Demokrasi Virtual adalah suatu bentuk kebebasan yang ada dalam dunia virtual. Dimana kata demokrasi sendiri memiliki arti suatu kebebasan. Demokrasi sering disebut dengan demokratis dimana suatu sistem dinyatakan demokratis memang memerlukan kompetensi demokrasi pada khalayaknya. Maksudnya perlu adanya kemampuan tertentu yang dipunyai warga Negara dalam berdemokrasi, agar mereka dapat berfungsi dengan baik sebagai anggota dari suatu sistem demokrasi. Sedangkan kata virtual dalam pembahasan ini berkaitan dengan komunikasi, jadi bisa diartikan sebagai suatu bentuk komunikasi maya. Jadi, demokrasi virtual bisa disimulkan sebagai suatu bentuk kebebasan yang ada dalam dunia virtual. Internet memiliki karakteristik kebebasan dan pengaturan diri sendiri, yang juga merupakan ciri utama demokrasi yang sesungguhnya. Berarti tidaklah mengejutkan kalau teknologi komputer dinyatakan sebagai alat terbaru dan terbaik untuk meningkatkan keterlibatan partisipasi dalam demokrasi . Kita telah melihat aksi politik internet dalam bentuk Flash mob dan kelompok aktivis online . Dan untuk Blog , "Ketika mereka menulis kampanye tahun 2004, hal itu akan memasukkan setidaknya satu kata yang tidak pernah muncul dalam sejarah kepresidenan mana pun: Blog ". Terlepas blog tersebut memilih atau tidak presiden berikutnya, blog mungkin merupakan inovasi pertama internet yang membuat perubahan nyata pada pemilihan politik , menurut salah satu Profesor dari Universitas Standford, Lawrence Lessig [1]

Demokratisasi Internet

Demokratisasi bukan sekedar masalah ada tidaknya informasi dan ada tidaknya harapan masyarakat untuk berubah. Namun demokratisasi ini menyangkut aspek yang multidimensional. Informasi memang factor yang berpengaruh, tetapi bukan satu-satunya yang menetukan semua keputusan. Masih terdapat faktor lain yang tidak kalah pentingnya, seperti faktor addanya kekuatan lain yang menghendaki perubahan, faktor keberanian khalayak untuk menghadapi resiko yang timbul, faktor ketahanan nilai-nilai budaya yang ingin dipertahankan oleh khalayak itu sendiri, hingga kesediaan penguasa untuk “bersusah-susah”, mau dikritik, mau di kontrol, bahkan diganti oleh kekuatan demokrasi (rakyat).[2] Dalam hal demokratisasi pada Internet berkaitan dengan kebebasan dalam memanfaatkan teknologi internet dalam kehidupan keseharian mayarakat luas. Namun, demokratisasi Internet ini tetap masih berpihak pada orang-orang yang memiliki uang untuk membeli perangkat keras dan perangkat lunak yang diperlakukan untuk mengakses Internet dan juga untuk membayar koneksi Internetnya.[1]

Pertarungan teknologi

Seiring dengan perkembangan zaman, mendorong pergeseran pola hidup masyarakat dalam menjalani kesehariannya dari yang berifat analog kearah digital. Pergeseran pola hidup masyarkat tersebut didukung dengan munculnya teknologi yang hadir di tengah-tengah kehidupan nyata kita. Teknologi dibutuhkan bagi masyarakat luas untuk menerapkan pengawasan total terhadap apa yang menjadi dasar totalisme moral yang telah berlaku. Ketakutan akan kehilangan kuasa membuat kekuatan “sayap kanan” meningkatkan kemungkinan dan pemanfaatan penggunaan teknologi sebagai alat pengawasan. Sehingga mereka berkepentingan untuk sebisa mungkin membatasi akses teknologi dengan memanfaatkan batasan budaya dan geografis.[3]

Celah Teknologi

Satu prinsip penting dalam demokrasi adalah “ satu orang satu suara . Namun, jika demokrasi semakin banyak dipraktikkan secara online, orang-orang yang kurang memiliki teknlogi dan keterampilan yang diperlukan akan terabaikan suaranya. Inilai celah teknologi (technology gap)-perbedaan yang semakin jauh antara orang-orang yang memiliki teknlogi dan orang-orang yang tidak memilikinya.[1]

