Halim Perdanakusuma

Pahlawan Revolusi Kemerdekaan
Revisi sejak 14 Januari 2015 10.00 oleh Ciput.putrawidjaja (bicara | kontrib) (Penambahan riwayat hidup)

Abdul Halim Perdanakusuma (18 November 1922 – 14 Desember 1947) adalah seorang pahlawan nasional Indonesia. Ia meninggal dunia saat menjalankan tugas semasa perang Indonesia - Belanda di Sumatera, yaitu ketika ditugaskan membeli dan mengangkut perlengkapan senjata dengan pesawat terbang dari Thailand.

Halim Perdanakusuma
Lahir(1922-11-18)18 November 1922
Belanda Sampang, Madura, Jawa Timur, Hindia Belanda
Meninggal14 Desember 1947(1947-12-14) (umur 25)
Malaysia Lumut, Perak, Uni Malaya
DikebumikanTaman Makam Pahlawan Kalibata (6°15′26″S 106°50′47″E / 6.25722°S 106.84639°E / -6.25722; 106.84639)
PengabdianHindia Belanda (ca 1940 – 1945)
Indonesia (1945–1947)
Dinas/cabangAngkatan Laut Hindia Belanda
Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara
Lama dinasca 1940 – 1947
PangkatMarsda
PenghargaanPahlawan Nasional Indonesia

Ayahnya, Haji Abdul Gani Wongsotaruno adalah Patih Sumenep. Karena itu tidaklah mengherankan  bila si ayah mengharapkan agar putra ketiga dari lima bersaudara itu kelak mengikuti jejak ayahnya sebagai seorang pamongpraja. Sifatnya yang ramah dan periang, menyebabkan Halim banyak memperoleh sahabat. Selain itu ia juga memiliki  perasaan halus  yang tercermin dalam kesenangannya  kepada musik dan seni lukis. Di bidang seni musik ia dikenal sebagai pemain biola yang cukup memukau. Lukisan yang banyak dibuatnya  memberikan kesan bahwa ia memiliki bakat dibidang ini.

Pendidikannya diawali dengan memasuki HIS (Hollandsch Inlandsche School) di Sumenep pada tahun 1928 dan tamat tahun 1935. Setelah tamat  ia melanjutkan  sekolah ke MULO (Meer Uitgebreid Lagere Onderwijs) di Surabaya.  Dalam tahun  1938 ia sudah menggondol  ijazah MULO. Sejak sekolah ia sudah diarahkan oleh ayahnya untuk menjadi seorang  pamongpraja (ambtenaar). Karena itu  setelah ia menamatkan MULO ia langsung dikirim ayahnya ke Magelang, untuk menempuh pendidikan pada MOSVIA (Middelbaare Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren; Sekolah Pendidikan untuk Pegawai Pangrehpraja Hindia Belanda).

Ternyata harapan siayah tidak terkabul. Halim sebenarnya tidak membantah keinginan itu dan ia pun cukup pandai untuk menerima setiap pelajaran yang diberikan kepadanya. Tetapi perubahan situasi politik yang menyebabkan Haji Abdul Gani tidak sempat melihat anaknya menjadi seorang pegawai pemerintah (pamongpraja). Menjelang akhir tahun 1939 di Eropa pecah Perang Dunia II.   

Terlibat dalam Perang Dunia II

Bulan Mei 1940 Belanda diduduki pasukan Nazi Jerman. Ratu Belanda Wilhelmina bersama aparat pemerintahannya mengungsi ke Inggris dan membentuk pemerintahan di pengasingan. Pemerintah kolonial Hindia Belanda segera mengumumkan milisi umum di Hindia Belanda untuk menghadapi kemungkinan menjalarnya perang ke wilayah ini.

Ketika itu Halim masih duduk di kelas dua MOSVIA. Sebagai seorang pemuda, ia tidak luput dari kewajiban milisi itu. KM (Koninlijke Marine; Angkatan Laut Hindia Belanda) menentukan tempat baginya, yaitu pendidikan opsir torpedo di Surabaya.   Tetapi pendidikan ini tidak sampai diselesaikannya. 

