Amangkurat I

Susuhunan dari Mataram

Amangkurat I adalah sultan Mataram yang bertahta pada tahun 1646 sampai dengan 1677. Ia adalah anak dari Sultan Agung Hanyokrokusumo. Saat naik tahta, ia berusaha untuk menciptakan kestabilan politik jangka panjang di wilayah kekuasaan Kesultanan Mataram, yang meskipun luas tetapi terus-menerus mengalami pemberontakan.

Silsilah dan penobatan

Amangkurat I adalah anak dari Sultan Agung dan Raden Ayu Wetan (Kanjeng Ratu Kulon), seorang keturunan Ki Juru Martani yang merupakan saudara dari Ki Ageng Pemanahan.[1] Ia memiliki nama kecil Mas Sayidin, yang ketika menjadi putera mahkota diganti dengan gelar Pangeran Arya Mataram atau Pangeran Ario Prabu Adi Mataram.

Pada tahun 1645 ia diangkat menjadi raja Mataram untuk menggantikan ayahnya, dan mendapat gelar Susuhunan Ing Alaga. Ketika dinobatkan secara resmi tahun 1646, ia bergelar Amangkurat atau Mangkurat, lengkapnya adalah Kanjeng Susuhunan Prabu Amangkurat Agung. Dalam bahasa Jawa kata Amangku yang berarti "memangku", dan kata Rat yang berarti "bumi", jadi Amangkurat berarti "memangku bumi". Demikianlah, ia menjadi raja yang berkuasa penuh atas seluruh Mataram dan daerah-daerah bawahannya, dan pada upacara penobatannya tersebut seluruh anggota keluarga kerajaan disumpah untuk setia dan mengabdi kepadanya.

Awal pemerintahan

Amangkurat I dianggap telah memerintahkan penyingkiran terhadap penguasa-penguasa lokal yang dianggapnya tidak terlalu berguna, dalam hal ini termasuk Pangeran Pekik dari Surabaya yang tak lain adalah mertuanya sendiri. Ia juga menutup pelabuhan dan menghancurkan kapal-kapal di kota-kota pesisir, untuk mencegah berkembangnya kekuatan mereka karena kesejahteraan yang meningkat. Demi meningkatkan kemasyuran, Amangkurat I memilih untuk meninggalkan istana Sultan Agung di Kartasura (terbuat dari kayu), serta memindahkan ibukota dan mendirikan istana baru (terbuat dari bata merah) yang lebih megah di Plered.

Pada pertengahan 1670, ketidak-puasan terhadap Amangkurat I telah berubah menjadi pemberontakan terbuka, yang diawali dari daerah Jawa Timur dan terus ke daerah pedalaman Jawa. Putra mahkota yang bernama Adipati Anom (nantinya menjadi Amangkurat II), merasa bahwa jiwanya terancam di lingkungan istana setelah ia mengambil salah seorang selir ayahnya dengan bantuan Pangeran Pekik dari Surabaya. Di pihak lain, kejadian tersebut menimbulkan kecurigaan Amangkurat I terhadap adanya konspirasi antara anaknya dengan pihak Surabaya, yaitu dengan memanfaatkan posisi penting sang putra mahkota yang juga merupakan cucu dari Pangeran Pekik.

Pemberontakan Trunajaya

Untuk menghadapi kecurigaan tersebut, Adipati Anom kemudian bekerjasama dengan Panembahan Rama dari Kajoran, yaitu letaknya di sebelah barat Magelang. Panembahan Rama mengusulkan agar ia membiayai menantunya, yaitu Raden Trunajaya seorang pangeran dari Madura, untuk melakukan pemberontakan. Amangkurat I dan Adipati Anom kemudian melarikan diri dari ibukota, dan meninggalkan Pangeran Puger untuk memimpin perlawanan. Trunajaya dan pasukannya, yang juga dibantu para pejuang Makasar pimpinan Karaeng Galesong, ternyata akhirnya dapat menguasai istana kerajaan di Mataram pada pertangahan 1677. Diperkirakan terjadi perselisihan antara Trunajaya dan Adipati Anom, sehingga Trunajaya tidak jadi menyerahkan kekuasaan kepada Adipati Anom sebagaimana yang direncanakan sebelumnya dan malah melakukan penjarahan terhadap istana Kartasura.

Wafatnya Amangkurat I

Setelah mengambil rampasan perang dari istana, Trunajaya kemudian meninggalkan keraton Mataram dan kembali ke pusat kekuasaannya di Kediri, Jawa Timur. Kesempatan ini diambil oleh Pangeran Puger untuk menguasai kembali keraton yang sudah lemah, dan mengangkat dirinya menjadi raja di Plered dengan gelar Susuhunan ing Alaga. Dengan demikian sejak saat itu terpecahlah kerajaan Mataram. Tak lama setelah kejadian tersebut, Amangkurat I meninggal dunia dalam pelariannya dan kemudian dimakamkan di Tegalarum pada tahun 1677 itu juga. Ia kemudian digantikan oleh sang putra mahkota dengan gelar Amangkurat II.

Lihat pula

Referensi

  1. ^ Moedjanto, G (1986). The Concept of Power in Javanese Culture. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Didahului oleh
Sultan Agung
Raja Mataram Islam
(Kesultanan Mataram)
Dilanjutkan:
Amangkurat II