Cicero atau Marcus Tullius Cicero (di Inggris dijuluki Tully) adalah filsuf, orator yang memiliki keterampilan handal dalam retorika, pengacara, penulis, dan negarawan Romawi kuno yang umumnya dianggap sebagai ahli pidato Latin dan ahli gaya prosa.[1][2][3][4] Cicero merupakan tokoh besar mazhab filsafat Stoikisme yang populer pada abad 4SM (Sebelum Masehi) sampai abad 2M (Masehi), dan Cicero merupakan salah satu tokoh pada periode akhir yang lebih terkenal dengan sebuatan Stoikisme Romawi.[5] Selain itu, ia dan pemikirannya juga dianggap dekat dengan aliran Platonisme dan Epikureanisme.[2] Pemikiran Cicero banyak dirujuk dalam pemikiran hukum dan tata negara, serta pemikiran filsafat lainnya.[5] Salah satunya adalah David Hume di abad 18.[5] Cicero dikenal sebagai negarawan yang berusaha menegakkan prinsip-prinsip republik dalam perang sipil, kegagalannya menyebabkan perang sipil yang menghancurkan Republik Romawi.[3] Tulisan-tulisannya meliputi buku retorika, pidato, risalah filsafat dan politik, dan surat-surat.[3]

Cicero ketika berumur lebih kurang 60 tahun


Riwayat Hidup Ringkas

Latar belakang Pendidikan

 
Cicero muda sedang membaca, dilukis oleh Vincenzo Foppa (fresco, 1464), sekarang merupakan "Wallace Collection"

Cicero lahir pada 3 Januari 106 SM di Arpinum (sekarang bernama Arpino), sebuah kota ± 70 mil sebelah tenggara Roma, Italia.[2] dan mati pada 7 Desember 43 SM) karena dibunuh.[6] Ayah Cicero adalah seorang tuan tanah dan pejabat publik Romawi.[2] Oleh karena itu, Cicero dapat mengakses pendidikan di Roma, yaitu di bawah bimbingan Marcus Licinius Crassus (Konsul 95 SM), salah satu orator terbaik kala itu.[2] Ia juga belajar hukum dan politik.[2]

Sebagai orang muda, Cicero langsung mendekatkan diri dengan aliran filsafat besar, Stoikisme, Epikuros, dan para filsuf dari Akademi.[7] Di abelajar filsafat di bawah Epikurean Phaedrus (140-70SM); belajar Stoikisme dari Diodotus († 60SM), kemudian belajar di Akademi di bawah Phillo dari Larissa (160-80SM).[4] Jadi, Cicero belajar dari empat aliran filsafat yang ada pada waktu itu.[4] Cicero mampu mengkombinasikan ambisi filsafat retorika gaya Romawi dengan gaya Yunani.[7] Cicero kemudian belajar sembari melakukan banyak sekali aktivitas politik, hingga pada tahun 45SM pada usianya 60 tahun, filsafatnya benar-benar mencapai keluasan.[7][5] Dalam kondisi politik yang karut marut dan membuat setiap orang menderita, yaitu ketika perang sipil terjadi, bahkan Cicero kehilangan saudari tercintanya, Tullia (Hortensius[4]), Cicero mencurahkan seluruh energinya demi penghiburan atas duka dalam aktivitas menulis secara radikal (ledakan besar).[7] Banyak karya yang ia rampungkan selama dua tahun saja.[7]

Dengan pendampingan sepupunya, Q. Mucius Ascaevola, sang Pontifex (imam) (pernah menjadi konsul tahun 117 SM), Cicero tumbuh menjadi seorang yang menaruh hormat kepada konservatisme nilai-nilai moderat dalam politik.[2] Ia belajar filsafat Stoikisme kepada Posidonius di Rhodes, dan dari Akademi (sekolah yang didirikan Plato) kepada Antiochus dari Ascalon di Athena.[2]

Karir Politik

Pada tahun 89-82SM, Cicero menjadi anggota militer di bawah Pompeius Strabo (ayah dari Pompeius) dan menunjukkan kemampuannya di pengadilan dalam pembelaannya kepada Quintius (81SM).[4] Disusul dengan kesuksesannya dalam pembelaannya kepada Sextus Roscius terkait tuduhan pembunuhan keluarga (80 atau awal 79SM), semakin mengugukuhan Cicero dalam bidang hukum kepada publik.[4] Ia kemudian bekerja sebagai petugas pemerintahan (quaestor) berkantor di Sisilia Barat.[4]

Sebagai praetor (satu tingkat di bawah konsul), Cicero menyuarakan pidato politiknya pertama kali pada tahun 66SM dalam rangka melawan Catullus dan kepemimpinan Optimates yang merupakan orang konservatif di dewan senat Romawi, dia berunding dengan perintah Pompeius dalam rangka melawan Mitharades, raja Pontus.[4] Kedekatan Cicero dengan Pompeius menimbulkan kebencian Marcus Licinius Crassusm namun justru menjadikannya semakin populer sehingga pada tahun 63 dia diangkat sebagai konsul.[4]

