Ajaran Samin

salah satu kepercayaan di dunia
Revisi sejak 27 Januari 2014 10.21 oleh Relly Komaruzaman (bicara | kontrib) (←Suntingan Dubaya (bicara) dibatalkan ke versi terakhir oleh 2001:4C28:194:520:5E26:AFF:FEFE:81DC)

Ajaran Samin (disebut juga Pergerakan Samin atau Saminisme) adalah salah satu suku yang ada di Indonesia. Masyarakat ini adalah keturunan para pengikut Samin Surosentiko yang mengajarkan sedulur sikep, di mana mereka mengobarkan semangat perlawanan terhadap Belanda dalam bentuk lain di luar kekerasan.[1] Bentuk yang dilakukan adalah menolak membayar pajak, menolak segala peraturan yang dibuat pemerintah kolonial. Masyarakat ini acap memusingkan pemerintah Belanda maupun penjajahan Jepang karena sikap itu, sikap yang hingga sekarang dianggap menjengkelkan oleh kelompok di luarnya.[2]

Masyarakat Samin sendiri juga mengisolasi diri hingga baru pada tahun '70-an, mereka baru tahu Indonesia telah merdeka. Kelompok Samin ini tersebar sampai Jawa Tengah, namun konsentrasi terbesarnya berada di kawasan Blora, Jawa Tengah dan Tuban, Bojonegoro, Jawa Timur yang masing-masing bermukim di perbatasan kedua wilayah.[3] Jumlah mereka tidak banyak dan tinggal di kawasan pegunungan Kendeng di perbatasan dua provinsi. Kelompok Samin lebih suka disebut wong sikep, karena kata samin bagi mereka mengandung makna negatif.[4] Orang luar Samin sering menganggap mereka sebagai kelompok yang lugu, suka mencuri, menolak membayar pajak, dan acap menjadi bahan lelucon terutama di kalangan masyarakat Bojonegoro. Pokok ajaran Samin Surosentiko, yang nama aslinya Raden Kohar, kelahiran Desa Ploso Kedhiren, Randublatung, tahun 1859, dan meninggal saat diasingkan ke Padang, 1914.[5][6]

Sejarah

Raden kohar lahir di Blora merupaka putera Surowijoyo bangsawan Sumoroto (sekarang kecamatan di Ponorogo). ketika menginjak usia dewasa, Raden kohar disuruh ahayandanya untuk ke tempat kerabat saudaranya disumoroto yang merupakan leluhurnya. Brotonegoro adalah penguasa Sumoroto yang .merupakan masih sanak saudara dari suro wijoyo menjadi orang istimewa membuat Raden kohar kemana-mana dikawal oleh ajudan di sumoroto bahkan hingga pedalaman hutan. Raden kohar melihat pemandangan yang berbeda antara Blora dan Ponorogo seperti halnya para lelaki yang disebut warok dengan pakaian hitam serta mengenakan iket memilki ilmu yang mumpuni menentang peraturan Belanda seperti memberikan upeti seperti hasil alam maupun ternak. kawanan warok ini suka mengelabuhi tentara belanda ketika menagih upeti dan disesatkan ke dalam hutan. padahal ada yang menyebut bahwa ada beberapa kelompok warok yang suka merampok. Raden Kohar tertarik dengan dasar prinsip para warok bahwa semuanya adalah "titipan tuhan yang maha kuasa" .Raden kohar berkeinginan belajar kepada para warok yang berada di hutan, hal ini disambut dengan baik oleh kalangan warok. Raden kohar di beri ilmu spiritual, beladiri, cocok tanam yang lebih maju serta pemahaman-pemahaman segala kehidupan warok dengan kesenian reyog. setelah beberapa tahun belajar, Raden Kohar mengganti namanya Menjadi Samnin Suro Sentiko atas saran para warok. juga pakaiannya yang biasa di kenakan oleh kalangan kadipaten lebih memilih memakai pakaian khas warok yang serba hitam dari penadon, iket, usus-usan yang panjang serta celana tiga per empat ini untuk memudahkan ketika bercocok tanam. setiba di blora, Suro sentiko mengadakan pertunjukan Barongan (kala itu reyog lebih dikenal barongan) untuk mengumpulkan masa, disaat tengah-tengah pertunjukan suro sentiko mengatakan untuk menentang peraturan belanda, siapa yang ikut dengannya akan diberikan ilmu beladiri, spiritual, bercocok tanam. hal ini yang membuat banyak warga tertarik dan berpindah tempat ke hutan. waktu demi waktu sudah banyak pengikut suro sentiko, para pengikutnya menyebut ajarannya adalah ajaran samin. hidup ditengah hutan bukan berarti kekurangan, dengan upaya yang disarankan suro sentiko menjadi berkecukupan menikmati hasil bumi tanpa diberikan ke belanda. Desas-desus Suro sentiko terdenar oleh Belanda yang pada akhirnya diculik dan diasingkan ke Padang, sumatera hingga meninggal dunia. bahkan saat ini para keturunan pewaris ajaran samin belum tahu bahwa ajaran saminmisme berakar dari pemahaman para warok.

