Padamu Jua

puisi karya Amir Hamzah
Revisi sejak 30 September 2013 05.22 oleh Farras (bicara | kontrib) (done)

"Padamoe Djoea" adalah puisi 28 baris karya Amir Hamzah yang disertakan dalam koleksinya tahun 1927, Nyanyi Sunyi. Ini adalah karya Hamzah yang paling banyak dipuji. Pembacaannya lebih difokuskan pada tema-tema keagamaan, terutama dari sudut pandang Islam dan ada pula pengaruh-pengaruh Kristen.

Padamu Jua
karya Amir Hamzah
Terbit perdanaNovember 1937 (1937-11)
NegaraIndonesia
BahasaIndonesia
SeriNyanyi Sunyi
GenreSpiritual
Larik28
DidahuluiKuatrain tanpa judul ("Sunyi Itu Duka")
Disusul"Barangkali"

Penulisan

"Padamu Jua" ditulis oleh Amir Hamzah, penulis Melayu kelahiran Langkat yang belajar di sekolah Belanda. Puisi ini tidak bertanggal (sebagaimana karya-karya Hamzah lainnya)[1] Penyair Laurens Koster Bohang memperkirakan "Padamu Jua" ditulis antara 1933 dan 1937,[2] sementara pakar sastra Indonesia dari Belanda A. Teeuw memberi perkiraan tahun 1936/1937.[3] Waktu itu adalah masa paling emosional bagi Hamzah yang dipaksa menikahi putri Sultan Langkat; Sultan Langkat telah mendanai studinya di Jawa. Pada saat yang sama Hamzah kabarnya jatuh cinta dengan teman sekelasnya dari suku Jawa dan terpaksa meninggalkannya.[4]

Struktur

Puisi 28 baris ini terdiri dari 84 kata. Puisi ini didominasi huruf vokal a dan u yang sering diulang dalam bentuk diftong au atau hiatus ua. Kombinasi semacam itu muncul di 35 persen kata dan 64 persen baris puisi ini. Konsonan sering diulang dan menekankan keterkaitan antarkata dalam satu baris.[5]

Analisis

Kritikus sastra Indonesia Zuber Usman menulis bahwa puisi ini menceritakan pertemuan antara Amir Hamzah dan Tuhan dan digambarkan sebagai pertemuan antara sepasang kekasih atau antara pelayan dan Tuhannya.[6] Ia berpendapat bahwa dua baris pertama mewakili perasaan Hamzah setelah ia diberitahu akan dinikahkan, bagaimana semua harapannya untuk masa depannya pupus akibat pengumuman tersebut. Kuplet selanjutnya menunjukkan kembalinya Tuhan dan Islam, agama yang dianut Hamzah sejak kecil. Usman menafsirkan empat baris selanjutnya sebagai kemunculan cahaya Tuhan, jawaban bagi kekosongan yang dihadapi Hamzah.[7] Hamzah mengalihkan fokusnya dari cinta fisik dan kekecewaannya ke kegiatan duniawi, tetapi langsung merasa kecewa seolah Tuhan sedang mempermainkannya, seolah akibat cemburu Tuhan tidak mengizinkannya mendapatkan cinta sejati. Pada akhirnya ia tidak mampu meninggalkan Tuhan dan kembali, memasrahkan dirinya kepada Tuhan yang berada di "antara terang dan samar-samar".[8] Sayangnya, ia mesti menunggu sendiri sampai Tuhan kembali.[9] Kritikus sastra Indonesia dari Australia Keith Foulcher memberi penafsiran yang sama,[5] sedangkan Jassin membaca puisi ini sebagai pernyataan bahwa Hamzah ingin sekali bertemu Tuhan.[10]

