Efek Jokowi (bahasa Inggris: Jokowi Effect) adalah istilah yang diciptakan media untuk mendeskripsikan pengaruh kepopuleran Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo terhadap perpolitikan dan perekonomian Indonesia. Dalam bidang politik, pendeklarasian Joko Widodo sebagai calon presiden dalam pemilihan umum presiden Indonesia 2014 diyakini dapat mendongkrak suara Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) hingga 30%.[1] Sementara itu, di pasar modal, efek Jokowi dikatakan dapat meningkatkan gairah penanam modal karena beliau dinilai mempunyai rekam jejak yang bersih, pro-rakyat, dan tegas.[2]

Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo.

Setelah Jokowi memperoleh mandat dari Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri untuk menjadi calon presiden pada tanggal 14 Maret 2014,[3] indeks Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melesat 152,47 poin menjadi 4.878,64,[4] sementara nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat menguat hingga angka 11,386.[5] PDIP juga mencoba menggunakan Jokowi dalam kampanyenya untuk mencapai target suaranya sebesar 25%.[6] Namun, hasil hitung cepat menunjukkan bahwa suara PDIP gagal mencapai 20%, sehingga para analis politik mulai meragukan efek Jokowi.[7] Walaupun begitu, dalam bidang ekonomi, suara PDIP yang dianggap mengecewakan membuat IHSG turun 3,2 persen menjadi 4.765,73, yang merupakan penurunan terbesar semenjak 27 Agustus 2013.[8] Sementara itu, nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat melemah dari 11.309 menjadi 11.342.[8]

Latar belakang

Joko Widodo pertama kali dikenal oleh masyarakat luas setelah ia mulai menjabat sebagai Wali Kota Surakarta (Solo). Dengan gaya kepemimpinan yang populis dan berani menghadapi pejabat regional yang kuat, ia berhasil mengubah kota Solo dari kota yang dipenuhi kejahatan menjadi pusat seni dan budaya regional.[9] Berkat rebranding yang dilakukannya, kota Solo berubah menjadi kota pariwisata, budaya, dan batik, dengan motto The Spirit of Java.[10] Ia juga dikenal karena berhasil merelokasi pedagang kaki lima melalui pendekatan yang "memanusiakan manusia" karena tidak memaksa menggusur pedagang dan mengedepankan dialog dan makan siang bersama agar pedagang mau bernegosiasi langsung.[11] Selain itu, di bawah kepemimpinannya, berbagai infrastruktur kota diadakan, seperti bus Batik Solo Trans[12] dan bus tingkat Werkudara.[13] Berbagai kawasan seperti Jalan Slamet Riyadi dan Ngarsopuro diremajakan, sementara Solo menjadi tuan rumah berbagai festival internasional.[14] Berkat pencapaiannya ini, pada tahun 2010 ia terpilih lagi dengan persentase suara sebesar 90,90%.[15]

Rekam jejak inilah yang membuat Jokowi diminta untuk menjadi calon Gubernur DKI Jakarta dalam pilkada Jakarta 2012.[16] Walaupun Megawati Soekarnoputri awalnya sempat ragu, PDIP dan Gerindra akhirnya mencalonkan Jokowi sebagai calon gubernur bersama dengan Basuki Tjahaja Purnama sebagai calon wakil gubernur.[17] Pasangan ini awalnya tidak diunggulkan dan Lingkaran Survey Indonesia memprediksikan bahwa Fauzi Bowo akan memenangkan pilkada dalam satu atau dua putaran.[18] Namun, secara mengejutkan Jokowi berhasil memimpin pilkada putaran pertama dengan jumlah suara sebesar 46,20%.[19] Walaupun sempat diterpa isu SARA,[20] pada putaran kedua Jokowi berhasil memenangkan pilkada Jakarta dengan persentase suara sebesar 53,8%,[21] dan pada tanggal 15 Oktober 2012 Jokowi secara resmi dilantik sebagai Gubernur DKI Jakarta.[22]

