Kerapatan Gereja Protestan Minahasa
Gereja Protestan Minahasa atau Kerapatan Gereja Protestan Minahasa (disingkat KGPM) adalah kelompok gereja Kristen Protestan di Indonesia, yang berkantor pusat di Jl. 5 September No. 6, Manado, Sulawesi Utara.
Penggolongan | Protestan |
---|---|
Pemimpin | Ketua Umum Gbl. Tedius K. Batasina, S.Th |
Wilayah | Indonesia |
Didirikan | 29 Oktober 1933 Manado, Sulawesi Utara |
Terpisah dari | Indische Kerk |
Umat | 73.824 jiwa |
Email : pucukpimpinan_kgpm@yahoo.com |
Sejarah
KGPM lahir sebagai bentuk kesaksian kepada Indische Kerk yang dinilai hadir sebagai alat untuk mengukuhkan dominasi pemerintahan penjajah di Indonesia. Didorong oleh rasa nasionalisme yang kuat, maka pada 25 Maret 1933 dalam suatu rapat di Manado, diputuskan untuk mendirikan satu sinode gereja dengan nama Kerapatan Gereja Protestan Minahasa. Pengurus yang terpilih pertama kali pada waktu itu adalah J. Jacobus (ketua), Z. Talumepa (wakil ketua), B. W. Lapian (Sekretaris), dan N. B. Pandean (Bendahara). Kemudian, KGPM melepaskan diri dari Indische Kerk pada 29 Oktober 1933 dan sejak itu menyatakan diri sebagai gereja yang berdiri sendiri.
Situasi Yang Mempengaruhi Berdirinya KGPM
Muncul dan berdirinya KGPM pada tahun 1933, sebagai satu gereja di Minahasa, merupakan jawaban atas berbagai masalah yang ada pada Gereja Negara (Indische Kerk) yang menguasai kehidupan kerohanian jemaat-jemaat protestan sejak permulaan abad ke-19 sampai dengan permulaan abad ke-20. Namun, kelahiran KGPM itu tidaklah secara tiba-tiba, melainkan melalui suatu proses perjuangan yang cukup lama dengan dasar dan latar belakang yang kuat seperti : kepincangan/kelemahan Indishe Kerk (aspek gerejawi/rohani), kepincangan social dan situasi perjuangan bangsa Indonesia ketika itu (aspek politik).
Berbagai kelemahan dan kepincangan itu dihayati oleh jemaat-jemaat dan kemudian sadar, bahwa hal-hal itu harus diatasi. Lahirlah gagasan untuk memperbaiki dan mengadakan perubahan atas cara kerja Indische Kerk yng mana usah-usaha itu pada puncaknya ditandai dengan berdirinya KGPM, sebagai gereja yang berusaha berbuat untuk mengikis segala kepincangan yang dialami dlam kehidupan gereja. Itulah yang kemudian dilakukan KGPM kemudian dengan berusaha menumbuhkan dan mengembangkan sikap serta nilai yang bertentangan dengan apa yang berkembang dalam Indische Kerk.
Sesungguhnya, apa yang dilakukan KGPM adalah ingin mengembalikan gereja pada misinya, yakni mewujudkan karya penyelamatan umat-Nya dan bukan sebaliknya, gereja dengan birokrasinya berlaku sebagai lembaga pemerintah yang menindas dan membelenggu kemerdekaan jemaat-jemaat dalam sikap dan bertindak dengan penuh percaya diri dalam beribadah.
Perjuangan nasional seperti berdirinya Budi Utomo pada 20 Mei 1908 yang diikuti munculnya organisasi politik, kepemudaan maupun keagamaan yang tujuannya untuk mencapai kemerdekaan seperti Serikat Islam (1912), PNI (1927) ikut juga memberi motivasi bagi keinginan untuk mendirikan sebuah gereja yang benar-benar merdeka baik oleh orang-orang Minahasa maupun orang Minahasa yang berada di luar daerah seperti Rukun Minahasa yang berdiri di Semarang dengan tujuannya untuk mempertinggi tingkat kehidupan rakyat Minahasa, terutama menyokong pengajaran dan pendidikan serta memajukan ekonomi rakyat.
