Manajemen irigasi

pengelolaan eksploitasi dan distribusi air irigasi terutama di daerah yang kering, dengan tujuan meningkatkan produksi tanaman pertanian

Manajemen irigasi adalah suatu bentuk pengelolaan eksploitasi dan distribusi air irigasi terutama di daerah yang kering atau yang memiliki periode musim kelangkaan air dengan tujuan meningkatkan produksi tanaman pertanian. Ilmuwan Julian H. Steward dan Karl August Wittfogel melihat manajemen irigasi sebagai sesuatu yang sangat dibutuhkan bahkan sejak zaman kerajaan hidrolik (bentuk pemerintahan atau struktur sosial yang mengandalkan akses air sebagai sumber kekuasaan).[1]

Manajemen air

 
Gotong royong dalam perawatan bendungan pembagi air di Baluchistan

Bentuk fisik yang paling utama dari sebuah proyek irigasi adalah lahan dan air. Berdasarkan hubungan antara elemen tersebut, terdapat berbagai jenis manajemen air:[2]

  • tipe pengelolaan masyarakat umum
  • tipe perkebunan besar
  • tipe fasilitas umum

Tipe pengelolaan masyarakat umum

Hingga abad ke 19, pengembangan proyek irigasi tidak begitu cepat, mencapai total area 50 juta hektare yang hanya seperlima dari area yang teririgasi saat ini.[3] Kepemilikan dan pengelolaan lahan pertanian diatur oleh kepala desa, namun sumber daya air dikelola bersama-sama.

Tipe perkebunan besar

 
Buruh di perkebunan tebu

Manajemen air tipe perkebunan besar terdapat di lahan yang dimiliki oleh perseorangan atau perusahaan. Baik lahan maupun sumber daya air dimiliki oleh satu pihak. Perkebunan besar yang ditemukan di negara terjajah di Asia, Afrika, dan Amerika Latin mengelola sumber daya air secara sepihak untuk melakukan usaha penanaman berbagai komoditas seperti pisang, tebu, dan kapas.

Tipe fasilitas umum

 
Kanal irigasi di Gezira, Sudan, 1997, yang memiliki manajemen air tipe fasilitas umum. Air bersumber dari sungai Nil Biru

Tipe fasilitas umum adalah tipe manajemen air yang terjadi di area di mana lahan dimiliki oleh banyak pihak, namun eksploitasi dan distribusi sumber daya air dikelola oleh organisasi tunggal, biasanya adalah pemerintah. Sejak tahun 1900an, berbagai pemerintahan mengambil alih pengelolaan irigasi dikarenakan[2]:

  • air dipertimbangkan sebagai fasilitas milik pemerintah yang harus dikelola dengan baik karena peningkatan permintaan dan berkurangnya ketersediaan
  • pemerintah membangun proyek irigasi skala besar karena dinilai lebih efisien
  • pengembangan skema irigasi yang baru menjadi lebih rumit secara teknis dan finansial sehingga berada di luar jangkauan masyarakat umum
  • kebijakan pemerintah mengenai ekspor-impor komoditas pertanian membutuhkan budi daya tanaman yang menguntungkan, sehingga dengan mengendalikan sumber daya air, petani dapat lebih mudah dipandu untuk menanam tanaman pertanian jenis tertentu.

Eksploitasi sumber daya air melalui bendungan pembangkit listrik, dibutuhkan bangunan bendung pembagi air yang "menjatahkan" antara kebutuhan air untuk pembangkit listrik dan untuk kebutuhan irigasi, yang juga merupakan tanggung jawab pemerintah dikarenakan adanya isu lingkungan terkait ketersediaan air untuk kedua kebutuhan tersebut, dan isu ekonomi-sosial karena berpotensi menghadirkan konflik.

Kalkulasi harga air

Tarif

Air irigasi memiliki harga untuk menutupi biaya pengelolaan air. Berbagai jenis tarif untuk pengelolaan air irigasi ada pada berbagai bentuk:[4]

  • tanpa tarif, yang berarti pemerintah menanggung semua biaya pengelolaan
  • tarif berdasarkan jam kerja pengelola lahan pertanian
  • tarif tahunan yang bersifat tetap (fixed price) per hektare per tahun
  • tarif musiman yang bersifat tetap biasanya memiliki harga lebih mahal di musim kering
  • tarif volumetrik yang bersifat tidak tetap, dihitung dengan volume air yang digunakan oleh setiap pihak
  • tarif per luasan lahan pertanian yang dihitung berdasarkan luas wilayah pengairan yang dikelola seiap pihak

Penggunaan air tanah untuk irigasi juga seringkali diatur oleh pemerintah dan pemilik sumur diizinkan untuk mengambil sejumlah volume air maksimum per tahunnya, bisa dikenai biaya dan bisa juga tidak.

Pendapatan pengelolaan air mungkin tidak sesuai dengan target, dikarenakan:[4]

  • pendapatan pengelolaan berpindah sebagian ke pihak selain pengelola air, bisa karena salah manajemen maupun korupsi
  • petani dan pengguna air menggunakan air tanpa izin
  • kurangnya komunikasi antara petani dan pengelola air
  • petani miskin tidak mampu membayar
  • petani tidak mendapatkan air sesuai dengan yang dibutuhkan

Cakupan biaya (cost coverage) pengelolaan irigasi umumnya tidak memenuhi. Hal ini menyebabkan biaya pengelolaan harus ditutup dengan cara lain, seperti melalui subsidi pemerintah atau menjual sebagian air ke fasilitas pengolahan air minum.