Sebagai konsul, prestasi Cicero semakin melejit dengan prestasinya menggagalkan komplotan Lucius Sergius Catilina yang melakukan konspirasi menggulingkan Republik Romawi dengan maksud menggantinya dengan sistem aristokrasi.[1][8] Setelah Caesar meninggal pada tahun 44SM, Cicero memihak Octavianus melawan Antonius dengan pidato-pidatonya yang tajam, antara lain "Phillipacea".[1] Setelah terbentuk sebuah pemerintahan dengan tiga orang kuat di dalamnya (triumvirs: tritunggal)[9], bersama Marcus Aemilius Lepidus, Antonius menuntut Cicero bunuh dengan cara dipenggal.[1] Walapun Cicero melarikan diri, namun tetap berhasil dibunuh dalam pelariannya.[1]

Karya-karya Cicero

Cicero merupakan pembaharu bahasa Latin terbesar.[1] Karya filsafatnya sangat terkenal dan berpengaruh, di antaranya adalah yang tertuang dalam pidato-pidatonya berjumlah 57 tulisan dan 17 fragmen lain.[1] Kemudian karya-karya filsafat, retorika, dan surat-surat, tercatat ± 800 buah tersimpan.[1]

Karya Cicero yang ia rampungkan selama dua tahun ketika ia berduka karena kehilangan saudarinya adalah[7]:

  • the Academia
  • the De Fibinus
  • the De Tusculan Disputations
  • the De Natura Deorum
  • the De Divinatione
  • the De Fato
  • the De Officiis
  • the De Amicitia

Kecuali karyanya yang berjudul de Officiis, Cicero tidak pernah mengklaim bahwa tulisan-tulisannya merupakan tulisan otentik dari dirinya, dalam suratnya kepada Atticus, di amengatakan, "Karya-karyaku merupakan transkrip, aku secara sederhana hanya menyumbang kata-kata, aku mencukupkan diri dengan hal itu". Tujuannya hanya menyediakan ensiklopedi filsafat bagi Romawi, negara yang ia cintai.[4] Bentuk yang ia pakai merupakan dialog dengan gaya lebih dekat dengan Aristoteles daripada Plato.[4]

Cicero sebagai Negarawan

Cicero sebagai negarawan tampak dalam tujuan-tujuannya dalam karya-karyanya.[2] Bagi Cicero, orasi tidak berpusat pada pengetahuan berpidato, melainkan tentang bagaimana menjadi orator terbaik, yang mampu memberikan rasa aman kepada rakyat, bahkan dapat menyatukan rakyat.[2] De Oratore karena itu menjadi landasan gagasan de Re Publica, dan de Legibus.[2] Dialog yang ada dalam karya itu merepresentasikan Phillipus sebagai pencemooh otoritas senat dan tanggung jawab atas dekade perang eksternal dan sipil yang terjadi kemudian.[2] Bagi Cicero, pidato harus didedikasikan sebagai alat untuk pelayanan publik.[2] Cicero memang negarawan yang sangat berbakti, dalam de Re Publica, kata Cicero kepada saudaranya, adalah "tentang kondisi terbaik dari sebuah kota dan warga negara yang paling baik".[2] Cicero banyak sekali bicara tentang demokrasi, keadilan rakyat, hukum alam sebagai acuan perilaku kepentingan manusia.[2] Bagi Cicero etika warga negara sama pentingnya dengan sistem politik.[2] Kelangsungan sistem politik akan tergantung pada etika politik: negarawan memelihara kota dengan keputusan yang bijaksana dan contoh moral.[2]

Bagi Cicero, menjadi negarawan yang patriotis adalah segala-galanya, bahkan ganjarannya adalah surga.[2] Tugas politik bagi Cicero adalah suci, yang dibebankan Tuhan kepada manusia, seperti ditulis Cicero dalam dialog kepada Scipo Africanus, kakeknya[2],

Di sini, Cicero mengeksploitasi doktrin Plato tentang keabadian jiwa untuk memperkuat cita-citanya akan pengabdian patriotis, tidak perlu risau jika seseorang mati demi kepentingan negara, sebab yang mati hanya tubuh, sedangkan jiwanya tetap abadi.[2]

 
Marcus Tullius Cicero

Secara personal, Cicero adalah orang yang sangat cerdas dalam bernalar, bahkan mampu memakai peristiwa-peristiwa dalam hidupnya sebagai pemacu karya-karya filsafatnya.[7] Bukan hanya alasan personal yang membuat ia merampungkan sejumlah karya, namun kutipan dari De Natura berikut mewakili keprihatinannya[7],

Di akhir hidupnya, Cicero dalam bidang etika mengkritik tradisi doktrin Epikuros, Stoikisme, dan Peripatetik (pengikut Aristoteles) dalam karya On Ends, yang bicara tentang pandangan mereka terhadap kematian, penderitaan, dan emosi yang tidak masuk akal.[5] Kemudian dalam pandangan tentang kebahagiaan, Cicero menulisnya dalam karya Tusculan Disputations.[5] Pada masa akhir hidupnya dalam karya On Duties, Cicero berpijak pada prinsip Stoa.[5]