Tanggal 8 Desember 1941 Armada Angkatan Laut Kekaisaran Jepang menyerang pangkalan Angkatan Laut Amerika Serikat di Pearl Harbor, Hawai'i dan selanjutnya memicu merebaknya Perang Dunia II di Asia Pasifik. Selanjutnya, mereka mengarahkan serangannya ke Asia Tenggara, wilayah yang memiliki bahan mentah yang sangat penting bagi keperluan perang, termasuk Hindia BelandaKNIL (Koninlijke Nederlands Indische Leger; Angkatan Perang Kerajaan Hindia Belanda) nyatanya tidak mampu membendung serbuan Angkatan Perang Kekaisaran Jepang yang bergerak sedemikian cepat. Hingga pada 8 Maret 1942 Panglima KNIL Liuetenant Generaal Hein Ter Poorten menyatakan menyerah tanpa syarat di Kalijati, Jawa Barat.

Sebelum penyerahan tanpa syarat terjadi, Halim beserta seluruh staf dan siswa pendidikan Opsir Angkatan Laut Hindia Belanda telah dipindahkan ke Amerika Serikat. Di tempat yang baru ini ia memperoleh kesempatan untuk melanjutkan pendidikan militernya. Ia pindah mengikuti pendidikan pada RCAF (Royal Canadian Air Forces, Angkatan Udara Kanada) sebagai peninjau. Selanjutnya, Halim ditempatkan sebagai navigator di RAF (Royal Air Force, Angkatan Udara Kerajaan Inggris).

Dengan pangkat Wing Commander, melakukan tidak kurang dari 44 sortie penerbangan (flight mission) menggunakan pesawat pembom Lancaster atau Liberator. Daerah sasarannya adalah daerah-daerah di Perancis yang diduduki Nazi Jerman (Nazi Occupied Territory), dan Jerman, dengan pangkalan operasinya terletak di Inggris. Sempat pula ditempatkan di pangkalan RAF di Colombo, Ceylon (sekarang Srilangka), namun perang keburu berakhir pada tahun 1945.

Kembali ke Tanah Air

Sesudah perang berakhir, ia kembali ke tanah airnya, mengikuti pasukan Inggris yang ditugaskan melucuti senjata pasukan pendudukan Jepang di Hindia Belanda. Namun, setibanya di Surabaya, ia tidak lagi  menemui kekuasaan asing di wilayah ini. Sebuah negara baru, bernama Indonesia, sudah berdiri.  Suatu pemerintahan yang dipimpin oleh bangsanya sendiri, giat membenahi diri. Tetapi pemerintahan itu pun sedang menghadapi Belanda yang ingin kembali menegakkan kekuasaannya di bekas koloninya.

Kehadiran Halim di Surabaya diketahui oleh Komodor Soerjadi Soerjadarma, yang bersama Komodor dr. Abdulrahman Saleh dan Komodor Adisucipto sedang ditugaskan membentuk Djawatan Penerbangan dalam organisasi TKR (Tentara Keamanan Rakyat). Melalui Kapten Udara Arifin Marzuki, yang kebetulan adalah adik ipar Halim, Soerjadarma mengajak Halim untuk turut menyumbangkan tenaganya membangun kekuatan udara militer Indonesia. Ajakan itu diterima dengan senang hati. Halim segera berangkat ke Markas Besar TKR di Yogyakarta dan sejak saat itu mulailah keterlibatannya dalam membangun TKR Djawatan Penerbangan (belakangan berubah jadi TRI-AU, AURI dan sekarang TNI-AU). Di jajaran perwira TKR Djawatan Penerbangan, Halim diberi pangkat Komodor Muda Udara (KMU), setingkat Kolonel di Angkatan Darat.

Sesuai dengan keahliannya dan pengalaman yang dimilikinya, Halim diserahi tugas sebagai Perwira Operasi. Ia bertanggungjawab dalam pelaksanaan tugas-tugas operasi udara militer. Tugas itu meliputi banyak bidang, antara lain menembus blokade udara Belanda, mengatur siasat serangan udara atas daerah lawan, operasi penerjunan  pasukan di luar Jawa dan penyelenggaraan operasi penerbangan dalam rangka pembinaan wilayah. Di samping itu ia diserahi pula tugas sebagai instruktur navigasi di Sekolah Penerbangan yang didirikan dan dipelopori oleh Adisucipto, sesuai dengan keahlian yang dimiliki selama Perang Dunia II.

