Perkembangan Film

Revisi sejak 23 Februari 2013 11.16 oleh Midori (bicara | kontrib)

Perkembangan film memiliki perjalanan cukup panjang hingga pada akhirnya menjadi seperti film di masa kini yang kaya dengan efek, dan sangat mudah didapatkan sebagai media hiburan. Perkembangan film dimulai ketika digunakannya alat kinetoskop temuan Thomas Alfa Edison yang pada masa itu digunakan oleh penonton individual. Film awal masih bisu dan tidak berwarna. Pemutaran film di bioskop untuk pertama kalinya dilakukan pada awal abad 20, hingga industri film Hollywood yang pertama kali, bahkan hingga saat ini merajai industri perfilman populer secara global. Pada tahun 1927 teknologi sudah cukup mumpuni untuk memproduksi film bicara yang dialognya dapat didengar secara langsung, namun masih hitam-putih. Hingga pada 1937 teknologi film sudah mampu memproduksi film berwarna yang lebih menarik dan diikuti dengan alur cerita yang mulai populer. Pada tahun1970-an, film sudah bisa direkam dalam jumlah massal dengan menggunakan videotape yang kemudian dijual. Tahun 1980-an ditemukan teknologi laser disc, lalu VCD dan kemudian menyusul teknologi DVD. Hingga saat ini digital movie yang lebih praktis banyak digemari sehingga semakin menjadikan popularitas film meningkat dan film menjadi semakin dekat dengan keserarian masyarakat modern.

Pengertian film

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, film dapat diartikan dalam dua pengertian. Yang pertama, film merupakan sebuah selaput tipis berbahan seluloid yang digunakan untuk menyimpan gambar negatif dari sebuah objek. Yang kedua, film diartikan sebagai lakon atau gambar hidup. Dalam konteks khusus, film diartikan sebagai lakon hidup atau gambar gerak yang biasanya juga disimpan dalam media seluloid tipis dalam bentuk gambar negatif.[1] Meskipun kini film bukan hanya dapat disimpan dalam media selaput seluloid saja. Film dapat juga disimpan dan diputar kembali dalam media digital.

Sejarah film

Sejarah film tidak bisa lepas dari sejarah fotografi. Dan sejarah fotografi tidak bisa lepas dari peralatan pendukungnya, seperti kamera. Kamera pertama di dunia ditemukan oleh seorang Ilmuwan Muslim, Ibnu Haitham. Fisikawan ini pertama kali menemukan Kamera Obscura dengan dasar kajian ilmu optik menggunakan bantuan energi cahaya matahari. Mengembangkan ide kamera sederhana tersebut, mulai ditemukan kamera-kamera yang lebih praktis, bahka inovasinya demikian pesat berkembang sehingga kamera mulai bisa digunakan untuk merekam gambar gerak. Ide dasar sebuah film sendiri, terfikir secara tidak sengaja. Pada tahun 1878 ketika beberapa orang pria Amerika berkumpul dan dari perbincangan ringan menimbulkan sebuah pertanyaan : “Apakah keempat kaki kuda berada pada posisi melayang pada saat bersamaan ketika kuda berlari?" Pertanyaan itu terjawab ketika Eadweard Muybridge membuat 16 frame gambar kuda yang sedang berlari. Dari 16 frame gambar kuda yang sedang berlari tersebut, dibuat rangkaian gerakan secara urut sehingga gambar kuda terkesan sedang berlari. Dan terbuktilah bahwa ada satu momen dimana kaki kuda tidak menyentuh tanah ketika kuda tengah berlari kencang Konsepnya hampir sama dengan konsep film kartun. Gambar gerak kuda tersebut menjadi gambar gerak pertama di dunia. Dimana pada masa itu belum diciptakan kamera yang bisa merekam gerakan dinamis. Setelah penemuan gambar bergerak Muybridge pertama kalinya, inovasi kamera mulai berkembang ketika Thomas Alfa Edison mengembangkan fungsi kamera gambar biasa menjadi kamera yang mampu merekam gambar gerak pada tahun 1988, sehingga kamera mulai bisa merekam objek yang bergerak dinamis. Maka dimulailah era baru sinematografi yang ditandai dengan diciptakannya sejenis film dokumenter singkat oleh Lumière Bersaudara. Film yang diakui sebagai sinema pertama di dunia tersebut diputar di Boulevard des Capucines, Paris, Prancis dengan judul Workers Leaving the Lumière's Factory pada tanggal 28 Desember 1895 yang kemudian ditetapkan sebagai hari lahirnya sinematografi. Film inaudibel yang hanya berdurasi beberapa detik itu menggambarkan bagaimana pekerja pabrik meninggalkan tempat kerja mereka disaat waktu pulang.[2] Pada awal lahirnya film, memang tampak belum ada tujuan dan alur cerita yang jelas. Namun ketika ide pembuatan film mulai tersentuh oleh ranah industri, mulailah film dibuat lebih terkonsep, memiliki alur dan cerita yang jelas. Meskipun pada era baru dunia film, gambarnya masih tidak berwarna alias hitam-putih, dan belum didukung oleh efek audio. Ketika itu, saat orang-orang tengah menyaksikan pemutaran sebuah film, akan ada pemain musik yang mengiringi secara langsung gambar gerak yag ditampilkan di layar sebagai efek suara.

