Ma'soem

pengusaha Indonesia (1923-2001)
Revisi sejak 24 Maret 2014 01.46 oleh Almasoem (bicara | kontrib) (←Membuat halaman berisi 'H. MA’SOEM (1923-2001) Di suatu desa terpencil bernama Cibuyut, yang terletak di kaki gunung di Tasikmalaya menjadi saksi kelahiran seorang anak. Hari itu, Jumat se...')
(beda) ← Revisi sebelumnya | Revisi terkini (beda) | Revisi selanjutnya → (beda)

H. MA’SOEM (1923-2001)

Di suatu desa terpencil bernama Cibuyut, yang terletak di kaki gunung di Tasikmalaya menjadi saksi kelahiran seorang anak. Hari itu, Jumat sekitar tahun 1923, pasangan H. Soelaeman dan Kasih dikarunia seorang anak laki-laki. Anak keempat dari lima bersaudara itu kemudian diberi nama Dajoen. Tak ada yang luar biasa dari kelahiran Dajoen. Namun kelak sejarah mencatat, Dajoen menjadi seorang pengusaha sekaligus pendidik yang sangat disegani. Seperti anak-anak lain, Dajoen bersekolah di Sekolah Rakyat. Selepas Sekolah Rakyat ia pun melanjutkan ke Vervogschool di Kecamatan Ciawi. Setiap hari ia harus berjalan kaki sejauh 16 km untuk mencapai sekolahnya. Sepulang dari sekolah ia masih harus belajar di Pesantren Gereba. Sejak kecil Dajoen sudah belajar hidup mandiri. Ia misalnya memelihara beberapa ekor bebek, telurnya ia jual untuk membiayai sekolahnya. Tamat dari vervolgschool, Dajoen meninggalkan desa kelahirannya untuk berniaga di Cipacing dan sewaktu-waktu bekerja sebagai buruh tani. Ia tinggal bersama kakaknya, Kyai Nasihin. Jaman pendudukan Jepang, Dajoen pulang kampung, lalu belajar di Pesantren Karangsambung yang dipimpin K.H. Masduki. Dajoen amat disayang K.H. Masduki, sehingga diberi nama Ma’soem, yang artinya terpelihara dari sifat buruk. K.H Masduki pada tahun 1944 menikahkan Ma’soem dengan Aisyah yang tiada lain putrinya sendiri. Pada awal kemerdekaan, Ma’soem berdagang kerbau. Dua-tiga ekor kerbau yang dibeli dari seputar Ciawi, dibawanya ke Bandung dengan jalan kaki. Kegiatan ini memang hanya sebentar berlangsung. Memasuki tahun 1950, suasana desa tidak aman, akibat berkecamuknya gerombolan. Ma’soem hampir menjadi korban, lalu ia memutuskan mengembara ke kota, membuka lembaran hidup baru. Ma’soem dan keluarganya lalu tinggal di Cipacing. Ia berdagang kerajinan ke Bandung dan bahkan ke Jakarta. Kehidupannya sangat sederhana. Untuk lauk-pauk sehari-hari mereka hanya makan peda bakar, dicocol kepalan nasi. Ma’soem memutuskan berhenti berdagang kerajinan, karena hasilnya tidak mencukupi kebutuhan. Ia lalu menyewa sepetak warung di depan Pasar Dangdeur, Rancaekek. Di situ ia berdagang minyak tanah sebanyak satu blek (20 liter) per hari. Jujur dan ramah kepada pembeli menjadikan perniagaan Ma’soem maju. Dengan upaya keras dan sungguh-sungguh, Ma’soem menjadi agen minyak tanah. Semula ia menggunakan alat angkut pedati, lalu membeli truk bekas. Dirintisnya pula usaha pompa bensin di Rancaekek. Ia kemudian merambah usaha ke armada angkutan dan pabrik tenun. Tahun 1955, Ma’soem dan istri pergi berhaji ke Tanah Suci. Ia memperoleh makna dari berserah diri dan tawakal kepada Allah. Melihat usaha yang terus berkembang dan peluang semakin terbuka, tahun 1968, Nanang, putra sulungnya yang kuliah di Fakultas Ekonomi Unpad menyarankan agar membentuk sebuah PT. Menurut pandangannya, usaha sang ayah yang mulai membesar tidak cukup kalau dikelola secara seadanya. Awalnya Ma’soem menolak namun dengan pendekatan dan disampaikan bahwa nama perusahan akan menggunakan nama “Ma’soem”, akhirnya disetujui. Pada tahun 1973 secara de jure PT Ma’soem berdiri. Kejujuran adalah mata uang yang berlaku dimana-mana. Melalui ungkapan yang sederhana, sering dikatakan “Jadi jelema mah kudu jujur, lamun urang jujur, dimana wae urang aya, bakal bisa hirup”, dan Ma’soem selalu berpedoman:”Tong ngadagoan hujan turun” dan “manuk hiber ku jangjangna, manusa hirup ku akalna” dalam pandangan Ma’soem, bekerja adalah ibadah. Ma’soem memberikan kebebasan kepada anak-anaknya untuk memilih bidang studi, yang terpenting anak-anak harus sekolah, dan kalau bisa setinggi mungkin dan tidak melupakan ajaran Islam. Ma’soem tidak membeda-bedakan orang. Pintu rumahnya selalu terbuka untuk menerima kehadiran siapa saja. Jika ada undangan, ia akan menyempatkan datang. Ma’soem dan Aisyah selalu berbagi tugas dengan jelas. Istri itu ibarat pabeasan, demikian dikatakannya. Keberhasilannya sebagai pengusaha banyak ditunjang jasa istrinya. Menurut pendiriannya, mencari rejeki halal itu mudah dan masih banyak. Hal itu sudah dibuktikannya sendiri dengan syarat mau bekerja keras serta jujur. Ma’soem selalu memelihara agar jarak majikan-karyawan atau atasan-bawahan tidak mencolok. Namun ia bisa keras dan tegas, bahkan marah jika menemukan karyawan tidak jujur dan melanggar aturan. Ma’soem ingin berbagi keberhasilan dengan yang lain. Ia berharap bantuannya memberikan manfaat panjang. Bedirilah Yayasan Pendidikan Al Ma’soem yang bertujuan mendidik anak bangsa dengan motto: Cageur-bageur-pinter. Ma’soem tergerak beramal di bidang sosial-ekonomi-syariah, serta membangun mesjid dan mushola, juga sarana dan fasilitas kepentingan umum diantaranya diwujudkan melalui program pembangunan BPR Syariah, medical centre, dan kolam renang dengan tempat khusus terpisah antara laki-laki dan perempuan. Tanggal 30 Desember 2001, bertepatan dengan 14 Syawal 1422 H, ba’da magrib, sehabis wiridan dan sholat sunat, Ma’soem bersalaman dengan jamaah mesjid. Saat Isya, ia melaksanakan sholat berjamaah, lalu pulang untuk beristirahat. Itulah saat terakhir Ma’soem. Ia duduk di kursi ditemani anaknya, Nanang dan Ceppy, nafasnya agak sesak. Ma’soem mengucap pelan kalimat tauhid, lalu tampak seperti tidur. Ternyata Ma’soem telah wafat. Saking banyaknya yang ingin mengusung almarhum, jenasah Ma’soem diestafetkan dari pintu mesjid hingga pinggir lubang lahat. Ribuan orang berdiri berhadap-hadapan, seraya menggema mengumandangkan laa ilaaha ilallah, muhammadar-rosulullah …