Pembicaraan:Ki Juru Mertani
Ini adalah halaman pembicaraan untuk diskusi terkait perbaikan pada pengalihan Ki Juru Mertani. Halaman ini bukanlah sebuah forum untuk diskusi umum tentang subjek artikel. |
|||
| Kebijakan artikel
|
||
Cari sumber: "Ki Juru Mertani" – berita · surat kabar · buku · cendekiawan · HighBeam · JSTOR · gambar bebas · sumber berita bebas · The Wikipedia Library · Referensi WP |
Kyai Juru Martani (lahir: ? - wafat: Mataram, 1615) adalah tokoh cerdik yang menjabat sebagai patih pertama dalam sejarah Kesultanan Mataram, bergelar Kyai Adipati Mandaraka.
Silsilah Ki Juru Martani
Ada beberapa versi mengenai asal-usul Ki Juru Martani, diantaranya adalah :
Ki Juru Martani adalah putra Ki Ageng Saba atau Ki Ageng Madepandan, putra Sunan Kedul, putra Sunan Giri anggota Walisanga pendiri Giri Kedaton. Ibunya adalah putri dari Ki Ageng Sela, yang masih keturunan Brawijaya raja terakhir Majapahit (versi babad). Juru Martani memiliki adik perempuan bernama Nyai Sabinah yang menikah dengan Ki Ageng Pamanahan, putra Ki Ageng Ngenis, putra Ki Ageng Sela. Dengan demikian, Ki Ageng Pemanahan adalah adik sepupu sekaligus ipar Juru Martani. Juru Martani memiliki beberapa orang anak yang menjadi bangsawan pada zaman Kesultanan Mataram, antara lain Pangeran Mandura dan Pangeran Juru Kiting. Pangeran Mandura berputra Pangeran Mandurareja dan Pangeran Upasanta. Mandurareja pernah mencoba berkhianat pada pemerintahan Sultan Agung tapi batal. Ia kemudian ikut menyerang Batavia yahun 1628 dan dihukum mati di sana bersama para panglima lainnya karena kekalahannya. Sementara itu Upasanta diangkat menjadi bupati Batang. Putrinya dinikahi Sultan Agung sebagai selir, yang kemudian melahirkan Amangkurat I.
- Versi 2
Peran Awal Ki Juru Martani
Nama Juru Martani muncul dalam Babad Tanah Jawi sebagai tokoh yang mendesak Ki Ageng Pemanahan dan Ki Panjawi agar berani mengikuti sayembara menumpas Arya Penangsang.
Arya Penangsang adalah bupati Jipang Panolan yang telah membunuh Sunan Prawoto raja Demak tahun 1549. Sayembara diadakan oleh Hadiwijaya bupati Pajang dengan hadiah, tanah Pati dan Mataram.
Ki Ageng Pemanahan dan Ki Panjawi semula tidak berani mengikuti sayembara karena takut pada kesaktian Arya Penangsang. Setelah Ki Juru Martani berjanji menjadi pengatur strategi, maka keduanya pun berangkat mendaftar.
Ki Juru Martani sebagai Perintis Kesultanan Mataram
Perkembangan sejarah masuknya Agama Islam di Surakarta, tidak dapat dipisahkan dengan sejarah Ki Ageng Henis. Mulanya Laweyan merupakan perkampungan masyarakat yang beragama Hindu Jawa. Ki Ageng Beluk, sahabat Ki Ageng Henis, adalah tokoh masyarakat Laweyan saat itu. Ia menganut agama Hindu, tetapi karena dakwah yang dilakukan oleh Ki Ageng Henis, Ki Ageng Beluk menjadi masuk Islam. Ki Ageng Beluk kemudian menyerahkan bangunan pura Hindu miliknya kepada Ki Ageng Henis untuk diubah menjadi Masjid Laweyan.
