Kabupaten Blitar
artikel ini perlu dirapikan agar memenuhi standar Wikipedia. |
Artikel ini mengenai Blitar sebagai kabupaten. Untuk kota dengan nama sama, lihat Kota Blitar.
Kabupaten Blitar | |
---|---|
Daerah tingkat II | |
Motto: Hurub Hambangun Praja | |
Koordinat: 8°08′00″S 112°15′00″E / 8.13333°S 112.25°E | |
Negara | Indonesia |
Provinsi | Jawa Timur |
Tanggal berdiri | 5 Agustus 1324 |
Dasar hukum | - |
Ibu kota | Blitar |
Jumlah satuan pemerintahan | Daftar
|
Pemerintahan | |
• Bupati | Harry Nugraha |
Luas | |
• Total | 1,667,93 km² km2 (Formatting error: invalid input when rounding sq mi) |
Populasi | |
• Total | 1,111,000 (2.003) |
• Kepadatan | 666/km2 (1,720/sq mi) |
Demografi | |
Zona waktu | UTC+07:00 (WIB) |
Kode BPS | |
Kode area telepon | 0342 |
Kode Kemendagri | 35.05 |
DAU | Rupiah |
Situs web | http://www.kabblitar.go.id/ |
Kabupaten Blitar adalah sebuah kabupaten di Provinsi Jawa Timur, Indonesia. Ibu kotanya adalah Blitar. Kabupaten ini berbatasan dengan Kabupaten Kediri di utara, Kabupaten Malang di timur, Samudra Hindia di selatan, serta Kabupaten Tulungagung di barat. Kabupaten Blitar terdiri atas 22 kecamatan, yang dibagi lagi atas sejumlah desa dan kelurahan.
Bagian utara (perbatasan dengan Kabupaten Kediri) terdapat Gunung Kelud (1.731 m), salah satu gunung api aktif di Pulau Jawa. Pantai selatan pada umumnya berbukit.
Tanah
Blitar terletak di kaki lereng Gunung Kelud di Jawa Timur. Daerah Blitar selalu dilanda lahar Gunung Kelud yang meledak secara berkala sejak zaman kuno sampai sekarang. Lahar mengalir kebawah melalui lembah-lembah sungai dan membeku menutup permukaan bumi.
Abu yang memancar dari bawah gunung berapi akhirnya jatuh juga di permukaan bumi dan bercampur dengan tanah. Lapisan-lapisan tanah vulkanik daerah Blitar pada hakekatnya merupakan suatu kronologi tentang ledakan-ledakan Gunung Kelud yang berkelanjutan sejak zaman dahulu kala.
Geologis tanah daerah Blitar berupa tanah vulkanik yang mengandung abu ledakan gunung berapi, pasir, dan napal (batu kapur bercampuran tanah liat). Warnanya kelabu kekuning-kuningan. Sifatnya masam, gembur dan peka terhadap erosi. Tanah semacam itu disebut tanah regosol yang dapat digunakan tuntuk penanaman padi, tebu, tembakau, dan sayur- sayuran. Disamping sawah yang sekarang mendominasi pemandangan alam daerah sekitar Kota Blitar ditanam pula tembakau di daerah ini. Tembakau ini ditanam sejak zaman Belanda berhasil menaruh daerah ini dibawah jurisdiksinya dalam abad ke-17. Bahkan pernah, maju-mundur Blitar ditentukan oleh berhasil tidaknya produksi tembakau di daerah ini. Sungai Brantas mengalir memotong daerah Blitar dari Timur ke Barat. Disebelah Selatan sungai Brantas (daerah Blitar Selatan) kita menjumpai tanah yang lain lagi jenisnya. Tanah ini tergolong dalam apa yang disebut grumusol. Tanah grumusol merupakan batu-batuan endapan yang berkapur di daerah bukit maupun gunung yang memilki sifat basah.
Tanah semacam ini hanya baik untuk penanaman ketela pohon (cassave) dan jagung di samping kegunaannya sebagai daerah hutan jati yang kering dan tandus. Seperti yang telah kita ketahui, Sungai Brantas menerobos daerah Blitar dari Timur ke Barat.
