Pengurutan DNA adalah proses atau teknik penentuan urutan basa nukleotida pada suatu molekul DNA. Urutan tersebut dikenal sebagai sekuens DNA, yang merupakan informasi paling mendasar suatu gen atau genom karena mengandung instruksi yang dibutuhkan untuk pembentukan tubuh makhluk hidup.[1] Sekuensing DNA dapat dimanfaatkan untuk menentukan identitas maupun fungsi gen atau fragmen DNA lainnya dengan cara membandingkan sekuens-nya dengan sekuens DNA lain yang sudah diketahui.[2] Teknik ini digunakan dalam riset dasar biologi maupun berbagai bidang terapan seperti kedokteran,[3] bioteknologi, forensik,[4] dan antropologi.[5]

Teknik sekuensing DNA mulai dikembangkan pada tahun 1970-an dan telah menjadi hal rutin dalam penelitian biologi molekular pada dekade berikutnya berkat dua metode yang dikembangkan secara independen namun hampir bersamaan oleh tim Walter Gilbert di Amerika Serikat dan tim Frederick Sanger di Inggris sehingga kedua ilmuwan tersebut mendapatkan Penghargaan Nobel Kimia pada tahun 1980.[6][7] Selanjutnya, metode Sanger menjadi lebih umum digunakan dan berhasil diautomatisasi pada pertengahan 1980-an. Sejak tahun 1995, berbagai proyek genom yang bertujuan menentukan sekuens keseluruhan DNA pada banyak organisme telah diselesaikan, termasuk Proyek Genom Manusia. Sekuensing DNA seluruh genom semakin terjangkau dan cepat dilakukan berkat pengembangan sejumlah teknik sekuensing generasi berikutnya mulai tahun 2000-an.

Aplikasi

sunting

Sekuens DNA menyandikan informasi yang diperlukan bagi makhluk hidup untuk melangsungkan hidup dan berkembang biak. Dengan demikian, penentuan sekuens DNA berguna di dalam ilmu pengetahuan 'murni' mengenai mengapa dan bagaimana makhluk hidup dapat hidup, selain berguna dalam penerapan praktis. Karena DNA merupakan ciri kunci makhluk hidup, pengetahuan akan sekuens DNA dapat berguna dalam penelitian biologi manapun. Sebagai contoh, dalam ilmu pengobatan sekuensing DNA dapat digunakan untuk mengidentifikasi, mendiagnosis, dan mengembangkan pengobatan penyakit genetik. Demikian pula halnya, penelitian pada agen penyebab penyakit (patogen) dapat membuka jalan bagi pengobatan penyakit menular. Bioteknologi, yang dapat pula memanfaatkan sekuensing DNA, merupakan bidang yang berkembang pesat dan berpotensi menghasilkan banyak barang dan jasa berguna. Pengetahuan akan sekuens DNA berguna untuk mengetahui sekuens asam amino yang disandikan oleh gen.[8]

Karena RNA dibentuk dengan transkripsi dari DNA, informasi yang dikandung RNA juga terdapat di dalam DNA cetakannya sehingga sekuensing DNA cetakan tersebut sudah cukup untuk membaca informasi pada RNA. Namun, sekuensing RNA dibutuhkan khususnya pada eukariota, karena molekul RNA eukariota tidak selalu sebanding dengan DNA cetakannya karena pemotongan intron setelah proses transkripsi.

Sejarah

sunting

Pada mulanya, sekuensing DNA dilakukan dengan mentranskripsikannya ke dalam bentuk RNA terlebih dahulu karena metode sekuensing RNA telah ditemukan sebelumnya. Pada 1965, Robert Holley dan timnya dari Cornell University di New York, Amerika Serikat, mempublikasikan sekuens tRNA alanin dari khamir yang terdiri atas 77 nukleotida.[9] Sekuensing tRNA tersebut membutuhkan waktu 7 tahun dan hasilnya merupakan sekuens molekul asam nukleat yang pertama kali dipublikasikan.[10] Sekuens DNA yang pertama kali dipublikasikan adalah DNA sepanjang 12 nukleotida dari suatu virus, yaitu bakteriofag lambda, pada 1971, yang ditentukan dengan cara serupa oleh Ray Wu dan Ellen Taylor, keduanya juga dari Cornell University.[11][12]

