Mohammad Hatta

Wakil Presiden Indonesia ke-1 (1945–1956) dan Perdana Menteri Indonesia ke-3 (1948–1950)
Revisi sejak 4 Maret 2013 14.35 oleh Irfan aldin (bicara | kontrib) (Membatalkan revisi 6528126 oleh 182.23.44.14 (bicara))

Dr. Drs. H. Mohammad Hatta (lahir dengan nama Muhammad Athar, populer sebagai Bung Hatta; 12 Agustus 1902 – 14 Maret 1980) adalah pejuang, negarawan, ekonom, dan juga Wakil Presiden Indonesia yang pertama. Ia bersama Soekarno memainkan peranan penting untuk memerdekakan bangsa Indonesia dari penjajahan Belanda sekaligus memproklamirkannya pada 17 Agustus 1945. Ia juga pernah menjabat sebagai Perdana Menteri dalam Kabinet Hatta I, Hatta II, dan RIS. Ia mundur dari jabatan wakil presiden pada tahun 1956, karena berselisih dengan Presiden Soekarno. Hatta juga dikenal sebagai Bapak Koperasi Indonesia.

Dr. Drs. H.
Mohammad Hatta
Wakil Presiden Indonesia 1
Masa jabatan
18 Agustus 1945 – 1 Desember 1956
PresidenSoekarno
Sebelum
Pendahulu
Tidak ada, jabatan baru
Perdana Menteri Indonesia 3
Masa jabatan
29 Januari 1948 – 5 September 1950
PresidenSoekarno
Menteri Pertahanan Republik Indonesia 4
Masa jabatan
29 Januari 1948 – 4 Agustus 1949
PresidenSoekarno
Informasi pribadi
Lahir(1902-08-12)12 Agustus 1902
Belanda Fort de Kock (sekarang Kota Bukittinggi, Sumatera Barat), Hindia Belanda
Meninggal14 Maret 1980(1980-03-14) (umur 77)
Indonesia Jakarta, Indonesia
KebangsaanIndonesia
Partai politikNon partai
Suami/istriRahmi Rachim
AnakMeutia Hatta
Gemala Hatta
Halida Hatta
Tanda tangan
Sunting kotak info
Sunting kotak info • L • B
Bantuan penggunaan templat ini

Bandar udara internasional Jakarta, Bandar Udara Soekarno-Hatta, menggunakan namanya sebagai penghormatan terhadap jasa-jasanya. Selain diabadikan di Indonesia, nama Mohammad Hatta juga diabadikan di Belanda yaitu sebagai nama jalan di kawasan perumahan Zuiderpolder, Haarlem dengan nama Mohammed Hattastraat. Pada tahun 1980, ia meninggal dan dimakamkan di Tanah Kusir, Jakarta. Bung Hatta ditetapkan sebagai salah satu Pahlawan Nasional Indonesia pada tanggal 23 Oktober 1986 melalui Keppres nomor 081/TK/1986/[1]

Kehidupan awal

Latar belakang

Mohammad Hatta lahir pada 12 Agustus 1902 dengan nama Muhammad 'Athar di Batu Hampar, ia terletak di antara Payakumbuh dan Bukittinggi;[2] 'Athar sendiri berasal dari Bahasa Arab yang artinya harum.[3] Kakeknya, Syaikh Arsyad adalah seorang ulama besar di Batu Hampar, walaupun ayahnya, Muhammad Djamil,[4] tidak melanjutkan kehidupan di surau, ia tetap berdagang dengan pengaruh agama yang tidak lepas dari dirinya.[2] Sedangkan ibunya, Siti Saleha,[4] adalah seorang keturunan pedagang. Kakeknya dari pihak ibu dipanggil Hatta Pak Gaek, yang bernama asli Ilyas Bagindo Marah.[5][4] Beberapa orang pamannya adalah pengusaha besar di Jakarta.

