Kariadi

dokter Indonesia
Untuk nama rumah sakit, lihat: Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Kariadi.

dr. Kariadi[1] (15 September 1905 – 14 Oktober 1945) adalah seorang dokter dan pejuang kemanusiaan Indonesia yang dikenal karena dedikasinya dalam menangani wabah malaria dan filariasis. Ia gugur dalam Pertempuran Lima Hari. Namanya kini diabadikan di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Kariadi, Semarang.

Kariadi
LahirKarjadi
(1905-09-15)15 September 1905
Singosari, Malang, Hindia Belanda
Meninggal14 Oktober 1945(1945-10-14) (umur 40)
Semarang, Masa Pendudukan Jepang
MakamTaman Makam Pahlawan Giri Tunggal, Semarang
AlmamaterNederlandsch-Indische Artsen School
PekerjaanDokter

Latar Belakang

sunting

Kariadi lahir di Singosari, Kabupaten Malang pada 15 September 1905. Pendidikannya dimulai di Hollandsch-Inlandsche School (HIS) di Malang dan ditamatkan di HIS Sidoardjo, Surabaya, lulus pada 1920. Pada 1921, ia berhasil memasuki Nederlandsch-Indische Artsen School (NIAS) atau Sekolah Kedokteran untuk Pribumi di Surabaya dan lulus pada 1931. Begitu lulus, dr. Kariadi bekerja sebagai asisten tokoh pergerakan, dr. Soetomo, di Centrale Burgerlijke Ziekeninrichting (CBZ) di Surabaya. Setelah berdinas tiga tahun, dr. Kariadi ditugaskan ke Manokwari, Irian Barat.

Dokter Kariadi menikah dengan drg. Soenarti, lulusan School Tot Opleiding van Indische Tandartsen (STOVIT) di Surabaya. Soenarti lulus sebagai dokter gigi pribumi pertama di Hindia Belanda. Setelah bertugas selama tiga tahun di Manokwari, dr. Kariadi kemudian dipindahkan ke Kroya. Baru dua tahun bertugas di sini, dr. Kariadi ditugaskan lagi ke luar Jawa, yaitu ke Martapura dan selesai bertugas 15 Mei 1942. Setelah itu, tepatnya 1 Juli 1942, dr. Kariadi ditugaskan sebagai Kepala Laboratorium Malaria di RS Pusat Rumah Sakit Rakyat (Purusara) di Semarang.

Perang kemerdekaan terjadi tidak lama setelah proklamasi dikumandangkan, termasuk di Semarang. Para pemuda terus berusaha merebut persenjataan milik tentara Jepang. Pada 13 Oktober 1945 suasana di Semarang sangat mencekam. Tanggal 14 Oktober, Kido Shinichirō menolak penyerahan senjata sama sekali. Para pemuda pun marah dan rakyat mulai bergerak sendiri-sendiri. Aula RS Purusara dijadikan markas perjuangan. Para pemuda rumah sakit pun tidak tinggal diam dan ikut aktif dalam upaya menghadapi Jepang.

Pada hari Minggu, 14 Oktober 1945, pukul 6.30 WIB, pemuda-pemuda rumah sakit mendapat instruksi untuk mencegat dan memeriksa mobil Jepang yang lewat di depan RS Purusara. Mereka menyita sedan milik Kempetai dan merampas senjata mereka. Sore harinya, para pemuda ikut aktif mencari tentara Jepang dan kemudian menjebloskannya ke Penjara Bulu. Sekitar pukul 18.00 WIB, pasukan Jepang bersenjata lengkap melancarkan serangan mendadak sekaligus melucuti delapan anggota polisi istimewa yang waktu itu sedang menjaga sumber air minum bagi warga Kota Semarang Reservoir Siranda di Candilama. Kedelapan anggota Polisi Istimewa itu disiksa dan dibawa ke markas Kidobutai di Jatingaleh. Sore itu tersiar kabar tentara Jepang menebarkan racun ke dalam reservoir itu. Rakyat pun menjadi gelisah.

Selepas Magrib, ada telefon dari pimpinan Rumah Sakit Purusara, yang memberitahukan agar dr. Kariadi segera memeriksa Reservoir Siranda karena berita Jepang menebarkan racun itu. Dokter Kariadi, yang bertugas sebagai Kepala Laboratorium Rumah Sakit Purusara pun dengan cepat memutuskan harus segera pergi ke sana. Suasana sangat berbahaya karena tentara Jepang telah melakukan serangan di beberapa tempat termasuk di jalan menuju ke Reservoir Siranda. Isteri dr. Kariadi, drg. Soenarti mencoba mencegah suaminya pergi mengingat keadaan yang sangat genting itu. Namun dr. Kariadi berpendapat lain, ia harus menyelidiki kebenaran desas-desus itu karena menyangkut nyawa ribuan warga Semarang. Akhirnya drg. Soenarti tidak bisa berbuat apa-apa.