Kerajaan Mataram Islam dirintis oleh tokoh-tokoh keturunan Raden Bondan Kejawan putra Bhre Kertabhumi. Tokoh utama Perintis Kesultanan Mataram adalah Ki Ageng Pamanahan, Ki Juru Martani dan Ki Panjawi mereka bertiga dikenal dengan "Tiga Serangkai Mataram" atau istilah lainnya adalah "Three Musketeers from Mataram". Disamping itu banyak perintis lainnya yang dianggap berjasa besar terhadap terbentuknya Kesultanan Mataram seperti : Bondan Kejawan, Ki Ageng Wonosobo, Ki Ageng Getas Pandawa, Nyai Ageng Ngerang dan Ki Ageng Ngerang, Ki Ageng Made Pandan, Ki Ageng Saba, Ki Ageng Pakringan, Ki Ageng Sela, Ki Ageng Enis dan tokoh lainnya dari keturunanan masing-masing. Mereka berperan sebagai leluhur Raja-raja Mataram yang mewarisi nama besar keluarga keturunan Brawijaya majapahit yang keturunannya menduduki tempat terhormat dimata masyarakat dengan menyandang nama Ki, Ki Gede, Ki Ageng' Nyai Gede, Nyai Ageng yang memiliki arti : tokoh besar keagamaan dan pemerintahan yang dihormati yang memiliki kelebihan, kemampuan dan sifat-sifat kepemimpinan masyarakat.
Ada beberapa fakta yang menguatkan mereka dianggap sebagai perintis Kesultanan Mataram yaitu :
- Fakta 1 : Tokoh-tokoh perintis tersebut adalah keturunan ke 1 sampai dengan ke 6 raja Majapahit terakhir Bhre Kertabhumi yang bergelar Brawijaya V, yang sudah dapat dipastikan masih memiliki pengaruh baik dan kuat terhadap Kerajaan yang memerintah maupun terhadap masyarakat luas;
- Fakta 2 : Tokoh-tokoh tersebut adalah keturunan Silang/Campuran dari Walisongo beserta leluhurnya yang terhubung langsung kepada Imam Husain bin Ali bin Abu Thalib, yang sudah dapat dipastikan mendapatkan bimbingan ilmu keagamaan (Islam) berikut ilmu pemerintahan ala khilafah / kekhalifahan islam jajirah Arab. Hal ini terbukti dalam aktivitas keseharian mereka juga sering berdakwah dari daerah satu ke daerah lainnya dengan mendirikan banyak Masjid, Surau dan Pesantren;
- Fakta 3 : Para perintis tersebut pada dasarnya adalah "Misi" yang dipersiapkan oleh para Seikh dan para Wali (Wali-7 dan Wali-9) termasuk para Al-Maghrobi yang bertujuan "mengislamkan Tanah Jawa" secara sistematis dan berkelanjutan dengan cara menyatu dengan garis keturunan kerajaan.
- Fakta 4 : Suksesi Kesultanan Demak ke Kesultanan Pajang kemudian menjadi Kesultanan Mataram pada dasarnya adalah kesinambungan dari "Misi" sesuai Fakta 3, seperti juga yang terjadi dengan Kerajaan Pajajaran, Kerajaan Sumedang Larang, Kerajaan Talaga Majalengka dan Kerajaan Sarosoan Banten, diluar adanya perebutan kekuasaan.
Dengan demikian dari keempat fafta di atas, jelas sudah bahwa terbentuknya Kesultanan Mataram pada khususnya dan Kesultanan Islam di Jawa pada umumnya merupakan strategi yang dipersiapkan oleh para Syeikh dan para Wali untuk mempercepat menyebarnya Islam di Tanah Jawa, sehingga salah satu persyaratan pembentukan Kesultanan Islam baik di Jawa maupun di daerah lainnya harus mendapatkan "Legitimasi/Pengesahan" dari Mekah dan/atau Turki, jalur untuk keperluan tersebut dimiliki oleh para "Ahlul Bait" seperti para Seikh dan para Wali.
Strategi untuk Membunuh Arya Penangsang
Strategi untuk mengalahkan adipati Jipang disusun rapi oleh Juru Martani. Mula-mula Ki Ageng Pemanahan dan Ki Panjawi mendaftar sayembara sambil membawa serta Sutawijaya (putra kandung Ki Ageng Pemanahan). Hadiwijaya merasa tidak tega karena Sutawijaya telah menjadi anak angkatnya. Maka, ia pun memberikan pasukan Pajang untuk mengawal Sutawijaya.