Celah Informasi

Prinsip penting lain dalam demokrasi adalah masyarakat yang dapat mengatur diri sendiri akan lebih teratur dengan akses sepenuhnya terhadap informasi. Inilah alas an mengapa budaya kita sangat curiga dengan sensor. Adanya celah teknologi memperbesar peluang halangan yang kedua deokrasi virtual, yaitu celah informasi (information gap). Orang-orang tanpa teknologi yang dibutuhkan akan semakin berkurang aksesnya ke informasi yang tersedia. Dengan kata lain, mereka akan mengalami kerugian dari suatu bentuk sensor yang dipaksakan oleh teknologi. Jika teknologi komputer menciptakan celah informasi yang bahkan semakin lebar dari celah yang sudah ada di antara masyarakat luas di Indonesia, demokrasi pastilah akan semakin buruk.[1]

Dunia Virtual di Indonesia

Pada masa sekarang, hampir seluruh lapisan masyarakat di Indonesia hidup di tengan-tengah teknologi informasi dan komunikasi yang selalu mengalami perkembangan dalam bidangnya. Tidak terbatas pada kalangan bawah, kalangan menengah maupun kalangan atas. Banyak sekali manfaat yang dapat diambil dari adanya fenomona ini. Dari masyarakat biasa maupun orang-orang yang aktif bergerak dalam kegiatan politik- pemerintahan. Sebagai contoh politisi pada arus utama akhirnya bergantung pada Internet untuk berinteraksi dengan para konstituen dan para pemilih. Hampir semua politisi pada berbagai posisi - Prsiden, wakil presiden, Senat pemimpin mayoritas, anggota-anggota DPR , memiliki setidaknya alamat E-mail jika bukan halaman web secara penuh. Pemilihan suara melalui Internet juga telah menjadi realitas yang terbatas dengan beberapa pemilihan lokal mencoba pemilihan suara online untuk kandidat lokal dan dalam beberapa kontes utama. Antusiasme terhadap solusi teknologi ini banyak dipandang sebagai peningkatan kekecewaan terhadap politik dan proses politik, yang mencerminkan hal yang mengikuti perkenalan radio dan televisi.[1]

Kritik Demokrasi Online

Bebrapa kritikus ide demokrasi online terganggu dengan jumlah informasi yang tersedia bagi masyarakat zama sekarang dan kecepatan yang dimilikinya. Tambahan untuk hal ini adalah kesulitan dalam memperhitungkan kebenaran sebagian besar informasi online, dan mereka berpendapat bahwa dunia maya mungkin bukanlah tempat terbaik untuk mempraktikkan demokrasi. Sebagai contoh, para pembela demokrasi dunia maya melihat Internet sebagai cara untuk memungkinkan masyarakat luas mendapat akses langsung ke para polotisi. Pejabat yang terpilih seharusnya mendengar hal lain yang ingin dikatakan masyarakat. Namun, apakah demokrasi benar-benar menguntungkan ketika pemimpin merespons secara langsung, bahkan mungkin secara implusif, kepada sentiment publik? Sampai tidak ada lagi jurang teknologi, berbagai suara-kaum miskin, tidak berpendidikan, dan generasi tua-akan memiliki akses yang lebih sedikit kepada pemimpin mereka daripada mereka yang memiliki koneksi.[1] Para kritikus dunia maya mengkalim bahwa demokrasi kita bersifat represntatif dan konsultatif.Hal ini sengaja dirancang untuk memungkinkan perwakilan masyarakat untuk dapat berbicara satu sama lain, memperdebatkan ide dan isu, menemukan solusi yang menguntungkan bukan saja untuk mereka sendiri, namun untuk konstituen yang lain juga. Mereka mengklaim bahwa alienasi politik yang dirasakan oleh banyak warga Negara saat ini merupakan hasil dari para politisi yang terlalu banyak mendengar suara yang paling keras ( yaitu kepentingan-kepentingan khusus) dan terlalu responsive terhadap polling. Para kritikus juga berpendapat bahwa demokrasi dunia maya adalah antidemokrasi yang dikarenakan sifat alaminya yang virtual. Sebelum kehadiran TV kabel dan televisi satelit, presiden dapat meminta dan tanpa kecuali waktu tayang dari tiga jaringan televise utama untuk berbicara kepada masyarakat. Namun, saat ini teknologi-teknologi telah memecah-mecah kita kepada khalayak yang jauh lebih kecil. Seandainya seorang presiden ingin berbicara kepada seluruh masyarakat yang mungkin akan mengikuti atau mendengarkan. khalayak ini diperburuk oleh Internet.

Referensi

  1. ^ a b c d e f Baran Stanley J. 2008. Pengantar Komunikasi Massa: Melek Media dan Budaya, Erlangga
  2. ^ Ida Rachmah dan Henry Subiakto. 2012. Komunikasi Politik, Media, dan Demokrasi, Kencana Prenada Media Group.
  3. ^ Fiske John. 2012. Pengantar Ilmu Komunikasi, Rajawali Pers