Klasifikasi film

Seiring berkembangnya dunia perfilman, semakin banyak film yang diproduksi dengan corak yang berbeda-beda. Secara garis besar, film dapat diklasifikasikan berdasarkan cerita, orientasi pembuatan, dan berdasarkan genre.

Berdasarkan cerita, film dapat dibedakan antara film Fiksi dan Non-Fiksi. Fiksi merupakan film yang dibuat berdasarkan imajinasi manusia, dengan kata lain film ini tidak didasarkan pada kejadian nyata. Kemudian film Non-Fiksi yang pembuatannya diilhami oleh suatu kejadian yang benar-benar terjadi yang kemudian dimasukkan unsur-unsur sinematografis dengan penambahan efek-efek tertentu seperti efek suara, musik, cahaya, komputerisasi, skenario atau naskah yang memikat dan lain sebagainya untuk mendukung daya tarik film Non-Fiksi tersebut. Contoh film non-fiksi misalnya film The Iron Lady yang diilhami dari kehidupan Margaret Thatcher.

Kemudian berdasarkan orientasi pembuatannya, film dapat digolongkan dalam film komersial dan nonkomersial. Film komersial, orientasi pembuatannya adalah bisnis dan mengejar keuntungan. Dalam klasifikasi ini, film memang dijadikan sebagai komoditas industrialisasi. Sehingga film dibuat sedemikian rupa agar memiliki nilai jual dan menarik untuk disimak oleh berbagai lapisan khalayak. Film komersial biasanya lebih ringan, atraktif, dan mudah dimengerti agar lebih banyak orang yang berminat untuk menyaksikannya. Berbeda dengan film non-komersial yang bukan berorientasi bisnis. Dengan kata lain, film non-komersial ini dibuat bukan dalam rangka mengejar target keuntungan dan azasnya bukan untuk menjadikan film sebagai komoditas, melainkan murni sebagai seni dalam menyampaikan suatu pesan dan sarat akan tujuan. Karena bukan dibuat atas dasar kepentingan bisnis dan keuntungan, maka biasanya segmentasi penonton film non-komersial juga terbatas. Contoh film non-komersial misalnya berupa film propaganda, yang dibuat dengan tujuan mempengaruhi pola pikir massal agar sesuai dengan pesan yang berusaha disampaikan. Di Indonesia sendiri contoh film propaganda yang cukup melegenda adalah film G30S/PKI. Atau film dokumenter yang mengangkat suatu tema khusus, misalnya dokumentasi kehidupan flora dan fauna atau dokumentasi yang mengangkat kehidupan anak jalanan, dan lain sebagainya. Selain itu, beberapa film yang memang dibuat bukan untuk tujuan bisnis, justru dibuat dengan tujuan untuk meraih penghargaan tertentu di bidang perfilman dan sinematografi. Film seperti ini biasanya memiliki pesan moral yag sangat mendalam, estetika yang diperhatikan detail-detailnya, dengan skenario yang disusun sedemikian rupa agar setiap gerakan dan perkataannya dapat mengandung makna yang begitu kaya. Film seperti ini biasanya tidak mudah dicerna oleh banyak orang, karena memang sasaran pembuatannya bukan berdasarkan tuntutan pasar. Seni, estetika, dan makna merupakan tolok ukur pembuatan film seperti ini. Contohnya di Indonesia seperti film Pasir Berbisik yang di produseri oleh Christine Hakim dan Daun di Atas Bantal yang berkisah mengenai kehidupan anak jalanan.