Pasukan Ki Ageng Pemanahan dan Ki Panjawi yang terdiri atas gabungan orang Pajang dan Sela berangkat dan menunggu di sebelah barat Sungai Bengawan Sore. Juru Martani melarang mereka menyeberang karena sungai tersebut sudah dimantrai oleh Sunan Kudus, guru Arya Penangsang.
Juru Martani kemudian menangkap tukang kuda musuh yang sedang mencari rumput. Telinga orang itu dipotong dan ditempeli surat tantangan atas nama Hadiwijaya.
Si tukang kuda pulang ke kadipaten Jipang melapor pada majikannya. Arya Penangsang marah melihat pembantunya dilukai, apalagi terdapat surat tantangan agar Arya Penangsang bertarung tanpa kawan melawan Hadiwijaya di tepi Sungai Bengawan Solo.
Arya Penangsang tidak kuasa menahan emosi. Ia pun berangkat melayani tantangan musuh. Siasat Juru Martani berhasil. Apabila surat tantangan dibuat atas nama Ki Ageng Pemanahan atau Ki Panjawi, pasti Arya Penangsang tidak sudi berangkat.
Arya Penangsang tiba di tepi timur Bengawan Sore berteriak-teriak menantang Hadiwijaya. Ia tidak berani menyeberang karena ingat pesan Sunan Kudus. Namun Juru Martani sudah menyusun rencana jitu. Sutawijaya disuruh naik kuda betina yang sudah dipotong ekornya.
Akibatnya, kuda jantan milik Arya Penangsang yang bernama Gagak Rimang bisa melihat alat vital si kuda betina. Kuda tersebut menjadi liar dan tidak terkendali sehingga membawa Arya Penangsang menyeberangi sungai mengejar kuda milik Sutawijaya.
Ketika Arya Penangsang baru saja mencapai tepi barat, Sutawijaya segera menusuk perutnya menggunakan tombak Kyai Plered. Perut Arya Penangsang robek dan ususnya terburai. Namun ia masih bertahan. Ususnya itu disampirkan pada pangkal keris pusakanya.
Arya Penangsang yang sudah terluka parah masih bisa meringkus Sutawijaya. Sutawijaya dicekik sampai tidak berdaya. Juru Martani meneriaki Arya Penangsang agar bertarung secara adil. Karena Sutawijaya bersenjata tombak pusaka Kyai Plered, maka ia juga harus memakai pusaka jika ingin membunuh Sutawijaya.
Maka, Arya Penangsang pun mencabut keris pusaka Kyai Setan Kober yang terselip di pinggangnya. Akibatnya, usus yang tersampir di pangkal keris tersebut ikut terpotong, sehingga Arya Penangsang pun menemui kematiannya.
Pasukan Jipang dipimpin Patih Matahun datang menyusul majikan mereka. Melihat Arya Penangsang tewas, mereka pun menyerbu untuk bela pati. Kesemuanya itu dapat ditumpas oleh Ki Ageng Pemanahan dan Ki Panjawi.
Sayembara telah usai. Ki Juru Martani menyusun laporan palsu bahwa, Arya Penangsang mati dikeroyok Ki Ageng Pemanahan dan Ki Panjawi. Apabila Hadiwijaya di Pajang mengetahui kalau pembunuh sebenarnya adalah Sutawijaya, tentu ia akan lupa memberi hadiah tanah Mataram dan Pati, mengingat Sutawijaya adalah anak angkat Hadiwijaya.
Ki Juru Martani Sebagai Penasihat Sutawijaya
Setelah mengalahkan Arya Penangsang tahun 1549, Ki Ageng Pemanahan baru mendapatkan tanah Mataram sejak tahun 1556. Ki Juru Martani ikut bergabung di desa itu. Ki Ageng Pemanahan meninggal tahun 1575, digantikan Sutawijaya, yang berambisi menjadikan Mataram sebagai kerajaan merdeka.