Pada 1975, Frederick Sanger dan Alan Coulson dari laboratorium biologi molekular Medical Research Council Inggris di Cambridge mempublikasikan metode sekuensing DNA secara langsung yang disebut teknik plus–minus.[13] Dengan teknik tersebut, tim mereka berhasil melakukan sekuensing DNA sebagian besar genom bakteriofag ΦX174 sepanjang 5.375 nukleotida yang dipublikasikan pada Februari 1977.[14] Pada bulan yang sama, metode sekuensing DNA yang dicetuskan Allan Maxam dan Walter Gilbert dari Harvard University di Cambridge, Massachusetts, Amerika Serikat, dipublikasikan.[15]

Sejak pertengahan 1980-an, metode Sanger menjadi lebih umum digunakan.[16] Pada 1986, tim Leroy Hood di California Institute of Technology dan Applied Biosystems berhasil membuat mesin sekuensing DNA automatis berdasarkan metode Sanger.[17][18]

Metode

sunting

Metode Maxam-Gilbert

sunting

Metode ini mulanya cukup populer karena dapat langsung menggunakan DNA hasil pemurnian, sedangkan metode Sanger pada waktu itu memerlukan kloning untuk membentuk DNA untai tunggal. Seiring dengan dikembangkannya metode terminasi rantai, metode sekuensing Maxam-Gilbert menjadi tidak populer karena kerumitan teknisnya, digunakannya bahan kimia berbahaya, dan kesulitan dalam scale-up.

Metode Sanger

sunting
 
Gel sekuensing metode Sanger yang telah dilabel radioaktif.

Dewasa ini, hampir semua usaha sekuensing DNA dilakukan dengan menggunakan metode terminasi rantai yang dikembangkan oleh Frederick Sanger dan rekan-rekannya [1][pranala nonaktif permanen]. Teknik tersebut melibatkan terminasi atau penghentian reaksi sintesis DNA in vitro yang spesifik untuk sekuens tertentu menggunakan substrat nukleotida yang telah dimodifikasi.

Pada metode terminasi rantai (metode Sanger), perpanjangan atau ekstensi rantai DNA dimulai pada situs spesifik pada DNA cetakan dengan menggunakan oligonukleotida pendek yang disebut primer yang komplementer terhadap DNA pada daerah situs tersebut. Primer tersebut diperpanjang menggunakan DNA polimerase, enzim yang mereplikasi DNA. Bersama dengan primer dan DNA polimerase, diikutsertakan pula empat jenis basa deoksinukleotida (satuan pembentuk DNA), juga nukleotida pemutus atau penghenti rantai (terminator rantai) dalam konsentrasi rendah (biasanya di-deoksinukleotida). Penggabungan nukleotida pemutus rantai tersebut secara terbatas kepada rantai DNA oleh polimerase DNA menghasilkan fragmen-fragmen DNA yang berhenti bertumbuh hanya pada posisi pada DNA tempat nukleotida tertentu tersebut tergabungkan. Fragmen-fragmen DNA tersebut lalu dipisahkan menurut ukurannya dengan elektroforesis gel poliakrilamida, atau sekarang semakin lazim dengan elektroforesis menggunakan tabung gelas berjari-jari kecil (pipa kapiler) yang diisi dengan polimer kental.

Seiring dengan perkembangannya, kini terdapat beberapa macam metode sekuensing terminasi rantai yang berbeda satu sama lain terutama dalam hal pendeteksian fragmen DNA hasil reaksi sekuensing.

Metode Sanger asli

sunting

Pada metode yang asli, urutan nukleotida DNA tertentu dapat disimpulkan dengan membuat secara paralel empat reaksi perpanjangan rantai menggunakan salah satu dari empat jenis basa pemutus rantai pada masing-masing reaksi. Fragmen-fragmen DNA yang kemudian terbentuk dideteksi dengan menandai (labelling) primer yang digunakan dengan fosfor radioaktif sebelum reaksi sekuensing dilangsungkan. Keempat hasil reaksi tersebut kemudian dielektroforesis pada empat lajur yang saling bersebelahan pada gel poliakrilamida.
Hasil pengembangan metode ini menggunakan empat macam primer yang ditandai dengan pewarna berpendar (fluorescent dye). Hal ini memiliki kelebihan karena tidak menggunakan bahan radioaktif; selain menambah keamanan dan kecepatan, keempat hasil reaksi dapat dicampur dan dielektroforesis pada satu lajur pada gel. Metode ini dikenal sebagai metode dye primer sequencing.

