesia) M. Gazali Usman, Kerajaan Banjar: Sejarah Perkembangan Politik, Ekonomi, Perdagangan dan Agama Islam, Banjarmasin: Lambung Mangkurat Press, 1994.