Cicero dan Stoa

Karya Cicero dengan pengaruh terlama dan terpenting adalah de Officiis, yaitu tulisan dengan semangat Stoikisme, yang banyak membahas tentang perhatiannya sepanjang periode krisis personal manusia dan krisis politik.[2] Menurut Cicero, bahaya bagi masyarakat jika ambisi pribadi dan individu yang sangat mendominasi kehidupan mereka.[2] Dalam hal ini, manusia perlu menyadari bahwa sebuah pelayanan publik akan terlaksana dengan baik jika kepentingan pribadi ditekan sedemikian rupa sehingga kepentingan publik menjadi yang utama.[2] Tulisan terkenal Cicero berjudul de Officiis memuat semangat Stoikisme tentang etika katekontik, yaitu tindakan yang tepat dan terbaik didasari kesadaran terdalam manusia akan tugas kebaikan yang melekat padanya dalam menunaikan tanggung jawab diri demi kebaikan masyarakat.[2] Terdapat tugas sosial yang melekat dalam setiap warga negara.[2] Dalam peristiwa konflik, Cicero menetapkan sebuah prosedur,

Selanjutnya, menyikapi warisan dari keberanian tradisi Romawi dalam kemiliteran, dan warisan Yunani yang mengatakan bahwa doxa (kejayaan dan opini) adalah berbahaya dan tidak berharga, Cicero mengakomodasi keduanya dengan berkata[2],

Di dalam diri manusia terdapat emosi yang baik, yang disebut eupatheia (bebas dari hasrat personal), Cicero menyebut constatiae (bahasa lain dari konstitusi) yang mengatakan bahwa negara yang kokoh tidak boleh dikendalikan perilaku manusia yang berhasrat berlebih-lebihan.[10] Sepanjang ada nafsu, selalu ada keinginan yang berlebihan; sejauh ada ketakutan selalu ada alasan untuk menghindar; dan sejauh ada kesenangan, selalu ada kegembiraan.[10]

Namun kumpulan perasaan itu hanya dapat dimengerti oleh para sophis (orang yang berlaku bijaksana), yang hanya punya nalar yang lurus.[10] Menurut orang bijasana, tidak ada dorongan yang dapat dibenarkan benar dari penderitaan mental, misalnya orang yang menderita sekalipun tidak dibenarkan mencuri.[10] Seorang bijak harus menerima segala peristiwa tak terelakkan pada dirinya, dan tidak ada yang buruk secara moral dalam menyediakan sebuah sebab bagi tekanan yang ada dalam diri manusia.[10] Jadi persoalan manusia terhadap segala dorongan atau impuls bukan pada hal di luar diri, melainkan dalam dirinya sendiri.[10] Itu mengapa, ajaran tentang moral dalam Stoikisme yang dianut oleh Cicero menduduki posisi paling penting dan merupakan tindakan yang luhur.[10]

Referensi

  1. ^ a b c d e f g h (Indonesia)Hassan Shadily & Redaksi Ensiklopedi Indonesia (Red & Peny)., Ensiklopedi Indonesia Jilid 2 (CES-HAM). Jakarta: Ichtiar Baru-van Hoeve, hal. 668
  2. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z aa ab Christoper Rowe, Malcolm Schofield, Simon Harrison, and Melissa Lane., Sejarah Pemikiran Politik Yunani Romawi, Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2001, Hal. 562-608
  3. ^ a b c (Inggris) Encyclopedia Britannica : Marcus Tullius Cicero
  4. ^ a b c d e f g h i j k (Inggris) Jacob E. Safra; James E. Goulka., The New Encyclopǽdia Brittanica Vol. 3 Micropǽdia. London: Enciclopǽdia Britannica, Inc, 1997, hal. 313-315
  5. ^ a b c d e f g (Inggris) Robert Audi., The Cambridge Dictionary of Philosophy, Edinburg: Cambridge University Press, 1995, Hal. 123-124
  6. ^ (Inggris) "Cicero" (html). Diakses tanggal 2012-09-9. 
  7. ^ a b c d e f g h i (Inggris)A.A Long., Hellenistic Philosophy,Los Angeles: University of California Press, 1974, Hal. 109, Hal, 229-231 Kesalahan pengutipan: Tanda <ref> tidak sah; nama "Long" didefinisikan berulang dengan isi berbeda
  8. ^ Winningham, Brandon (March 19, 2007) [2007]. Catiline. iUniverse, Inc. ISBN 978-0-595-42416-0. 
  9. ^ Biografi Marcus Aemilius Lepidus diakses 23 Juni 2014
  10. ^ a b c d e f g (Inggris) F. H. Sandbach., The Stoics, London: Bristol Classical Press, 1989, Hal. 67-68

Pranala luar

Templat:Link FA Templat:Link FA Templat:Link FA Templat:Link FA Templat:Link FA Templat:Link GA Templat:Link FA