Pada tahun 1927 Rukun Minahasa ini pecah menjadi dua bagian. Pertama, kelompok orang Minahasa yang berstatus militer di bawah pimpinan J. H. Pangemanan. Kedua, kelompok sipil orang Minahasa dengan nama Persatuan Minahasa dipimpin oleh GSSJ. Ratulangi. Pada tahun 1928 Persatuan Minahasa menyatakan menuju Indonesia Merdeka.
Perkembangan perjuangan pergerakan kemerdekaan bangsa Indonesia, jelas sangat mempengaruhi kehidupan gerejawi, khususnya Indische Kerk yang pada saat itu beruntung mendapatkan sorotan dan kecaman dari berbagai pihak yang berhasrat untuk memperbaiki gereja serta diperkuat oleh semangat bangsa Indonesia yang ingin mrebut kemerdekaan. Bahkan, berkeinginan mendirikan gereja yang merdeka, dalam konteks wawasan nasional terlepas dari ikatan gereja protestan.
Dalam mencermati situasi dan perkembangan perjuangan bangsa Indonesia, kaum nasionalis Minahasa dapat memberikan penilaian, bahwa:
- Terlambatnya perwujudan kemerdekaan Indonesia itu disebabkan oleh sangat tipisnya rasa kebangsaan dari sebagian rakyat Minahasa. Hal itu disebabkan mental kolonial sudah begitu tebal, akibat pembinaan secara teratur melalui gereja protestan (Indische Kerk).
- Perjuangan kemerdeaan bangsa dan tanah air harus simultan dengan perjuangan memperoleh kemerdekaan rohani. Karena itu perlu diusahakan lebih dahul kemerdekaan rohaniah kemudian dibina kemerdekaan tanah air di kalangan masyarakat.
- Perjuangan memperoleh kemerdekaan dapat pula dilaksanakan melalui lembaga gereja, sebab dari pengalaman selama itu,pihak pmerintah kolonial telah menyalahgunakan tugas gereja, yakni dengan menjadikan gereja sebagai tempat tutupan kepentingan politik kolonial
- Perlu diadakan usaha pembinaan mental, dar mental kolonial ke mental nasional melaluian lembaga gereja yang merdeka dan berwawasan nasional terlepas sama sekali dari Indische Kerk.
Usaha Mendirikan Gereja Otonom
Lambertus Mangindaan
Usaha perintisan mendirikan gereja otonom dimulai dari Dominggus Lambertus Mangindaan (asal Pondang, Minahasa Selatan). Pada tahun 1858 dia selesai menempuh pendidikan teologia I Rotterdam Negeri Belanda. Dia membawa dua ijazah yaitu Hoofdacte(ijazah kepala sekolah) dan Domine (pendeta). Dia dikirim belajar ke Rotterdam tahun 1848 oleh Zendeling CT Herman yang bertugas di Amurang. Setelah kembali dia sebagai utusan Injil NZG. Diangkat oleh Indische Kerk sebagai pendeta di Tikala, Manado dan wakil Predikant Manado.
Pada khotbah awalnya, Lambertus Mangindaan sudah mengumandangkan Gereja Minahasa berdiri sendiri dengan alasan tertulis dalam Alkitab Yohanes 9:5, 8:12, 12:36, yaitu Yesus Kristus Terang Dunia. Usaha ini terus diperjuangkannya. Dia mendapat simpati dari Zendeling HJ Tendelo di Amurang (1857-1862), AC Schaafmn Langowan (1860-1870), JAT Schwarz di Sonder (1866-1905) dan CJ Van de Lufde di Amurang (1861-1898).
Aksinya ini membuat dia diberhentikan dari jabatannya dengan alasan:
- Ia pribumi, dianggap lebih rendah dengan petugas bangsa Belanda.
- Ia diprotes menjadi wakil Predikant di Manado.
- Ia berjuang untuk mendirikan Gereja Minahasa berdiri sendiri. Tidak disetujui oleh petugas Gereja di Eropa dan dianggap tidak layak memberitakan injil pada suku bangsanya.
