Yudistira
Yudistira (Sansekerta: युधिष्ठिर Yudhiṣṭhira), adalah seorang protagonis dari wiracarita Mahabharata. Beliau adalah raja Indraprasta dan lalu Hastina.
Kelahiran, kepribadian, dan pendidikan
Ayah Yudistira bernama Pandu, menikahi Dewi Kunti, puteri Raja Surasena, adik Basudewa. Setelah pernikahannya, tanpa sengaja Pandu memanah seorang Brāhmana dan istrinya, yang dikira sebagai seekor rusa yang sedang bercinta. Sebelum kematiannya, Sang Brāhmana mengutuk Pandu supaya kelak ia meninggal jika sedang bercinta dengan istrinya. Pandu menerima sumpah tersebut, yang menyebabkannya tidak bisa bercinta dengan istrinya sehingga tidak mampu memperoleh keturunan.
Kunti, istri Pandu, memperoleh kesaktian dari seorang Rishi (orang suci) bernama Durwasa, sehingga ia mampu memanggil Dewa-Dewa. Dengan memanfaatkan kemampuan Kunti tersebut, Pandu dan istrinya memperoleh keturunan dengan memanggil Dewa-Dewa yang mampu menganugerahi mereka putera. Mereka memanggil tiga Dewa, yaitu: Yamaraja (Dharmaraja, Dewa Dharma), Marut (Bayu, Dewa Angin), dan Sakra (Indra, Raja surga). Yudistira lahir dari Yamaraja, yaitu Dewa Dharma, kebenaran, kebijaksanaan dan keadilan.
Yudistira memiliki empat adik, yaitu: Bhima (lahir dari Dewa Bayu), Arjuna (lahir dari Dewa Indra), dan si kembar Nakula dan Sahadewa (lahir dari Dewa Aswin). Karna, merupakan putera pertama Dewi Kunti yang diperoleh tanpa sengaja pada masih gadis. Jadi, Karna merupakan saudara tua Yudistira dan para Pandawa (lima putera Pandu).
Sebagai penitisan Dewa Dharma (keadilan dan kebijaksanaan) Yudistira berperilaku mulia dan berpengetahuan luas di bidang kerohanian. Karena perilakunya yang mulia, Yudistira layak untuk mewarisi tahta Hastinapura. Namun hal itu menimbulkan perdebatan bagi putera Drestarastra, yaitu Duryodana dan para Korawa.
Yudistira menuntut ilmu agama, sains, dan senjata bersama saudara-saudaranya dan para Korawa di bawah asuhan Dronacharya (Bagawan Drona) dan Kripacharya (Bagawan Kripa). Ia mahir dengan senjata tombak dan memperoleh gelar “Maharatha”, yaitu ksatria yang mampu menumpas 10.000 musuh dalam sekejap. Ia disebut pula Bhārata (keturunan Maharaja Bharata) dan Ajatashatru (seseorang yang tidak memiliki musuh).
Pembuangan selama 13 tahun
Selain berkepribadian mulia, Yudistira juga senang main dadu. Hal itulah yang dimanfaatkan Duryodana untuk mengambil alih kekuasaan Yudistira. Bersama dengan pamannya – Sangkuni – mereka menyusun rencana licik, yaitu mengajak Yudistira main dadu dengan taruhan harta dan kerajaan. Permainan dadu sudah disetel sedemikian rupa sehingga kemenangan berpihak pada Korawa. Mula-mula Yudistira mempertaruhkan harta, kemudian ia dihasut oleh Duryodana dan Sangkuni untuk mempertaruhkan istana dan kerajaannya. Karena pikirannya sudah dibelenggu oleh hasutan mereka, maka Yudistira merelakan istana dan kerajaannya untuk dipertaruhkan. Karena permainan dadu sudah disetel sedemikian rupa, maka Korawa menang dan memperoleh istana dan kerajaan yang dipimpin Yudistira.
