Zakiah Daradjat

pakar psikologi Islam asal Indonesia

Prof. Dr. Zakiah Daradjat (6 November 1929 – 15 Januari 2013) adalah pakar psikologi Islam, pendidik, dan guru besar ilmu psikologi di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Zakiah Daradjat
Lahir6 November 1929 (umur 94)
Belanda Jorong Koto Marapak, Ampek Angkek, Agam, Sumatera Barat, Hindia-Belanda
Meninggal15 Januari 2013(2013-01-15) (umur 83)
Indonesia Jakarta, Indonesia
KebangsaanIndonesia Indonesia
PekerjaanPsikolog, pengajar
Orang tuaDaradjat Husain (ayah)
Rafi'ah (ibu)

Sebagai pendidik, aktivitas Zakiah tidak terbatas pada mengajar. Ia pernah menggeluti dunia birokrasi pendidikan. Di lingkungan Departemen (kini Kementerian) Agama, Zakiah pernah menduduki jabatan Direktur Pendidikan Agama dan Direktur Perguruan Tinggi Agama, kedua lembaga pemerintahan yang bertanggung jawab atas eksistensi dan kemajuan lembaga-lembaga pendidikan Islam baik negeri maupun swasta di Indonesia. Selain itu, ia pernah duduk sebagai pengurus inti Majelis Ulama Indonesia.

Kehidupan

Zakiah Daradjat lahir pada 6 November 1929 di Jorong Koto Marapak, Nagari Lambah, Ampek Angkek, Agam. Ayahnya, Haji Daradjat Husain merupakan aktivis organisasi Muhammadiyah dan ibunya, Rafi'ah aktif di Sarekat Islam. Haji Daradjat Husain memiliki dua orang istri.[1] Dari Rafi'ah, istri pertama, lahir enam orang anak dan Zakiah adalah anak pertama, sedangkan dari istri kedua, Hajah Rasunah, lahir 5 anak.[2] Meskipun bukan berasal dari kalangan ulama, sejak kecil Zakiah Daradjat telah ditempa pendidikan agama dan dasar keimanan yang kuat.[3] Ia sudah dibiasakan oleh ibunya untuk menghadiri pengajian-pengajian agama dan dilatih berpidato oleh ayahnya.[4]

Pada usia tujuh tahun, Zakiah sudah mulai memasuki sekolah. Pagi ia belajar di Standard School Muhammadiyah dan sorenya belajar lagi di Diniyah School.[3] Semasa sekolah ia memperlihatkan minat cukup besar dalam bidang ilmu pengetahuan dan agama.[5] Selain itu, saat masih duduk di bangku kelas empat SD, ia telah menunjukkan kebolehannya berbicara di muka umum.[2] Setelah taman pada 1941, Zakiah dimasukkan ke salah satu SMP di Padang Panjang sambil mengikuti sekolah agama di Kulliyatul Muballighat.[3] Ilmu-ilmu yang diperolehnya dari Kulliyatul Mubalighat kelak ikut mendorongnya untuk menjadi mubalig.[6]

Pada tahun 1951, ia menamatkan pendidikannya di SMA.[7] Setelah itu, ia memutuskan meninggalkan kampung halamannya untuk melanjutkan studinya ke Yogyakarta. Di Yogyakarta, ia mendaftar ke dua perguruan tinggi dengan fakultas yang berbeda, yaitu Fakultas Tarbiyah Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) Yogyakarta dan Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII). Meskipun ia diterima di kedua fakultas tersebut, ia akhirnya hanya memilih mengambil Fakultas Tarbiyah PTAIN Yogyakarta atas saran kedua orang tuanya.[8] Pada tahun 1956, ia menerima beasiswa dari Departemen Agama untuk melanjutkan pendidikan ke Mesir.[9] Di Mesir, ia langsung diterima di Fakultas Pendidikan Universitas Ain Shams, Kairo untuk program S-2.[3] Tesisnya tentang problema remaja di Indonesia mengantarnya meraih gelar MA pada tahun 1959, setelah setahun sebelumnya mendapat diploma pasca-sarjana dengan spesialisasi pendidikan. Tidak seperti teman-teman seangkatannya dari Indonesia, setelah menyelesaikan program S-2, Zakiah tidak langsung pulang. Ia justru malah melanjutkan program S-3 di universitas yang sama. Ketika menempuh program S-3, kesibukan Zakiah tidak hanya belajar. Pada tahun 1964, dengan disertasi tentang perawatan jiwa anak, ia berhasil meraih gelar doktornya dalam bidang psikologi dengan spesialisasi psikoterapi dari Universitas Ain Shams.[10][11]