Joel Walintukan dan Wellem Sumampouw
Joel Walintukan berasal dari Wuwuk dan Amurang (Minaha Selatan) adalah seorang guru Kweekschool NZG di Tanawangko. Pada tahun 1886 dipindahkan ke Kuranga, Tomohon. Dia menentang penyerahan jemaat-jemaat ke Indische Kerk dan berjuang mendirikan Gereja Minahasa Berdiri Sendiri. Dalam perjuangannya dia dibantu oleh Willem Sumampouw (Tonsea Lama) yang ada guru pertukangan di Kweekschool dan pengikutnya para guru NZG yang merangkap sebagai guru jemaat. Karena tindakannya, maka dia diberhentikan pada tahu 1890 dan digantikan oleh AM Pangkey (Kawangkoan Bawah) yang ketika itu menjabat sebagai Kepala Sekolah di Pondang Amurang. Setelah Joel Walintukan diberhentikan, Wellem Sumampouw juga kembali ke Amurang dan berdagang hasil bumi dia kemudian menikah dengan Nona Tumbuan di Wakan. Di desa Wakan dia berusaha menanamkan ide tentang pendirian Gereja Minahasa Berdiri Sendiri.
Perserikatan Pangkal Setia
Pada tahun 1912, A. M. Pangkey dan J. U. Mangowal (Sonder) yang adalah guru di Kweekschool Kuranga Tomohon membentuk Perserikatan Pangkal Setia. Pangkal Setia didirikan untuk memajukan pengajaran Kristen, memperhatikan kepentingan sekutunya dan memperkuat hubungan dengan Belanda
Pada 12 Juli 1920 Perserikatan Pangkal Setia diakui sah sebagai organisasi oleh pemerintah dengan diterbitkannya besluit No. 31 dari Gubernur Jenderal Nederland di Betawi (Jakarta). Tapi pada tahun 1921 Perserikatan Pangkal Setia mulai berusaha kearah pembentukan Gereja Minahasa berdiri sendiri lepas dari Indische Kerk.
Tahun 1928 Perserikatan Pangkal Setia dikembangkan untuk umum dengan dipelopori guru-guru NZG. Pada tahun itu B. W. Lapian menduduki posisi sebagai Wakil Ketua. Pada waktu itu Pangkal Setia sudah ada cabang-cabangnya. Perjuangan Pangkal Setia pada tahun 1921 dsetujui pegawai NZG (Heiebink Rooker, G. B. Tiekstra, B. Barends ten Kate dan Jansen Klomp). Mereka meminta Kweekschool Kurang yang akan menjadi dasar dari Sekolah Pendeta Minahasa yang dibuka pada 1 Juli 1927 dan pelaksanaannya dibuktikan dengan pengiriman Ds. J. E. Stap yang tiba bulan November 1927 di Tomohon. Dia menjadi direktur asrama yang menampung 55 orang siswa kelas III, termasuk J.G. Mangindaan dan Ds. J. E. Stap dibantu isterinya Nyonya Stap Glader.
Pada bulan Juli 1922 Direktur Sekolah Barends ten Kate memberitahu kepada siswa kelas III bahwa mereka adalah kelas yang terbaik dan menjadi siswa pertama dari sekolah pendeta itu dengan lamanya studi selama 2 tahun. Tapi para siswa minta agar mereka belajar selama 3 tahun supaya pelajaran lebih luas dan tinggi. Mereka ini yang akan menjadi pendeta-pndeta Gereja Minahasa berdiri sendiri yang didirikan oleh Pangkal Setia. Kebaktian Gereja Minahasa Berdiri Sendiri dimulai A M Pangkey di Kuranga, Tomohon pada bulan Juli 1925 dan dilanjutkan pada setiap hari Minggu. Pada tahun itu juga disusunlah Peraturan Gereja (Peraturan itu setelah diadaptasi menjadi Peraturan KGPM). NZG juga dimintakan supaya mengambil alih jemaat-jemaat di Minahasa, dengan alasan Indische Kerk tidak melaksanakan amanat setelah surat timbang terima pada 1880 untuk mendirikan Gereja Minahasa Berdiri Sendiri. Gerakan Pangkal Setia ini pada triwulan I tahun 1926 ditentang oleh Predikant Ds E.A De Vreede dan Inlandsch Leraren Bond melalui Kerk Bestuur. Gubernur Jenderal dan Menteri Kolonie Colyn di Belanda mendesak dibatalkan. Akibatnya J. E. Stap memperpadat pelajaran teologia sehingga pendidikan bisa selesai pada April 1926 dan ujian pada Mei 1926. Usaha mendirikan Gereja Minahasa berdiri sendiri akhirnya juga kandas, J. U. Mangowal yang diutus ke Batavia tidak menghasilkan apa-apa seperti yang dialami oleh Joseph Jacobus.