Pendokumentasi HB Jassin menulis bahwa kritikus seperti Bakri Siregar melihat adanya pengaruh Tuhan Kristen sebagaimana yang digambarkan dalam Alkitab. Ia menunjukkan beberapa aspek puisi yang tampaknya mendukung pandangan tersebut, termasuk penggambaran Tuhan yang antropomorfik (tidak dibolehkan dalam Islam ortodoks) dan ide Tuhan yang cemburu. Ia menulis bahwa konsep Tuhan cemburu tidak ditemukan dalam Islam, tetapi ada di Alkitab, tepatnya [[]] Exodus:20:5-KJV dan [[]] Exodus:34:14-KJV.[10] Jassin menyebutnya sebagai lisensi artistik,[10] sementara Foulcher menyebutnya Tuhan yang dinamis dan tidak stabil.[11]

Publikasi dan tanggapan

"Padamu Jua", bersama seisi Nyanyi Sunyi, pertama kali diterbitkan di Poedjangga Baroe edisi November 1937, majalah sastra yang ikut didirikan Hamzah.[12] Puisi ini kelak diterbitkan kembali sebagai puisi berjudul pertama di buku terpisah. Koleksi ini dicetak untuk ketiga kalinya pada tahun 1949.[13] Terjemahan bahasa Inggrisnya oleh Sutan Takdir Alisjahbana dan Burton Raffel diterbitkan tahun 1967.[14] "Padamu Jua" dicantumkan di buku-buku sekolah bahasa Indonesia di tingkat SMA.

"Padamu Jua" adalah karya Hamzah yang paling banyak dipuji.[11] Pakar sastra Indonesia dari Belanda A. Teeuw menyebut "Padamu Jua" sebagai puisi Amir Hamzah yang paling berharga karena memiliki "perumusan yang paling langsung, paling bertenaga, paling tepat, dan paling sesuai dengan zaman, tentang hubungan antara Tuhan dengan manusia."[15]

Referensi

Catatan kaki

  1. ^ Jassin 1962, hlm. 9.
  2. ^ Jassin 1962, hlm. 8.
  3. ^ Teeuw 1980, hlm. 126.
  4. ^ Jassin 1962, hlm. 13.
  5. ^ a b Foulcher 1991, hlm. 109.
  6. ^ Usman 1959, hlm. 232–233.
  7. ^ Usman 1959, hlm. 234.
  8. ^ Usman 1959, hlm. 235–237.
  9. ^ Usman 1959, hlm. 237.
  10. ^ a b c Jassin 1962, hlm. 33–34.
  11. ^ a b Foulcher 1991, hlm. 107.
  12. ^ Jassin 1962, hlm. 212.
  13. ^ Hamzah 1949, hlm. 1.
  14. ^ Raffel 1968, hlm. 26–27.
  15. ^ Teeuw 1980, hlm. 143.

Kutipan

  • Foulcher, Keith (1991). Pujangga Baru: Kesusasteraan dan Nasionalisme di Indonesia 1933–1942 (dalam bahasa Indonesia). Jakarta: Girimukti Pasaka. OCLC 36682391. 
  • Hamzah, Amir (1949). Njanji Sunji (dalam bahasa Indonesia). Jakarta: Pustaka Rakjat. OCLC 65112881. 
  • Jassin, H.B. (1962). Amir Hamzah: Radja Penjair Pudjangga Baru (dalam bahasa Indonesia). Gunung Agung. OCLC 7138547. 
  • Raffel, Burton (1968) [1967]. Development of Modern Indonesian Poetry (edisi ke-2nd). Albany, NY: State University of New York Press. ISBN 978-0-87395-024-4. 
  • Teeuw, A. (1980). Sastra Baru Indonesia (dalam bahasa Indonesia). 1. Ende: Nusa Indah. OCLC 222168801. 
  • Usman, Zuber (1959). Kesusasteraan Baru Indonesia dari Abdullah Bin Albdalkadir Munshi sampai kepada Chairil Anwar (dalam bahasa Indonesia). Jakarta: Gunung Mas. OCLC 19655561.