Ajaran

Pengikut ajaran Samin mempunyai lima ajaran[7]:

  • tidak bersekolah,
  • tidak memakai peci, tapi memakai “iket”, yaitu semacam kain yang diikatkan di kepala mirip orang Jawa dahulu,
  • tidak berpoligami,
  • tidak memakai celana panjang, dan hanya pakai celana selutut,
  • tidak berdagang, dan
  • penolakan terhadap kapitalisme.

Penyebaran

Tersebar pertama kali di daerah Klopoduwur, Blora, Jawa Tengah. Pada 1890 pergerakan Samin berkembang di dua desa hutan kawasan Randublatung, Blora, Jawa Tengah. Gerakan ini lantas dengan cepat menjalar ke desa-desa lainnya. Mulai dari pantai utara Jawa sampai ke seputar hutan di Pegunungan Kendeng Utara dan Kendeng Selatan, atau di sekitar perbatasan provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur menurut peta sekarang.[8]

Pokok-pokok ajaran Saminisme

Pokok ajaran Samin adalah sebagai berikut:

  • Agama adalah senjata atau pegangan hidup. Paham Samin tidak membeda-bedakan agama, oleh karena itu orang Samin tidak pernah mengingkari atau membenci agama. Yang penting adalah tabiat dalam hidupnya.
  • Jangan mengganggu orang, jangan bertengkar, jangan suka iri hati, dan jangan suka mengambil milik orang.
  • Bersikap sabar dan jangan sombong.
  • Manusia hidup harus memahami kehidupannya sebab hidup adalah sama dengan roh dan hanya satu, dibawa abadi selamanya. Menurut orang Samin, roh orang yang meninggal tidaklah meninggal, namun hanya menanggalkan pakaiannya.
  • Bila berbicara harus bisa menjaga mulut, jujur, dan saling menghormati. Berdagang bagi orang Samin dilarang karena dalam perdagangan terdapat unsur “ketidakjujuran”. Juga tidak boleh menerima sumbangan dalam bentuk uang.

Kebudayaan

Sebagaimana paham lain yang dianggap oleh pendukungnya sebagai agama, orang Samin juga memiliki "kitab suci". "Kitab suci"' itu adalah Serat Jamus Kalimasada yang terdiri atas beberapa buku, antara lain Serat Punjer Kawitan, Serat Pikukuh Kasajaten, Serat Uri-uri Pambudi, Serat Jati Sawit, Serat Lampahing Urip, dan merupakan nama-nama kitab yang amat populer dan dimuliakan oleh orang Samin.

Ajaran dalam buku Serat Pikukuh Kasajaten (pengukuhan kehidupan sejati) ditulis dalam bentuk puisi tembang, yaitu suatu genre puisi tradisional kesusasteraan Jawa.

Dengan mempedomani kitab itulah, orang Samin hendak membangun sebuah negara batin yang jauh dari sikap drengki srei, tukar padu, dahpen kemeren. Sebaliknya, mereka hendak mewujudkan perintah "Lakonana sabar trokal. Sabare dieling-eling. Trokali dilakoni."

Sikap

Walaupun masa penjajahan Belanda dan Jepang telah berakhir, orang Samin tetap menilai pemerintah Indonesia saat itu tidak jujur. Oleh karenanya, ketika menikah mereka tidak mencatatkan dirinya baik di Kantor Urusan Agama/(KUA) atau di catatan sipil.

Secara umum, perilaku orang Samin/ 'Sikep' sangat jujur dan polos tetapi kritis.

Bahasa

Mereka tidak mengenal tingkatan bahasa Jawa, jadi bahasa yang dipakai adalah bahasa Jawa ngoko. Bagi mereka menghormati orang lain tidak dari bahasa yang digunakan tapi sikap dan perbuatan yang ditunjukkan.

Pakaian

Pakaian orang Samin biasanya berupa baju lengan panjang tanpa kerah, berwarna hitam. Laki-laki memakai ikat kepala. Untuk pakaian wanita bentuknya kebaya lengan panjang, berkain sebatas di bawah tempurung lutut atau di atas mata kaki.

Sistem kekerabatan

Dalam hal kekerabatan masyarakat Samin memiliki persamaan dengan kekerabatan Jawa pada umumnya. Sebutan-sebutan dan cara penyebutannya sama. Hanya saja mereka tidak terlalu mengenal hubungan darah atau generasi lebih ke atas setelah Kakek atau Nenek.

Hubungan ketetanggaan baik sesama Samin maupun masyarakat di luar Samin terjalin dengan baik. Dalam menjaga dan melestarikan hubungan kekerabatan masyarakat Samin memiliki tradisi untuk saling berkunjung terutama pada saat satu keluarga mempunyai hajat sekalipun tempat tinggalnya jauh.

Pernikahan

Menurut Samin, perkawinan itu sangat penting. Dalam ajarannya perkawinan itu merupakan alat untuk meraih keluhuran budi yang seterusnya untuk menciptakan “Atmaja (U)Tama” (anak yang mulia).