Sungai Brantas
Sungai yang terbesar di Jawa Timur sesudah Bengawan Solo ini mempunyai arti yang penting sekali bagi sejarah politik maupun sosial Jawa Timur. Bersumber di Gunung Arjuna, sungai ini membawa unsur-unsur basis yang dimuntahkan di dataran tinggi aluvial Malang yang bersifat masam hingga larutan basa-asam menimbulkan unsur garam yang tidak bisa di pisahkan dari kesuburan tanah karena garam merupakan bahan makan tumbuh-tumbuhan seperti padi, palawija dan sebagainya.
Peranan semacam ini diulangi lagi oleh Sungai Brantas kalau sungai ini menalir menerobos Daerah Blitar. Di daerah ini, Sungai Brantas menerima unsur basis dalam airnya yang kemudian dimuntahkan di dataran rendah aluvial Tulungangung (Ngrawa) dan Kediri yang bersifat masam sehingga daerah itu menjadi subur.
Sekali lagi sungai ini setelah melewati kediri menerobos pegungungan kapur Kendeng Tengah di sekitar Kabupaten Jombang dan memuntahkan unsur basisnya di rawa-rawa yang masam di daerah muara dan deretannya sekitar Kabupaten Mojokerto hingga endapan aluvial di daerah itu menjadi subur.
Kerajaan
Tiga daerah pusat kesuburan ini, yaitu Malang, Kediri, Mojokerto seakan-akan secara alamiah diciptakan oleh Sungai Brantas untuk menentukan apa yang di dalam geopolitik disebut "natural seats of power" atau tempat-tempat yang telah ditentukan oleh alam untuk menjadi tempat kedudukan sesuatu kekuasaan (Sir Halford Mackinder, 1919). Dan memanglah kemudian disitu timbul kerajaan-kerajaan yang besar di Jawa Timur, yaitu Kerajaan Kediri, Kerajaan Singhasari, dan Kerajaan Majapahit.
Jika Kerajaan Majapahit secara alamiah boleh dikata berbatasan langsung , maka tidaklah demikian halnya dengan Kerajaan Kediri dan Kerajaan Singhasari. Kedua kerajaan ini dipisahkan oleh alam dengan adanya rawa-rawa (muara Sungai Porong), deretan gunung-gunung (Gunung Penanggungan, Gunung Welirang, Gunung Anjasmara, Gunung Arjuna, Gunung Kelud, Gunung Kawi) yang membentang dari Utara ke Selatan, daerah Blitar, dan Pegunungan Kendeng Selatan yang kering lagi tandus. Kalau sekarang hubungan antara kediri dan Malang itu dapat dilaksanakan melalui tiga jalur jalan, ialah melalui Mojosari, Ngantang, atau Blitar, mungkin di zaman dulu orang menggunakan hanya dua diantara tiga itu, ialah jalan Utara (Mojosari) dan jalan Selatan (Blitar). Jalan tengah (Ngantan) terlalu sukar dan berbahaya untuk ditempuh sehingga orang tidak menggunakannya jika tidak terpaksa. Bahkan dalam abad ke-17 jalan ini menurut berita Belanda masih merupakan jalan yang sukar sekali dapat di tempuh (J.K.J de Jonge & M.L. Van De Venter, 1909). Van Sevenhoven dalam tahun 1812 menyebut jalan ini masih tetap sukar juga (B. Schrieke, 1957).
Jalan Utara melalui Mojosari kiranya agak sukar ditempuh juga pada waktu itu meningat adanya rawa-rawa di sekitar muara sungai porong. Kita masih ingat bagaimana sukarnya Laskar Jayakatwang untuk menangkap Raden Wijaya pada tahun 1292 didaerah itu. Raden Wijaya pandai menggunakan keadaan medan yang berawa itu untuk meloloskan diri.