Beberapa misi penerbangan militer dilakukan Halim, antara lain:

  1. Menerbangkan pejabat-pejabat pemerintah Republik Indonesia dari Yogyakarta untuk berunding dengan pihak Belanda di Batavia (sekarang Jakarta). Pada tanggal 23 April 1946, Halim bertindak sebagai navigator salah satu dari 3 pesawat Tachikawa 98 Cukiu yang tinggal landas dari Lapangan Terbang Maguwo, Yogyakarta menuju Lapangan Terbang Kemayoran, Jakarta. Ketiga pesawat tersebut berhasil mendarat di lapangan terbang Kemayoran-Jakarta, setelah menempuh penerbangan selama satu tiga perempat jam. Namun, pesawat yang ditumpangi Halim mengalami kerusakan  pada alat pendaratnya, tetapi penerbang dan penumpangnya selamat.
  2. Esok harinya (24 April 1946), dilakukan terbang formasi 3 pesawat ke Lapangan Terbang Gorda di Banten, kemudian melintasi Selat Sunda penerbangan dilanjutkan  ke Sumatera Selatan. Namun, karena keadaan cuaca sangat buruk, pesawat tidak dapat melanjutkan perjalanan dan kembali ke Banten. Sesudah beristirahat di Banten, ketiga pesawat itu kembali ke Yogyakarta.
  3. Penerbangan formasi yang untuk pertama kali ke pulau Madura tanggal 12 Mei 1946, dengan pilot adalah Opsir Udara I H. Soedjono dan Halim bertindak sebagai navigator. Berhubung lapangan terbang di pulau Madura belum disiapkan, maka mereka terpaksa melakukan pendaratan darurat di sebuah tambak pembuatan garam. 
  4. Setelah ke  Madura, Halim kembali melakukan penerbangan ke Sumatera Selatan. Pada tanggal 20 September 1946 bersama pilot Opsir Udara II Imam Suwongso Wirjosaputro, Halim berangkat dari Yogyakarta menuju Lapangan Terang Karang Endah, di dekat Palembang untuk meresmikan pembukaan pangkalan tersebut.

Agresi Militer I Belanda

Menghadapi Agresi Militer I Belanda, AURI tidak tinggal diam. Agresi militer ini dilancarkan Belanda pada hari Minggu tanggal 21 Juli 1947. Mereka memulai aksinya dengan melakukan pemboman dan penyerangan  dari udara secara serentak terhadap semua pangkalan udara Republik Indonesia sehingga banyak menimbulkan kerusakan. Hanya lapangan terbang Maguwo Yogyakarta, pada hari itu terhindar dari serangan musuh karena tertutup kabut tebal. Seluruh rangkaian pangkalan udara yang memanjang dari Jawa Barat hingga Jawa Timur mendapat gilirannya.

Pesawat-pesawat pembom Angkatan Udara Belanda (ML - Militaire Luchvaart) menjatuhkan bom-bom ringan dan roket, menyerang dengan senapan mesin dan meriam terhadap lapangan terbang Gorda dekat Serang, Kalijati dekat Subang, Cibeureum dekat Tasikmalaya, Panasan dekat Solo, Maospati dekat Madiun dan Jatiwangi dekat Majalengka. Lapangan terbang Bugis dekat Malang pun tak luput dari serangan dan mengalami kerusakan paling berat. Sejumlah besar pesawat terbang milik AURI dihancurkan di landasan oleh pesawat-pesawat tempur musuh. Dengan demikian seolah-olah AURI telah lumpuh.  

Untuk menunjukan kepada  dunia luar bahwa AURI masih hidup, selaku perwira operasi, Halim mendapat perintah untuk menyusun serangan balasan terhadap lawan. Setelah rencana tersusun dengan baik, maka ditetapkan hari-H dan jam-J-nya. Demikianlah, pada tanggal 29 Juli 1947 pukul 05.00 pagi, 3 buah pesawat  telah disiapkan di lapangan terbang Maguwo untuk melakukan serangan udara balasan. Kepala Staf AURI Komodor Udara Soerjadi Soerjadarma ikut melepas keberangkatannya. Mula-mula lepas landas pesawat pembom tukik (dive bomber) Mitsubishi 98 Guntei dengan penerbang Kadet Moeljono dan penembak Kadet Abdulrachman dengan sasaran Semarang. Pesawat ini dilengkapi dengan senapan mesin dan beberapa buah bom seberat masing-masing 40 kg. Kemudian menyusul 2 buah pesawat latih bersayap ganda (bi-plane) Cureng masing-masing dengan penerbang Kadet Soeharnoko Harbani  dan penembak udara Kadet Kaput menuju sasaran Ambarawa, dan sebuah lagi dengan penerbang Kadet Soetardjo Sigit dan penembak udara Kadet Sutardjo dengan sasaran Salatiga. Tiap-tiap pesawat dilengkapi dengan dua buah bom seberat 50 kg yang diletakkan di kiri dan kanan sayap pesawat bagian bawah, ditambah dengan satu peti peluru mortar seberat 15 kg. Misi serangan udara atas daerah pendudukan musuh ini berhasil mencapai target seperti apa yang direncanakan dan semuanya kembali ke pangkalan dengan selamat.

