Kesultanan Serdang

kerajaan di Asia Tenggara

Kesultanan Serdang berdiri tahun 1723 dan bergabung dengan Republik Indonesia tahun 1946. Kesultanan ini berpisah dari Deli setelah sengketa tahta kerajaan pada tahun 1720. Seperti kerajaan-kerajaan lain di pantai timur Sumatera, Serdang menjadi makmur karena dibukanya perkebunan tembakau, karet, dan kelapa sawit.

Negeri Kesultanan Serdang

ﻛﺴﻠﺘﺎﻧﻦ سردڠ
1723–1946
Bendera Kesultanan Serdang
Bendera
{{{coat_alt}}}
Lambang
Wilayah Kesultanan Serdang pada 1930 (pada peta berwarna jingga)
Wilayah Kesultanan Serdang pada 1930 (pada peta berwarna jingga)
Ibu kotaPerbaungan
Bahasa yang umum digunakanMelayu
Agama
Islam
PemerintahanMonarki Kesultanan
Sultan 
• 1723-1782
Tuanku Umar Johan Pahlawan Alam Shah
• 1879-1946
Sultan Sulaiman Syariful Alam Shah
• 2011 - Sekarang
Sultan Achmad Thalaa Sharif ul-'Alam Shah
Sejarah 
• Didirikan
1723
1946
Didahului oleh
Digantikan oleh
Berkas:Bendera Negeri Deli.JPG
kslKesultanan
Deli
Indonesia
Sunting kotak info
Sunting kotak info • Lihat • Bicara
Info templat
Bantuan penggunaan templat ini

Serdang ditaklukkan tentara Hindia Belanda pada tahun 1865. Berdasarkan perjanjian yang ditandatangani tahun 1907, Serdang mengakui kedaulatan Belanda, dan tidak berhak melakukan hubungan luar negeri dengan negara lain. Dalam peristiwa revolusi sosial di Sumatera Timur tahun 1946, Sultan Serdang saat itu menyerahkan kekuasaannya pada aparat Republik.

Wilayah Kekuasaan

Wilayah kekuasaan Kesultanan Serdang meliputi Batang Kuis, Padang, Bedagai, Percut, Senembah, Araskabu dan Ramunia. Kemudian wilayah Perbaungan juga masuk dalam Kesultanan Serdang karena adanya ikatan perkawinan.[1]

Sejarah

Pendirian Kesultanan Deli

Menurut riwayat, seorang Laksamana dari Sultan Iskandar Muda Aceh bernama Sri Paduka Gocah Pahlawan, bergelar Laksamana Khoja Bintan, menikah dengan adik Raja Urung (negeri) Sunggal, sebuah daerah Suku Karo yang sudah sudah memeluk agama Islam. Kemudian, oleh 4 Raja-Raja Urung Suku Karo yang sudah Islam tersebut, Laksamana ini diangkat menjadi raja di Deli pada tahun 1630. Dengan peristiwa itu, Kerajaan Deli telah resmi berdiri, dan Laksamana menjadi Raja Deli pertama. Dalam proses penobatan Raja Deli tersebut, Raja Urung Sunggal bertugas selaku Ulun Jandi, yaitu mengucapkan taat setia dari Orang-Orang Besar dan rakyat kepada raja. Kemudian, terbentuk pula Lembaga Datuk Berempat, dan Raja Urung Sunggal merupakan salah seorang anggota Lembaga Datuk Berempat tersebut.[1]

Kemelut di tubuh Kesultanan Deli

Dalam perkembangannya, pada tahun 1723 terjadi kemelut ketika Tuanku Panglima Paderap, Raja Deli ke-3 mangkat. Kemelut ini terjadi karena putera tertua Raja yang seharusnya menggantikannya memiliki cacat di matanya, sehingga tidak bisa menjadi raja. Putera nomor 2, Tuanku Pasutan yang sangat berambisi menjadi raja kemudian mengambil alih tahta dan mengusir adiknya, Tuanku Umar bersama ibundanya Permaisuri Tuanku Puan Sampali ke wilayah Serdang.[1]