Jika semua yang dikemukakan diatas itu benar, maka jalan Selatan melalui Blitar itulah yang paling mudah ditempuh kalau dibandingkan dengan yang lainnya. keadaan alamnya memang memungkinkan hal itu.
Permukaan tanahnya boleh dikata tidak menunjukkan relief yang tajam. Sungai besar Brantas memotong daerah ini seakan-akan membuat jalan bagi manusia yang ingin melintasi daerah ini. Bukan rahasia lagi bahwa di zaman kuno ( dan di zaman sekarang di daerah penduduknya yang masih primitif) jalan gerak manusia itu pada umumnya ditentukan oleh sungai. Maka atas dasar semua itu kiranya bolehlah kita kesimpulkan bahwa di zamandulu ( dan samapi sekarang ) daerah Blitar itu merupakan daerah lintasan antara Daha (Kediri) dan Tumapel (Malang) terdekat dan termudah hingga banyak ditempuh. Disinilah letak arti penting daerah Blitar, yaitu daerah perbatasan yang menguasai lalu lintas antara dua daerah atau wilayah karena yang di zamanya saling bersaing ( Panjalu dan Jenggala serta Daha dan Singosari ). Tidak mustahil bahwa banyaknya prasasti yang ditemukan di daerah Blitar ini (± 21 buah) menunjuk ke arah hal itu.
Bahwa Blitar merupakan daerah perbatasan antar Daha dan Tumapel mungkin dapat kita simpulkan dari peristiwa yang tercantum dalam Kitab Negarakretagama, Empu Bharada atas permohonan Raja Airlangga membagi kerajaan menjadi dua, yaitu Kerajaan Panjalu dan Kerajaan Jenggala. Ini dilaksanakan dengan terbang sambil menuangkan air dari sebuah kendi (Kakawin Nagarakretagama, Nyanyian 68 : 1,2,3). Kiranya air ini menjadi sungai yang kemudian menjadi batas antara Kerajaan Panjalu dan Kerajaan Jenggala. Sungai apakah ini sekarang belum dapat diketahui dengan pasti. Tetapi ada beberapa orang ahli sejarah yang menafsirkan bahwa sungai tersebut kiranya Sungai Leksa sekarang. Perkiraan ini didasarkan atas tafsiran etimologis mengenai nama sungai yang disebut dalam kitab Pararaton.
Diceritakan dalam Pararaton bahwa tentara Daha (Raja Jayakatwang) yang menyerbu [[|Kerajaan Singhasari|Singhasari]] (Raja Kertanegara) bergerak melali jalan Utara (Mojosari dan jalan Selatan-Blitar). Yang bergerak melalui Selatan dikatakan bahwa tentara itu "Saking Pinggir Aksa anuju in Lawor...anjugjugring Singasari pisan". (Pararaton, Bab V) yang arti "Dari tepi Aksa menuju Lawor...langsung menuju Singosari" (Penerjemah Ki J. Patmapuspita, 1966).
Nama atau kata aksa yang terdapat dalam kalimat tersebut kemudian diperkirakan menjadi Kali Aksa dan akhirnya Kali Lekso seperti yang kita kenal sekarang. jika ini dapat kita terima maka adanya sungai Lekso di Blitar membenarkan peranan daerah Blitar sebagai daerah perbatasan antara Panjalu (Daha, Kediri) dan Jenggala ( Malang, Pasuruan ke Timur).
Pendapat ini dapat di perkuat lagi dengan peta yang berasal dari abad ke-17 yang dilakiskan kembali oleh De Jonge yang mengatakan "...disebelah Timur sungai ini (sungai Lekso) terbentang daerah Malang dan disebelah Baratnya daerah Blitar". (B. Schrieke, 1957).
Daerah lubang
Jika kita menelaah peta dan mengalihkan atau mengetrapkan kesan kita pada zaman yang lampau, maka akan nampak pada kita bahwa daerah Blitar merupakan lubang dan satu-satunya lubang yang ada pada garis perbatasan alamiah yang memanjang dari Utara ke Selatan (rawa-rawa sungai Porong, Gunung Penanggungan, Gunung Welirang, kompleks Gunung Arjuna, kompleks Gunung Kawi - Gunung Kelud, sampai Gunung Kendang Selatan).