Negara Cost recovery (%)   Cost coverage (%)  
Argentina [5]   67   12
Bangladesh [6]   3-10   <1
Brasil, Jaiba project [7]     66   52
Kolombia [5]   76   52
Turki [8]   76   30-40
Sri Lanka [9]   8   <1

Asosiasi Pengguna Air

Sejak tahun 1980an, berbagai program dikembangkan untuk memindahkan tugas operasi dan perawatan irigasi dari pemerintah ke Asosiasi Pengguna Air yang memiliki kemiripan dengan Dewan air di Belanda, dengan berbagai perbedaan bahwa Asosiasi Pengguna air lebih fokus pada irigasi dan tidak terkait dengan sistem drainase. Meksiko dapat menjadi contoh pengelolaan yang efektif oleh asosiasi.[10]

Prinsip pengiriman air

 
Air irigasi yang dialirkan ke lahan pertanian, ditumpahkan secara sifon

Bergiliran

Pada skema irigasi besar, penyaluran air irigasi ke lahan pertanian umumnya diatur secara bergiliran, misal setiap beberapa hari sekali saluran dibuka selama dua jam. Kuantitas air yang dikirimkan proporsional terhadap ukuran lahan pertanian yang menentukan dimensi saluran air. Tipe seperti ini umum dilakukan di manajemen air bertipe fasilitas umum.

Berdasarkan kebutuhan

Pada skema irigasi yang lebih kecil, air dikirimkan berdasarkan kebutuhan dan ditarifkan berdasarkan volume air yang digunakan. Karena kebutuhan bisa bervariasi sepanjang waktu, hal ini membutuhkan sistem pencatatan dan sistem distribusi harus bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan terutama ketika kebutuhan terhadap air memuncak atau ketika sedang musim kering. Berbagai kriteria pembatasan jumlah air mungkin diperlukan untuk mengantisipasi hal tersebut.

Diprioritaskan ke pengguna tertentu

Dalam proyek yang memiliki suplai air yang tidak menentu karena variasi limpahan sumber air, pengguna air utama dari sistem irigasi (misal yang terdekat dengan bendung pembagi) mendapatkan air terlebih dahulu. Contoh kasus yang terjadi di Bolivia, pihak yang diprioritaskan untuk mendapatkan air berada dekat dengan bendung, dan merupakan tetua atau tokoh adat setempat yang menyumbang paling banyak dalam pembangunan dan perawatan irigasi.[11]

Perlindungan

Di wilayah dengan kelangkaan struktur air, prinsip water duty seringkali diaplikasikan, di mana petani diberikan air hanya sebagian dari kebutuhan penuh sehingga petani harus memprioritaskan bagian mana dari lahan yang harus diairi lebih banyak atau tanaman apa yang harus diairi. Hal ini membuat petani menanam tanaman lebih dari satu jenis, yaitu tanaman yang membutuhkan banyak air (padi, tebu, dan sebagainya) dengan tanaman yang membutuhkan lebih sedikit air (barley, sorghum, dan sebagainya). Umumnya dipraktekan di India yang bertujuan untuk meratakan distribusi air sehingga mencegah kelaparan pada satu bagian wilayah.[12]

Lihat pula

Referensi

  1. ^ Claessen, H J M; Skalník, Peter, ed. (1978). The Early state. New Babylon, studies in the social sciences. 32. Walter de Gruyter. hlm. 11. ISBN 978-90-279-7904-9. Diakses tanggal 2012-03-21. 
  2. ^ a b Effectiveness and Social/Environmental Impacts of Irrigation Projects: a Review. In: Annual Report 1988, International Institute for Land Reclamation and Improvement (ILRI), Wageningen, The Netherlands, pp. 18 - 34 . Download from web page : [1] , under nr 10, or from : [2] , under nr. 6 , or directly as PDF : [3]
  3. ^ Bruce Sundquist, 2007. Chapter 1- Irrigation overview. In: The earth's carrying capacity, Some related reviews and analysis. On line: [4]
  4. ^ a b The World Bank, Cost Recovery and Water Pricing for Irrigation and Drainage Projects. Agriculture and Rural Development Discussion Paper 26, on line: [5]
  5. ^ a b Svendsen, M., Trava, J. and S.H. Johnson III. 1997. “Participatory Irrigation Management: Benefits and Second Generation Problems.” International Irrigation Management Institute, Colombo, Sri Lanka.
  6. ^ Govt. of the People’s Republic of Bangladesh. 2000. “National Water Management Plan Project.” Draft Development Strategy, Vol. 5. Ministry of Water Resources. Dhaka.
  7. ^ Azevedo, L.G.. 1997. “Brazil.” In Water Pricing Experiences An International Perspective, ed. A. Dinar and A. Subramanian. Technical Paper Number 386, World Bank, Washington, D.C.
  8. ^ Dinar, A. and Mody, J. 2004. “Irrigation water management policies: Allocation and pricing principles and implementation experience” Natural Resources Forum 28 (2) 112.
  9. ^ Easter, K. W. 1993. “Economic Failure Plagues Developing Countries’ Public Irrigation: An Assurance Problem.” Water Resources Research 29(7): 1913-22.
  10. ^ Palacios, E.V. 1999.Benefits and Second Generation Problems of Irrigation Management Transfer in Mexico. Economic Development Institute Participatory Irrigation Management Case Studies Series, Economic Development Institute, World Bank and Irrigation Water Management Institute.
  11. ^ R.J. Sevenhuijsen, R.J. Oosterbaan and K. Zijderveld, 1988. : The Punata-Tiraque irrigation project near Cochabamba, Bolivia. International Institute for Land Reclamation and Improvement (ILRI), Wageningen, The Netherlands. On line: [6]
  12. ^ M.Jurriens, PP.Mollinga and P.Wester, 1996. Scarcity by Design: Protective irrigation in India and Pakistan. International Institute for Land Reclamation and Improvement, Wageningen, The Netherlands. On line: [7]

Bahan bacaan terkait