Beberapa kekuatan Jokowi dalam kampanye "Jakarta Baru"nya adalah pendekatan langsung kepada rakyat,[23] branding yang kuat dengan mengenakan baju kotak-kotak,[24] dan pemanfaatan YouTube dan media sosial secara maksimal.[25] Selain itu, setelah terpilih, Jokowi dikenal karena sering melakukan "blusukan" atau mendatangi langsung masyarakat untuk menjelaskan programnya sekaligus memperoleh masukan dari mereka.[26] Akibatnya, popularitasnya melejit dan ia segera menjadi tokoh nasional.[27] Pada saat yang sama, menurut pakar ilmu politik Marcus Mietzner dari Universitas Nasional Australia, ia telah menjadi "fenomena budaya pop" seperti Susilo Bambang Yudhoyono pada tahun 2003 karena rakyat menginginkan pemimpin yang merakyat dan dapat menyelesaikan masalah.[27]

Akibat popularitasnya ini, Jokowi pun digadang-gadang sebagai calon presiden untuk pemilihan umum presiden Indonesia tahun 2014.[28] Ia juga merajai survei-survei calon presiden yang memperkirakan bahwa pada Maret 2014, elektabilitasnya kurang lebih sebesar 40%, empat kali lebih tinggi dari saingan terberatnya Prabowo Subianto.[28] Hal inilah yang mendorong Megawati untuk memberikan mandat kepada Jokowi agar maju sebagai calon presiden.[3] Selain itu, PDIP memiliki target suara sebesar 25% dalam pemilihan umum legislatif Indonesia 2014,[29] sehingga pencalonan Jokowi diharapkan dapat membantu mendongkrak suara partai.[6]

Efek politik

Popularitas dan tren elektabilitas Jokowi diyakini dapat mengubah peta politik nasional dalam pemilihan umum tahun 2014.[30] Pertama-tama, Jokowi diyakini dapat meningkatkan suara PDIP dalam pemilu legislatif tahun 2014.[30] Bahkan, menurut beberapa lembaga survei seperti Charta Politika, bila PDIP mendeklarasikan Jokowi sebagai calon presiden sebelum pemilu legislatif, suara PDIP dapat menembus 30%.[31] Sementara itu, bagi para kompetitor PDIP, cara yang rasional untuk memenangkan pemilu adalah dengan mendorong PDIP untuk mengusung Megawati Soekarnoputri sebagai calon presiden.[30] Maka, pencalonan Jokowi sebagai calon presiden pada 14 Maret 2014 dianggap telah mengubah peta politik Indonesia 180 derajat dan memperkuat posisi PDIP dalam pemilihan umum legislatif dan presiden.[32]