Nlandsch Leraren Bond
Penolong-penolong Injil dari Indische Kerk mulai menyadari betapa pentingnya usaha yang sedang dilaksanakan oleh Pangkal Setia, Majelis Gereja di Manado serta beberapa tokoh masyarakat lainnya. Maka pada tahun 1928 dibentuklah di Manado Organisasi Persatuan Penolong-penolong Injil dengan dana dari Nlandsch Leraren Bond atas usaha dari Talumepa. Salah satu tujuan organisasi ini ialah mendukung lagi mempekukuh usaha Pangkal Setia guna pendirian gereja otonom buat Minahasa.
Kaum Nasionalis
Para tokoh nasionalis juga mempunyai peran dalam mempengaruhi rakyat Minahasa untuk mendirikan gereja berdiri sendiri. Tokoh-tokoh itu seperti Dr. Gerungan Saul Samuel Jacob Ratulangi, B. W. Lapian (anak dari Adrian B. Lapian) dan lain-lain.
B.W. Lapian menilai perjuangan menuju Indonesia merdeka sangat berat, karena itu dia mau berjuang melalui gereja. Karena itu dia bercita-cita untuk mendirikan gereja yang berdiri sendiri. Sedangkan GSSJ. Ratulangi yang waktu itu adalah anggota Volksraad (DPR) di Jakarta diminta untuk bisa memperjuangkan aspirasi warga Minahasa ini di pusat.
Pembentukan KGPM
Sekitar tahun 1931 dan 1932 gerakan keluar dari Indische Kerk semakin meluas dan semakin hangat dibicarakan di kalangan masyarakat. Gerakan ini semakin kuat karena pemerintah tidak mau melepaskan gereja dari Negara dan akan mengabilalih kembali NZG pada tahun 1930.
Dalam kondisi seperti itu Komisi Reorganisasi (Komisi XII) dibentuk Ds. De Vreede tepat melaksanakan tugas. Pada tahun 1932 Komisi XII memutuskan mengangkat GSSJ. Ratulangi, R. Tumbelaka dan Mr. A. A. Maramis, sebagai wakil masyarakat untuk memperjuangkan kepada pemerintah kolonial Belanda di Batavia berdirinya gereja otonom di Minahasa.
Pada bulan Agustus 1932 Perserikatan Pangkal Setia mengundang Majelis Gereja Manado dan lain-lain mengadakan rapat besar di Kuranga, Tomohon dengan keputusan:
- Membentuk Gereja Minahasa berdiri sendiri, dengan pemimpin orang Minahasa.
- Dibentuk Panitia Kerapatan Gereja Protestan Minahasa. Panitia ini bertugas untuk persiapan berdirinya gereja otonom, dengan sembilan anggota:
- Ketua Josef : Jacobus (Ketua Pengadilan Negeri Manado),
- Wakil ketua : Zacharias Talumepa (pensiunan Inlands Leraren Bond),
- Sekretaris : B. W. Lapian (Pangkal Setia).
- Anggota-anggota :
- A Kandou (pensiunan School Opziener),
- B. Warouw (pensiunan Hoof Opziener),
- E. Sumampouw (pensiunan guru Manadosche School),
- A. E. Tumbel (pensiunan guru Manadosche School),
- P. A. Ratulangi (pensiunan Kepala Distrik)
- J. L. Tambajong (pensiunan Kepala Distrik).
Pada 11 Maret 1933 bertempat di Sicieteit Harmoni (sekarang Bank BNI 1946) yang dulunya dikenal dengan jalan Juliana Lau kemudian jalan Hatta, berkumpullah 75 orang tokoh gereja dan tokoh masyarakat seperti: J. U. Mangowal, J. Jacobus, F. E. Kumontoy, dr. C. Singal, d.r A. B. Andu, Z. Talumepa, N. B. Pandean, B. W. Lapian, R. C. Pesik dan lain-lain. Mereka bertemu dengan GSSJ Ratulangi yang memimpin pertemuan. Pertemuan itu membicarakan pemisahan gereja dan Negara dan tuntutan untuk segera mendirikan Gereja Protestan Minahasa.
