Kota Payakumbuh
Kota Payakumbuh adalah sebuah kota di Provinsi Sumatera Barat, Indonesia.
Kota Payakumbuh | |
---|---|
Negara | Indonesia |
Provinsi | Sumatera Barat |
Hari jadi | 19 Maret 1956 |
Pemerintahan | |
• Wali kota | Riza Falepi |
Luas | |
• Total | 80,43 km2 (31,05 sq mi) |
Ketinggian | 514 m (1,686 ft) |
Populasi (2010[1]) | |
• Total | 116.910 |
• Kepadatan | 1,500/km2 (3,800/sq mi) |
Zona waktu | UTC+7 (WIB) |
Kode area telepon | +62 752 |
Situs web | www.payakumbuhkota.go.id |
Sejarah
Kota Payakumbuh terutama pusat kotanya dibangun oleh pemerintah kolonial Hindia-Belanda. Sejak keterlibatan Belanda dalam perang Padri, kawasan ini berkembang menjadi depot atau kawasan gudang penyimpanan dari hasil tanam kopi dan terus berkembang menjadi salah satu daerah administrasi distrik pemerintahan kolonial Hindia-Belanda waktu itu.[3]
Menurut tambo setempat, dari salah satu kawasan di dalam kota ini terdapat suatu nagari tertua yaitu nagari Aie Tabik dan pada tahun 1840, Belanda membangun jembatan batu untuk menghubungkan kawasan tersebut dengan pusat kota sekarang.[4] Jembatan itu sekarang dikenal juga dengan nama Jembatan Ratapan Ibu.
Pemerintahan
Kota Payakumbuh sebagai pemerintah daerah berdasarkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1956 tanggal 19 Maret 1956, yang menetapkan kota ini sebagai kota kecil.[5] Kemudian ditindaklanjuti oleh Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 tahun 1970 tanggal 17 Desember 1970 menetapkan kota ini menjadi daerah otonom pemerintah daerah tingkat II Kotamadya Payakumbuh. Selanjutnya wilayah administrasi pemerintahan terdiri atas 3 wilayah kecamatan dengan 73 kelurahan yang berasal dari 7 jorong yang terdapat di 7 kanagarian yang ada waktu itu, dengan pembagian kecamatan Payakumbuh Barat dengan 31 Kelurahan, kecamatan Payakumbuh Timur dengan 14 kelurahan dan kecamatan Payakumbuh Utara dengan 28 kelurahan.
Pada tahun 2008, sesuai dengan perkembangannya maka dilakukan pemekaran wilayah kecamatan, sehingga kota Payakumbuh memiliki 5 wilayah kecamatan, dengan 8 kanagarian dan 76 wilayah kelurahan.
Adapun wilayah kecamatan yang baru tersebut adalah kecamatan Lamposi Tigo Nagari, yang terdiri dari 6 kelurahan dalam kanagarian Lampasi dan Kecamatan Payakumbuh Selatan, yang terdiri dari 9 kelurahan dalam 2 kanagarian yaitu Limbukan dan Aur Kuning. Sedangkan kecamatan Payakumbuh Barat terdiri dari 22 kelurahan dalam kanagarian Koto Nan IV. Kecamatan Payakumbuh Timur terdiri dari 14 kelurahan dalam 3 kanagarian, yaitu Aie Tabik, Payobasuang dan Tiakar. Kecamatan Payakumbuh Utara terdiri dari 25 kelurahan dalam kanagarian Koto Nan Godang.[6]
Geografi
Kota Payakumbuh berada pada hamparan kaki gunung Sago, dilalui oleh 3 buah sungai yang bernama Batang Agam, Batang Lampasi dan Batang Sinama. Wilayah administratif kota ini dikelilingi oleh Kabupaten Lima Puluh Kota. Kota ini berada dalam jarak sekitar 30 km dari Kota Bukittinggi atau 120 km dari Kota Padang dan 188 km dari Kota Pekanbaru.
Keadaan topografi daerah kota ini terdiri dari perbukitan dengan rata-rata ketinggian 514 meter diatas permukaan laut, dan suhu rata-rata berkisar antara 26 °C serta kelembahan udara antara 45 hingga 50 %. Curah hujan per tahun sekitar 1507 mm dengan jumlah hari hujan adalah 85 hari.
