Cucak kuning
Cucak kuning,
dari Kuningan, Jawa Barat
Klasifikasi ilmiah
Kerajaan:
Filum:
Kelas:
Ordo:
Famili:
Genus:
Spesies:
P. melanicterus
Nama binomial
Pycnonotus melanicterus
(Gmelin, 1789)
Sinonim

Sumber:[2]

  • Muscicapa melanictera Gmel.
  • Pycnonotus melanicterus Blanf. & Oates.

Cucak kuning (Pycnonotus melanicterus) adalah nama sejenis burung pengicau dari suku Pycnonotidae. Burung ini juga dikenal umum sebagai kutilang emas, pecampeor (Sd.) atau tempuruk kunyit (Mly.). Nama ilmiahnya adalah Pycnonotus melanicterus (Gmelin, 1789). Sementara dalam bahasa Inggris disebut Black-crested Bulbul, merujuk pada jambulnya yang hitam. Cucak kuning diketahui mengalami penurunan spesies.[1]

Taksonomi

Spesies ini memiliki ras yang memiliki tenggorokan merah dispar yang tersebar di Sumatera, Jawa, dan Bali. Namun, ras Kalimantan yang bertenggorokan kuning, montis tersebar di Kalimantan. Beberapa pakar burung memperlakukan bentuk tenggorokan merah secara terpisah sebagai spesies tersendiri cucak delima (Pycnonotus dispar), sedangkan tenggorokan kuning sebagai Pycnonotus montis.[3]

Sementara, Rasmussen & Anderson (2005) membagi spesies yang disebut Pycnonotus melanicterus ini menjadi 5 kelompok, seperti P. flavisentris, P. gularis, P. dispar, dan P. montis. Ia dibagi berdasarkan warna mata, tenggorokan, warna ekor dan bulu, keterangan warna, dan perilaku.[4] Termasuk cucak delima (P. dispar) dan P. montis. Mata dari kedua spesies ini merah dan merah-kehitaman. Sementara tenggorokan merah dan kuning pucat. Kemudian, ujung ekor kedua spesies tersebut berwarna sedikit pucat dan "tawar".[4]

Deskripsi

 
Cucak kuning, dari Fraser Hill, Malaysia

Burung ini berukuran sedang, agak kecil dan ramping (18 cm). Sisi tubuh atas berwarna hijau zaitun, sisi bawah berwarna kuning. Kepala berwarna hitam kelam, dengan warna merah pada tenggorokan (kecuali ras Kalimantan yang berwarna kuning). Paruh dan kakinya hitam.[5] Irisnya berwarna kemerahan atau putih.[6] Kicauannya indah,[5] ribut, dan nyaring, “hii-tii-hii-tii-wiit” dengan nada terakhir turun.[3] Bisa juga berbunyi "whee-whee, whee-whee" dengan nada yang naik-turun.[2]

Spesies ini memiliki perbedaan dengan cucak kuricang, yaitu bulu cucak kuning lebih panjang, perutnya kuning dan matanya berwarna putih. Sedangkan, warna bulu cucak kuricang kuning zaitun dan lebih sedikit.[7]

Persebaran dan habitat

Cucak kuning menyebar luas di India, Cina Selatan, Asia Tenggara, Sumatera, Kalimantan dan Jawa.[6] Biasanya ia hidup di hutan hujan, tapi biasanya di ujung hutan.[7] Tapi umumnya di Sumatera, ia ditemukan di dataran rendah dan perbukitan sampai pada ketinggian 1.200 m. Di Jawa, umumnya ditemukan di bagian barat dan selatan, di hutan dataran rendah hingga ketinggian 1.500 mdpl. Di Kalimantan, ia lebih umum ditemui di gunung-gunung,[7] seperti Gunung Kinabalu, Kayan Hulu, hingga Liang Kubung.[5] Burung ini merupakan spesies penetap.[8] Burung ini diintroduksi ke Singapura.[1] Menurut laporan E.C. Stuart Baker, ia bisa ditemui di ketinggian 0-500 mdpl. Di India sana, cucak kuning bisa ditemui di hutan berkayu yang basah/lembah yang berhutan.[2]