Meski belum mendapat restu dari pemerintah Belada untuk mendirikan gereja berdiri sendiri, namun para peserta telah sepakat mendirikan gereja otonom. Dengan memilih Josep Jacobus menjadi formatur tunggal sebagai ketua badan dan membentuk pengurusnya. Hasil ini diminta disampaikan oleh Sam Ratulangi pada sidang Volksraad berikut. Pertemuan ini sempat heboh setelah diberitakan dalam media melalui Mingguan Pikiran Pangkal Setia, Keng Hwa Poo, Menara, Pewarta dan media lain.
Pertemuan dilanjutkan seminggu kemudian yakni 18 Maret 1933 di rumah Joseph Jacobus di Tikala Manado. Pertemuan ini tidak lagi dihadiri oleh Sam Ratulangi, Mr. A. A. Maramis dan Tumbelaka karena mereka telah kembali ke Batavia. Pada pertemuann ini berhasil ditetapkan Badan Pengurus Organisasi Gereja dan nama pengurus organisasi gereja.
Susunan Organisasi :
- Pengurus Badan Organisasi :
- Ketua : Joseph Jacobus,
- Wakil Ketua : Zacharias Talumepa,
- Sekretaris : B. W. Lapian,
- Bendahara : A. K. Kandou.
- Pembantu-pembantu : B. Warouw, E. Sumampouw, P. A. Ratulangi, E. A. Tumbel dan J. L. Tambajong.
- Badan Pengembalaan : Zacharias Talumepa, H. Sinaulan dan N. B. Pandean.
- Badan Penasihat : GSSJ Ratulangi, A. B. Andu, Ch. Singal dan A. Mononutu.
- Badan Pendamping : J. U. Mangowal, A. M. Pangkey dan H. M. Pesik.
Nama organisasi yang disepakati waktu itu adalah: KERAPATAN GEREJA PROTESTAN MINAHASA disingkat KGPM.
Pada tanggal 21 April 1933 atas dorongan Sam Ratulangi diadakan pertemuan yang dikenal dengan nama Kongres Rakyat di Gemeente Bioskoop Manado (dikenal dengan gedung Manguni, Balai Pertemuan Umum atau sekarang Hotel Plaza Manado). Pertemuan ini dihadiri kurang lebih 70 orang dari latar belakang politik yang berbeda, termasuk pada pendeta, penolong injil syamas, tokoh Indische Kerk Minahasa dan Badan Pengurus KGPM. Ikut juga 12 organisasi yakni: Pangkal Setia (1915), PIKAT (1917), Partai Nasional Indonesia (1927), Persatuan Minahasa (1927), Inlandsch Leraren Bond (1928), Permufakatan Kaum (1930), Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo), Partai Indonesia Raya, Partai Indonesia, Partai Bangsa Indonesia, Manangkung Nusa dan Persatuan Pakasaan.
Pertemuan ini sempat menimbulkan sikap pro dan kontra. Kongres Rakyat bersama Badan Pengurus KGPM diprotes oleh Ds. De Vreede dan dia meminta agar itu dibubarkan, termasuk Badan Pengurus KGPM. Bahkan 12 organisasi yang hadir dipanggil dan diperiksa Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangganya. Akibat upaya itu sempat menghambat upaya pembentukan KGPM karena merasa tidak mendapat dukungan politik dan harus bubar karena tidak ada AD dan ART. Tapi Pangkal Setia akhirnya menjadi KGPM di bawah lindungannya. Maka, KGPM menggunakan Peraturan Gereja dari Pangkal Setia.
Jemaat Mula-mula KGPM
Setelah peristiwa 23 April 1933 yang berbuntut pada larangan yang dilakukan pemerintah Belanda, tapi tertolong oleh karena KGPM masuk dalam organisasi binaan Pangkal Setia, keinginan untuk mendirikan gereja otonom semakin kuat. Malahan Pangkal Setia sejak 8 Juni 1933 memulai pertumbuhannnya dengan tetap melaksanakan ibadah setiap hari Minggu dan hari-hari biasa. Ibadah masih dilaksanakan di rumah-rumah. Sewaktu-waktu dilaksanakan juga kebaktian Padang seperti di Wawonasa bertempat di kebun N. B. Pandean. Sementara itu, pada beberapa jemaat Indische Kerk di Minahasa mulai terjadi perselisihan-perselisihan atau masalah-masalah lain yang mendorong jemaat untuk mencari jalan keluar seperti yang terjadi di desa Tetey dan desa Wakan. Akibatnya banyak jemaat yang meminta agar Badan Pengurus KGPM bisa menyelesaikan masalah yang mereka hadapi. Tapi Ketua Badan Pengurus KGPM Joseph Jacobus tetap pada pendiriaannya menunggu keputusan dari Batavia.