Untuk penggunaan lahan di Kota Payakumbuh, sekitar 62.1 % adalah tanah kering, dengan 47.0 % merupakan usaha pertanian, 28.0% tanah bangunan dan halaman serta sisanya berupa hutan negara, dan semak belukar. Sementara penggunaan lahan untuk persawahan adalah sebesar 37.9 %.
Kependudukan
Kota ini didominasi oleh etnis Minangkabau, namun terdapat juga etnis Tionghoa, Jawa dan Batak, dengan jumlah angkatan kerja 50.492 orang dan sekitar 3.483 orang diantaranya merupakan pengangguran[1]. Pada tahun 1943 etnis Tionghoa di kota ini pernah mencapai 2.000 jiwa dari 10.000 jiwa total populasi masa itu.[7]
Pendidikan
Pendidikan formal | SD atau MI negeri dan swasta | SMP atau MTs negeri dan swasta | SMA negeri dan swasta | MA negeri dan swasta | SMK negeri dan swasta | Perguruan tinggi | ||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|
Jumlah satuan | 75 | 20 | 11 | 5 | 12 | 2 | ||||||
Data sekolah di kota Payakumbuh Sumber:[8] |
Kesehatan
Untuk meningkatkan taraf kesehatan, pemerintah kota Payakumbuh telah membangun sebuah rumah sakit yang bernama Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Adnaan WD dan juga mendirikan 6 buah puskesmas dan 23 puskesmas pembantu.[9]
Selain itu di kota ini juga terdapat sebuah rumah sakit swasta yang bernama Rumah Sakit Yarsi.
Perhubungan
Kota ini termasuk kota penghubung antara kota Padang dengan kota Pekanbaru, dari kota ini dapat juga terhubung ke jalur lintas tengah Sumatera tanpa mesti melewati kota Bukittinggi. Terminal Koto Nan Ampek merupakan terminal angkutan darat yang terdapat di kota ini.
Saat ini tengah dibangun jalan lingkar luar bagian utara (10,45 km) dan selatan (15,34 km) dikenal dengan Payakumbuh Bypass untuk memudahkan akses transportasi tanpa harus melalui pusat kota dan untuk mendorong pertumbuhan ekonominya. Pembangunan jalan ini berasal dari dan pinjaman pemerintah pusat kepada Bank Pembangunan Asia (ADB).[10]
Perekonomian
Kota Payakumbuh sebagai kota persinggahan, menjadikan sektor jasa dan perdagangan menjadi sektor andalan. Namun sektor lain seperti pertanian, peternakan dan perikanan masih menjanjikan bagi masyarakat kota ini[11] karena didukung oleh keadaan tanahnya juga terbilang subur.
Untuk menjadikan kota ini sebagai sentra perdagangan selain dengan meningkatkan pasar-pasar tradisional yang ada selama ini, pemerintah setempat bersama masyarakatnya mencoba membangun sistem pergudangan untuk mendukung aktivitas perdagangan yang modern. Saat ini kota Payakumbuh telah memiliki sebuah pasar modern yang terletak di jantung kotanya.
Sementara industri-industri yang ada di kota ini baru berskala kecil, namun telah mampu berproduksi untuk memenuhi permintaan pasar luar negeri, diantaranya sulaman bordir dan songkok/peci.[12]
Pariwisata
Kota Payakumbuh dikenal memiliki makanan khas di antaranya botiah dan galamai, selain itu terdapat juga makanan khas lainnya seperti boreh rondang, kipang, rondang boluk, rondang tolua dan martabak tolua. Pada nagari Tiakar dikenal makanan khasnya bernama paniaram yaitu kue dari beras ketan di campur gula enau.
Beberapa kawasan wisata di kota ini antara lain Ngalau Indah, Ngalau Sompik, Puncak Simarajo, Panorama Ampangan dan sebagainya. Selain itu pertunjukan Pacu Itik merupakan tradisi yang setiap tahunnya diselenggarakan pada nagari-nagari yang ada dalam kota ini juga menjadi salah satu atraksi pariwisata di kota ini.