Selain itu, pada waktu dilakukan operasi penerjunan pasukan payung ke Kalimantan, Halim selaku Perwira Operasi banyak memberikan andil  dalam pelaksanaannya. Operasi ini dilakukan pada tanggal 17 Oktober 1947 dengan menggunakan pesawat Dakota RI-002 dan berhasil menerjunkan pasukan para di bawah pimpinan Mayor Tjilik Riwut. Peristiwa ini sekarang diperingati sebagai hari jadi Komando Pasukan Khas (Kopaskhas) TNI-AU.

Pembangunan AURI di Sumatera

Dampak Agresi Militer I Belanda sangat dirasakan akibatnya oleh Republik Indonesia. Untuk menembus blokade militer Belanda telah ditempuh berbagai cara. Salah satunya adalah lewat jalur udara. AURI mengawali dengan membeli pesawat Dakota C-47 yang dibeli dengan hibah warga Aceh, yang diberi nama RI-001 Seulawah. Selanjutnya, menyewa pesawat-pesawat pesawat-pesawat asing. Selain itu dirasakan pula betapa pentingnya  perhubungan antara Jawa dan Sumatera. Kedua daerah tersebut merupakan daerah terpisah yang harus dapat dihubungi satu sama lain. Baru pada tahun 1947 dilakukan usaha nyata  ke arah itu. Pesawat-pesawat bermotor satu buatan Jepang tidak sesuai dengan medan di Sumatera. Daerahnya masih berhutan rimba luas, jarak satu kota dengan kota lainnya jauh, penduduknya jarang dan infrastruktur jalan-jalan pun buruk. Maka pada permulaan tahun 1947 disewa sebuah pesawat pengangkut Dakota C-47 dari luar negeri dari seorang penerbang freelance berkebangsaan AS, Robert E. Freeberg. Pesawat ini diberi nomor ekor RI-002.

Ibukota Sumatera waktu itu, Bukittinggi, harus mempunyai hubungan langsung dengan Yogyakarta. Sesudah lapangan terbang disiapkan secara gotong royong oleh rakyat, tepat pada hari yang telah ditentukan mendarat pesawat Dakota untuk pertama kalinya di Bukittinggi. Akan tetapi berhubung dengan suasana politik, perhubungan udara itu tidak dapat diselenggarakan secara reguler. Karena kesulitan perhubungan tersebut, maka konsolidasi di lingkungan AURI sulit pula dilaksanakan. Namun oleh Pemimpin Tertinggi Tentara telah digariskan, bagaimana pun juga AURI harus dibangun di Sumatera. Keputusan  ini diambil  mengingat situasi politik semakin genting, dimana Belanda sewaktu-waktu dapat merebut dan menduduki pangkalan-pangkalan udara yang berada di Jawa.  Apabila hal tersebut terjadi, maka Sumatera dijadikan basis perjuangan dan persiapan ke arah itu harus dilakukan jauh-jauh sebelumnya.

Tugas untuk membangun AURI di Sumatera  dipercaya kepada Halim. Halim sangat erat berhubungan dengan Panglima Besar TRI Jenderal Soedirman.  Pendapat dan sarannya tentang Angkatan Udara sering diminta oleh Jenderal Soedirman. Pemerintah menugaskan Halim ke Sumatera dan diangkat sebagai  pejabat AURI di Komandemen  Tentara Sumatera. Selama melaksanakan tugas, Halim berhasil menjalin kerjasama dengan Panglima Teritorium dan Tentara II di Sumatera dan masyarakat di daerah itu.   Bahkan lebih daripada itu ia berhasil menghimpun dana mengumpulkan emas dari rakyat untuk kemudian digunakan membeli pesawat. Salah satu bukti hasil pengumpulan dana adalah dengan berhasil dibelinya sebuah pesawt Avro Anson dengan registrasi VH-BBY. Pesawat itu dibeli dengan harga 12 kg emas murni yang kemudian diberi nomor registrasi RI-003.