Catatan kaki

  1. ^ Dany Sutrisno, Elvan (14 March 2014). "Charta Politika: Deklarasi Jokowi Sebelum Pileg, PDIP Bisa Tembus 30%". Detik. Diakses tanggal 15 March 2014. 
  2. ^ Tri Wibowo, Arinto (14 March 2014). "Jokowi Capres, Indeks Saham Melesat". VivaNews. Diakses tanggal 11 April 2014. 
  3. ^ a b "Governor of Jakarta Receives His Party's Nod for President". The New York Times. 14 Maret 2014. 
  4. ^ Melani, Agustina (14 March 2014). "Efek Jokowi Beri Tenaga ke Rupiah dan Bursa Saham". Liputan6. Diakses tanggal 15 March 2014. 
  5. ^ RH, Priyambodo (14 March 2014). "Rupiah gains on Jokowi factor". Antara. Diakses tanggal 15 March 2014. 
  6. ^ a b "The chosen one stumbles". The Economist. 12 April 2014. Diakses tanggal 11 April 2014. 
  7. ^ A Spinall, Edward (10 April 2014). "Why was the Jokowi effect limited?". New Mandala. Diakses tanggal 11 April 2014. 
  8. ^ a b Nangoy, Francezka, dan Gokkon, Basten (10 April 2014). "Indonesian Stock Index Falls Most in 7 Months as Legislative Vote Results Disappoint". New Mandala. Diakses tanggal 11 April 2014. 
  9. ^ Kanupriya, Kapoor (7 April 2014). "Indonesia's presidential favorite lacks only one thing - a policy platform". New Mandala. Diakses tanggal 11 April 2014. 
  10. ^ "Defusing a Volatile City, Igniting Reforms: Joko Widodo and Surakarta, Indonesia". Princeton. Diakses tanggal 6 April 2014. 
  11. ^ _____. Strategi Komunikasi Pemerintah Kota Solo dalam Pemindahan Pedagang Kaki Lima. Diakses dari librari eprint UNDIP pada 19 Maret 2014
  12. ^ Solo and Yogyakarta Point Way With ‘Smart’ Public Transportation, diakses di The Jakarta Post
  13. ^ Bus tingkat Werkudara jadi ikon Kota Solo, diakses dari situs Merdeka Online
  14. ^ Surakarta, on its way to being a MICE City, diakses di situs The Jakarta Post
  15. ^ Amarullah, Amril (4 Mei 2010). "PDIP Menang Telak di Pilkada Solo". VIVA.co.id. Diakses tanggal 6 April 2014. 
  16. ^ "JK Ternyata yang Minta Jokowi ke Jakarta". Gatra. 6 Agustus 2012. Diakses tanggal 11 April 2014. 
  17. ^ Sari Aziza, Kurnia (17 September 2012). "Basuki Bangga Dicalonkan Oleh PDIP dan Gerindra". Kompas. Diakses tanggal 11 April 2014. 
  18. ^ Kuwado, Fabian Januarius (1 Juli 2012). "LSI: Satu atau Dua Putaran, Foke-Nara Menang". Kompas. Diakses tanggal 11 April 2014. 
  19. ^ Afifah, Riana (19 Juli 2012). "Jokowi-Ahok Pemenang Pilkada Putaran Pertama". Kompas. Diakses tanggal 11 April 2014. 
  20. ^ Ruslan, Hery (1 Agustus 2012). "Kampanye SARA Merebak, Ini Sikap Tim Kampanye Jokowi-Basuki". Republika. Diakses tanggal 11 April 2014. 
  21. ^ Widhi K, Nograhany (26 September 2012). "Rekapitulasi KPU DKI: Jokowi Raih 53,8% Suara, Foke 46,1%". Detik. Diakses tanggal 11 April 2014. 
  22. ^ Susilo, Nina (7 Oktober 2012). "Pelantikan Jokowi-Basuki 15 Oktober". Kompas. Diakses tanggal 11 April 2014. 
  23. ^ Revianur, Aditya (24 September 2012). "Cara Kampanye Jokowi Patut Ditiru di Pemilu 2014". Kompas. Diakses tanggal 11 April 2014. 
  24. ^ Rejeki, Sri (21 Maret 2012). "Mengapa Jokowi-Ahok Pilih Kemeja Kotak-kotak?". Kompas. Diakses tanggal 11 April 2014. 
  25. ^ Setiaji, Danang (3 Oktober 2012). "Foke-Nara Akui Kekuatan Sosial Media Jokowi-Ahok". Kompas. Diakses tanggal 11 April 2014. 
  26. ^ Cochrane, Joe (25 September 2013). "In Indonesia, a Governor at Home on the Streets". The New York Times. Diakses tanggal 15 March 2014. 
  27. ^ a b Schonhardt, Sara (21 May 2013). "The Meteoric Rise Of Joko Widodo". The Global Journal. Diakses tanggal 15 March 2014. 
  28. ^ a b "Indonesia's presidential election: Yes he can". The Economist. 14 Maret 2014. Diakses tanggal 11 April 2014. 
  29. ^ Sahid, Rahmat. "PDIP Target Usung Capres-Cawapres - Matangkan Strategi Raih 25% Suara Nasional". Koran Sindo. Diakses tanggal 11 April 2014. 
  30. ^ a b c "Survei "Kompas", Megawati dan Jokowi Penentu Peta Politik 2014". Kompas. 9 Januari 2014. Diakses tanggal 11 April 2014. 
  31. ^ Dany Sutrisno, Elvan (14 Maret 2014). "Charta Politika: Deklarasi Jokowi Sebelum Pileg, PDIP Bisa Tembus 30%". Detik. Diakses tanggal 15 Maret 2014. 
  32. ^ Zikry, Fadhly (15 Maret 2014). "Jokowi Capres, Peta Politik Berubah 180 Derajat". Inilah.com. Diakses tanggal 11 April 2014.