Beberapa objek wisata di sekitar kota Payakumbuh adalah:
- Jembatan Ratapan Ibu
- Surau Dagang Rao-Rao Labuh Baru
- Rumah Gadang Kapten Tantawi
- Masjid Tuo Koto Nan Ompek
- Masjid Gadang Balai Nan Duo Koto Nan Ompek
- Rumah Gadang Tuanku Lareh Koto Nan Ompek
- Makam Keramat Tanjung Lilin
- Perkampungan Tradisional Minangkabau Balai Kaliki Koto Nan Godang
- Rumah Museum Tan Malaka
Olahraga dan Budaya
Masyarakat kota ini memiliki klub sepak bola yang dikenal dengan nama Persepak Payakumbuh yang bermarkas pada Stadion Kapten Tantawi.
Olahraga pacu kuda juga merupakan pertunjukan yang paling diminati oleh masyarakat kota ini, dan biasa setiap tahunnya diselenggarakan pada gelanggang pacuan kuda yang bernama Kubu Gadang yang sekarang menjadi bahagian dari komplek GOR M.Yamin.
Kota Payakumbuh memiliki beberapa pertunjukan tradisional, diantaranya tarian-tarian daerah yang bercampur dengan gerakan silat serta diiringi dengan nyanyian, dan biasa ditampilkan pada waktu acara adat atau pergelaran seni yang disebut dengan randai.[13] Salah satu kelompok randai yang terkenal diantaranya dari daerah Padang Alai, yang bernama Randai Cindua Mato.
Masyarakat kota Payakumbuh juga terkenal dengan alat musik jenis Talempong, yaitu sama dengan alat musik gamelan di pulau jawa, yang biasa ditampilkan dalam upacara adat, majlis perkawinan dan lain sebagainya. Selain itu alat musik lain yang masih dijumpai di kota ini adalah Saluang, yaitu sejenis alat musik tiup atau sama dengan seruling.
Pelayanan umum
Gaya atau nada penulisan artikel ini tidak mengikuti gaya dan nada penulisan ensiklopedis yang diberlakukan di Wikipedia. |
Air
Kota Payakumbuh tidak punya sumber mata air yang dapat diandalkan untuk memenuhi ketersediaan air bersih bagi seluruh warganya. Akan tetapi, pemerintah Kota Payakumbuh sejak tahun 2012, bisa melampaui target Millennium Development Goals atau Tujuan Pembangunan Milenium yang disepakati 189 negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa, yaitu menyediakan akses air bersih untuk 94 persen rakyatnya. Pada tahun 2013, sebanyak 96 persen rumah tangga di Payakumbuh sudah menikmati air bersih yang memenuhi persyaratan kualitas air minum, sebagaimana termaktub dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 492/MENKES/PER/IV/2010 dan standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Selain itu, sejak dua tahun terakhir, masyarakat pada 10 kelurahan di Kecamatan Payakumbuh Selatan, Kecamatan Payakumbuh Barat dan Kecamatan Payakumbuh Timur, sudah bisa meminum air dari kran yang dialirkan pipa Perusahan Daerah Airum Minum (PDAM) ke rumah-rumah mereka, tanpa harus memasaknya. Lantas, bagaimana Pemko Payakumbuh bisa menyediakan akses air bersih untuk 96 persen warganya, sementara sumber mata air di kota itu sangat minus sekali?[14]
Pemerintah dan PDAM Payakumbuh menjadikan air bersih seperti ideologi: sesuatu yang diyakini kegunaan dan kebaikannya. Karena dijadikan seperti ideologi, pemerintah Payakumbuh menjiwai pentingnya air bersih untuk kehidupan. Mesti di wilayahnya, tidak terdapat lagi sumber mata air yang dapat diandalkan untuk memenuhi ketersediaan air bersih bagi seluruh rakyat, tapi Payakumbuh pintar memberdayakan potensi daerah hinterland-nya, terutama Kabupaten Lima Puluh Kota. Selama bertahun-tahun, PDAM Payakumbuh mengambil sumber air bersih dari tiga mata air yang terdapat di Kabupaten Lima Puluh Kota, yaitu mata air Sungai Dareh, Nagari Situjuah Banda Dalam, mata air Sikamarunciang, Nagari Situjuah Gadang, dan mata air Batang Tabik, Nagari Sungaikamuyang.[15] Dari ketiga mata air itulah, pipa-pipa induk milik PDAM Payakumbuh, mengalirkan air bersih untuk kebutuhan ratusan ribu masyarakat. Namun, sebelum air mengalir sampai jauh, Payakumbuh membangun sinergisitas saling menguntungkan, dengan individu ataupun nagari yang menjadi pemilik ulayat ketiga mata air tadi. Kendati sudah menerapkan hitung-hitungan yang jelas, PDAM Payakumbuh tidak seenaknya saja menyedot kekayaan alam setempat. Perusahaan daerah itu tidak ingin menjadi budak kapitalisme yang serakah. Sebaliknya, PDAM Payakumbuh tetap mengedepankan semangat pembangunan berkelanjutan. Misalnya, dengan memberi perhatian khusus terhadap pembangunan bidang infrastruktur, sosial, lingkungan dan budaya di sekitar sumber mata air. Selain itu, hibah berupa pembangunan jalan ke sumber air dan intens melakukan gerakan penghijauan.