Karier

Setelah kembali ke Indonesia pada tahun 1964, Zakiah Daradjat mengabdikan dan mengembangkan ilmunya untuk kepentingan masyarakat.[11] Sambil bekerja, Zakiah diberi ruangan khusus untuk membuka praktik konsultasi psikologi bagi karyawan Kementerian Agama. Pada masa ini untuk pertama kalinya Kementerian Agama mengenal dokter jiwa untuk membantu pegawai yang mengalami kesulitan dalam memecahkan masalah pribadi, problema keluarga, dan anak-anak remaja. Karena semakin banyak klien yang datang, bahkan ada yang dari kalangan bukan pegawai Kementerian Agama, ia mulai membuka praktik sendiri di rumahnya di Wisma Sejahtera, Jalan Fatmawati, Cipete, Jakarta Selatan pada tahun 1965. Ketika diwawancara oleh Republika pada tahun 1994, ia menuturkan, "Setiap hari, selama lima hari dalam sepekan, rata-rata saya menerima tiga hingga lima pasien, tanpa memandang apakah mereka dari golongan masyarakat mampu atau bukan. Seringkali saya tidak menerima bayaran apa-apa, karena memang tujuan saya untuk menolong sesama manusia.".[7]

Pada 1967, Zakiah diangkat oleh Menteri Agama Saifuddin Zuhri sebagai Kepala Dinas Penelitian dan Kurikulum Perguruan Tinggi di Biro Perguruan Tinggi, Kementerian Agama. Pada periode selanjutnya, Zakiah Daradjat menjabat sebagai Direktur Pendidikan Agama mulai tahun 1972, dan tahun 1977 sebagai Direktur Perguruan Tinggi Agama Islam.[11][12] Pemikiran Zakiah Daradjat di bidang pendidikan agama banyak mempengaruhi wajah sistem pendidikan di Indonesia. Semasa menjabat direktur di Kementerian Agama, Zakiah termasuk salah seorang yang membidani lahirnya kebijakan yang tertuang dalam Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri (Menteri Agama, Mendikbud, dan Mendagri) pada tahun 1975, yaitu sewaktu jabatan Menteri Agama diduduki oleh Mukti Ali.[11] Melalui surat keputusan tersebut Zakiah menginginkan peningkatan penghargaan terhadap status madrasah, salah satunya dengan memberikan pengetahuan umum 70 persen dan pengetahuan agama 30 persen.[11][13] Aturan yang dipakai hingga kini di sekolah-sekolah agama Indonesia ini memungkinkan lulusan madrasah diterima di perguruan tinggi umum.[14]

Ketika menempati posisi sebagai Direktur Perguruan Tinggi Agama Islam, seperti dituturkan cendikiawan Azyumardi Azra, Zakiah Daradjat banyak melakukan sentuhan bagi pengembangan Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI).[12] Salah satu contoh, untuk mengatasi kekurangan guru bidang studi umum di madrasah-madrasah, Zakiah Daradjat membuka jurusan tadris pada IAIN dan menyusun rencana pengembangan Perguruan Tinggi Agama Islam yang menjadi referensi bagi IAIN seluruh Indonesia.[15] Melalui rencana pengembangan ini Kementerian Agama dapat meyakinkan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) sehingga IAIN memperoleh anggaran yang relatif memadai.[14]

Selain bekerja di kementerian, Zakiah Daradjat mengabdikan ilmunya dengan mengajar sebagai dosen keliling pada IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta (kini UIN) dan beberapa IAIN lainnya. Pada 1 Oktober 1982, Zakiah dikukuhkan oleh IAIN Jakarta sebagai guru besar di bidang ilmu jiwa agama. Sebagai pendidik dan guru besar, ia setia di jalur profesinya hingga akhir hayatnya. Hingga usia senja, meski telah pensiun dari tugas kedinasan, Zakiah masih aktif mengajar di UIN Syarif Hidayatullah dan perguruan tinggi lain yang membutuhkan ilmunya.[16] Selain itu, Zakiah Daradjat sering memberikan kuliah subuh di RRI Jakarta sejak tahun 1969 sampai dekade 2000-an. Ia kerap pula diminta mengisi siaran Mimbar Agama Islam di TVRI Jakarta. Pada 19 Agustus 1999, Zakiah Daradjat memperoleh Bintang Jasa Maha Putera Utama dari Pemerintah Rapublik Indonesia.

