Sistem kasta Bali
Sistem kasta Bali adalah suatu sistem organisasi sosial yang mirip dengan sistem kasta India. Akan tetapi, sistem kasta India jauh lebih rumit daripada Bali, dan hanya ada empat kasta dalam sistem kasta Bali.
Empat kasta Bali antara lain:
Berbagai jenis sistem kasta di Bali
Caturwangśa
Pembagian kasta yang mengikuti sistem kasta di India, yaitu Brahmāna, Kşatriya, Waisya, dan Sudra. Selain itu, Bali juga mengenal istilah jaba atau "luar", yaitu orang-orang yang berada di luar keempat kasta tersebut.[2]
Di dalam masyarakat Hindu dikenal adanya sistem warna,pengelompokan masyarakat berdasarkan profesi yang ditekuni dan keahlian yang dikuasai. Pada perkembangannya sistem warna dari agama Hindu sering diselewengkan oleh penguasa penguasa feodal dan pengikut pengikutnya untuk melanggengkan pengaruh politisnya dimasyarakat.sistem warna yang merupakan pengelompokan orang berdasarkan tugas dan kewajiban yang dijalankan didalam kehidupan bermasyarakat berubah menjadi tingkatan tingkatan yang membedakan derajat seseorang berdasarkan keturunan, dan ide dasar dari sistem ini yaitu: pengelompokan masyarakat berdasarkan profesi dan keahlian sering terabaikan. Bahkan cenderung diabaikan sama sekali.Tingkatan-tingkatan kelas inilah yang kemudian disebut dengan kasta.
Berbeda dengan sistem Warna yang bersumber dari ajaran Veda,sistem kasta yang sering tersamarkan dengan keberadaan sistem warna ini,adalah sebuah kata yang berasal dari bahasa portugis yang berarti tembok pemisah.Penerapan politik devide et impera pada masa pendudukan Hindia Belandamembuat sistem kasta dalam masyarakat Hindu Bali menjadi semakin kuat dan bahkan menggeser pengertian sistem warna yang asli.
Terdapat empat kasta dalam masyarakat Bali yang diambil dari sistem warna, yaitu Brahmana, Ksatria, Waisya, dan Sudra. Dari keempat kasta tersebut yang tertinggi menurut sistem kasta adalah Brahmana, karena dalam buku ke-10 Rig-Veda yang memuat tentang sistem warna tertulis: “golongan Brahmana keluar dari mulut Dewa Brahmana, golongan Ksatria dari tanganya, Waisya dari paha atau perutnya, Sudra keluar dari telapak kakinya”.Karena inilah sistem kasta yang mengadopsi sistem warna,kemudian menganggap golongan Brahmana sebagai yang tertinggi. Berbeda dengan keyakinan dasar agama Hindu yang memandang semua warna dalam masyarakat sama halnya seperti seluruh bagian tubuh dalam kehidupan: adalah sama penting dan saling menunjang satu sama lain, sistem kasta kemudian mengimplementasikannya sebagai brahmana yang tertinggi karena kepala adalah bagian tubuh teratas, dan sudra adalah kaki (paling rendah derajatnya).
Arti kiasan yang mengatakan bahwa golongan Brahmana keluar dari mulut Dewa Brahma adalah bahwa golongan Brahmana adalah guru rakyat, karena mulut merupakan saluran buah pikiran. Oleh karena itu, golongan Brahmana merupakan kasta tertinggi yang suaranya harus didengar dan ditaati. Golongan ini terdiri atas para pendeta dan pemimpin agama. Tugasnya menjalankan upacara-upacara keagamaan.
Golongan Ksatria yang dikatakan keluar dari tangan Brahma berarti, berarti bahwa golongan Ksatria menjadi golongan pemerintah, karena tangan diperlukan untuk memanggul senjata pada saat peperangan menahan serangan musuh. Golongan Ksatria terdiri dari raja, bangwasan, dan prajurit. Tugasnya menjalankan pemerintahan.
Kasta Waisya keluar dari perut atau paha Dewa Brahma. Paha berfungsi membawa tubuh dari suatu tempat ke tempat lain. Oleh karena itu, Kasta Waisya terdiri dari pada pedagang yang membawa dagangan ke berbagai tempat. Dengan kata lain kasta Waisya bertugas menjalankan roda perekonomian.
Kasta Sudra keluar dari telapak kaki Dewa Brahma. Kaki adalah bagian tubuh yang paling di bawah, maka kasta Sudra menjadi kasta yang paling rendah kedudukannya dan harus melayani kasta-kasta yang ada di atasnya.
Triwangśa
Pembagian kasta dengan hanya mengambil tiga kasta teratas dari sistem Caturwangśa. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, triwangsa (tri·wang·sa) tergolong dalam [kata benda]] yang memiliki arti "tiga kasta (Brahmana, Kesatria, Waisya)".[3] Berdasarkan triwangsa, semua gelar diperoleh secara askriptif atau turun-menurun dan ditentukan berdasarkan garis keturunan.[4] Pola triwangsa masyarakat Bali memengaruhi kehidupan kerajaan Mataram, Lombok. Pengaruh terutama terlihat pada pemakaian gelar, pola hubungan sosial, pelaksanaan upacara, dan ritual kerajaan.[4]
Pembagian berdasarkan golongan
Pembagian berdasarkan golongan adalah:[2]
- Wong Majapahit: para keturunan Kerajaan Majapahit.
- Bali Aga: orang Bali asli yang sudah berada di Bali sebelum ekspansi Kerajaan Majapahit. Umumnya, masyarakat Bali asli ini tidak membaur dan terdesak hingga ke daerah terpencil (pegunungan) dan memiliki konotasi sebagai masyarakat terbelakang. Oleh sebab itu, sebutan "Bali Aga" tidak disukai oleh mereka. Logat masyarakat ini juga berbeda dari masyarakat Bali yang lain, yaitu mereka tetap melafal huruf "a" di akhir kata sebagai huruf "a", bukan menjadi huruf "ê". Contoh dari penduduk Bali Aga adalah masyarakat daerah Danau Batur.
- Pasèk
Catatan kaki
- ^ http://books.google.co.in/books?id=8bW8WB-GrOYC&pg=PA53
- ^ a b Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto. 2008. Sejarah Nasional Indonesia II: Zaman Kuno, Cetakan Kedua. Jakarta: Balai Pustaka. ISBN 979-407-408-X.
- ^ Kamus Besar Bahasa Indonesia
- ^ a b Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto. 2008. Sejarah nasional Indonesia IV: Kemunculan Penjajahan di Indoensia, Cetakan ke-2. Jakarta: Balai Pustaka. ISBN [[Istimewa:Sumber Buku/9794074101|979-407-410-1].