Seperti yang kita katakan terdahulu, lubang ini merupakan lubang lalu-lintas yang penting antara dua kerajaan itu. Blitarlah yang mengawasi lalu-lintas ini hingga Blitar mendapatkan kedudukan yang boleh dikata istimewa. Ini dapat dilihat dari adanya banyak prasasti dan bangunan suci di Blitar yang hampir semua memberikan hadiah bebas pajak kepada desa-desa yang disebut sebut Sima. Walaupun bebas pajak namun Sima-Sima ini dibebani tugas istimewa yang berhubungan dengan banungunan suci atau dengan raja berdasarkan atas pertimbangan ekonomis (Dr. Soek mono, 1974). Nampaknya raja-raja, sejak Balitung sampai jatuhnya Kerajaan Majapahit, berkepentingan di daerah Blitar ini. Bahkan Raja terbesar Majapahit, Hayamwuruk, selama pemerintahanya tidak kurang dari tiga kali mengelilingi Blitar. Bahwa seorang raja yang berstatus prabu (maharaja) seperti Hayamwuruk itu sampai berkali-kali pergi ke Blitar, maka arti penting Blitar tidak dapat begitu saja diabaikan. Apakah arti penting Blitar di samping letaknya yang strategis itu belum dapat kita ketahui dengan pasti karena belum didapatnya sumber-sumber informasi yang lengkap lagi dapat di percaya.
Candi
Kecuali penting karena letaknya yang strategis ini, Blitar juga penting artinya bagi agama di zaman kuno. Tidak kurang dari sepuluh bangunan suci tersebar di daerah Blitar. Diantara bangunan bangunan suci ini, maka bangunan suci di Penataranlah yang tersebar dan terpenting, karena candi Penataran itu merupakan candi di Negara (status tample) atau candi pusat kerjaan. Adanya Candi Penataran di mulai ketika Raja Kertajaya yang juga disebut Crengga mempersembahkan sima untuk pemujaan "sira paduka bhatara Palah". Prasasti ini dibubuhi angka tahun Caka 1119 (1197 M).
Ditanah sima itu baru kemudian didirikan candi-candi seperti yang kita kenal sekarang. Memang, tempat di mana sesuatu bangunan suci itu akan didirikan sebenarnya mempunyai fungsi yang lebih penting daripada bangunan sucinya sendiri. Tempat itu harus mengandung kekuatan-kekuatan magis religius yang bersifat menyelamatkan. Dr. Soekmono dalam disertasinya "Candi, fungsi dan pengertiannya" menyatakan seperti berikut :
"Sesuatu tempat suci adalah suci karena potensinya sendiri. Maka sesungguhnya, yang primer adalah tanahnya, sedangkan kuilnya hanya menduduki tempat nomer dua". Jelaslah disini bahwa tanah atau tempat dimana bangunan-bangunan Candi Penataran itu berada dianggap tanah yang suci karena mengandung kekuatan-kekuatan gaib. Tetapi yang dianggap paling suci ialah titik pusat tanah atau halaman Candi Penataran dimana segala macam tenaga gaib bersatu dan perpusat. Pusat ini dianggap sebegitu keramatnya sehingga bangunan candi induk pun tidak dipernankan menutupinya. Candi penataran dibangun berhubung dengan adanya Gunung Kelud yang selalu mengancam ketentraman kehidupan kerajaan. Karena itu Candi Penataran bersifat Candi Gunung, yaitu candi yang diperuntukkan bagi pemujaan Gunung atau untuk menghindarkan segala malapetaka yang dapat di sebabkan oleh gunung.
Nama Penataran kemungkinan besar bukan nama Candinya tetapi nama statusnya sebagai Candi di Pusat Kerajaan. Candi-candi pusat semacam ini di Bali juga disebut dengan Penataran, misalnya Pura Panataransasih dan Pura Panataran Besakih. Kata "natar" menurut Dr. Soekmono, berarti pusat sehingga Penataran berarti Candi Pusat. Nama yang sebenarnya kita belum tahu.