Yudistira yang merasa tidak memiliki apa-apa lagi, mempertaruhkan saudara-saudaranya, yaitu para Pandawa. Akhirnya Yudistira kalah sehingga saudara-saudaranya menjadi milik Duryodana. Kemudian Yudistira mempertaruhkan dirinya sendiri. Karena ia kalah lagi, maka dirinya menjadi milik Duryodana. Yudistira yang sudah kehabisan harta untuk dipertaruhkan, akhirnya dibujuk oleh Duryodana untuk mempertaruhkan istrinya yaitu Dropadi. Yudistira menyetujuinya. Akhirnya segala harta milik Yudistira, termasuk saudara, istri, dan dirinya sendiri menjadi budak Duryodana. Namun karena bujukan Drestarastra, Pandawa beserta istrinya mendapatkan kebebasan mereka kembali.
Namun sekali lagi Duryodana mengajak main dadu, dan taruhannya siapa yang kalah harus megasingkan diri ke hutan selama 13 tahun. Untuk kedua kalinya, Yudistira kalah sehingga ia dan saudara-saudaranya terpaksa mengasingkan diri ke hutan.
Meletusnya perang
Pandawa telah menjalani hukuman buang selama 13 tahun, sesuai dengan perjanjian, mereka menginginkan kembali tahta Kerajaan Besar Hastinapura yang menjadi haknya secara turun-temurun. Akan tetapi pihak Kurawa yang merupakan sepupu Pandawa tidak mau menyerahkan tahta Hastinapura. Setelah semua upaya damai menemui jalan buntu, terjadilah perang selama 18 hari di medan Kuru atau Kurukshetra.
Yudistira saat Bharatayuddha
Yudistira terkenal akan sifatnya yang selalu bersikap sopan dan santun, bahkan ketika peperangan sekalipun, Yudistira masih menghaturkan sembah kepada Bhisma, yang seharusnya ia hadapi dalam pertempuran. Karena tindakannya tersebut, Bhisma menganugerahinya kemenangan.
Beberapa saat sebelum pertempuran
Pada hari pertama perang di Kurukshetra, kedua belah pihak sudah saling berhadapan, siap untuk membunuh satu sama lain. Pada hari itu pula Arjuna mendapatkan wejangan suci dari Sri Kresna sebelum perang, bernama Bhagavad Gītā. Setelah kedua belah pihak selesai melakukan inspeksi terhadap pasukannya masing-masing dan siap untuk berperang, Yudistira melakukan sesuatu yang mengejutkan. Ia menanggalkan baju zirahnya, meletakkan semua senjatanya, dan turun dari kereta. Dengan mencakupkan tangan ia berjalan menuju barisan musuh. Semua pihak yang melihat tindakannya tidak percaya terhadap apa yang sudah dilakukan Yudistira. Para Pandawa mengikutinya, mereka bertanya-tanya, namun Yudistira hanya membisu. Hanya Kresna yang tersenyum karena ia mengetahui maksud Yudistira.
Ketika Yudistira sudah mencapai barisan musuh, semua musuh sudah siaga dan tidak melepaskan pandangannya dari Yudistira. Dengan rasa bakti yang tulus, Yudistira menjatuhkan dirinya dan menyembah kaki Bhisma, kakek yang sangat dihormatinya, seraya berkata, “Hamba datang untuk memberi hormat kepadamu, o paduka nan gagah tak terkalahkan. Kami akan menghadapi paduka dalam pertempuran. Kami mohon perkenan paduka dalam hal ini. Dan kami pun memohon do'a dan restu paduka”.