Sanitasi
Selain punya kesadaran menjaga kesinambungan alam di kawasan sumber air dan tidak setengah hati mengurus sarana penunjang pendistribusian air, Pemko Payakumbuh serius menjaga kualitas air bersih. Sejak tahun 2003, Pemerintah Kota Payakumbuh bersunguh-sungguh mengurus persoalan sanitasi dasar bagi rakyatnya. Pemko Payakumbuh mengaji sanitasi dari persoalan sangat sederhana sekali. Seperti kurenah warga yang lebih ingat "urusan masuk", tapi sering lupa dengan "urusan keluar". Maksudnya, banyak warga yang selalu ingat makan, bahkan rela mati demi mendapatkan makanan, namun lupa dengan tinja yang dihasilkan pencernaannya. Bahkan, tidak sedikit warga yang membuang tinja di sepanjang sungai, kolam ikan atau jamban terbang (jamban yang dibangun hanya dengan menggali lobang di dalam kebun atau di belakang rumah). Padahal, tinja manusia yang dibuang sembarang tempat, sangat mempengaruhi kualitas air bersih, sekaligus mengancam kesehatan manusia dan lingkungan. Apalagi bila tinja tersebut berasal dari warga penderita diare, disentri atau muntaber, bisa-bisa menular kepada warga lainnya, sehingga menimbulkan kejadian luar biasa. Wali Kota Payakumbuh waktu itu, Josrizal Zain menyebut, jika separoh dari tinja yang dihasilkan warga Payakumbuh setiap harinya dibuang di sungai, tanah terbuka atau kolam ikan, maka beratnya bisa setara dengan puluhan ekor gajah dalam bentuk kotoran manusia. Sungguh tidak dapat dibayangkan, betapa menjijikkan dan menjadi ancaman persoalan tinja ini, terlebih tinja yang dihasilkan manusia di kawasan perkotaan. "Bisa-bisa, kawasan resapan air semakin tercemar dan ekosistem menjadi terganggu. Karena itu, pada tahun 2003, kami mulai memikirkan, bagaimana warga tidak lagi membuang air di sembarang tempat. Kami berkesimpulan, gerakan stop buang air besar sembarangan, harus dikampanyekan," ucap Josrizal. Hasilnya, sejak tahun 2004 sampai 2005, Pemko Payakumbuh getol berkampanye di tengah masyarakat, tentang pentingnya buang air besar di toilet yang memiliki septitank.