Kemudian klasifikasi berdasarkan genre film itu sendiri. Terdapat beragam genre film yang biasa dikenal masyarakat selama ini, diantaranya:

  • Action
  • Komedi
  • Drama
  • Petualangan
  • Epik
  • Musikal
  • Perang
  • Science Fiction
  • Pop
  • Horror
  • Gangster
  • Thriller
  • Fantasi
  • Disaster / Bencana[3]

Industrialisasi Film

Studio besar industri film

Terdapat delapan delapan produser film raksasa yang selama ini sudah merajai industri perfilman dunia, diantaranya

Mereka merupakan bagian dari integrasi vertikal konglomerasi yang mendominasi distribusi dan produksi film. Masing-masing perusahaan memiliki kemampuan untuk memproduksi 15 hingga 25 film setiap tahun. Namun sesungguhnya perusahaan produksi film tersebut telah mengurangi produktivitasnya dengan memproduksi lebih sedikit film pada kisaran tahun 2008-2009 dan menjadi lebih konservatif dan berhati-hati dalam segala keputusan distribusi dan produksi mereka. Sekarang, perusahaan besar berani menginvestasikan rata-rata sekitar US$66.000.000 perfilm, ditambah biaya pengiklanan dan promosi sekitar rata-rata US$36.000.0000. [5]

Nama-nama aktor dan sutradara papan atas juga menjadi perhitungan sumber profit mereka yang dipersentasikan melalui permintaan pasar. Nama besar aktor seperti Johnny Depp misalnya, yang mampu menghasilkan US$ 50.000.000 pada akhir kesusksesan sebuah film serta tambahan keuntungan sekitar US$ 20.000.000 hanya dengan penampilannya saja. Maka angka pertaruhannya sangat tinggi, sehingga tuntutan untuk mampu memproduksi film-film big hits menjadi sangat besar.

Sebuah perusahaan muda, DreamWorks, yang dirintis oleh Steven Spielberg pada 1995 kini juga sudah menuai sukses dalam bidang film animasi, namun masih harus menghadapi persaingan ketat dalam pangsa yang lain. Kesuksesan produksi film Shrek dan Madagascar kontan menjadikan DreamWorks sebagai kompetitor yang layak diperhitungkan oleh PixarStudio, yang memproduksi film-film animasi populer, terutama film-film animasi keluaran Disney. [6]

Produksi film independen

Kebanyakan film keluaran tahun 2009 tidak lagi hanya diproduksi dalam studio. Banyak yang mulai memproduksi film-film independen (indie). Meski begitu, jarang dari mereka yang sukses didistribusikan ke pasaran. Sekitar 900 film independen diproduksi di Amerika pada tahun 2009. Namun hanya 500 film diantaranya yang benar-benar didistribusikan dan dipasarkan. Jadi, bagi sutradara film-film indie sendiri, target utamanya adalah berhasil mendistribusikan film mereka. Soal finansial, film indie biasanya tidak memakai terlalu banyak biaya. Sehingga keuntungan finansial bukan menjadi target utama pembuatan film indie. [7]


Referensi

  1. ^ {Kamus Besar Bahasa Indonesia}
  2. ^ {LaRose,et.al.media now.Boston, USA.2009}
  3. ^ {http://www.filmsite.org/genres.html}
  4. ^ {LaRose,et.al.media now.Boston, USA.2009}
  5. ^ {LaRose,et.al.media now.Boston, USA.2009}
  6. ^ {LaRose,et.al.media now.Boston, USA.2009}
  7. ^ {LaRose,et.al.media now.Boston, USA.2009}