Namun pendiriannya ini berubah ketika datang utusan dari desa Wakan yang meminta perlindungan pada KGPM. Untuk memenuhi keinginan warga desa Wakan Joseph Jacobus tidak bisa karena menderita sakit, sehingga dia menugaskan Sekretaris Badan Pengurus KGPM B. W. Lapian untuk menunggu desa Wakan. Namun B. W. Lapian meminta mandat sebagai ketua untuk mengunjungi Wakan. Permintaan itu dipenuhi oleh Joseph Jacobus. Kepergian B. W. Lapian tidak terikat pada keputusan mau bekerjasama dengan Indische Kerk. Sehingga setelah melalui pertimbangan bahwa tidak kesepakatan dari rencana semula dan melihat geagat Belanda yang tidak peduli selama 6 bulan (pasca pertemuan 21 April 1933), maka pada tanggal 29 Oktober 1933 dia memproklamirkan KGPM sebagai gereja merdeka dan otonom dengan jemaat Wakan sebagai jemaat mula-mula dan lepas dari ikatan dengan Indische Kerk. Sejak itulah KGPM akhirnya resmi berdiri sebagai gereja otonom di Minahasa sebagaimana yang dicita-citakan sejak tahun 1800an oleh Lambertus Mangindaan.
Pertumbuhan dan Perkembangan KGPM
Pemerintah Belanda dengan tegas menyatakan perlawanan terhadap kebangkitan KGPM. Pasca pertemuan 21 April 1933 Belanda terus meningkatkan pengawasan. Tindakan-tindakan tegas akhirnya dilakukan setelah diproklamirkannya KGPM yang ditandai dengan diterimanya sidang jemaat Wakan sebagai anggota gereja KGPM yang pertama. Karena itu pihak Belanda terus berupaya untuk menghambat pertumbuhan dan perkembangan KGPM. Namun demikian, peristiwa di Wakan disambut positif rakyat di Minahasa. Tak heran meski berada di bawah tekanan, dalam kurun waktu 3 tahun (1933-1936) jumlah sidang jemaat di KGPM sudah mencapai 72 sidang.
Pemerintah Belanda melalui De Vreede terus melakukan penghambatan yang dilakukannya adalah dengan mengeluarkan pengumuman bahwa KGPM bukanlah gereja yang sah sehingga surat pemandian yang dikeluarkan tidak sah. Surat permandian dijadikan alat karena pemerintah Belanda ketika itu untuk mengeluarkan Kartu Tanda Penduduk harus mengikutsertakan surat permandian juga akte kelahiran. Tidak itu saja, perkawinan di KGPM dinyatakan tidak sah. Selain itu, pihak Belanda juga melakukan siasat adu domba antar jemaat di Minahasa dengan melalui propaganda.
Di samping itu pula, ketika Gubernur Jenderal Belanda mengunjungi Minahasa pada tahun 1934 dia membawa persetujuan Ratu Belanda untuk mendirikan Gereja Masehi Injili Minahasa (GMIM) pada 30 September 1934 dengan alasan memenuhi permintaan rakyat Minahasa untuk mendirikan gereja otonom di Minahasa. Di kalangan petinggi KGPM melihat “sikap baik itu” hanyalah untuk menghambat perkembangan KGPM dengan cara mengadu-domba sesama masyarakat Minahasa.
Setelah sidang Wakan secara berturut-turut muncul 5 sidang pelopor yakni, Sidang Karimbow (5 November 1933), Sidang Tompasobaru (12 November 1933), Sidang Tetey (19 November 1933), Sidang Kawangkoan (7 Januari 1934) dan sidang Wuwuk (7 Juli 1934).
Pimpinan Pusat
Pimpinan Pusat GPP :
- Ketu Umum : Gbl. Tedius K. Batasina, S.Th
- Sekretaris Umum : Gbl. Ferry Max Liow, M.Th