Akhirnya dapat ditambahkan disini bahwa daerah Blitar itu memegang peranan yang unik dalam sejarah, ialah tempat yang baik untuk mengundurkan diri (terugval-basis) bagi mereka yang ingin menyusun kembali kekuatanya. Letaknya sangat strategis. Dari Blitar baik dataran tinggi sebelah Timur maupun Barat gunung Kawi dapat diancam. Ken Arok mungkin tahu akan hal ini dan ia menjadi raja.
Sejarah
Salah satu sumber sejarah terpenting adalah Pracasti (prasasti) , karena merupakan dokumen tertulis yang orosinil (Damais, 1968). Prasasti berarti : tulisan dalam bentuk puisi yang berupa pujian (matrical eulogitic inscription, Mc. Dannel, Sanskrit Dictionary 182a).
Prasasti juga berarti anugerah, karena umunya selaku Prasasti dalam arti pujian itu, di dasarkan atas anugerah yang diberikan seorang raja kepada rakyatnya. Dalam Prasasti, dalam arti anugerah itu, disebutkan berlakunya hak istimewa yang turun-temurun. Istilah untuk itu dalam Negara Kertagama disebut purwasarirareng prasatyalama tan rinaksan iwo, yang berarti hak-hak istimewa yang sejak dahulu dilindungi oleh Prasasti kuno. Enam abad yang lalu tepatnya pada bulan Waisaka tahun Saka 1283 atau tahun 1361 Masehi, Raja Majapahit Sri Hayamwuruk beserta pengiringya, singgah di Blitar dalam rangka perjalanan ke candi Palah (Penataran) untuk mengadakan upacara Puja. Bukan hanya di Blitar iringan tamu itu singgah, tetapi tempat-tempat yang disinggahi yaitu Sawentar (Lwangwentar), Jimbe, Lodoyo, Simping (Sumberjati), Mleri (Taleri) di Srengat.
Kunjugan Raja itu bukan sekali itu saja dilakukan, karena pada tahun 1357 M. (1279 Saka) Raja telah meninjau pantai Selatan serta menginap beberapa hari lamanya di Lodoyo. (Nag. punuh 17/5; 6; 41/4;61/2; 3.) Apabila Raja Hayamwuruk itu dalam kesempatan yang berlainan serta tujuan kunjungan yang berbeda, mengunjungi Blitar, hal itu memberikan petunjuk betapa pentingnya Blitar pada waktu itu, sehingga mendapat kunjungan istimewa beberapa kali. Dengan kata lain, Blitar dengan tempat-tempat lain sekitarnya telah lama dikenal sebagai tempat yang penting, dan selalu mendapat kunjungan Kepala Negara Majapahit. Blitar telah dikenal sejak lama dan dimasukkan dalam acara kunjungan resmi Sang Raja. Kenyataan ini membawa kita dalam suatu masalah sejak kapankah Blitar khususnya serta tempat-tempat lain disekitarnya pada umumnya muncul dalam arena sejarah? Jawaban persoalan ini akan membawa pula kepada penelusuran sejarah Blitar sejak kapan tercatat paling tua dalam sejarah pertumbuhannya. Dengan perkataan lain bilamanakah Blitar sebagai nama tempat, mulai dikenal dalam dokumen tertulis. Data tentang ini merupakan dasar untuk menetapkan hari jadi Kabupaten Blitar, suatu kabupaten yang berkembang dari suatu tempat yang telah merintis perjalan sejarah lebih kurang enam abad yang silam.
Sumber tertulis memeberikan petunjuk adanya hubungan daerah Blitar dengan pusat kerajaan di Jawa Tengah, berasal dari zaman Pemerintahan Raja Balitung.