Hatta adalah anak kedua dari dua bersaudara, anak mereka yang pertama bernama Rafi'ah. Ia lahir tahun 1900. Ayahnya meninggal pada saat Hatta masih berumur 7 bulan.[3] Setelah kematian ayahnya, ibunya menikah dengan Mas Agus Haji Ning, seorang pedagang dari Palembang,[6] Haji Ning sering berhubungan dagang dengan Ilyas Bagindo Marah. Dari perkawinan Siti Saleha dengan Haji Ning, mereka mendapat 4 orang anak, yang kesemuanya adalah perempuan.[3]

Pendidikan dan pergaulan

Sewaktu kecil, Mohammad Hatta bersekolah di sekolah swasta.[7] Setelah 6 bulan kemudian, ia pindah ke Sekolah Rakyat dan sekelas dengan Rafi'ah, kakaknya. Pelajarannya berhenti pada kelas 3.[8] Pada pertengahan semester, ia pindah ke ELS di Padang[9] sampai 1913. Kemudian di MULO sampai 1917. Selain belajar dengan formal, Hatta kecil di Bukittinggi mengaji di surau Muhammad Jamil Jambek dan Abdullah Ahmad.[10] Selain keluarga, perdagangan memengaruhi perhatian Hatta terhadap perekonomian. Di Padang, ia mengenal pedagang-pedagang yang masuk anggota Serikat Usaha dan juga aktif dalam Jong Sumatranen Bond sebagai bendahara.[11] Kegiatannya ini tetap dilanjutkannya ketika ia bersekolah di Prins Hendrik School. Mohammad Hatta tetap menjadi bendahara di Jakarta.[12]

Kakeknya bermaksud akan ke Mekkah, dan pada kesempatan tersebut, ia dapat membawa Mohammad Hatta melanjutkan pelajaran di bidang agama, yakni ke Mesir (Al-Azhar).[12] Ini dilakukan untuk meningkatkan kualitas surau di Batu Hampar yang memang sudah menurun semenjak ditinggalkan Syaikh Abdurrahman. Tapi, hal ini diprotes dan mengusulkan pamannya, Idris untuk menggantikannya.[13] Menurut catatan Amrin Imran, Pak Gaeknya kecewa dan Syekh Arsyad pada akhirnya menyerahkan kepada Tuhan.[14]

Pergerakan

1921-1932

 
Hatta (pertama dari kanan) bersama para pengurus Perhimpunan Indonesia, pada waktu itu (tahun 1925) Hatta masih berstatus seorang bendahara di situ

Pergerakan politik ia mulai sewaktu bersekolah di Belanda dari 1921-1932. Ia bersekolah di Handels Hogeschool (kelak sekolah ini disebut Economische Hogeschool), selama bersekolah di sana, ia masuk organisasi sosial Indische Vereniging yang kemudian menjadi organisasi politik dengan adanya pengaruh Ki Hadjar Dewantara, Cipto Mangunkusumo, dan Douwes Dekker. Pada tahun 1923, Hatta menjadi bendahara dan mengasuh majalah Hindia Putera yang berganti nama menjadi Indonesia Merdeka.[15] Pada tahun 1924, organisasi ini berubah nama menjadi Indische Vereniging (Perhimpunan Indonesia; PI).[16]

Pada tahun 1926, ia menjadi pimpinan Perhimpunan Indonesia. Sebagai akibatnya, ia terlambat menyelesaikan studi.[17] Di bawah kepemimpinannya, PI mendapatkan perubahan. Perhimpunan ini lebih banyak memperhatikan perkembangan pergerakan di Indonesia dengan memberikan banyak komentar, dan banyak ulasan di media massa di Indonesia.[17] Setahun kemudian, ia seharusnya sudah berhenti dari jabatan ketua, namun ia dipilih kembali hingga tahun 1930.[18] Pada Desember 1926, Semaun dari PKI datang kepada Hatta untuk menawarkan pimpinan pergerakan nasional secara umum kepada PI,[17] selain itu dia dan Semaun membuat suatu perjanjian bernama "Konvensi Semaun-Hatta". Inilah yang dijadikan alasan Pemerintah Belanda ingin menangkap Hatta.[19] Waktu itu, Hatta belum meyetujui paham komunis. Stalin membatalkan keinginan Semaun, sehingga hubungan Hatta dengan komunisme mulai memburuk.[20] Sikap Hatta ini ditentang oleh anggota PI yang sudah dikuasai komunis.[21]

Pada tahun 1927, ia mengikuti sidang "Liga Menentang Imperialisme, Penindasan Kolonial dan untuk Kemerdekaan Nasional" di Frankfurt.[a] Dalam sidang ini, pihak komunis dan utusan dari Rusia namapak ingin menguasai sidang ini, sehingga Hatta tidak bisa percaya terhadap komunis.[22] Pada waktu itu, majalah PI, Indonesia Merdeka masuk dengan mudah ke Indonesia lewat penyelundupan, karena banyak penggeledahan oleh pihak kepolisian terhadap kaum pergerakan yang dicurigai. [23]

