Tawan Karang
Tawan karang (taban karang) adalah hak istimewa yang dimiliki raja-raja Bali pada masa lalu, dimana raja akan menyita kapal-kapal yang terdampar di wilayah mereka lengkap beserta seluruh muatannya.
Masa Bali Kuno
Istilah Tawan Karang sudah dikenal sejak masa Bali Kuno dengan ditemukannya dua prasasti berikut :
- Prasasti Bebetin AI (818 Saka atau 896 M): [1]
- "anada tua banyaga turun ditu, paniken di hyangapi, parunggahna ana mati ya tua banyaga, parduan drbyana, ana cakcak lancangna kajadyan papagerangen kuta"
- Terjemahan:
- "jika ada pedagang berlabuh di sana, dihaturkan di Hyang Api persembahannya. Jika pedagang itu meninggal, miliknya dan lain-lain harus dibagi dua. Jika perahunya rusak/pecah agar dijadikan pagar benteng"
- "me yanad taban karang ditu, perahu, lancing, jukung, talaka, anak banwa katatahwan di ya, kajadyan wrddhi kinwa[na] ma katahu aku, pynnekangna baktina, di bhatara punta hyang?"
- Terjemahan:
- "dan bila ada peristiwa peristiwa tawan karang (taban karang) di perahu, lancang, jukung, talaka, serta diketahui oleh penduduk desa, supaya dijadikan wrddhi (semacam persembahan), setelah diberitahukan kepadaku, supaya dihaturkan kepada Bhatara Punta Hyang"
Penghapusan Tawan Karang (I)
Walaupun Tawan Karang dianggap sebagai hal yang yang wajar oleh raja-raja Bali, Belanda menganggap hal ini mengancam kepentingannya. Oleh karena itu dibuatlah penjanjian penghapusan Tawan Karang dengan beberapa kerajaan di Bali pada waktu itu:[2]
- Kerajaan Badung, 28 November 1842
- Kerajaan Karangasem,1 Mei 1843
- Kerajaan Klungkung, 24 Mei 1843
- Kerajaan Tabanan, 22 Juni 1843
- Ada sumber yang menyebutkan bahwa pada tahun 1843 Kerajaan Buleleng juga ikut menandatangani perjanjian penghapusan Tawan Karang. [3]
Insiden dan Serbuan Belanda
Walaupun sudah penjanjian sudah dibuat dan ditandatangani, pada kenyataannya perjanjian ini tidak dilaksanakan dengan sungguh-sungguh. Pada tahun 1844 terjadi lagi perampasan terhadap kapal-kapal Belanda yang karam di Pantai Prancak dan Sangsit.[3]
Pada tahun 1845 Raja Buleleng menolak pengesahan perjanjian penghapusan Tawan Karang.[3] Hal ini membuat Belanda menggunakan isu Tawan Karang untuk menyerang Bali pada Perang Bali I (1846), Perang Bali II (1848) dan Perang Bali III (1849).
Penghapusan Tawan Karang (II)
Setelah penyerbuan Belanda, penandatanganan perjanjian penghapusan Tawan Karang dilanjutkan dengan kerajaan-kerajaan sebagai berikut :[2]
Dalam bulan yang sama (13-15 Juli 1849) ditandatanganilah perjanjian perdamaian Kuta untuk menghentikan pertempuran antara raja-raja Bali dengan Belanda. Pada perdamaian ini, kedelapan raja Bali menegaskan lagi untuk menghentikan dan menghapuskan adat Tawan Karang.