Sekuensing dye terminator

sunting
 
Contoh hasil bacaan suatu sekuensing metode dye terminator.

Cara lain pelabelan primer adalah dengan melabel pemutus rantainya, lazim disebut metode sekuensing dye terminator. Keunggulan cara ini adalah bahwa seluruh proses sekuensing dapat dilakukan dalam satu reaksi, dibandingkan dengan empat reaksi terpisah yang diperlukan pada penggunaan primer berlabel. Pada cara tersebut, masing-masing dideoksinukleotida pemutus rantai ditandai dengan pewarna fluoresens, yang berpendar pada panjang gelombang yang berbeda-beda. Cara ini lebih mudah dan lebih cepat dibandingkan penggunaan primer berwarna, namun dapat menimbulkan ketidaksamaan tinggi kurva atau puncak (peak) yang disebabkan oleh ketidaksamaan penggabungan pemutus rantai berwarna berukuran besar pada pertumbuhan DNA (ketidaksamaan tersebut bergantung pada DNA cetakan). Masalah tersebut telah dapat dikurangi secara nyata dengan penggunaan macam-macam enzim dan pewarna baru yang meminimalkan perbedaan dalam penggabungan.
Metode ini kini digunakan pada sebagian besar usaha reaksi sekuensing karena lebih sederhana dan lebih murah. Primer-primer yang digunakan tidak perlu dilabel secara terpisah (yang bisa jadi cukup mahal untuk primer yang dibuat untuk sekali pakai), walaupun hal tersebut tidak terlalu bermasalah dalam penggunaan universal primer.

Automatisasi dan penyiapan sampel

sunting

Mesin sekuensing DNA automatis modern mampu mengurutkan 384 sampel berlabel fluoresens sekaligus dalam sekali batch (elektroforesis) yang dapat dilakukan sampai 24 kali sehari. Hal tersebut hanya mencakup proses pemisahan dan proses pembacaan kurva; reaksi sekuensing, pembersihan, dan pelarutan ulang dalam larutan penyangga yang sesuai harus dilakukan secara terpisah.

Untuk memperoleh hasil reaksi berlabel yang dapat dideteksi dari DNA cetakan, metode "sekuensing daur" (cycle sequencing) paling lazim dilakukan. Dalam metode ini dilakukan berturut-turut penempelan primer (primer annealing), ekstensi oleh polimerase DNA, dan denaturasi (peleburan atau melting) untai-untai DNA cetakan secara berulang-ulang (25–40 putaran). Kelebihan utama sekuensing daur adalah lebih efisiennya penggunaan pereaksi sekuensing yang mahal (BigDye) dan mampunya mengurutkan templat dengan struktur sekunder tertentu seperti hairpin loop atau daerah kaya-GC. Setiap tahap pada sekuensing daur ditempuh dengan mengubah temperatur reaksi menggunakan mesin pendaur panas (thermal cycler) PCR. Cara tersebut didasarkan pada fakta bahwa dua untai DNA yang komplementer akan saling menempel (berhibridisasi) pada temperatur rendah dan berpisah (terdenaturasi) pada temperatur tinggi. Hal penting lain yang memungkinkan cara tersebut adalah penggunaan enzim DNA polimerase dari organisme termofilik (organisme yang hidup di lingkungan bertemperatur tinggi), yang tidak mudah terurai pada temperatur tinggi yang digunakan pada cara tersebut (>95 °C).

Sekuensing generasi berikutnya

sunting

Pyrosequencing

sunting

Pyrosequencing adalah teknik pemetaan DNA yang berdasarkan deteksi terhadap pirofosfat (PPi) yang dilepaskan selama sintesis DNA.[19] Teknik ini memanfaatkan reaksi enzimatik yang dikatalisis oleh ATP sulfurilase dan luciferase untuk pirofosfat inorganik yang dilepaskan selama penambahan nukleotida.[19]

Illumina(Solexa)

sunting

Metode sekuensing ini ditemukan oleh perusahaan Illumina. Sekuensing Illumina menggunakan primer yang akan berkomplemen dengan adaptor yang telah disediakan oleh perusahaan pada sebuah plat. Proses sekuensing ini menggunakan teknik bridge PCR, yaitu terbentuknya jembatan pada saat elongasi. Nukleotida penghenti akan diberikan dan pendaranan fluoresens akan direkam oleh kamera.[20]

Sekuensing DNA skala besar

sunting

Metode sekuensing DNA yang kini ada hanya dapat merunut sepotong pendek DNA sekaligus. Contohnya, mesin sekuensing modern yang menggunakan metode Sanger hanya dapat mencakup paling banyak sekitar 1000 pasang basa setiap sekuensing [2]. Keterbatasan ini disebabkan oleh probabilitas terminasi rantai yang menurun secara geometris seiring dengan bertambahnya panjang rantai, selain keterbatasan fisik ukuran dan resolusi gel.

