Lemidi
Paku lemiding, Stenochlaena palustris
dari Galing, Kabupaten Sambas
Klasifikasi ilmiah
Kerajaan:
Divisi:
Kelas:
Ordo:
Famili:
Genus:
Spesies:
S. palustris
Nama binomial
Stenochlaena palustris
Sinonim

Polypodium palustre Burm. f., 1768[2]
Onoclea scandens Sw., 1806[3]
Lomaria scandens (Sw.) Willd., [4]

Lemidi, lemiding, atau ramiding (Stenochlaena palustris) adalah sejenis paku-pakuan anggota suku Blechnaceae. Pucuk dan daun muda pakis ini biasa dijadikan sayuran di pelbagai wilayah sebarannya. Karena itu, paku ini juga dikenal dengan banyak nama seperti miding, mělat, akar pakis (Mly.); lambiding (Ac.); lamidin (Sim.); pau rara (Mand.); paku limbèh (Min.); paku hurang (Sd.);[5] pakis bang (Jw.); lemiding, remiding, pakis mérah (Mly. Ptk.); bampèsu, maja-majang (Mak.); bempèsu, wèwèsu (Bug.)[6]. Di Kalimantan Selatan tumbuhan ini disebut kelakai atau kalakai.

Pengenalan

 
Anak daun dengan tepi bergerigi

Paku yang hidup di tanah, menjalar panjang hingga 5–10 m. Akar rimpang memanjat tinggi, kuat, pipih persegi, gundul atau bersisik sangat jarang, acap kali dengan tunas merayap.[7]

Daun-daun dalam dua bentuk, yang steril dan yang fertil. Keduanya memiliki panjang antara 40–80 cm, dengan tangkai 15 –20 cm dan 8–15 pasang anak daun, serta satu anak daun terminal. Anak-anak daun lateral biasanya memiliki pelebaran serupa cuping telinga di pangkalnya, yang tidak dimiliki oleh anak daun ujung; anak-anak daun di bagian atas (mendekati ujung) biasanya lebih kecil. Tulang daun utama dengan alur (lekukan) di sisi atasnya. Anak-anak daun pada daun steril bertangkai pendek; bentuk jorong sempit, biasanya 15 × 3 cm, meski selalu bervariasi ukurannya; halus, mengkilap, hijau gelap, pucat di sisi bawah; tepinya bergerigi; dengan kelenjar di tepi anak daun dekat pangkal. Anak-anak daun pada daun fertil bentuk garis, lk. 20 cm × 3 mm, permukaan bawahnya penuh dengan sporangia.[8]

Agihan dan ekologi

 
Tumbuh di tepi parit gambut

Paku ramiding menyebar secara alami di Asia tropis, mulai dari India di barat, ke Asia Tenggara di mana ia menyebar luas, termasuk di Kepulauan Nusantara, hingga ke Polinesia dan Australia.[6][8]

Tumbuh hingga pada ketinggian 900 mdpl dan merambat pada hutan-hutan bekas penebangan kayu terutama dekat air tawar, air payau, hutan bakau, di tanah pasir, khususnya di sepanjang tepi sungai dan sumber air.[6] Paku ini didapati di mana-mana di dataran rendah, di tempat terbuka dan hutan sekunder, dan umum ditemukan di wilayah rawa-rawa termasuk rawa gambut. Acap memanjat dan rapat menutupi tajuk pohon-pohon di hutan yang agak terbuka.[8] Terkadang tumbuh beramai-ramai, sehingga menyerupai rasam (Gleichenia linearis (Burm.) Clarke.).[5]

Manfaat

 
Diambil pucuknya untuk sayuran

Daun-daun yang muda berwarna kemerahan, mengingatkan pada warna udang yang dimasak; karenanya dinamai juga paku merah atau paku udang (paku hurang). Daun muda dan pucuknya yang masih bergelung dimasak sebagai sayuran, setelah sebelumnya dilayukan terlebih dulu.[6] Di Sambas, daun lemiding merupakan salah satu bahan penting pembuatan bubur kesum atau bubur pedas.

Di Jawa, lemidi atau paku huran kurang dikenal kegunaannya. Di Sumatera, lemidi dimakan sebagai sayuran.[5] Di Sulawesi, setelah diolah, batang menjalar wewesu dimanfaatkan untuk menggantikan rotan sebagai bahan pengikat, dianyam untuk membuat alat penangkap ikan, dianyam untuk ikat pinggang, bahkan juga untuk membuat tambang jangkar perahu. Menurut Rumphius, batang ini sangat kuat dan sukar diputus, dan dalam air laut lebih awet daripada rotan. Di masa lalu, setelah dipotong-potong seragam, batang ini banyak diperdagangkan; baik di Bone maupun di Karimun.[6] Batangnya yang keras dipakai di Pulau Karimun, Jawa, dan Malaya sebagai perangkap ikan. Selain itu pula, lemidi pernah digunakan sebagai barang dagangan di Karimun dan Filipina. Di Filipina sendiri, kadang-kadang dipakai untuk membuat bagian dalaman keranjang.[5]

Catatan kaki

  1. ^ Beddome, R.H. 1876. Supplement to The Ferns of Southern India and British India : containing a revised list of all the ferms of India, Ceylon, Birmah, and the Malay Peninsula and 45 plates of hitherto unfigured species, p. 26. printed by Gantz Brothers, Madras.
  2. ^ Burman, N.L. 1768. Nicolai Laurentii Burmanni Flora Indica : cui accedit series zoophytorum Indicorum, nec non prodromus florae Capensis, p. 234. Amstelaedami, apud Johannem Schreuderum.
  3. ^ Swartz, O.P. 1806. Synopsis Filicum, p. 112, 309.
  4. ^ Willdenow, C.L. 1810. Species plantarum: exhibentes plantas ... Ed. 4 t. V(2): 293. Berolini, impensis G.C. Nauk.
  5. ^ a b c d Sastrapradja, Setijati; Afriastini, Johar J.; Darnaedi, Dedy; Widjaja, Elizabeth A. (1979). Jenis Paku Indonesia 17:56 – 57. Jakarta:LBN-LIPI berkerjasam dengan Balai Pustaka. (lihat pula hal.1-45 dan 89-127 hal.89-127)
  6. ^ a b c d e Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia, jil. 1: 86-87. Yay. Sarana Wana Jaya, Jakarta. (versi 1922. De Nuttige Planten ... I: 25)
  7. ^ Steenis, CGGJ van. 1981. Flora, untuk sekolah di Indonesia. PT Pradnya Paramita, Jakarta. Hal. 91.
  8. ^ a b c Giesen, W., S. Wulffraat, M. Zierenand & L. Scholten. 2007. Mangrove Guidebook for Southeast Asia, p. 227. FAO and Wetlands International, Bangkok. ISBN: 974-7946-85-8

Pranala luar