Marga

bagian dari struktur nama seorang individu yang dipergunakan pada banyak kebudayaan di dunia
Revisi sejak 23 Januari 2014 09.11 oleh Bennylin (bicara | kontrib) (batalkan suntingan Etimo)

Marga atau nama keluarga adalah nama pertanda dari keluarga mana seorang berasal. Marga lazim ada di banyak kebudayaan di dunia. Nama marga dalam kebudayaan Barat dan kebudayaan yang terpengaruh oleh budaya Barat umumnya terletak di belakang, sehingga sering disebut dengan nama belakang. Kebalikannya, budaya Tionghoa dan Asia Timur lainnya menaruh nama marga di depan. Ada juga kebudayaan yang dulunya tidak menggunakan marga, misalnya suku Jawa di Indonesia, walapun kini sudah ada yang mengadopsi nama dalam keluarganya. Dalam sistematika biologis, marga digunakan bergantian untuk takson 'genus'.

Marga dalam Suku Batak

Marga menjadi identitas dalam masyarakat dan adat. Marga diturunkan dari ayah kepada anak-anaknya (patriarchal).[1] Marga turun-temurun dari /jika Batak maka oppu/kakek kepada ama/bapak, kepada anak, kepada pahompu/cucu, kepada nini/cicit dst.[1]. Marga lebih sering digunakan daripada nama, biasanya nama disingkat saja, contoh: Hamonangan Marbun lebih sering menjadi H. Marbun.[2]

Teman semarga (satu marga) di sebut “dongan tubu/golongan-golongan seperut” atau satu keturunan, yang ikatan persekutuanya secara terus menyatukan diri dalam komunitas marganya, [3]. Contoh: persekutuan marga Marbun, persekutuan marga Sihite Se-Jabodetabek dll.[2] Menurut adat orang batak setiap orang harus mengenal silsilah/tarombo marganya sendiri (marga dan nomor urut dari silsilah marga tersebut), selain itu ia juga wajib mempelajari silsilah marga istrinya.[2]. Karena prinsipnya semua orang yang semarga dengan istrinya adalah hula-hula/semarga dengan istri, supaya ia tahu dan memahami di mana kedudukanya.[4] Adalah hal yang memalukan jika menyalahi ketentuan adat, seperti memerintah hula-hula mengerjakan sesuatu yang harus dikerjakan boru (ibu)-nya.[4].

Referensi

  1. ^ a b W. Hutagalung,___ Adat Taringot Tu Ruhut-ruhut ni Pardongan Saripeon di Halak Batak, Jakarta: N.V Pusaka. hal, 17.
  2. ^ a b c B Pasaribu, 2003, Adat Batak, Jakarta: Yayasan Obor. ISBN-979-98046-0-4. hal 46-47.
  3. ^ Lothar Schreiner. 1965, Telah Kudengar dari Ayahku, Jakarta: BPK Gunung Mulia. hal 46
  4. ^ a b Lumban Tobing, 1992Makna Wibawa Jabatan dalam Gereja Batak Jakarta: BPK Gunung Mulia. hal.32

Lihat pula

Templat:Link FA