Pertanian organik

sistem budi daya pertanian yang mengandalkan bahan-bahan alami tanpa menggunakan bahan kimia sintetis
Revisi sejak 15 Desember 2013 07.55 oleh Hysocc (bicara | kontrib)

Pertanian organik adalah sistem budidaya pertanian yang mengandalkan bahan-bahan alami tanpa menggunakan bahan kimia sintetis.[1] Beberapa tanaman Indonesia yang berpotensi untuk dikembangkan dengan teknik tersebut adalah padi, hortikultura sayuran dan buah (contohnya: brokoli, kubis merah, jeruk, dll.), tanaman perkebunan (kopi, teh, kelapa, dll.), dan rempah-rempah.[1] Pengolahan pertanian organik didasarkan pada prinsip kesehatan, ekologi, keadilan, dan perlindungan.[2] Yang dimaksud dengan prinsip kesehatan dalam pertanian organik adalah kegiatan pertanian harus memperhatikan kelestarian dan peningkatan kesehatan tanah, tanaman, hewan, bumi, dan manusia sebagai satu kesatuan karena semua komponen tersebut saling berhubungan dan tidak terpisahkan.[2] Pertanian organik juga harus didasarkan pada siklus dan sistem ekologi kehidupan.[2] Pertanian organik juga harus memperhatikan keadilan baik antarmanusia maupun dengan makhluk hidup lain di lingkungan.[2] Untuk mencapai pertanian organik yang baik perlu dilakukan pengelolaan yang berhati-hati dan bertanggungjawab melindungi kesehatan dan kesejahteraan manusia baik pada masa kini maupun pada masa depan.[2]

Pertanian sayuran organik di Capay, California.

Sejarah pertanian organik

Pertanian tradisional dalam berbagai bentuk, yang telah dilakukan sejak ribuan tahun di seluruh dunia, merupakan pertanian organik yang tidak menggunakan bahan kimia sintetik. Pertanian dengan memanfaatkan ekologi hutan (kebun hutan, forest gardening) merupakan salah satu sistem produksi pangan pada masa prasejarah yang dipercayai merupakan pemanfaatan ekosistem pertanian yang pertama.[3]

Pupuk sintetis telah dibuat pada abad ke 18, berupa superfosfat. Lalu pupuk berbahan dasar amonia mulai diproduksi secara masal ketika proses Haber dikembangkan semasa Perang Dunia I. Pupuk ini murah, bernutrisi, dan mudah ditransportasikan dalam bentuk curah. Perkembangan juga terjadi pada pestisida kimia pada tahun 1940an, yang memicu penggunaan bahan kimia pertanian secara besar-besaran di seluruh dunia.[4] Namun sistem pertanian baru yang muali berkembang ini membawa dampak serius secara jangka panjang pada pemadatan tanah, erosi, penurunan kesuburan tanah secara keseluruhan, juga dampak kesehatan pada manusia akibat bahan kimia beracun yang masuk ke bahan pangan.[5]:10

Para pakar biologi tanah mulai mengembangkan teori mengenai bagaimana ilmu biologi dapat digunakan pada pertanian untuk menanggulangi dampak negatif bahan kimia pertanian tanpa mengurangi hasil produksi pertanian. Biodinamika biologi berkembang di tahun 1920an dan menjadi versi awal dari pertanian organik yang dikenal sekarang.[6][7][8]:[9][10][11][12] Sistem ini berdasarkan filosofi antroposofi dari Rudolf Steiner.[8]:17–19

Di tahun 1930an dan awal 1940an, pakar botani terkemuka Sir Albert Howard dan istrinya Gabriel Howard mengembangkan pertanian organik. Howard terinspirasi dari pengalaman mereka mengenai metode pertanian tradisional di India, pengetahuan mereka mengenai biodinamika, dan latar belakang pendidikan mereka.[6] Sir Albert Howard dapat dikatakan sebagai "bapak pertanian organik" karena ia yang pertama kali menerapkan prinsip ilmiah pada berbagai metode pertanian tradisional dan alami.[5]:45

Meningkatnya kesadaran lingkungan secara umum pada populasi manusia di masa modern telah mengubah gerakan organik yang awalnya dikendalikan oleh suplai, kini dikendalikan oleh permintaan pasar. Harga yang tinggi dan subsidi dari pemerintah menarik perhatian petani. Di negara berkembang, berbagai produsen pertanian yang bekerja dengan prinsip tradisional dapat dikatakan setara dengan pertanian organik namun tidak bersertifikat dan tidak mengikuti perkembangan ilmiah dalam pertanian organik. Sehingga beberapa petani tradisional dapat berpindah menjadi petani organik dengan mudah, yang terdorong oleh alasan ekonomi.[13]