Ki Juru Martani menjadi penasihat Sutawijaya. Ia juga mendukung perjuangan Sutawijaya selama masih berada pada jalan yang benar. Juru Martani pun berangkat bertapa ke puncak Gunung Merapi meminta bantuan penguasa di sana. Hasilnya, ketika terjadi perang melawan Pajang tahun 1582, Gunung Merapi tiba-tiba meletus dan memuntahkan laharnya menyapu pasukan Sultan Hadiwijaya.
Kesaktian Ki Juru Martani
Juru Martani tidak hanya dikisahkan cerdik, tapi juga memiliki kesaktian tinggi, meskipun tidak pernah diceritakan bertarung melawan musuh.
Babad Tanah Jawi mengisahkan, Sutawijaya memiliki putra sulung bernama Raden Rangga yang suka memamerkan kesaktiannya. Suatu hari Raden Rangga disuruh pergi ke rumah Juru Martani untuk berguru. Pemuda itu pun berangkat dengan setengah hati karena merasa lebih kuat dari pada Juru Martani.
Sesampainya di tujuan, Juru Martani sedang salat. Raden Rangga menunggu di teras mushala sambil iseng melubangi batu lantai menggunakan jari. Juru Martani muncul dari dalam dan mengatakan kalau batu mushala tersebut keras jadi jangan buat mainan. Seketika itu juga, Raden Rangga tidak mampu lagi melubangi batu mushala dengan jarinya.
Sejak itu, Raden Rangga berguru pada Juru Martani dengan sepenuh hati karena ia yakin kalau orang tua yang dianggapnya lemah dan tidak pernah bertarung itu ternyata menyimpan kesaktian yang luar biasa.
Akhir Hayat Ki Juru Martani
Ki Juru Martani menjabat sebagai patih Kesultanan Mataram sejak pemerintahan Sutawijaya tahun 1586-1601. Dilanjutkan pemerintahan Mas Jolang putra Sutawijaya yang memerintah tahun 1601-1613. Lalu digantikan oleh Adipati Martapura putra Mas Jolang yang menjadi raja satu hari, dan dilanjutkan Sultan Agung putra Mas Jolang lainnya yang naik takhta sejak tahun 1613.
Kyai Juru Martani alias Adipati Mandaraka meninggal dunia pada tahun 1615. Kedudukannya sebagai patih Mataram kemudian digantikan oleh Tumenggung Singaranu. Dengan demikian, Juru Martani mengabdi di Mataram dalam waktu yang sangat lama, yaitu ikut membuka Alas Mentaok menjadi desa Mataram, sampai awal pemerintahan Sultan Agung, cicit Ki Ageng Pemanahan.
Sultan Agung memerintah sampai tahun 1645 kemudian digantikan oleh putranya, bergelar Amangkurat I yang lahir dari permaisuri keturunan Ki Juru Martani.
Kepustakaan
- Andjar Any. 1980. Raden Ngabehi Ronggowarsito, Apa yang Terjadi? Semarang: Aneka Ilmu
- Babad Tanah Jawi, Mulai dari Nabi Adam Sampai Tahun 1647. (terj.). 2007. Yogyakarta: Narasi
- H.J.de Graaf dan T.H. Pigeaud. 2001. Kerajaan-Kerajaan Islam Pertama di Jawa. Terj. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti
- Hayati dkk. 2000. Peranan Ratu Kalinyamat di jepara pada Abad XVI. Jakarta: Proyek Peningkatan Kesadaran Sejarah Nasional Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan Nasional
- M.C. Ricklefs. 1991. Sejarah Indonesia Modern (terj.). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
- Moedjianto. 1987. Konsep Kekuasaan Jawa: Penerapannya oleh Raja-raja Mataram. Yogyakarta: Kanisius
Penghargaan dan prestasi | ||
---|---|---|
Didahului oleh: Ki Ageng Enis Ki Ageng Saba |
Perintis Kesultanan Mataram 1478-1587 |
Diteruskan oleh: Pangeran Mandura |