Kerajaan Pannai

kerajaan di Asia Tenggara

Kerajaan Pannai, Panai atau Pane merupakan kerajaan Buddhis yang pernah berdiri pada abad ke-11 sampai ke-14 di pesisir timur Sumatera Utara. Lokasi kerajaan ini tepatnya di lembah sungai Panai dan Barumun yang mengalir di Kabupaten Labuhanbatu dan Kabupaten Tapanuli Selatan sekarang. Kerajaan ini kurang dikenal akibat minimnya sumber sejarah dan sedikitnya prasasti yang menyebutkan kerajaan ini. Sebagai kerajaan kecil, kemungkinan kerajaan Pannai merupakan kerajaan bawahan dari Kerajaan Sriwijaya kemudian Dharmasraya. Meskipun kurang dikenal, kerajaan Buddha beraliran Tantrayana ini meninggalkan peninggalan belasan candi-candi Buddha yang tersebar di kawasan Percandian Padanglawas, yakni sebanyak 16 bangunan, salah satunya Candi Bahal.

Catatan sejarah

Keberadaan kerajaan ini pertama kali diketahui dari Prasasti Tanjore yang berbahasa Tamil berangka tahun 1025 dan 1030 Saka yang dibuat Raja Rajendra Cola I, di India Selatan, yang menyebutkan tentang penyerangannya ke Sriwijaya. Prasasti ini menyebutkan bahwa kerajaan Pannai dengan kolam airnya merupakan salah satu taklukan Rajendra Cola I dari Colamandala India.[1] Selain Pannai, penyerbuan Chola ini juga disebutkan telah menaklukkan Malaiyur, Ilangasogam, Madamalingam, Ilamuri-Desam, dan Kadaram. Disebutkannya kerajaan Pannai sebagai salah satu negeri taklukan dalam penyerbuan ke Sriwijaya ini menimbulkan dugaan bahwa kerajaan Pannai adalah salah satu negeri anggota mandala Sriwijaya.

Hampir empat abad kemudian nama kerajaan ini kembali disebutkan dalam kitab Nagarakertagama, naskah kuno Kerajaan Majapahit tulisan Empu Prapanca berangka tahun 1365 Saka. Dalam pupuh ke-13 disebutkan Pane sebagai bagian dari negeri-negeri di Sumatera yang dibawah pengaruh mandala Majapahit. Singhasari melalui Ekspedisi Pamalayu berhasil menarik kerajaan Malayu Dharmasraya masuk dalam pengaruh Singhasari, maka segenap negeri bawahan Dharmasraya seperti Palembang, Teba, Kandis, Kahwas, Minangkabau, Siak, Rokan, Kampar, Pane, Kampe, Haru, Mandailing, Tamiyang, Perlak, Padang Lawas, Samudra, Lamuri, Batan, Lampung, dan Barus pun masuk dalam lingkungan pengaruh Jawa Singhasari dan kemudian diwarisi oleh Majapahit.

Peninggalan bersejarah

Para arkeolog dan sejarahwan berusaha mencari lokasi kerajaan ini, dan karena kesamaan nama tempat maka merujuk pada daerah di sekitar muara sungai Panai dan sungai Barumun, pantai timur Sumatera yang menghadap perairan Selat Melaka, kini terletak di Kabupaten Labuhanbatu, Sumatera Utara. Pada tahun 1846 Franz Junghuhn, seorang ahli geologi dan Komisaris Hindia Timur melaporkan temuan kompleks biaro di Padanglawas di daerah hulu sungai Barumun. Daerah luas yang sunyi dengan runtuhan biaronya, dahulu kala pernah menjadi pusat keagamaan Kerajaan Pannai.[2] Sebuah kerajaan yang kurang dikenal dalam percaturan sejarah kuno Indonesia.

Daerah Padanglawas merupakan dataran rendah yang kering, pada masa lampau mungkin tidak pernah menjadi pusat pemukiman, dan hanya berfungsi sebagai pusat upacara keagamaan. Meskipun daerah ini dapat dicapai melalui jalan sungai dan jalan darat, yang dapat berarti tidak terisolir, tetapi lingkungan Padanglawas yang sering bertiup angin panas tidak memungkinkan untuk bercocok tanam. Oleh karena itulah, diduga bahwa pemukiman masyarakat pendukung budaya biaro Padanglawas seharusnya bermukim di daerah muara Sungai Panai dan Barumun, tidak di sekitar kompleks percandian.[2] Maka diduga pusat kerajaan Pannai terletak di daerah yang lebih subur dan lebih dekat ke jalur perdagangan Selat Malaka, yaitu di sekitar muara sungai Panai dan Barumun.

Rujukan

  1. ^ Sastri, K.A.N., (1949). History of Sri Vijaya. University of Madras. 
  2. ^ a b Bambang Budi Utomo. "Percandian Padanglawas" (PDF). Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional. Budpar.go.id. Diakses tanggal 17 march 2013.