Dokumen tertulis itu ditemukan oleh Dr. Verbeek pada tahun 1868, yang kemudian diletakkan dihalaman Kabupaten Blitar. Tulisan itu dipahatkan pada punggung sebuah patung Ganesya, untuk kepetingan penelitian epigrafsi atau sejarah selanjutnya, dibuatlah salinannya (abklatch atau estampage) pada tahun 1809, termuat dalam catatan arsip purbakala, no. 298-300; 351;430-437. Kemudian berturut-turut dibahas dalam catatan tahun 1876 / no. 6; Cat 1891 hal. 5; 1893, hal. 120; Sedang fotonya pertama kali dibuat Van Kinsbergen, dalam arsip noto no. 332.
Turunan tulisan tersebut dibuat oleh Cohen Stuart dan Van Limberg Brower dalam Tidjschr, XVIII hal.109-117. Sayang sekali sumber yang tertua memuat daerah Blitar ini, tidak dicatat dari mana asalnya, tetapi tidak boleh tidak berasal dari wilayah Blitar. Prasasti yang ditulis dibelakang arca Ganesha ini, oleh Dr. C.L. Damais disebut juga dengan nama Prasasti Kinewu, berdasarkan nama desa yang ditetapkan dalam Prasasti tersebut.
Dalam Prasasti itu diberitakan bahwa Kepala Desa Kinwu telah diberi anugerah oleh Raja Balitung, yang bergelar Sri Iswara Kesawasamarot tungga, beserta mahamantrinya yang bernama Daksa, sebidang tanah sawah yang termasuk wilayah rambahan. Didalamnya disebutkan luas sawah yang dianugerahkan itu, beserta ketentuan-ketentuan pajak tanahnya. Disamping itu desebutkan para saksi yang memperkuat waktu upacara penganugerahan tersebut.
Prasasti itu ditetapkan pada bulan margasira tanggal 12 paroterang, tahun 829 Saka. Saat penetapan itu bertepatan dengan tahun Masehi 20 Nopember 907. ( Damais, 1955; hal. 48).
Bukti Prasasti Kinwu ini dapat memberi pentunjuk bahwa wilayah Blitar sejak abad ke X Masehi telah menjadi daerah kekuasaan seorang raja yang pusat Pemerintahanya di Jawa Tengah.
Sebagaimana diketahui, daerah kekuasaan raja dapat diketahi berdasarkan tempat-tempat prasasti raja tersebut ditempatkan / didirikan.
Atas dasar itu, dapat disebutkan bahwa prasasti yang dikeluarkan raja Balitung meliputi daerah yang luas, prasastinya selain ditemukan di daerah Blitar, juga terdapat di sekitar Singosari, Kabupaten Malang. Prasasti itu didirikan pada tempat atau desa yang ditetapkan dalam prasasti itu.
Suatu hal yang menari ialah bahwa prasasti Kinwu ini dipahat pada belakang sebuah arca Ganesha. Dalam seni patung Hindu, Ganesha adalah dewa penolak kejahatan / bahaya (wigniswara) disamping tugasnya yang lain sebagai Panglima kaum Gana. Dewa Ganesapun melambangkan ilmu pengetahuan atau dewa ilmu pengetahuan, serta dewa yang dianggap dapat memberi berkah selamat. Sebagai dewa yang menghancurkan kejahatan atau pelindung mandusia dari kekuatan jahat, Ganesha ini banyak dipuja orang. Bahkan namanya sering disebut sebagai dewa pelindung sebagai terbukti dari prasasti Geweg, dari tahun 855 Saka, atau bertepatan dengan tahun Masehi 933.