Dalam ajaran Samin, dalam perkawinan seorang pengantin laki-laki diharuskan mengucapkan syahadat, yang berbunyi kurang lebih demikian: “ Sejak Nabi Adam pekerjaan saya memang kawin. (Kali ini) mengawini seorang perempuan bernama…… Saya berjanji setia kepadanya. Hidup bersama telah kami jalani berdua.”

Demikian beberapa ajaran kepercayaan yang diajarkan Samin Surosentiko pada pengikutnya yang sampai sekarang masih dipatuhi warga samin.

Menurut orang Samin perkawinan sudah dianggap sah walaupun yang menikahkan hanya orang tua pengantin.

Ajaran perihal Perkawinan dalam tembang Pangkur orang Samin adalah sebagai berikut (dalam Bahasa Jawa):

Basa Jawa Terjemahan
Saha malih dadya garan, "Maka yang dijadikan pedoman,
anggegulang gelunganing pembudi, untuk melatih budi yang ditata,
palakrama nguwoh mangun, pernikahan yang berhasilkan bentuk,
memangun traping widya, membangun penerapan ilmu,
kasampar kasandhung dugi prayogântuk, terserempet, tersandung sampai kebajikan yang dicapai,
ambudya atmaja 'tama, bercita-cita menjadi anak yang mulia,
mugi-mugi dadi kanthi. mudah-mudahan menjadi tuntunan."

Sikap terhadap lingkungan

Pandangan masyarakat Samin terhadap lingkungan sangat positif, mereka memanfaatkan alam (misalnya mengambil kayu) secukupnya saja dan tidak pernah mengeksploitasi. Hal ini sesuai dengan pikiran masyarakat Samin yang cukup sederhana, tidak berlebihan dan apa adanya. Tanah bagi mereka ibarat ibu sendiri, artinya tanah memberi penghidupan kepada mereka. Sebagai petani tradisional maka tanah mereka perlakukan sebaik-baiknya. Dalam pengolahan lahan (tumbuhan apa yang akan ditanam) mereka hanya berdasarkan musim saja yaitu penghujan dan kemarau. Masyarakat Samin menyadari isi dan kekayaan alam habis atau tidak tergantung pada pemakainya.

Pemukiman

Pemukiman masyarakat Samin biasanya mengelompok dalam satu deretan rumah-rumah agar memudahkan untuk berkomunikasi. Rumah tersebut terbuat dari kayu terutama kayu jati dan juga bambu, jarang ditemui rumah berdinding batu bata. Bangunan rumah relatif luas dengan bentuk limasan, kampung, atau joglo. Penataan ruang sangat sederhana dan masih tradisional, terdiri dari ruang tamu yang cukup luas, kamar tidur, dan dapur. Kamar mandi dan sumur terletak agak jauh dan biasanya digunakan oleh beberapa keluarga. Kandang ternak berada di luar, di samping rumah.

Upacara dan tradisi

Upacara-upacara tradisi yang ada pada masyarakat Samin antara lain nyadran (bersih desa) sekaligus menguras sumber air pada sebuah sumur tua yang banyak memberi manfaat pada masyarakat. Tradisi selamatan yang berkaitan dengan daur hidup yaitu kehamilan, kelahiran, khitanan, perkawinan, dan kematian. Mereka melakukan tradisi tersebut secara sederhana.

Masyarakat Samin saat ini

Perubahan zaman juga berpengaruh terhadap tradisi masyarakat Samin. anti dengan pemerintah karena sama saja dengan Belanda, Mereka saat ini sudah menggunakan traktor dan pupuk kimiawi dalam pertanian, serta menggunakan peralatan rumah tangga dari plastik, aluminium, dan lain-lain.

Lihat pula

Referensi

  1. ^ Benda, Harry (1969). "The Samin Movement". Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde: 207–216, 218–240. 
  2. ^ Korver, A. Pieter E. (1976). "The Samin Movement and Millenarism". Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde: 249–266. 
  3. ^ King, Victor T. (1973). "Some Observations on the Samin Movement of North-Central Java: Suggestions for the Theoretical Analysis of the Dynamics of Rural Unrest". Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde: 457–481. 
  4. ^ Rohmah, Ainur. "Saminism followers want exemption from 'religion section' on e-ID". The Jakarta Post. 
  5. ^ Van Der Kroef, Justus M. (1952). "The Messiah in Indonesia and Melanesia". The Scientific Monthly. 75 (3): 161–165. 
  6. ^ Shiraishi, Takashi (1990). "Dangir's Testimony: Saminism Reconsidered". Indonesia: 95–120. 
  7. ^ Faizal, Elly Burhaini. "Practicing Benevolence, Samin Tribe Endures Scorn". The Jakarta Post. 
  8. ^ Sastroatmodjo, Suryanto (1952). Masjarakat Samin (Blora). Central Java, Indonesia: the Indonesian Information Ministry's publication. hlm. 482. 

Pranala luar