Menurut adat Melayu, sebenarnya Tuanku Umar yang seharusnya menggantikan ayahnya menjadi Raja Deli, karena ia putera garaha (permaisuri), sementara Tuanku Pasutan hanya dari selir. Tetapi, karena masih di bawah umur, Tuanku Umar akhirnya tersingkir dari Deli. Untuk menghindari agar tidak terjadi perang saudara, maka 2 Orang Besar Deli, yaitu Raja Urung Sunggal dan Raja Urung Senembal, bersama seorang Raja Urung Batak Timur di wilayah Serdang bagian hulu (Tanjong Merawa), dan seorang pembesar dari Aceh (Kejeruan Lumu), lalu merajakan Tuanku Umar sebagai Raja Serdang pertama tahun 1723. Sejak saat itu, berdiri Kerajaan Serdang sebagai pecahan dari Kerajaan Deli.[1]

Periode Pemerintahan

 
Istana Kesultanan Serdang di Kota Galuh, Perbaungan, Serdang Bedagai pada tahun 1930-an.

Penggabungan dengan Perbaungan

Kesultanan Serdang berdiri lebih dari dua abad, dari 1723 hingga 1946. Selama periode itu, telah berkuasa 5 orang Sultan. Sultan Serdang I adalah Tuanku Umar, kemudian ia digantikan oleh Tuanku Sultan Ainan Johan Alma Shah (1767-1817). Tuanku Sultan Ainan Johan Alam Shah beristerikan Tuangku Sri Alam, puteri Raja Perbaungan. Di masa Sultan Ainan Johan ini, terjadi penyatuan Kesultanan Serdang dan Perbaungan. Ceritanya, sewaktu Raja Perbaungan meninggal dunia, tidak ada orang yang berhak menggantikannya, sebab ia tidak memiliki anak laki-laki. Oleh karena anak perempuan Raja Perbaungan menikah dengan Sultan Serdang, maka akhirnya, Kesultanan Perbaungan digabung dengan Serdang. Jadi, penggabungan ini berlangsung semata-mata karena adanya hubungan kekerabatan, bukan karena peperangan.[1]

Putera Ainan Johan Alam Shah yang tertua, Tuangku Zainal Abidin, diangkat menjadi Tengku Besar. Suatu ketika ia pergi berperang membantu mertuanya yang sedang terlibat perang saudara merebut tahta Langkat. Dalam peperangan membela mertuanya tersebut, ia terbunuh di Pungai (Langkat) dan digelar Marhom Mangkat di Pungai (1815). Untuk menggantikan putera mahkota (di Serdang disebut Tengku Besar) yang tewas, maka, adik putera mahkota, yaitu Tuanku Thaf Sinar Basyar Shah kemudian diangkat sebagai penggantinya, dengan gelar yang sama: Tengku Besar.[1]

Sultan Thaf Sinar Basyar Shah

Ketika Sultan Johan Alam Shah mangkat tahun 1817, adik Tuangku Zainal Abidin, yaitu Tuanku Sultan Thaf Sinar Basar Shah (memerintah 1817-1850) diangkat oleh Dewan Orang Besar menjadi raja menggantikan ayahnya. Ketika itu, sebenarnya Tuanku Zainal Abidin, Tengku Besar yang sudah tewas, memiliki putera, namun puteranya ini tidak berhak menjadi raja, sebab, ketika ayahnya meninggal dunia, statusnya masih sebagai Tengku Besar, bukan raja. Jadi, menurut adat Melayu Serdang, keturunan putera tertua tidak otomatis menjadi raja, karena sebab-sebab tertentu.[1]

Dikuasai Belanda dan bergabung dengan Indonesia

Demikianlah, pemerintahan baru berganti dan keadaan terus berubah. Pada tahun 1865, Serdang ditaklukkan oleh Belanda. Selanjutnya, pada tahun 1907, Serdang menandatangani perjanjian dengan Belanda yang melarang Serdang berhubungan dengan negeri luar. Setelah bertahun-tahun dalam pengaruh Belanda, akhirnya, pada tahun 1946, pada masa pemerintahan Sultan Sulaiman Syariful Alamshah, Serdang bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia.[1]

Struktur Pemerintahan

 
Sultan Sulaiman Syariful Alam Shah (memerintah 1879-1946).
 