Metode

Pertanian organik mengkombinasikan pengetahuan ilmiah mengenai ekologi dan teknologi modern mengenai praktek pertanian tradisional berdasarkan proses biologis yang terjadi secara alami. Metode pertanian organik dipelajari di dalam bidang ekologi pertanian. Pertanian konvensional menggunakan pestisida dan pupuk sintetik, sedangkan pertanian organik membatasinya dengan hanya menggunakan pestisida dan pupuk alami. Prinsip metode pertanian organik mencakup rotasi tanaman, pupuk hijau/kompos, pengendalian hama biologis, dan pengolahan tanah secara mekanis. Pertanian organik memanfaatkan proses alami di dalam lingkungan untuk mendukung produktivitas pertanian, seperti pemanfaatan legum untuk mengikat nitrogen ke dalam tanah, memanfaatkan predator untuk menaggulangi hama, rotasi tanaman untuk mengembalikan kondisi tanah dan mencegah penumpukan hama, penggunaan mulsa untuk mengendalikan hama dan penyakit, dan pemanfaatan bahan alami, termasuk mineral bahan tambang yang tidak diproses atau diproses secara minimal, sebagai pupuk, pestisida, dan pengkondisian tanah.[14] Tanaman yang lebih unggul dan tangguh dikembangkan melalui pemuliaan tanaman dan tidak dimodifikasi menggunakan rekayasa genetika.

Keanekaragaman hayati

Tingginya keanekaragaman tanaman pertanian adalah salah satu penciri pertanian organik. Pertanian konvensional fokus pada produksi massal hasil pertanian tunggal di lahan, yang disebut dengan monokultur. Dalam ekologi pertanian diketahui bahwa polikultur (penanaman berbagai jenis tanaman pada satu ahan) lebih menguntungkan dan lebih sering diterapkan di pertanian organik.[15] Penanaman berbagai jenis sayuran mendukung berbagai jenis serangga yang bersifat menguntungkan, mikroorganisme tanah, dan faktor lainnya yang menambah kesehatan lahan pertanian. Keanekaragaman tanaman pertanian membantu lingkungan untuk mempertahankan suatu spesies yang dekat dengan lahan pertanian agar tidak punah.[16]

Pengelolaan tanah

Pertanian organik bergantung sepenuhnya pada dekomposisi bahan organik tanah, menggunakan berbagai teknik seperti pupuk hijau dan kompos untuk menggantikan nutrisi yang hilang dari tanah oleh tanaman pertanian sebelumnya. Proses biologis ini dikendalikan oleh berbagai mikroorganisme seperti mikoriza yang memungkinkan terjadinya produksi nutrisi secara alami di dalam tanah sepanjang musim tanam. Pertanian organik mendayagunakan berbagai metode untuk meningkatkan kesuburan tanah, termasuk rotasi tanaman, pemanfaatan tanaman penutup, pengolahan tanah tereduksi, dan penerapan kompos. Dengan mengurangi pengolahan tanah, maka tanah tidak dibalik dan tidak terpapar oleh udara. Hal ini berarti nutrisi yang bersifat mudah menguap seperti nitrogen dan karbon semakin sedikit yang menghilang.

Tumbuhan membutuhkan berbagai nutrisi seperti nitrogen, fosfor, dan nutrisi mikro lainnya serta hubungan simbiosis dengan fungi dan organisme lainnya untuk berkembang dengan baik. Sinkronisasi diperlukan agar tumbuhan mendapatkan nitrogen yang cukup pada waktu yang tepat. Hal ini menjadi salah satu tantangan di dalam pertanian organik.[17] Residu tanaman dapat dikembalikan ke tanah sehingga membusuk dan memberikan nutrisi bagi tanah.[17] Dalam banyak kasus, pengaturan pH diperlukan dengan menggunakan kapur pertanian dan sulfur.[18]:43

Lahan usaha tani yang tidak memiliki usaha peternakan di dalamnya mungkin akan lebih sulit dalam mengembalikan kesuburan tanah dan membutuhkan input kotoran dari luar untuk digunakan sebagai sumber nitrogen yang baik. Namun nitrogen juga dapat diberikan dengan menggunakan legum sebagai tanaman penutup tanah.[17]

Penelitian dalam ilmu biologi pada tanah dan mikroorganisme yang hidup di dalamnya telah membuktikan manfaat bagi pertanian organik. Berbagai jenis bakteri dan fungi memecah bahan kimia, residu tanaman, dan kotoran hewan menjadi nutrisi yang dapat diserap oleh tumbuhan, sehingga tanaman pertanian menjadi produktif.[19][20]

Pengelolaan gulma

Pengelolaan gulma secara organik bersifat menekan, bukan memberantas gulma, dengan meningkatkan kompetisi dan mendayagunakan sifat fitotoksik tanaman.[21] Pertanian organik mengintegrasikan strategi budaya, biologi, mekanis, fisik, dan kimiawi untuk mengelola gulma tanpa menggunakan herbisida sintetik.