Bhisma menjawab, “Apabila engkau, o Maharaja, dalam menghadapi pertempuran yang akan berlangsung ini tidak datang kepadaku seperti ini, pasti akan kukutuk dirimu agar menderita kekalahan. Aku puas, o putera mulia. Berperanglah dan dapatkan kemenangan, hai putera Pandu. Apa lagi cita-cita yang ingin kaucapai dalam pertempuran ini? Pintalah suatu berkah dan restu, o putera Pritha, pintalah sesuatu yang kauinginkan! Atas restuku itu pastilah, o Maharaja, kekalahan takkan menimpa dirimu”.
Setelah menghaturkan sembah kepada Bhisma, Yudistira menyembah Guru Drona, Kripa, dan Salya. Semuanya memberikan restu dan mendo'akan kemenangan agar berpihak kepada Yudistira karena tindakan sopan yang sudah dilakukannya. Setelah mendapat do'a restu, Yudistira kembali menuju pasukannya, memakai baju zirahnya, naik kereta, dan siap untuk bertempur.
Yuyutsu memihak Yudistira
Sebelum pertempuran dimulai, Yudistira berseru, “Siapa pun yang memilih kami, itulah yang kupilih menjadi sekutu”.
Susana hening sejenak setelah mendengarkan seruan Yudistira. Tiba-tiba di dalam pasukan Korawa, terdengar sebuah jawaban dari Yuyutsu. Yuyutsu berseru, “Hamba bersedia bertempur di bawah panji-panji paduka, demi kemenangan paduka sekalian. Hamba akan menghadapai para putera Drestarastra, itu pun apabila paduka Raja berkenan menerima hamba, o paduka Raja nan suci”.
Dengan gembira, Yudistira berseru, “Mari, kemarilah! Kami semua ingin bertempur menghadapi saudara-saudaramu yang tolol itu! O Yuyutsu, baik Vāsudewa (Kresna) maupun kami berlima menyatakan kepadamu bahwa aku menerimamu, o pahlawan perkasa. Berjuanglah bersama kami, untuk kepentinganku, menegakkan Dharma. Rupanya hanya kau sendiri orang yang harus melanjutkan garis keturunan Drestarastra, sekaligus melakukan upacara persembahan kepada para leluhur mereka. O putera mahkota nan gagah, terimalah kami yang juga menerimamu. Duryodana yang kejam itu akan segera menemui ajalnya”.
Setelah berseru demikian, maka Yuyutsu meninggalkan para Korawa dan memihak Pandawa. Kedatangannya disambut gembira. Tak lama kemudian, pertempuran dimulai.
Kematian Bagawan Drona
Sebelum perang, Bagawan Drona pernah berkata, "Hal yang membuatku lemas dan tidak mau mengangkat senjata adalah apabila mendengar suatu kabar bencana dari mulut seseorang yang kuakui kejujurannya". Berpedoman kepada petunjuk tersebut, Sri Kresna memerintahkan Bhima untuk membunuh seekor gajah bernama Aswatama, nama yang sama dengan putera Bagawan Drona. Bhima berhasil membunuh gajah tersebut lalau berteriak sekeras-kerasnya bahwa Aswatama mati. Drona terkejut dan meminta kepastian Yudistira yang terkenal akan kejujurannya. Yudistira hanya berkata, "Aswatama mati". Sebetulnya Yudistira tidak berbohong karena dia berkata kepada Drona bahwa Aswatama mati, entah itu gajah ataukah manusia (dalam keterangannya ia berkata: "naro va, kunjaro va" — "entah gajah atau manusia"). Gajah bernama Aswatama itu sendiri sengaja dibunuh oleh Pendawa agar Yudistira bisa mengatakan hal itu kepada Drona sehingga Drona kehilangan semangat hidup dan Korawa bisa dikalahkan dalam perang Bharatayuddha.
Walaupun tidak pernah berbohong, karena perbuatannya ini Yudistira tetap mendapat 'hukuman'. Kereta perangnya, yang semula dikaruniai kemampuan melayang sejengkal di atas tanah, kini terpaksa harus turun menginjak tanah. Dan kelak, di hari kembalinya Pandawa ke sorga, Yudistira tidak diperbolehkan memasuki kahyangan terlebih dahulu melainkan harus menunggu saudara-saudaranya. Cerita ini dikisahkan dalam episode Swargarohanaparwa, atau kitab terakhir Mahabharata.