Gugur dalam tugas

Untuk mendukung upaya pembangunan AURI di Sumatera, Halim bersama Opsir Udara I Iswahyudi ditugaskan membeli senjata ke Songkhla, Thailand pada bulan Desember 1947 menggunakan pesawat terbang jenis Avro Anson RI-003, yang mereka beli sebelumnya.[1] Bersama mereka seorang penumpang berkebangsaan Australia bernama Keegan, yang telah menjual pesawat tersebut. Selain mengantarkan Keegan pulang, misinya adalah:

  • untuk melakukan penjajakan lebih jauh tentang kemungkinan pembelian senjata dan pesawat
  • untuk melakukan inspeksi terhadap perwakilan RI,
  • mengatur penukaran dan penjualan barang-barang yang berhasil dikirim dari dalam negeri, dan
  • memasukkan barang Singapura ke daerah RI menembus blokade Belanda.

Pesawat terbang itu dipenuhi dengan berbagai senjata api, diantaranya karabin, stun gun, pistol dan bom tangan. Dalam perjalanan pulang, pesawat terbang tersebut jatuh pada 14 Desember 1947. Tidak diketahui penyebabnya, namun diduga karena cuaca buruk atau karena ditembak (disabotase). Bangkai pesawat terbang tersebut ditemukan di sebuah hutan berdekatan dengan kota Lumut, Perak, Malaysia (ketika itu masih bernama Uni Malaya). Namun tim penyelamat hanya menemukan jasad Halim, sementara jasad Iswahyudi tidak diketemukan dan tidak diketahui nasibnya hingga sekarang. Begitu juga dengan berbagai perlengkapan senjata api yang mereka beli di Thailand, tidak diketahui kemana rimbanya.

Jasad Halim kemudian sempat dikebumikan di kampung Gunung Mesah, tidak jauh dari Gopeng, Perak, Malaysia. Pusat data Tokoh Indonesia mencatat, di daerah Gunung Mesah itu banyak bermukim penduduk keturunan Sumatera. Beberapa tahun kemudian, kuburan Halim digali dan jasadnya dibawa ke Jakarta dan dimakamkan kembali di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.

Ketika Perjanjian Haadyai antara Malaysia dengan Partai Komunis Malaya diadakan pada tahun 1989, seorang Indonesia turut muncul dalam gencatan senjata tersebut. Seorang penulis nasionalis Malaysia, Ishak Haji Muhammad (Pak Sako), menduga komunis warga Indonesia tersebut ialah Iswahyudi.

Kehidupan pribadinya

Halim meninggalkan seorang isteri bernama Koessadalina dan seorang anak laki-laki bernama Ian Santoso. Nama itu diberikan sebagai kenang-kenangan terhadap sahabat karibnya, seorang Wing Commander keturunan Skotlandia yang gugur dalam Perang Dunia II sewaktu melakukan tugas penerbangan bersama Halim. Putranya ini belakangan juga berkarier sebagai seorang penerbang TNI-AU dan berpangkat terakhir Marsekal Muda.

Sebagai putra ketiga dari lima bersaudara, Halim mempunyai dua orang kakak dan dua orang adik. Salah seorang adiknya, Makki Perdanakusuma, juga menjadi penerbang AURI, yang disekolahkan ke TALOA (Transocean Air Lines Oakland Airport) di Bakersfield, California, Amerika Serikat pada Nopember 1950. Makki Perdanakusuma ditugaskan sebagai penerbang Dakota C-47 dan belakangan Hercules C-130 dan terakhir berpangkat Marsekal Muda.

Penghormatan

Berkas:KRI Abdul Halim Perdanakusuma-355.JPG
KRI Abdul Halim Perdanakusuma

Pemerintah Indonesia memberi penghormatan atas jasa dan perjuangan Halim, dengan menaikkan pangkatnya 1 tingkat menjadi Laksamana Muda Udara (setingkat Marsekal Muda sekarang), menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional dan mengabadikan namanya pada Bandar Udara Halim Perdanakusuma di Jakarta. Pemerintah juga mengabadikan namanya pada kapal perang KRI Abdul Halim Perdanakusuma.

Referensi

  • Majalah Ekslusif, 24 Desember 1989

Pranala luar