Tengah malam telefon berdering di rumah dr. Kariadi. Soenarti mengangkat telefon itu, ternyata dari Rumah Sakit Purusara: dr. Kariadi ditembak tentara Jepang dan tidak tertolong lagi nyawanya. Soenarti pun menangis. Hingga keesokan harinya, keluarga dr. Kariadi kebingungan karena tidak bisa datang ke rumah sakit, di mana jasad dr. Kariadi terbaring penuh luka karena suara tembakan terus terdengar di luar rumah.

Ternyata dalam perjalanan menuju Reservoir Siranda itu, mobil yang ditumpangi dr. Kariadi dicegat tentara Jepang di Jalan Pandanaran. Bersama tentara pelajar yang menyopiri mobil yang ditumpanginya, dr. Kariadi ditembak secara keji. Ia sempat dibawa ke rumah sakit sekitar pukul 23.30 WIB. Ketika tiba di kamar bedah, keadaan dr. Kariadi sudah sangat gawat. Nyawa dokter muda itu tidak dapat diselamatkan. Ia gugur dalam usia 40 tahun satu bulan.

Sekitar pukul 3.oo WIB, 15 Oktober 1945, Mayor Kido memerintahkan sekitar 1.000 tentaranya untuk melakukan penyerangan ke pusat Kota Semarang. Sementara itu, berita gugurnya dr. Kariadi yang dengan cepat tersebar, menyulut kemarahan warga Semarang. Hari berikutnya, pertempuran meluas ke berbagai penjuru kota. Korban berjatuhan di mana-mana. Pada 17 Oktober 1945, tentara Jepang minta gencatan senjata, namun diam-diam mereka melakukan serangan ke berbagai kampung.

Sementara itu, karena kesibukan yang luar biasa dan situasi yang sangat gawat, jenazah dr. Kariadi belum dapat dimakamkan. Barulah pada 17 Oktober 1945, jenazah dimakamkan di halaman rumah sakit. Pemakaman berlangsung khidmat dengan naungan bendera Merah Putih meskipun sering terganggu dengan tembakan musuh. Anak-anak dr. Kariadi hadir di pemakaman, sedangkan istrinya merasa tidak mampu menyaksikan.

Pada 19 Oktober 1945, pertempuran terus terjadi di berbagai penjuru Kota Semarang. Pertempuran ini berlangsung lima hari dan memakan korban 2.000 orang Indonesia dan 850 orang Jepang. Di antara yang gugur, termasuk dr. Kariadi dan delapan karyawan RS Purusara.

Pada 5 November 1961, kerangka dr. Kariadi dipindahkan dari halaman RS Purusara ke Taman Makam Pahlawan Giri Tunggal Semarang. Menurut putrinya, Prof. Dr. Sri Hartini K.S. Kariadi, dr., Sp.PD-KEMD, ketika kerangka ayahandanya dipindahkan itu, ia sempat ikut memeriksa tulang-belulang ayahandanya. Sebagai mahasiswa kedokteran (waktu itu) ia melihat di tengkorak terdapat retakan membentuk celah, yang menunjukkan bekas pukulan benda tajam (mungkin dipukul dengan sangkur, sebelum ditembak).

Sebagai penghargaan atas jasa-jasa dr. Kariadi, pada 1964, RSUP Purusara (yang sejak 1949 menjadi RSUP Semarang), diganti namanya menjadi "Rumah Sakit Dokter Kariadi", dan pada Hari Kebangkitan Nasional 20 Mei 1968, dr. Kariadi dianugerahi Satyalencana Kebaktian Sosial oleh Presiden Soeharto, secara Anumerta. Sebenarnya dr. Kariadi juga telah menghasilkan karya besar di bidang pemberantasan penyakit malaria melalui dan menemukan minyak "Oleum Pro-microscopieKar" yang sangat penting dalam menangani penyakit malaria dan filariasis yang berjangkit di berbagai daerah di Indonesia.

Referensi

sunting
  1. ^ "Sejarah dr. Kariadi". 11 Agustus 2012. Diakses tanggal 12 Agustus 2012.