Berbagai standar organik membutuhkan rotasi tanaman dari tanaman semusim,[22] yang berarti satu jenis tanaman tidak bisa ditumbuhkan di lokasi yang sama tanpa tumbuhan antara yang berbeda jenisnya. ROtasi tanaman secara organik mencakup tanaman penutup yang menekan pertumbuhan gulma dan tanaman dengan siklus hidup yang tidak sama untuk menekan pertumbuhan gulma yang hanya menyerang jenis tanaman tertentu.[21] Berbagai penelitian dikerjakan untuk mengembangkan metode organik untuk mendukung pertumbuhan mikroorganisme yang secara alami menekan pertumbuhan atau perkecambahan gulma.[23] Metode lainnya yaitu meningkatkan tingkat kompetisi tanaman pertanian untuk menekan pertumbuhan gulma dengan berbagai cara seperti mengatur tingkat kepadatan penanaman, mengatur jumlah varietas tanaman yang ditanam, dan mengatur periode penanaman.[21]

Pengendalian gulma secara mekanis dan fisik dapat dilakukan dengan:[24]

  • Pengolahan tanah - membalik tanah di atara tanaman untuk menempatkan residu tanaman dan gulma ke dalam tanah.
  • Pemotongan
  • Memberikan panas ke tanah
  • Pemberian mulsa untuk menghalangi pertumbuhan gulma (lihat plastikultura)[25]

Namun metode pengolahan tanah dikritik sebagian kalangan karena dapat menyebabkan erosi.[26][27] FAO dan berbagai organisasi mempromosikan pendekatan pertanian tanpa pengolahan tanah (no till farming) dan menekankan pada rotasi tanaman.[27][28] Sebuah studi menunjukan bahwa rotasi tanaman dan pemanfaatan tanaman penutup tanah mampu mengurangi erosi tanah, mengendalikan hama, dan menekan penggunaan pestisida secara signifikan.[29] Beberapa bahan kimia yang tersedia secara alami dapat digunakan sebagai herbisida (bioherbisida), seperti asam asetat, tepung gluten jagung, dan minyak atsiri. Bioherbisida yang berbasis fungi patogen yang menjadi parasit bagi gulma, juga telah dikembangkan.[24]

Gulma juga dapat dikendalikan dengan memanfaatkan penggembalaan hewan di atas lahan pertanian. Angsa telah dipelihara secara jelajah bebas di atas lahan kapas, strawberry, tembakau, dan jagung untuk menekan pertumbuhan gulma.[30] Petani sawah di berbagai belahan dunia juga memelihara bebek dan ikan di sawah untuk memakan gulma dan serangga.[31]

Hewan ternak

Usaha pemeliharaan hewan ternak yang menghasilkan daging, susu, dan telur secara organik dapat menjadi pelengkap bagi usaha pertanian organik. Berbagai pembuat kebijakan memiliki sikap yang bervariasi mengenai kesejahteraan hewan, namun USDA secara umum tidak mengutamakan kesejahteraan hewan untuk memberi label produk organik.[32] Kuda dan sapi dapat menjadi hewan pekerja yang menyediakan tenaga untuk menggerakkan mesin, membajak, menambah kesuburan tanah dengan kotorannya, dan menjadi sumber bahan bakar (misal biogas).