Bagaimanakah status Blitar pada abad ke-10 itu? Berdasarkan sumber Prasasti Kinewu di terbukti bahwa daerah Blitar merupakan daerah yang diperintah oleh Raja Watukuro Dya Balitung yang memerintah antara tahun 897-910 Masehi. Dengan kata lain daerah Blitar menjadi bagian sebelah Timur kerajaan yang berpusat di Jawa Tengah. Di daerah Blitar ini ditempatkan seorang pegawai yang mewakili raja. Dalam masyarakat tanpa ekonomi uang, raja tidak dapat memberi gaji pada pegawainya selain berupa tanah. Hukum Jawa Kuno memuat ketentuan bahwa raja sering menghadiahkan sebidang tanah kepada pegawainya yang berjasa. Ketentuan itu harus dikukuhkan dengan suatu penetapan piagam atau prasasti. Tanah adalah milik raja yang dapat diberikan kepada bawahanya. Menurut kitab hukum Kutarananawa pasal 93 di sebutkan : Sang Ratu wiwesa mawa bumi desa, selanjutnya dalam pasal 100 ditentukan bahwa : apan drwe sang prabhu lemah ika. Jelaslah bahwa milik Raja yang terpeting adalah tanah. Dalam masa-masa kemudian kita lihat adanya lembaga-lembaga tanah bengkok, lungguh, gaduan, tanah gumantung, tanah patuh dan sebagainya.
Majapahit sebagai negara baru berpusat di dekat Majakerta. Di bawah pimpinan Raden Wijaya sebagai Raja pertama, negara Majapahit tumbuh dengan pesat. Suatu hal yang menarik dalam hubungan sejarah daerah Blitar dari masa itu ialah adanya peninggalan bangunan suci yang terletak di desa Kotes Kecamatan Gandusari.
Pada Bangunan itu terdapat angka tahun 1222 Saka dan 1223 Saka. Dengan demikian bangunan tersebut berasal dari tahun 1300 dan 1301 Masehi (Knebel :1908:hal.355). Dengan perkataan lain, bangunan itu adalah sezaman dengan Pemerintahan Raja pertama Majapahit. Kenyataan di atas membuktikan bahwa saerah Blitar pada awal abad ke - XIV masih menjunjukkan wilayah yang penting. Apakah hubungan pendirian bangunan suci itu dengan sejarah daerah ini? Suatu petunjuk yang dapat memberikan keterangan tentan hal itu antara lain terdaptnya sejumlah Prasasti dari masa abad ke-XII Masehi di daerah sepanjang lembah kaki Gunung Kawi sebelah Barat. Ini menunjukkan bahwa daerah ini masih dapat dibuktikan hingga sekarang dengan adanya beberapa perkebunan. Faktor alamiah yang menguntungkan ini meyebabkan adanya kehidupan masyarakat yang makmur. Kemakmuran itu mendorong pertumbuhan pertumbuhan penduduk yang besar dalam waktu singkat. Walaupun tidak terdapat catatan tentang jumlah penduduk di daerah Blitar bagian Timur ini, namun dapat diperkirakan bahwa dengan adanya men-power maka daerah ini menjadi penting. Tersedianya tenaga manusia yang cukup besar, merupakan salah satu jaminan pengerahan pasukan secara mudah untuk suatu tujuan pertahanan maupun serangan.
Seperti halnya dalam prasasti Tuhanyaru yang menyebutkan adanya anugerah tanah kepada sejumlah pejabat kerjaan berhubung yang bersangkutan telah berjasa kepada raja, maka prasasti Blitar pun memuat pernyataan yang serupa. Dapat diketahui bahwa hubungan antara raja Jayanegara dengan daerah Blitar mempunyai sifat yang istimewa. Hubungan yang istimewa itu diperlihatkan pada penetapan sejumlah ha yang diberikan kepada para pejabat, berhubung dengan kesetiaan desa Blitar kepada raja. Dalam hubungan ini peristiwa apakah yang terjadi sehingga raja berkenan untuk memberikan anugerah kepada penduduk desa Blitar.