Sejak tahun 2006 hingga tahun 2012, Pemko Payakumbuh melalui Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) yang dibahas bersama DPRD, membangun septitank komunal di kawasan-kawasan padat penduduk dan menyediakan water closed gratis bagi warganya yang masih terbiasa buang air di jamban terbang ataupun di sepanjang sungai dan kolam ikan. Tidak sekedar memanfaatkan APBD yang merupakan duit rakyat, Pemko Payakumbuh membangun water closed gratis bagi rakyat miskin, dengan memanfaatkan dana PNPM-MP dan zakat pegawai yang disalurkan lewat Badan Amil Zakat. Kebijakan terakhir dilakukan karena Pemko Payakumbuh menyadari ajaran agama Islam yang menyatakan kebersihan sebagian dari iman. Dari septitank komunal yang dibangun di kawasan padat pemukiman, Pemko Payakumbuh tidak hanya mempersempit kawasan resapan air yang tercemar tinja, tapi mampu mendorong warga menciptakan biogas dari kotoran manusia, sebagai sumber energi alternatif yang ramah lingkungan. Sementara itu, terhadap tinja dalam septitank yang belum bisa dijadikan sebagai energi terbarukan, Pemko Payakumbuh menanganinya dengan menyediakan mobil penyedot tinja dan membangun Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja (IPLT) di Kelurahan Sungai Durian, Kecamatan Lampasi Tigo Nagari, dengan luas lahan 2,5 hektare dan kapasitas 30.000 M³. Instalasi Pengelolahan Lumpur Tinja di Payakumbuh, tidak hanya dilengkapi dengan sarana air bersih, pagar, lahan penghijauan, pondok kompos, satu kolam fakultatif, dua kolam maturasi, dan lima unit bak pengeringan lumpur. Namun, juga ditunjang dengan Laboratorium Pemantauan Kualitas Air dan Laboratorium Lingkungan Hidup.
Pengelolaan limbah dan sampah
Setelah persoalan tinja manusia mulai tertangani, Pemko Payakumbuh yang dijadikan Indonesian Sanitation Sector Developtment (ISSDP) sebagai percontohan pembangunan sanitasi dasar di Tanah Air, melirik persoalan limbah. Terutama limbah pasar yang bisa mencemari kualitas air dan lingkungan. Sebagai langkah awal, Payakumbuh membangun Instalasi Pengelolaan Limbah Pasar di Pasar Ibuah yang kemudian dijadikan sebagai pasar sehat percontohan oleh Kemenkes RI dan Yayasan Danamon Peduli. Instalasi yang dikelola pemerintah bersama pedagang dan elemen masyarakat, membuat limbah tidak lagi menjadi momok menakutkan di pasar tradisional tersebut.
Beranjak dari persoalan limbah, Pemko Payakumbuh membidik persoalan sampah. Bagaimanapun, sampah yang tidak terurus dengan baik, akan berdampak terhadap kualitas air dan resapan air. Maka langkah awal yang dilakukan Pemko Payakumbuh adalah menangani sampah pasar tradisional di tengah kota. Sampah-sampah itu, baik sampah basah maupun sampah kering, dipilah dengan melibatkan pedagang. Sampah-sampah basah yang berpotensi menjadi pupuk, dikirim ke pabrik pupuk organik yang dibangun di kawasan Pasar Ibuah. Setelah menjadi pupuk, sampah organik tadi kepada petani dengan harga murah, tapi tetap mendatangkan pendapatan buat daerah. Sampah kering atau sampah anorganik yang gagal didaur ulang karena keterbatasan teknologi, tetap dikumpulkan oleh pedagang atau petugas kebersihan Payakumbuh. Setelah terkumpul, sampah kering tadi dijual kepada para pedagang barang bekas yang diorganisir secara resmi oleh pemerintah kota. Tidak berhenti sampai di situ, Pemko Payakumbuh yang menerapkan menerapkan sistem reuse, reduce, dan recycle (3R) dalam pengelolaan sampah, membangun bank sampah di sekolah-sekolah. Hasilnya, bukan hanya sampah di lingkungan sekolah yang terkumpul. Siswa-siswi terdidik pula menjaga kebaikan alam dan punya semangat kewirausahaan yang sudah lama menjadi karakter masyarakat Minangkabau. Selepas menangani sampah pasar dan sampah sekolah, Pemko Payakumbuh mulai berkonsentrasi memikirkan sampah di lingkungan RT dan RW. Ini tentu tidak semudah membalik telapak tangan.