Kebiasaan

Agak pemalu, menyukai kerimbunan daun dan pepohonan tinggi di pinggir hutan dan hutan sekunder. Kadang-kadang memakan serangga, tetapi biasanya rajin mencari buah-buahan.[8] Ia juga memakan tetumbuhan dari genus Ficus spp., tembelekan (Lantana camara), Dendrocnide spp., dan juga Ardisia spp. Ia selain memakan tetumbuhan, ia juga memakan serangga Hymenoptera, Isoptera, dan juga larva serangga.[9] Kalau makan, kadang-kadang ia bergabung bersama cucak atau kutilang lain.[7] Cucak kuning bergabung dalam kelompok kecil, biasa berjumlah 4-5 ekor.[2] Apabila marah, ia akan menegakkan jambul apabila marah.[3]

Sarang cucak kuning dilaporkan besar, bentuknya seperti cawan rapi[8] yang mendalam dan terdapat pada ujung tunggul pohon yang kecil atau pada dahan bercabang dan terbuat dari rumput dan direkatkan pada jaring laba-laba. Telurnya berjumlah dua dan berwarna putih-kemerahan, seperti warna tanah dan berbintik banyak.[10] Cucak kuning berkembangbiak pada bulan Agustus.[8] Sementara di Sailan, cucak kuning berkembang biak pada bulan Januari dan Mei. Dilaporkan, ia bertelur setiap bulan dari Januari-Mei.[2] Pada contoh sarang lain, diketahui sarangnya juga terbuat dari dedaunan kering dan dasar sarang dari tangkai daun.[10]

Penggunaan dan dalam kebudayaan

Kutilang emas dapat dijadikan burung master yang favorit untuk murai batu. Kicauannya yang indah dan sedikit monoton menjadikan ia dapat ditiru murai batu. Adapun suara yang dimaksud adalah bunyi "kristal" dan "tembakan-tembakan". Di habitatnya yang asli, cucak kuning ini adalah salah-satu burung yang rajin berkicau dan dapat merangsang murai batu untuk berkicau.[5]

Sayangnya, burung ini hanya dijadikan penghias rumah. Adapun Jawa Barat dan Jakarta jarang ada lomba cucak-cucakan atau ketilang. Selain itu, burung ini juga kurang diminati. Oleh sebab itu, harganya tidak sebaik burung lainnya.[5]

Di Sailan (sekarang Srilanka), dinamai ka-karulla.[2]

Referensi

  1. ^ a b c Butchart, S. & Symes, A. (2012). "Pycnonotus melanicterus". IUCN Red List of Threatened Species. Version 2012.2. International Union for Conservation of Nature. Diakses tanggal 13 December 2012. 
  2. ^ a b c d e f Baker 1922, hlm. 414-415.
  3. ^ a b c "Cucak Kuning". Kutilang Indonesia. 26 November 2011. Diakses tanggal 13 December 2012. 
  4. ^ a b Collar & Pilgrim 2007, hlm. 20.
  5. ^ a b c d e Hermawan 2012, hlm. 127-129.
  6. ^ a b "Pycnonotus melanicterus". FOBI. Diakses tanggal 13 December 2012. 
  7. ^ a b c d Strange 2001, hlm. 236-237.
  8. ^ a b c d "Cucak kuning". Semarang Bird Web. Diakses tanggal 16 December 2012. 
  9. ^ Becking 1989, hlm. 197.
  10. ^ a b Hume 1889, hlm. 189.

Bacaan

Bacaan lanjutan

  • King, B., M. Woodcock, and E.C. Dickinson. 1975. A Field Guide to The Birds of South-East Asia. Collins. London. ISBN 0-00-219206-3
  • MacKinnon, J. 1993. Panduan lapangan pengenalan Burung-burung di Jawa dan Bali. Gadjah Mada University Press. Jogyakarta. ISBN 979-420-150-2
  • MacKinnon, J., K. Phillipps, and B. van Balen. 2000. Burung-burung di Sumatera, Jawa, Bali dan Kalimantan. LIPI dan BirdLife IP. Bogor. ISBN 979-579-013-7

Pranala luar