Mangkat lalu naik ke surga
Sesudah berakhirnya perang Bharatayudha, Prabu Yudistira menjadi raja negara Hastina bergelar Prabu Karimataya / Kalimataya. Setelah menobatkan Parikesit, putra Abimanyu dengan Dewi Utari sebagai raja negara Hastina, Prabu Yudistira memimpin perjalanan moksa para Pandawa yang diikuti Dewi Drupadi menuju ke sorga.
Yudistira dalam versi pewayangan Jawa
Dalam kisah versi Jawa, Yudistira beristrikan Dewi Drupadi, putri Prabu Drupada dengan Dewi Gandawati dari negara Pancala, dan berputera Pancala (Pancawala). (Menurut kisah India, Drupadi diperistri oleh kelima Pandawa bersama-sama).
Ia adalah putera sulung Prabu Pandu raja negara Hastina dengan dengan permaisuri Dewi Kunti, putri Prabu Basukunti dengan Dewi Dayita dari negara Mandura. Ia mempunyai dua orang adik kandung masing-masing bernama; Bima (Werkudara) dan Arjuna, dan dua orang adik kembar lain ibu, bernama Nakula (Pinten) dan Sadewa (Sahadewa/Tansen), putra Prabu Pandu dengan Dewi Madrim, putri Prabu Mandrapati dari negara Mandaraka. Kelima orang bersaudara ini disebut sebagai Pandawa.
Yudistira dianggap sebagai keturunan (titisan) Dewa Keadilan, Batara Dharma oleh karena itu salah satu julukannya adalah Dharmasuta, Dharmaputra atau Dharmawangsa. Selain itu ia juga disebut Puntadewa atau Samiaji. Nama Yudistira sendiri diambil karena dalam tubuhnya menunggal arwah Prabu Yudhistira, raja jin negara Mertani. Yudistira mempunyai pusaka kerajaan berwujud payung bernama "Kyai Tunggulnaga" dan sebuah tombak bernama "Kyai Karawelang".
Ia adalah tipe murni raja yang baik. Darah putih (seta ludira. seta=putih, ludira=darah) mengaliri nadinya. Tak pernah murka, tak pernah bertarung, tak pernah juga menolak permintaan siapa pun, betapapun rendahnya sang peminta. Waktunya dilewatkan untuk meditasi dan penghimpunan kebijakan. Tak seperti satria yang lain, yang pusaka saktinya berupa senjata, pusaka andalan Yudistira adalah Kalimasada yang misterius, naskah keramat yang memuat rahasia agama dan semesta. Dia, pada dasarnya, adalah cendekiawan tanpa pamrih, yang memerintah dengan keadilan sempurna dan kemurah hatinya yang luhur. Dengan kenampakan yang sama sekali tanpa perhiasan mencolok, dengan kepala merunduk yang mawas diri, dan raut muka keningratan yang halus, dia tampil sebagai gambaran ideal tentang "Pandita Ratu" (Raja Pendeta) yang telah menyingkirkan nafsu dunia.
Akan tetapi ada pula kelemahannya, yakni gemar berjudi. Oleh karena kegemarannya ini, Yudistira beberapa kali tertipu dan dikalahkan dalam adu judi dengan Duryodana, Raja Hastina dan pemuka Korawa. Dalam salah satu kekalahannya, terpaksa Yudistira (dan Pandawa keseluruhannya) menyerahkan negaranya dan membuang diri ke hutan selama 13 tahun.
Lihat pula
Pranala luar
- (Inggris)Tokoh dan cerita dalam Mahabharata
- (Inggris)Cerita pendek yang menunjukkan keagungan Yudhishthira 1, 2, 3