Mesti hanya sebuah kota sedang di Sumatera Barat, tapi sampah yang dihasilkan warga Payakumbuh sangat banyak. Setiap Subuh, petugas kebersihan yang umumnya adalah tenaga outsourcing, kewalahan menyapu jalan dan mengumpulkan sampah di lingkungan pemukiman. Pasukan kuning juga sempat kesulitan saat mengangkut sampah dengan menggunakan truk ke Tempat Pembuangan Akhir Sampah (TPAS). Kesulitan terjadi karena sampai penghujung tahun 2008, Kota Payakumbuh hanya memiliki sebuah TPAS yang disewa kepada masyarakat di Kelurahan Ampangan, Nagari Auakuniang, Payakumbuh Selatan. Untuk mengatasi persoalan itu, sejak tahun 2009, Pemko Payakumbuh mulai memikirkan tempat pengolaan sampah yang representatif. Berkat niat tulus menjaga kebaikan alam dan kebaikan hidup, Pemko Payakumbuh akhirnya menyediakan lahan kosong yang berada jauh dari pemukiman penduduk, untuk dijadikan sebagai TPAS. Lahan kosong itu berada Kelurahan Kapalokoto, Nagari Auakuniang, Kecamatan Payakumbuh Selatan, tidak jauh dari lokasi TPAS Ampangan. Setelah lahan tersedia, Pemko Payakumbuh memancing Pemerintah Provinsi Sumatera Barat untuk peduli terhadap persoalan sampah perkotaan. Hasilnya, melalui sebuah konsep yang dinamakan dengan regional managemen atau kerjasama antar daerah, Payakumbuh berhasil membangun sebuah Tempat Pembuangan Akhir Regional (TPA Regional). Sesuai namanya, TPA Regional itu tidak hanya dijadikan tempat pembuangan sampah dari Kota Tapi Payakumbuh. Tetapi juga menampung sampah dari kabupaten/kota lain di Sumatera Barat, yakni Kota Bukitinggi, Kota Padangpanjang, Kota Sawahlunto, Kabupaten Limapuluh Kota, Kabupaten Agam dan Kabupaten Tanahdatar. Sama dengan sampah pasar, sampah di TPA Regional Payakumbuh juga dipisah. Sampah basah, dijadikan sebagai pupuk organik dan dijual dengan harga miring kepada petani.
Sistem pengolahan sampah di Payakumbuh ini diapresiasi oleh Khilda Baiti Rohmah, "Ratu Sampah dari Kota Bandung" yang meraih Danamon Award 2011 karena kegigihannya mengelolah sampah. Menurut Khilda, sistem pengolahan sampah di Kota Payakumbuh, terutama sampah basah atau sampah organik yang dijadikan pupuk untuk petani, layak dijadikan rujukan di Indonesia, khususnya di Sumatera Barat. "Pemerintah Kota Payakumbuh, sangat serius mengurus persoalan sampah dan sanitasi," ucap Khilda saat datang ke Payakumbuh, Januari 2012 silam.
Rujukan
- ^ a b djkd.depdagri.go.id[1]
- ^ "Perpres No. 10 Tahun 2013". 2013-02-04. Diakses tanggal 2013-02-15.
- ^ Abdullah, Taufik, (2009), Schools and Politics: The Kaum Muda Movement in West Sumatra (1927-1933), Equinox Publishing, ISBN 978-602-8397-50-6.
- ^ Reimar Schefold, P. Nas, Gaudenz Domenig, (2004), Indonesian Houses: Tradition and transformation in vernacular architecture, Vol. 1, Illustrated, ISBN 978-9971-69-292-6.
- ^ www.legalitas.org Undang-undang Nomor 8 tahun 1956 (diakses pada 27 Juni 2010)
- ^ www.payakumbuhkota.go.id Profil {diakses pada 27 Juni 2010)
- ^ Yoon-wah Wong, (1988), Essays on Chinese literature: a comparative approach, NUS Press, ISBN 978-9971-69-109-7.
- ^ nisn.jardiknas.org Rekap Data
- ^ www.depkes.go.id Profil Kesehatan Kota Payakumbuh (diakses pada 3 Juli 2010)
- ^ payakumbuhkota.go.id Infrastruktur
- ^ www.cps-sss.org kota Payakumbuh (diakses pada 27 Juni 2010)
- ^ payakumbuhkota.go.id Perdagangan (diakses pada 3 Juli 2010)
- ^ Phillips, Nigel, (1981), Sijobang: sung narrative poetry of West Sumatra, Cambridge University Press, ISBN 978-0-521-23737-6.
- ^ http://padangekspres.co.id/?news=berita&id=40028
- ^ ciptakarya.pu.go.id Profil Kota Payakumbuh (diakses pada 3 Juli 2010)
Pranala luar
- (Indonesia) Situs web resmi