Kerajaan Klungkung

kerajaan di Asia Tenggara

Kerajaan Klungkung adalah suatu kerajaan yang didirikan pada abad ke-17[1] di Pulau Bali bagian tenggara. Kerajaan ini juga menguasai pulau-pulau di lepas pantai Selat Badung yaitu Nusa Ceningan, Nusa Lembongan, dan Nusa Penida. Setelah kemerdekaan Republik Indonesia, Kerajaan Klungkung berstatus sebagai Daerah Tingkat II Klungkung.

Kerajaan Klungkung

1668–1950
Bendera Kerajaan Klungkung
Bendera
Ibu kotaSemarapura
Bahasa yang umum digunakanBali
Agama
Hindu
PemerintahanMonarki
Sejarah 
• Didirikan
1668
1908
• Restorasi Kerajaan
1929
• Bergabung dengan Indonesia
1950
Didahului oleh
Digantikan oleh
Gelgel
Indonesia
Sunting kotak info
Sunting kotak info • Lihat • Bicara
Info templat
Bantuan penggunaan templat ini
Istana Klungkung adalah bangunan peninggalan Kerajaan Klungkung

Berdirinya Kerajaan Klungkung

Kerajaan Klungkung berdiri bersamaan dengan dibangunnya Puri Agung Klungkung di Semarapura pada tahun 1686 dan diakhiri dengan Puputan Klungkung tahun 1908 sebagai Kerajaan terakhir di Bali yang melakukan perlawanan dengan cara puputan dalam mempertahankan eksistensinya sebagai kerajaan yang merdeka terhadap meluasnya praktek politik kolonial Belanda di Nusantara[2].

Sistem sosial

Sebagai sebuah kerajaan secara struktur tampak unsur-unsur yang saling mengait di dalamnya. Hubungan antara kepemimpinan raja, Dewa Agung sebagai penjelmaan Wisnu (gusti) dengan rakyat (kaula) atau bagawanta dengan raja dan rakyatnya sisya. Stratifikasi sosial yang dipengaruhi oleh Hinduisme dengan pembagian yang mirip dengan kasta-kasta di India. Tradisi-tradisi kerajaan seperti: tawan karang, mesatia, penobatan raja, hubungan dengan kerajaan-kerajaan lainnya, kerja sama antara kerajaan-kerajaan Bali dalam menghadapi musuh dari luar, hubungan kerajaan Klungkung dengan pemerintah Hindia Belanda . Tradisi -tradisi Majapahit seperti pusaka-pusaka keraton seperti keris dan tombak, asal usul keturunan raja bersal dari Majapahit.

Masyarakat kerajaan di Klungkung memperlihatkan ciri masyarakat yang bertingkat-tingkat sesuai dengan golongan yang ada. Dalam situasi sosio-kultural seperti inilah kelompok elite yang memimpin tumbuh dan dibesarkan serta berpengaruh di masyarakat. Pengaruh yang sangat kuat tampak jelas dalam peran yang dimainkan oleh elite politik dan religius senantiasa bisa dikembalikan pada golongan brahmana. Raja-raja yang memerintah sampai raja terakhir yaitu Dewa Agung Jambe dengan para kerabatnya yang memegang kekuasaan disatu pihak dan Bagawanta dipihak lain memiliki posisi sentral dalam pemerintahan di Klungkung, Posisi sentral kelompok pemimpin ini diperkuat lagi dengan adanya bentuk-bentuk kepercayaan yang bersifat magis.

Kepercayaan terhadap kekuatan magis dan kitos tentang tokoh pemimpin terutama sangat menonjol sekitar pribadi raja, Dewa Agung, yang dianggap sebagai penjelmaan Wisnu. Benda-benda pusaka seperti keris, tombak dan meriam I Seliksik memegang peranan penting dalam menamhbah kewibawaan raja yang memerintah[3].

Kemunduran Kerajaan

Belanda mulai mengurangi kedaulatan kerajaan Klungkung dan ingin memasukkan ke dalam wilayah Hindia Belanda, seperti pada tanggal 24 Mei 1843 diadakan perjanjian penghapusan tradisi tawan karang kerajaan Klungkung. Perjanjian ini telah menimbulkan rasa tidak senang dikalangan pejabat kerajaan. Ditambah dengan sebab-sebab lainnya seperti perampasan dua buah kapal yang kandas di Bandar Batulahak (Kusamba) .Keterlibatan laskar Klungkung dalam perang antara Buleleng dengan Militer Belanda di Jagaraga Tahun 1848 - 1849 mempertajam permusuhan antara pihak Belanda dengan pihak kerajaan Klungkung. Permusuhan dan rasa tidak puas Dewa Agung Istri Balemas memuncak, dan akhirnya meletus menjadi perang terbuka yaitu perang Kusamba Tahun 1849. Pada perang itulah Jendral Michiels tewas sebagai pimpinan ekspedisi militer Belanda.

Yang menarik dari peristiwa perang Kusamba menurut sumber penulis Belanda ialah munculnya tokoh wanita yaitu Dewa Agung Istri Balemas sebagai seorang sebagai seorang wanita yang sangat benci dan menentang intervensi Belanda dan ia dianggap pemimpin golongan yang senantiasa menggagalkan perjanjian perdamaian dengan pihak Belanda.

Diawal Abad ke - 20 disodorkan lagi perjanjian tentang Tapal Batas antara Kerajaan Gianyar dengan Kerajaan Klungkung, tepatnya pada tanggal 7 Oktober 1902. Setelah penandatanganan perjanjian Tapal Batas timbul perselisihan antara kerajaan Klungkung dengan Gubernemen mengenai Daerah Abeansemal, Vasal Kerajaan Klungkung yang berada di daerah kerajaan Gianyar. Dukungan raja Klungkung terhadap meletusnya perang Puputan di kerajaan Badung Tahun 1906.

Perjanjian tahun 17 Oktober 1906 tentang kedaulatan Gubernemen atas kerajaan Klungkung telah menurunkan status kenegaraan dan politik kerajaan Klungkung sebagai sesuhunan raja-raja Bali. Hal ini memperkuat sikap menentang Dewa Agung dan kalangan pembesar kerajaan yang memuncak pada perlawanan Puputan Klungkung tahun 1908 yang menyebabkan kehancuran kerajaan dengan terbunuhnya raja Dewa Agung beserta banyak pengikutnya.

Daftar Raja dan Ratu Klungkung

  • Dewa Agung Jambe I (1686-1722)
  • Dewa Agung Gede (1722-1736)
  • Dewa Agung Made (1736-1760)
  • Dewa Agung Sakti (1760-1790)
  • Dewa Agung Putra I Kasamba (1790-1809)
  • Dewa Agung Panji
  • Dewa Agung Putra
  • Dewa Agung Putra I
  • Gusti Ayu Karang (1809-1814)
  • Dewa Agung Isteri Kania (1814-1856)
    • Dewa Agung Gede Putra II (1814-1851)
  • Dewa Agung Putra III (1851-1903)
  • Dewa Agung Jambe II (1903-1908)
  • Interregnum (1908-1929)
  • Dewa Agung Oka Geg (1929-1965)
  • Interregnum (1965-1998)
  • Dewa Agung Cokorda Gede Agung (1998-?)
  • Dewa Agung Cokorda Gede Agung Semaraputra (2010-Sekarang)

Catatan Kaki

Pranala Luar