Suparna Sastra Diredja

Suparna Sastra Diredja (Tarogong, Tarogong Kidul, Garut, Jawa Barat 2 Februari, 1915 - Amsterdam, 1996) adalah seorang tokoh gerakan kemerdekaan Indonesia, tokoh serikat buruh, dan pengarang yang hidupnya berakhir dalam pengasingan di Belanda.

Latar belakang

Suparna dilahirkan dari keluarga Abdul Sastra Diredja (1885-1968) dan Nyi Emi Resmi (1896-1970) di desa Tarogong, Jawa Barat. Ibunya adalah seorang ibu rumah tangga, sementara ayahnya seorang guru sekolah dasar di Garut.

Suparna menempuh pendidikannya di Europesche Lagere School di Cicalengka, lulus pada 1930, lalu melanjutkan ke MULO di Bandung, dan lulus pada 1933. Dari situ ia melanjutkan pendidikannya di Algemene Middelbare School (AMS) di Batavia, dan selesai pada 1936.

Menjadi aktivis

Sejak masih duduk di bangku sekolah menengah, Suparna sudah aktif dalam organisasi pemuda nasionalis Indonesia Muda. Ia menjadi anggota dewan pimpinan organisasi ini dan bertanggung jawab sebagai redaktur majalah bulanan gerakan ini dengan nama yang sama, "Indonesia Muda". Pada 1937, ia dijatuhi hukuman tahanan selama 10 bulan di Batavia karena menerbitkan artikel yang dianggap menghasut dalam majalah ini. Pengacaranya adalah Mr. Amir Sjarifuddin, Mr. Mohammad Yamin dan Mr. Sjah, yang belakangan menjadi tokoh-tokoh terkenal Republik Indonesia

Suparna Sastra Diredja sering menghadiri rapat-rapat politik serta kelas-kelas pendidikan politik di malam hari yang diselenggarakan oleh mahasiswa-mahasiswa nasionalis. Belakangan ia menjadi anggota partai politik Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo).

Suparna juga menjadi guru di salah satu "sekolah liar", Perguruan Rakyat, di Jakarta yang digunakan oleh kaum nasionalis untuk membakar semangat orang-orang muda.

Perjuangan kemerdekaan

Pada masa pendudukan Jepang, Suparna Sastra Diredja ikut serta dalam gerakan anti Jepang di bawah tanah di Jawa Barat. Ia bergerak melalui Koperasi Rakyat Indonesia (Korindo), sebuah koperasi guna-produksi, namun kemudian dibubarkan atas perintah tentara Jepang. Suparna kemudian bergabung dengan pemuda-pemuda revolusioner, di antaranya Wikana, Chaerul Saleh dan Sukarni.

Ia memimpin kantor Badan Penolong Prajurit Pekerja, sebuah lembaga setengah resmi di Priangan. Badan ini dibentuk untuk membantu keluarga-keluarga para romusha. Suparna menggunakan lembaga ini untuk mengorganisasi dapur umum untuk membantu rakyat yang kelaparan.

Menjelang kemerdekaan Indonesia, ia terlibat dalam berbagai upaya persiapannya dan sempat pula menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat di Yogyakarta.

Suparna adalah salah satu pendiri serikat buruh perkebunan yang bernama Sarekat Buruh Perkebunan Republik Indonesia (Sarbupri) pada 1947 dan menjabat sebagai sekretaris jenderalnya hingga 1965.

Hidup di pengasingan

Ketika G30S meletus, Suparna kebetulan sedang berada di Tiongkok sehingga ia tidak sempat ditangkap ataupun dilenyapkan seperti kebanyakan orang komunis atau yang dicurigai sebagai komunis.

Pada 1978 Suparna pindah ke Belanda dan meninggal dunia pada 1996. Selama di Belanda, Suparna juga aktif dalam Partai Komunis Belanda.

Keluarga

Suparna menikah dengan Enok Djuariah, seorang perempuan kelahiran Ciamis pada 1915, yang hingga pada 1965 juga bekerja sebagai guru. Mereka memiliki lima orang anak. Pada 1968, setelah Suparna tidak dapat kembali lagi ke Indonesia, mereka bercerai. Suparna menikah kembali pada 1987 dengan Neneng Marsiah.

Karya tulis

  • (Indonesia) Romusa (1987)
  • (Indonesia) Bermukim di Bumi Belanda
  • (Indonesia) (Belanda) Si Titut: Kuda Pacu Wedana Leles
  • (Indonesia) (Belanda) "MMC" di lereng Merapi-Merbabu
  • (Indonesia) Petani Singaparna Berontak (tak lengkap)
  • (Indonesia) (Belanda) Studie over de problemen van de Indonesische revolutie
  • (Indonesia) Cerita tentang ayah saya, tentang ibuku Emi
  • (Indonesia) Kenang-kenangan dalam Serikat Buruh'

Dalam penulisannya, ia banyak menggunakan nama samaran, misalnya Nusa Kusuma, Putra Nusantara, Nusantari, Baranusanta, Kartika Putra, Pandu dan Pandu Nusa.

Pranala luar