Seperti diketahui raja Jayanegara menjadi raja Majapahit yang kedua, menggantikan ayahnya Kerjarajasa Jayawardhana yang meninggal pada tahun 1309 M. Tentang Pemerintahannya ini ada dua sumber yang memberikan keterangan agak berbeda. Kedua sumber tadi adalah Negarakertagama, yang ditulis oleh Prapanca dan Pararaton yang tidak dicantumkan nama penulisanya. Secara singkat sekali Negarakertagama menceritakan tentang masa Pemerintahannya yang berlangusng antara tahun 1309-1328 Masehi. Didalam pupuh XLVII Prapanca melukiskan yang terjemahan dalam bahasa Indonesia sebagai berikut: -. Beliau meninggalkan Jayanegara sebagai raja Wilwatikta dan keturunan adiknya rajapadhi utama yang tiada bandingya, Dua puteri amat cantik, bagai Ratih kembar mengalahkan Bidadari yang sulung rani di Jiwana, sedangkan yang bungsu jadirani di Daha. -. Tersebut pada tahun Saka : Mukti-guna-memaksa rupa bulan - madu, Baginda Jayanegara berangkat menyirnakan musuh ke Lumajang, Katanya Pajarakan dirusak, Nambi sekeluarga dibinasakan, Giris miris segenap jagad melihat keperwiraan Sri Baginda. -. Tahun Saka : bulatan memanah suryah beliau pulang, Segera dimakamkan didalam pura, berlambang arca Wisnuparama. Di sela Petak dan Bubat tertegak area Wisnuparama. Di sela Petak dan Bubat tertegak area Wisnu - lambang - tara - inda. Di Sukalila arca Buda permai sebagai Amoga sidi - menjilma ( Slamet Mulyana, 1953 : 42).
Dari pupuh tersebut diatas, maka dapat diketahui bahwa semasa Pemerintahan Jayanegara menghancurkan pemberontakan Nambi pada tahun 1361M. Lebih jauh Pararaton memberitakan timbulnya pemberontakan yang dipimpin oleh Ranggalawe, Sora dan Nambi. Semua pemberontakan itu dapat di padamkan oleh Baginda.
Suatu pemberontakan pecah lagi pada tahun 1316 dan 1317 dibawah pimpinan Kuti dan Seni. Pemberontakan itu mengakibatkan raja Jayanegara menghindarkan diri ke desa Bedander dengan pengawalan pasukan Bhayangkara dibawah pimpinan Gajah Mada. Berkat siasat Gajah Mada, Jayanegara berhasil kembali naik tahta. Kuti dan Seni berhasil dibinasakan. (Pararaton : 80-83). Kedua pemberitaan itu memberi petunjuk bahwa semasa Pemerintahan Jayanegara telah terjadi pemberontakan, tetapi berhasil dipadamkan. Kenyataan diatas membuktikan bahwa Jayanegara menghadapai masa yang sulit pada tahun pertama Pemerintahannya. Kenyataan inilah yang dapat memberikan keterangan, apa sebab Jayanagara mengeluarkan prasastinya tersebut di atas. Tidak dapat diragukan lagi, bahwa penetapan prasasti di Blitar ini merupakan peristiwa penting setelah Jayanegara ini merupakan titik peresmian berdirinya swatantra Blitar dalam naungan Kekuasaan Majapahit dibawah Pemerintahan Jayanagara. Dan peristiwa yang penting itu, sesuai dengan unsur penanggalan dalam prasasti, terjdi pada hari Minggu Pahing bulan Srawana tahun Saka 1246, yang bertepatan dengan tanggal 5 Agustus 1324M.
Untuk masa-masa selanjutnya Bliar disebutkan dalam kitab Negarakertagama dalam hubungannya dengan perlawatan Raja Hayam Wuruk ke daerah-daerah Jawa Timur. Beberapa puluh tahun yang membuat hal pemberitaah hal itu sepanjang menyangkut Blitar serta tempat-tempat lain di daerah sekitarnya tertulis dalam pupuh-pupuh.
Transportasi
Blitar dilalui oleh jalan provinsi jalur Kediri-Tulungagung-Malang. Blitar juga dilintasi jalur kereta api lintas Surabaya-Malang-Blitar-Kertosono-Surabaya. Kereta api yang melintasi Blitar: Gajayana (Malang-Yogyakarta-Jakarta), Matarmaja (Malang-Semarang-Jakarta), Rapih Dhoho (Blitar-Kertosono-Surabaya), dan Penataran (Blitar-Malang-Surabaya).