Antonie Aris van de Loosdrecht

misionaris Belanda

Antonie Aris van de Loosdrecht adalah seorang tenaga pekabar Injil atau Zendeling pertama yang tiba di Tana Toraja.[1] Antonie Aris van de Loosdrecht berasal dari Belanda dan bekerja di Tana Toraja atas utusan Perhimpunan Pekabaran Injil Gereformeerd, sebuah badan pekabaran Injil yang didirikan di kota Utrecht, Belanda, pada tanggal 6 Februari 1901.[1] Antonie Aris van de Loosdrecht lahir di Belanda pada tanggal 2 Maret 1885.[1] Antonie Aris van de Loosdrecht muda mengajukan diri sebagai tenaga pekabar Injil yang siap melakukan pekabaran Injil ke Tana Toraja setelah membaca majalah Perhimpunan Pekabaran Injil Gereformeerd Alle den Volcke.[1] Majalah Alle den Volcke memuat berbagai informasi mengenai Perhimpunan Pekabaran Injil Gereformeerd salah satunya bahwa Perhimpunan Pekabaran Injil Gereformeerd sedang mencari tenaga pekabar Injil atau Zendeling.[1]

Pekerjaan di Tana Toraja

Antonie Aris van de Loosdrecht berangkat dari Belanda pada tanggal 5 September 1913.[1] Antonie Aris Van de Loosdrecht bersama dengan istrinya, Ida van de Loosdrecht, tiba di Hindia Belanda, tepatnya di Batavia pada tanggal 4 Oktober.[2] Di Batavia, Antonie Aris Van de Loosdrecht bertemu dengan Dr. N. Adriani.[1] Setelah itu Antonie Aris Van de Loosdrecht dan istrinya melanjutkan perjalanan ke Makassar.[1] Di Makassar,Antonie Aris Van de Loosdrecht bertemu dengan seorang guru bernama Manembu yang bersedia menemaninya dalam perjalanan ke Tana Toraja.[1] Mereka bersama-sama melanjutkan perjalanan ke Palopo lalu selanjutnya menuju Rantepao.[1] Mereka menginjakkan kaki di Rantepao untuk pertama kalinya pada tanggal 10 Nopember 1913.[1] Setibanya di Toraja, Antonie Aris Van de Loosdrecht langsung bekerja.[1] Pertama-tama Antonie Aris Van de Loosdrecht bersama rekannya menemui para pemuka masyarakat untuk merundingkan berbagai rencana Antonie Aris Van de Loosdrecht, seperti pembukaan sekolah-sekolah Zending.[1] Sekolah Zending tertua yang berhasil didirikan oleh Antonie Aris Van de Loosdrecht adalah sekolah di Balusu, dengan jumlah murid tujuh puluh delapan anak.[2] Sekolah Zending kedua dibangun di Nanggala dengan jumlah murid delapan puluh anak.[2] Tiga bulan kemudian didirikan sekolah Zending di Sa’dan dengan jumlah murid tujuh puluh tujuh anak.[2] Permintaan untuk mendirikan sekolah semakin meningkat, informasi mengenai hal ini didukung sejumlah fakta, seperti surat yang dikirimkan oleh istri Van de Loosdrecht, Ida van de Loosdrecht kepada isteri A. C. Kruyt, J. Moulijn.[3] Surat yang tertanggal 25 Mei 1914 tersebut berisi kesan-kesan pertama Ida van de Loosdrecht mengenai Tana Toraja.[3] Dalam surat tersebut ia juga bercerita bahwa suaminya bepergian ke berbagai tempat di Toraja, bahkan hingga berhari-hari oleh karena banyaknya permintaan untuk membangun sekolah.[3] Oleh karena itu Ida van de Loosdrecht berharap agar GZB mengirimkan lebih banyak lagi zendeling ke Tana Toraja.[3] Pada bulan Mei 1997, tepatnya pada hari Pentakosta, Antonie Aris van de Loosdrecht membaptis 29 orang, sebelas diantaranya adalah orang dewasa.[3] Baptisan tersebut dilakukan di rumah Antonie.[3] Antonie terlebih dahulu membacakan Firman Allah, lalu kemudian membaptis satu persatu ke 29 orang tersebut.[3] Setelah itu Antonie membacakan formulir baptisan kepada orang-orang dewasa, lalu mereka menjawab sesuai pertanyaan.[3] Formulir yang dipakai Antonie kemungkinan formulir berbahasa Melayu, dapat dilihat dalam Mazmoer dan Tahlil, karangan C. Ch. J Schroder, sebuah formulir yang disadur dari Bahasa Belanda.[3]

