Ahlur Ra’yi
Artikel ini merupakan artikel yang dikerjakan oleh Peserta Kompetisi Menulis Bebaskan Pengetahuan 2014 yakni BP50Asep (bicara). Untuk sementara waktu (hingga 27 Juni 2014), guna menghindari konflik penyuntingan, dimohon jangan melakukan penyuntingan selama pesan ini ditampilkan selain oleh Peserta dan Panitia. Peserta kompetisi harap menghapus tag ini jika artikel telah selesai ditulis atau dapat dihapus siapa saja jika kompetisi telah berakhir. Tag ini diberikan pada 16 Mei 2014. Halaman ini terakhir disunting oleh BP50Asep (Kontrib • Log) 3862 hari 1030 menit lalu. |
Ahlul Ra’yi adalah sebuah gerakan pemikiran keislaman yang berpusat di Baghdad, Irak, yang dalam mengambil sebuah fatwa terhadap ilmu fiqih lebih dominan berpikir dengan akal dari pada hadist.[1] Tetapi, setiap fatwa yang dikemukakan tidaklah menyimpang dari nilai-nilai keislaman.[2]
Menurut Muhammad Ali Sayis bahwa munculnya aliran ini dipengaruhi oleh tiga faktor [1]:
- Keterikatan yang sanga kuat terhadap guru pertama mereka yaitu Abdullah bin Mas’ud yang dalam metode ijtihadnya banyak dipengaruhi oleh metode Umar bin Khattab yang sering menggunakan ijtihad.[1]
- Minimnya mereka menerima hadist nabi, hal ini dikarenakan mereka hanya memilih hadist yang disampaikan oleh para sahabat yang datang ke Irak seperti Ibnu Mas’ud, Sa’ad bin Abi Waqqas, Ammar bin Yasar, Abu Musa al-Asy’ari dan sebagainya.[1] Di samping itu, mereka juga minim menggunakan hadist sehingga mendorong mereka untuk menggunakan ijtihad.[1] Hal ini dipengaruhi oleh ketatnya proses seleksi mereka terhadap hadist dengan cara memberikan kriteria-kriteria yang ketat. Sehingga mempengaruhi jumlah hadist yang mereka gunakan sebagai dasar pengambilan sebuah fatwa.[1] Pada dasarnya, seleksi ketat yang mereka lakukan ini disebabkan oleh munculnya pemalsu-pemalsu hadist yang kala itu jumlahnya yang tidak sedikit.[1]
- Munculnya berbagai masalah baru yang membutuhkan legitimasi hukum.[1] Masalah-masalah ini muncul dikarenakan pesatnya perkembangan budaya yang terjadi di Irak, seperti; budaya Persia, Yunani, Babilonia dan Romawi dan ketika budaya-budaya yang berkembang ini bersentuhan dengan ajaran Islam maka harus dicari solusi hukumnya.[1] Minimnya hadis yang mereka peroleh menggiring mereka untuk menggunakan ijtihad.[1]