 
Mohammad Hatta bersama Abdulmadjid Djojohadiningrat, Nazir Datuk Pamuntjak, dan Ali Sastroamidjojo

Pada 25 September 1927, Hatta bersama Ali Sastroamidjojo, Nazir Datuk Pamuntjak, dan Madjid Djojohadiningrat ditangkap oleh penguasa Belanda atas tuduhan mengikuti partai terlarang yang dikait-kaitkan dengan Semaun, terlibat pemberontakan di Indonesia yang dilakukan PKI dari tahun 1926-1927, dan menghasut supaya menentang Kerajaan Belanda. Moh. Hatta sendiri dihukum tiga tahun penjara.[24] Mereka semua dipenjara di Rotterdam.[25] Dia juga dituduh akan melarikan diri, sehingga dia yang sedang memperkenalkan Indonesia ke kota-kota di Eropa sengaja pulang lebih cepat begitu berita ini tersebar.[24]

Semua tuduhan tersebut, ia tolak dalam pidatonya "Indonesia Merdeka" (Indonesie Vrij) pada sidang kedua tanggal 22 Maret 1928.[25] Pidato ini sampai ke Indonesia dengan cara penyelundupan. Ia juga dibela 3 orang pengacara Belanda yang salah satunya berasal dari parlemen. Yang dari parlemen, bernama J.E.W. Duys. Tokoh ini memang bersimpati padanya. Setelah ditahan beberapa bulan, mereka berempat dibebaskan dari tuduhan, karena tuduhan tidak bisa dibuktikan.[26]

Sampai pada tahun 1931, Mohammad Hatta mundur dari kedudukannya sebagai ketua karena hendak mengikuti ujian sarjana, sehingga ia berhenti dari PI; namun demikian ia akan tetap membantu PI.[18] Akibatnya, PI jatuh ke tangan komunis, dan mendapat arahan dari partai komunis Belanda dan juga dari Moskow. Setelah tahun 1931, PI mengecam keras kebijakan Hatta dan mengeluarkannya dari organisasi ini.[27]

Pada Desember 1931, para pengikut Hatta segera membuat gerakan tandingan yang disebut Gerakan Merdeka yang kemudian bernama Pendidikan Nasional Indonesia yang kelak disebut PNI Baru. Ini mendorong Hatta dan Syahrir yang pada saat itu sedang bersekolah di Belanda untuk mengambil langkah kongkret untuk mempersiapkan kepemimpinan di sana. Hatta sendiri merasa perlu untuk menyelesaikan studinya terlebih dahulu. Oleh karenanya, Syahrir terpaksa pulang dan untuk memimpin PNI.[28] Kalau Hatta kembali pada 1932, diharapkan Syahrir dapat melanjutkan studinya.[28]

1932-1941

Sekembalinya ia dari Belanda, ia ditawarkan masuk kalangan Sosialis Merdeka (Onafhankelijke Socialistische Partij, OSP) untuk menjadi anggota parlemen Belanda, dan menjadi perdebatan hangat di Indonesia pada saat itu. Ini dikarenakan ia berpendapat bahwa ia tidak setuju orang Indonesia menjadi anggota dalam parlemen Belanda.[29] Sebenarnya dia menolak masuk, dengan alasan ia perlu berada dan berjuang di Indonesia. Namun, pemberitaan di Indonesia mengatakan bahwa Hatta menerima kedudukan tersebut, sehingga Soekarno menuduhnya tidak konsisten dalam menjalankan sistem non-kooperatif.[30]

Setelah Hatta kembali dari Belanda, Syahrir tidak bisa ke Belanda karena keduanya keburu ditangkap Belanda pada 25 Februari 1934 dan dibuang ke Digul, dan selanjutnya ke Banda Neira.[31] Baik di Digul maupun Banda Neira, ia banyak menulis di koran-koran Jakarta, dan ada juga untuk majalah-majalah di Medan. Artikelnya tidak terlalu politis, namun bersifat lebih menganalisis dan mendidik pembaca. Ia juga banyak membahas pertarungan kekuasaan di Pasifik.[32]

Keempat orang berdiri menghadap ke depan
Mohammad Hatta (kedua dari kanan) di Digul semenjak 1935