Lihat pula

Referensi

  1. ^ a b Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Juli 2002). "Prospek Pertanian Organik di Indonesia". Diakses tanggal 23 Mei 2010. 
  2. ^ a b c d e International Federation of Organic Agriculture Movements. "PRINSIP-PRINSIP PERTANIAN ORGANIK" (PDF). Diakses tanggal 23 Mei 2010. 
  3. ^ Douglas John McConnell (2003). The Forest Farms of Kandy: And Other Gardens of Complete Design. hlm. 1. ISBN 9780754609582. 
  4. ^ Horne, Paul Anthony (2008). Integrated pest management for crops and pastures. CSIRO Publishing. hlm. 2. ISBN 978-0-643-09257-0. 
  5. ^ a b Stinner, D.H (2007). "The Science of Organic Farming". Dalam William Lockeretz. Organic Farming: An International History. Oxfordshire, UK & Cambridge, Massachusetts: CAB International (CABI). ISBN 978-0-85199-833-6. Diakses tanggal 30 April 2013.  ebook ISBN 978-1-84593-289-3 Kesalahan pengutipan: Tanda <ref> tidak sah; nama "Stinner2007" didefinisikan berulang dengan isi berbeda
  6. ^ a b Paull, John (2006) The Farm as Organism: The Foundational Idea of Organic Agriculture Elementals ~ Journal of Bio-Dynamics Tasmania 83:14–18
  7. ^ Paull, John (2011). "Attending the First Organic Agriculture Course: Rudolf Steiner's Agriculture Course at Koberwitz, 1924". European Journal of Social Sciences. 21 (1): 64–70. 
  8. ^ a b Holger Kirchmann and Lars Bergström, editors. Organic Crop Production – Ambitions and Limitations Springer. Berlin 2008.
  9. ^ Paull John (2011). "Attending the First Organic Agriculture Course: Rudolf Steiner's Agriculture Course at Koberwitz, 1924" (PDF). European Journal of Social Sciences. 21 (1): 64–70. 
  10. ^ Lotter, D.W. (2003) Organic agriculture. Journal of Sustainable Agriculture 21(4)
  11. ^ Biodynamics is listed as a "modern organic agriculture" system in: Minou Yussefi and Helga Willer (Eds.), The World of Organic Agriculture: Statistics and Future Prospects, 2003, p. 57
  12. ^ Biodynamic agriculture is "a type of organic system". Charles Francis and J. van Wart (2009), "History of Organic Farming and Certification", in Organic farming: the ecological system. American Society of Agronomy. pp. 3-18
  13. ^ Paull, John "China's Organic Revolution", Journal of Organic Systems (2007) 2 (1): 1-11.
  14. ^ FiBL (2006) Use of potassium bicarbonate as a fungicide in organic farming
  15. ^ Fargione J, and D Tilman. 2002. "Competition and coexistence in terrestrial plants". Pages 156-206 In U. Sommer and B Worm editors, Competition and Coexistence. Springer-Verlag, Berlin, Germany. [1]
  16. ^ Crop diversity: A Distinctive Characteristic of an Organic Farming Method - Organic Farming; April 15, 2013
  17. ^ a b c Watson CA, Atkinson D, Gosling P, Jackson LR, Rayns FW. (2002). "Managing soil fertility in organic farming systems". Soil Use and Management. 18: 239–247. doi:10.1111/j.1475-2743.2002.tb00265.x. Diakses tanggal 2009-05-29.  Preprint with free full-text.
  18. ^ Gillman J. (2008). The Truth About Organic Farming.
  19. ^ Ingram, M. (2007). "Biology and Beyond: The Science of Back to Nature Farming in the United States". Annals of the Association of American Geographers. 97 (2): 298–312. doi:10.1111/j.1467-8306.2007.00537.x. 
  20. ^ Mader; Fliessbach, A; Dubois, D; Gunst, L; Fried, P; Niggli, U; et al. (2002). "Soil Fertility and Biodiversity in Organic Farming". Science. 296 (5573): 1694–1697. Bibcode:2002Sci...296.1694M. doi:10.1126/science.1071148. PMID 12040197. 
  21. ^ a b c Kathleen Delate and Robert Hartzler. 2003. Weed Management for Organic Farmers. Iowa State University Extension Bulletin 1883.
  22. ^ Staff, United Nations Conference on Trade and Development. Organic Standards
  23. ^ Robert J. Kremer and Jianmei Li. 2003. Developing weed-suppressive soils through improved soil quality management. Soil & Tillage Research 72: 193-202.
  24. ^ a b Mark Schonbeck, Virginia Association for Biological Farming. Last Updated: March 23, 2010. An Organic Weed Control Toolbox.
  25. ^ Szykitka, Walter (2004). The Big Book of Self-Reliant Living: Advice and Information on Just About Everything You Need to Know to Live on Planet Earth. Globe-Pequot. hlm. 343. ISBN 978-1-59228-043-8. 
  26. ^ Pimentel D et al. (1997) Environmental and Economic Costs of Soil Erosion and Economic Benefits of Conservation Science 267(52010):1117-1123
  27. ^ a b Staff, Green.View (2008-08-11). "Stuck in the mud". The Economist. 
  28. ^ David R. Huggins and John P. Reganold. (2008) No-till: The Quiet Revolution Scientific American July 2008 Issue:70-77
  29. ^ Pimentel D et al. (2005) Environmental, Energetic, and Economic Comparisons of Organic and Conventional Farming Systems. BioScience 55(7):573-82
  30. ^ Glenn Geiger and Harold Biellier. 1993. Weeding With Geese. University of Missouri Extension Bulletin G8922.
  31. ^ How to feed the world By Laurent Belsie (February 20, 2003 edition) The Christian Science Monitor
  32. ^ "Clouds on the Organic Horizon". CropWatch. Diakses tanggal 14 March 2007. 

Bahan bacaan terkait

Pranala luar