Sultan Lukman Sinar Bashar Shah II (memerintah 2001-2011).
 
Sultan Tuanku Lukman Sinar Bashar Shah II (memerintah sejak tahun 2011).

Raja Pertama

Struktur tertinggi di Kesultanan Serdang dipimpin oleh seorang Raja. Pada masa itu, peranan seorang raja adalah:[1]

  1. Sebagai Kepala Pemerintahan Kesultanan Serdang.
  2. Sebagai Kepala Agama Islam (Khalifatullah fi’l ardh)
  3. Sebagai Kepala Adat Melayu.

Lembaga Orang Besar Berempat

Pada masa pemerintahan raja yang ke-2, Tuanku Sultan Ainan Johan Almashah (1767-1817), tersusunlah Lembaga Orang Besar Berempat di Serdang yang berpangkat Wazir Sultan, yaitu:[1]

  1. Raja Muda (gelar ini kemudian berubah menjadi Bendahara)
  2. Datok Maha Menteri (wilayahnya di Araskabu)
  3. Datok Paduka Raja (wilayahnya di Batangkuwis) keturunan Kejeruan Lumu
  4. Sri Maharaja (wilayahnya di Ramunia).

Pembentukan Lembaga Orang Besar Berempat di Serdang ini, disebabkan Raja Urung Sunggal kembali ke Deli, sementara Raja Urung Senembah dan Raja Urung Tg. Merawa tetap menjadi raja di wilayah taklukan Serdang.

Sultan Ainan Johan Almashah memperkokoh Lembaga Empat Orang Besar di atas berdasarkan fenomena alam dan hewan yang melambangkan kekuatan, seperti 4 penjuru mata angin (barat, timur, selatan, utara), kokohnya 4 kaki binatang dan azas Tungku Sejarangan (4 batu penyangga untuk masak makanan). Lembaga itu juga melambangkan sendi kekeluargaan pada masyarakat Melayu Sumatera Timur yaitu: suami, isteri, anak beru (menantu) dan Puang (mertua). Demikianlah, pembentukan lembaga di atas didasarkan pada akar budaya masyarakat Serdang sendiri. Selanjutnya, lembaga inilah yang berperan dalam upacara perkawinan maupun perhelatan besar.[1]

Jabatan lainnya

Selain para pejabat istana di atas, Sultan juga dibantu oleh Syahbandar (perdagangan) dan Temenggong (Kepala polisi dan keamanan). Sultan Serdang menjalankan hukum kepada rakyat berdasarkan Hukum Syariah Islam dan Hukum Adat seperti kata pepatah, “Adat bersendikan Hukum Syara, Hukum Syara’ bersendikan Kitabullah”.[1]

Penguasa/Sultan

Penguasa

  • 1723-1782 Tuanku Umar Johan Pahlawan Alam Shah bin Tuanku Panglima Paderap (Kejeruan Junjungan), Raja Serdang
  • 1782-1822 Tuanku Ainan Johan Pahlawan Alam Shah ibni al-Marhum Tuanku Umar (Al-Marhum Kacapuri), Raja Serdang.
  • 1822-1851 Sultan Thaf Sinar Basyar Shah ibni al-Marhum Tuanku Ainan Johan Pahlawan Alam Shah (Al-Marhum Besar), Sultan dan Yang di-Pertuan Besar Serdang
  • 1851-1879 Sultan Basyaruddin Syaiful Alam Shah ibni al-Marhum Sultan Thaf Sinar Bashar Shah (Al-Marhum Kota Batu), Sultan dan Yang di-Pertuan Besar Serdang
  • 1879-1946 Sultan Sulaiman Syariful Alam Shah ibni al-Marhum Sultan Bashar un-din (Al-Marhum Perbaungan), Sultan dan Yang di-Pertuan Besar Serdang