Semasa diasingkan ke Digul, ia membawa semua buku-bukunya ke tempat pengasingannya. Di sana, ia mengatur waktunya sehari-hari. Pada saat hendak membaca, ia tak mau diganggu. Sehingga, beberapa kawannya menganggap dia sombong.[33] Ia juga merupakan sosok yang peduli terhadap tahanan. Ia menolak bekerja sama dengan penguasa setempat, misalnya memberantas malaria. Apabila ia mau bekerja sama, ia diberi gaji f 7.50 sebulan. Namun, kalau tidak, ia hanya diberi gaji f 2.50 saja.[34] Gajinya itu tidak ia habiskan sendiri. Ia juga peduli terhadap kawannya yang kekurangan.[34]

Di Digul, selain bercocok tanam, ia juga membuat kursus kepada para tahanan. Di antara tahanan tersebut, ada beberapa orang yang ibadah shalat dan puasanya teratur; baik dari Minangkabau maupun Banten. Tapi, mereka ditangkap karena -pada umumnya- terlibat pemberontakan komunis.[35]

Lihat pula

Catatan bawah

  1. ^ Nama aslinya adalah "Liga tegen Imperialisme, tegen Koloniale Onderdrukking en voor Nationale Onafhankelijkheid" (Noer 2012, hlm. 21).

Referensi

  1. ^ Daftar Nama Pahlawan Nasional Republik Indonesia, Departemen Sosial RI Online, Januari 2010. Diakses 26 Agustus 2012.
  2. ^ a b Noer 2012, hlm. 3.
  3. ^ a b c Imran 1991, hlm. 2.
  4. ^ a b c Imran 1991, hlm. 1.
  5. ^ Noer 2012, hlm. 3-4.
  6. ^ Noer 2012, hlm. 4.
  7. ^ Imran 1991, hlm. 4.
  8. ^ Imran 1991, hlm. 4-5.
  9. ^ Imran 1991, hlm. 5.
  10. ^ Noer 2012, hlm. 5.
  11. ^ Noer 2012, hlm. 8, 9.
  12. ^ a b Noer 2012, hlm. 9.
  13. ^ Noer 2012, hlm. 9-10.
  14. ^ Imran 1991, hlm. 7.
  15. ^ Imran 1991, hlm. 23.
  16. ^ Noer 2012, hlm. 17-18.
  17. ^ a b c Noer 2012, hlm. 19.
  18. ^ a b Imran 1991, hlm. 24.
  19. ^ Imran 1991, hlm. 28.
  20. ^ Noer 2012, hlm. 19-20.
  21. ^ Noer 2012, hlm. 20.
  22. ^ Noer 2012, hlm. 20-21.
  23. ^ Noer 2012, hlm. 23-24.
  24. ^ a b Noer 2012, hlm. 25.
  25. ^ a b Imran 1991, hlm. 29.
  26. ^ Noer 2012, hlm. 29.
  27. ^ Noer 2012, hlm. 33.
  28. ^ a b Noer 2012, hlm. 42.
  29. ^ Noer 2012, hlm. 37-38.
  30. ^ Noer 2012, hlm. 38.
  31. ^ Noer 2012, hlm. 42-43.
  32. ^ Noer 2012, hlm. 50-51.
  33. ^ Noer 2012, hlm. 47, 50.
  34. ^ a b Noer 2012, hlm. 50.
  35. ^ Noer 2012, hlm. 51-52.

Daftar pustaka

Bacaan lanjutan

  • Hatta, Mohammad, Mohammad Hatta Memoir, Tinta Mas Jakarta, 1979
  • Deliar Noer. 1990. Mohammad Hatta, Biografi Politik. Jakarta: LP3ES.
  • Greta O. Wilson (ed.). 1978. Regents, reformers, and revolutionaries: Indonesian Voices of Colonial Days. Asian Studies at Hawaii, no 21. The University Press of Hawaii.
  • George McTurnan Kahin. 1952. Nationalism and Revolution in Indonesia. Cornell University Press.


Pranala luar

Jabatan politik
Posisi baru Wakil Presiden Indonesia
1945–1956
Jabatan lowong
Selanjutnya dijabat oleh
Sri Sultan Hamengkubuwono IX
Didahului oleh:
Amir Sjarifoeddin
Perdana Menteri Indonesia
1948–1950
Diteruskan oleh:
Abdul Halim
Didahului oleh:
Agus Salim
Menteri Luar Negeri Indonesia
19491950
Diteruskan oleh:
Mohammad Roem