Meninggal

Zakiah Daradjat meninggal di Jakarta dalam usia 83 tahun pada 15 Januari 2013 sekitar pukul 09.00 WIB. Setelah disalatkan, jenazahnya dimakamkan di Kompleks UIN Ciputat pada hari yang sama. Menjelang akhir hayatnya, ia masih aktif mengajar, memberikan ceramah, dan membuka konsultasi psikologi. Sebelum meninggal, ia sempat menjalani perawatan di Rumah Sakit Hermina, Jakarta Selatan pada pertengahan Desember 2012.[17]

Semasa hidup, Zakiah Daradjat tidak hanya dikenal sebagai psikolog dan dosen, tetapi juga muballigh dan tokoh masyarakat. Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Komaruddin Hidayat menyebut Zakiah sebagai pelopor psikologi Islam di Indonesia. Sementara itu, Wakil Menteri Agama Nasaruddin Umar mencatat, Zakiah Daradjat adalah sosok yang bisa diterima dengan baik oleh semua kalangan. Umar menambahkan, sosok Zakiah Daradjat seperti sosok Hamka dalam versi Muslimah.[14]

Karya

  • Ilmu Jiwa Agama
  • Kesehatan Mental dalam Al-Qur'an
  • Ketenangan dan Kebahagiaan dalam Keluarga
  • Membina Nilai-nilai Moral di Indonesia
  • Menghadapi Masa Menopause
  • Pendidikan Agama dalam Pembinaan Mental
  • Pendidikan Akhlak dalam Al-Qur'an
  • Perawatan Jiwa untuk Anak-anak
  • Problema Remaja di Indonesia

Penghargaan

  • Tahun 1965: Medali Ilmu Pengetahuan dari Presiden Mesir (Gamal Abdul Naser) atas prestasi yang dicapai dalam studi/penelitian untuk mencapai gelar doktor.
  • Tahun 1977: Tanda kehormatan “Order of Kuwait Fourth Class” dari pemerintah kerajaan Kuwait (Amir Shabah Sahir As-Shabah) atas perayaannya sebagai penerjemah bahasa Arab.
  • Tahun 1977: Tanda Kehormatan Bintang “Fourth Class Of The Order Mesir” dari presiden Mesir (Anwar Sadat) atas perayaannya sebagai penerjemah bahasa Arab.
  • Tahun 1988: Penghargaan Presiden RI Soeharto atas peran dan karya pengabdian dalam usaha membina serta mengembangkan kesejahteraan kehidupan anak Indonesia.
  • Tahun 1990: Tanda Kehormatan Satya Lancana Karya Satya tingkat I.
  • Tahun 1995: Tanda kehormatan Bintang Jasa Utama sebagai tokoh wanita/Guru Besar fakultas Tarbiyah IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.
  • Tahun 1996: Tanda Kehormatan Satya Lancana Karya Satya 30 tahun atau lebih.
  • Tahun 1999: Tanda Kehormatan Bintang Jasa Putera Utama sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia.

Rujukan

Catatan kaki
  1. ^ Nata 2005, hlm. 233.
  2. ^ a b Ajisman 2011, hlm. 57.
  3. ^ a b c d Jajat Burhanuddin 2002, hlm. 140–145.
  4. ^ BK3AM 1995, hlm. 505.
  5. ^ Nata 2005, hlm. 234.
  6. ^ Daradjat 1999, hlm. 4–6.
  7. ^ a b Mahditama 2013.
  8. ^ Jajat Burhanuddin 2002, hlm. 142.
  9. ^ Nata 2005, hlm. 235.
  10. ^ Ajisman 2011, hlm. 58.
  11. ^ a b c d e Jajat Burhanuddin 2002, hlm. 146–154.
  12. ^ a b Jajat Burhanuddin 2002, hlm. 161.
  13. ^ Nata 2005, hlm. 237.
  14. ^ a b c Nasar 2013.
  15. ^ Nata 2005, hlm. 238.
  16. ^ Jajat Burhanuddin 2002, hlm. 138.
  17. ^ Republika 2013.
Daftar pustaka

Pranala luar