Kepala Rumah Tangga

  • 1946-1960 Tuanku Rajih Anwar ibni al-Marhum Sultan Sulaiman Sharif ul-'Alam Shah, Tengku Putra Mahkota, Kepala Rumah Tangga Istana Serdang
  • 1960-2001 Sri Sultan Tuanku Abu Nawar Sharifu'llah Alam Shah al-Haj ibni al-Marhum Sultan Sulaiman Sharif ul-'Alam Shah, Sultan dan Kepala Rumah Tangga Istana Serdang
  • 2001-2011 Sri Sultan Tuanku Lukman Sinar Bashar Shah II ibni al-Marhum Sultan Sulaiman Sharif ul-'Alam Shah, Sultan dan Kepala Rumah Tangga Istana Serdang.
  • 2011 Sri Sultan Tuanku Achmad Thalaa Sharif ul-'Alam Shah, Sultan dan Kepala Rumah Tangga Istana Serdang.

Kehidupan Sosial-Budaya

 
Istana Kesultanan Serdang yang baru di Melati Kebun, Pegajahan, Serdang Bedagai. Pembangunan replika istana ini diprakarsai oleh Sultan Lukman Sinar Bashar Shah II dan diresmikan pada 7 Januari 2012.

Penulisan sejarah yang terlalu berorientasi politik, dengan titik fokus raja, keluarganya dan para pembesar istana menyebabkan sisi kehidupan sosial masyarakat awam jadi terlupakan. Oleh karena itu, bukanlah pekerjaan yang mudah untuk mendapatkan data mengenai kehidupan sosial-budaya pada suatu kerajaan secara lengkap. Berikut ini, sedikit gambaran mengenai kehidupan sosial budaya di Kerajaan Serdang pada periode pemerintahan Sultan Thaf Sinar Basyar Shah.[1]

Catatan utusan Kerajaan Inggris

Di masa pemerintahannya, Serdang menjadi aman tenteram dan makmur karena perdagangan yang ramai. Ketika utusan Kerajaan Inggris dari Penang, Johan Anderson, mengunjungi Serdang tahun 1823, ia mencatat:[1]

  1. Perdagangan antara Serdang dengan Pulau Pinang sangat ramai (terutama lada dan hasil hutan).
  2. Sultan Thaf Sinar Basyar Shah (juga bergelar Sultan Besar) memerintah dengan lemah lembut, suka memajukan ilmu pengetahuan dan mempunyai sendiri kapal dagang pribadi.
  3. Industri rakyat dimajukan dan banyak pedagang dari pantai barat Sumatera (orang Alas) yang melintasi pegunungan Bukit Barisan menjual dagangannya ke luar negeri melalui Serdang.
  4. Baginda sangat toleran dan suka bermusyawarah dengan negeri-negeri yang tunduk kepada Serdang, termasuk orang-orang Batak dari Pedalaman.
  5. Cukai di Serdang cukup moderat.

Pepatah Melayu

Semua hal di atas bisa terjadi karena Sultan berpegang teguh pada pepatah adat Melayu. Di antara pepatah dan adat tersebut adalah:[1]

  • secukap menjadi segantang, yang keras dibuat ladang, yang becek dilepaskan itik, air yang dalam diperlihara ikan;
  • genggam bara, biar sampai menjadi arang (sabar menderita mencapai kejayaan);
  • cencaru makan petang, bagai lebah menghimpun madu (meskipun lambat tetapi kerja keras maka pembangunan terlaksana);
  • hati Gajah sama dilapah, hati kuman sama dicecah (melaksanakan kerja pembangunan dengan berhasil baik bersama-sama).

Dalam perkembangannya, karena Sultan Thaf Sinar Basyar Shah ini amat berpegang teguh pada adat Melayu disertai sikap lemah lembut dan sopan, akhirnya banyak rakyat Batak di pedalaman yang masuk Melayu (Islam). Atas dasar jasa-jasanya, maka, ketika Sultan Thaf Sinar Basarshah mangkat pada tahun 1850, para Orang Besar dan rakyat Serdang memberikan penghormatan untuknya dengan gelar Marhom Besar.[1]

Lihat Pula

Referensi

Sumber

Pranala luar