Di Poso

Kembali ke Tana Toraja

Surat-surat Antonie Aris Van de Loosdrecht

Pada bulan Januari 1914, Antonie Aris Van de Loosdrecht menulis surat kepada Pengurus Gereformeerde Zendingsbond (GZB).[3] Surat tersebut dimuat dalam majalah Gereformeerde Zendingsbon (GZB), Alle den Volcke, tahun 1914 [3] Melalui surat tersebut, Antonie Aris Van de Loosdrecht menulis pandangannya mengenai hubungan antara Pemerintah dan Zending.[3] Ia memulai tulisannya dengan menceritakan agama orang-orang Toraja. [3] Ia berpendapat bahwa agama suku tersebut dihantam oleh pemerintah hingga ke jantungnya yang paling inti, termasuk ritual-ritualnya.[3] Dalam banyak hal, pemerintah hadir hanya memberi instruksi dan tidak membuka ruang diskusi dengan para leluhur orang Toraja.[3] Bahkan dalam beberapa kasus, diadakan pengadilan bagi beberapa orang yang dianggap penyihir.[3] Selain itu, pemerintah juga menggagas penghapusan sistem budak, yang dalam masyarakat Toraja merupakan bagian dari sistem kehidupan mereka.[3] Antonie Aris Van de Loosdrecht mengkritik tindakan-tindakan tersebut karena dianggap sebagai tindakan yang instan.[3] Antonie Aris Van de Loosdrecht saat itu lebih memilih untuk melakukan usaha tersebut melalui sekolah-sekolah.[3] Surat Antonie van de Loosdrecht yang lain, yang juga dimuat dalam majalah Alle den Volcke menceritakan tentang metode pekabaran Injil yang ia gunakan.[3] Pertama-tama ia mengajak para ketua adat Toraja berbincang-bincang dengan suasana santai sambil mengisap rokok.[3] Percakapan dimulai dari keadaan sehari-hari penduduk hingga Van de Loosdrecht menyelipkan sedikit demi sedikit kisah-kisah yang ada di Alkitab, seperti kisah Adam dan Hawa di taman Eden.[3] Melalui cerita-cerita tersebut, Van de Loosdrecht menegaskan bahwa pada dasarnya nenek moyang semua orang sama, dan oleh karena itu semua orang harus menyembah Allah yang sama.[3] Cerita-cerita tersebut kemudian menarik perhatian orang-orang Toraja.[3] Pada periode selanjutnya, Van de Loosdrecht juga melancarkan kegiatannya dengan menjadikan pasar sebagai salah satu sasaran pemberitaan Injil.[3] Suku Toraja saat itu menghadiri pasar tradisional pada hari-hari tertentu dan jumlah orang yang hadir mencapai ribuan.[3] Untuk menarik perhatian mereka, Van de Loosdrecht mengerahkan murid-murid yang belajar di sekolah Zending.[3] Setelah selesai sekolah, murid-murid tersebut diajak ke pasar, mereka diatur menjadi dua barisan lalu berjalan ke pasar sambil bernyanyi.[3] Pada masa itu, orang-orang Toraja juga memiliki kebiasaan adu kerbau, sehingga ribuan orang yang hadir dalam pasar itu memusatkan perhatiannya pada adu kerbau tersebut.[3] Untuk menghadapi hal ini, Van de Loosdrecht sekali lagi memanfaatkan muri-muridnya untuk mencari perhatian.[3] Mereka diatur sedemikian rupa dalam berbagai permainan yang dapt menjadi hiburan bagi orang-orang dewasa.[3] Setelah permainan tersebut selesai, Van de Loosdrecht mulai mengajak orang-orang yang menonton untuk mendekat padanya.[3] Pada awal usaha ini, Van de Loosdrecht telah berhasil mengumpulkan sekitar 500 orang untuk mendengarkan khotbahnya dan kebanyakan di antara mereka adalah para perempuan.[3]

Akhir Hidup

Pada tanggal 26 Juli 1917, Antonie Aris van de Loosdrecht sedang berada di rumah salah seorang guru di Bori' ketika tiba-tiba sekelompok orang tiba-tiba muncul di depan rumah dan menombak dirinya.[1] Antonie Aris van de Loosdrecht sempat berdoa namun hanya sebentar saja lalu ia meninggal di tempat.[1] Pada hari Sabtu, 28 Juli 1917, iring-iringan duka yang besar terlihat di Rantepao, mengantarkan jenazah Antonie Aris van de Loosdrecht untuk dikuburkan.[2] Antonie Aris van de Loosdrecht meninggalkan istrinya, Ida van de Loosdrecht dan kedua putri mereka yang masih kecil.[2]

Referensi

  1. ^ a b c d e f g h i j k l m n o J. A. Sarira. 1975. Benih yang Tumbuh 6 - Gereja Toraja. Jakarta: LPS DGI dan BPS Gereja Toraja. Hal. 18-23.
  2. ^ a b c d e f W. Bieshaar. 1926. 1901-1925 De Gereformeerde zendingsbond na 25-jaren. Den Haag: Gedrukt ter drukkerij van s. s korthuis. Hal. 117-131.
  3. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z aa ab ac ad ae af ag Th. van den End. 1994. Sumber-sumber Zending tentang Sejarah Gereja Toraja 1901-1961. Jakarta: BPK Gunung Mulia.