Sekuens DNA dengan ukuran jauh lebih besar kerap kali dibutuhkan. Sebagai contoh, genom bakteri sederhana dapat mengandung jutaan pasang basa, sedangkan genom manusia terdiri atas lebih dari 3 miliar pasang basa. Berbagai strategi telah dikembangkan untuk sekuensing DNA skala besar, termasuk strategi primer walking dan shotgun sequencing. Kedua strategi tersebut melibatkan pembacaan banyak bagian DNA dengan metode Sanger dan selanjutnya menyusun hasil pembacaan tersebut menjadi sekuens yang runut. Masing-masing strategi memiliki kelemahan sendiri dalam hal kecepatan dan ketepatan; sebagai contoh, metode shotgun sequencing merupakan metode yang paling praktis untuk sekuensing genom ukuran besar, namun proses penyusunannya rumit dan rentan kesalahan.

Data sekuens bermutu tinggi lebih mudah didapatkan bila DNA bersangkutan dimurnikan dari pencemar yang mungkin terdapat pada sampel dan diamplifikasi. Hal ini dapat dilakukan dengan metode reaksi berantai polimerase bila primer yang dibutuhkan untuk mencakup seluruh daerah yang diinginkan cukup praktis dibuat. Cara lainnya adalah dengan kloning DNA sampel menggunakan vektor bakteri, yaitu memanfaatkan bakteri untuk "menumbuhkan" salinan DNA yang diinginkan sebanyak beberapa ribu pasang basa sekaligus. Biasanya proyek-proyek sekuensing DNA skala besar memiliki persediaan pustaka hasil kloning semacam itu.

Lihat pula

sunting

Referensi

sunting
  1. ^ (Inggris) Rogers, K., ed. (2011), New Thinking about Genetics, New York: Britannica Educational Publishing, hlm. 132  (lihat di Penelusuran Buku Google)
  2. ^ (Inggris) Glick, B.R., Pasternak, J.J., Patten, C.L. (2010). Molecular Biotechnology: Principles and Applications of Recombinant DNA (edisi ke-4). Washington, DC: ASM Press. hlm. 117–118.  (lihat di Penelusuran Buku Google)
  3. ^ (Inggris) Sweet, K.M., Michaelis, R.C. (2011). The Busy Physician's Guide to Genetics, Genomics and Personalized Medicine. Dordrecht: Springer. hlm. 76.  (lihat di Penelusuran Buku Google)
  4. ^ (Inggris) Bieber, F.R. (2004), "Science and Technology of Forensic DNA Profiling: Current Use and Future Directions", dalam Lazer, D. (Penyunting), DNA and the Criminal Justice System: the Technology of Justice, Cambridge, MA: MIT Press, hlm. 30  (lihat di Penelusuran Buku Google)
  5. ^ (Inggris) Scheffler, I.E. (2008), "Mitochondrial DNA Sequencing and Anthropology", Mitochondria (edisi ke-2), Hoboken, NJ: John Wiley & Sons  (lihat di Penelusuran Buku Google)
  6. ^ (Inggris) Sambrook, J., Russel, D.W. (2001). Molecular Cloning: A Laboratory Manual. Volume ke-2 (edisi ke-3). Cold Spring Harbor: Cold Spring Harbor Laboratory Press. hlm. 12.3.  (lihat di Penelusuran Buku Google)
  7. ^ Glick et al. (2010) hlm. 110
  8. ^ (Inggris) Allison, L.A. (2007). Fundamental Molecular Biology. Malden, MA: Blackwell Publishing. hlm. 223.  (lihat di Penelusuran Buku Google)
  9. ^ Holley, R.W.; Apgar, J.; Everett, G.A.; Madison, J.T.; Marquisee, M.; Merrill, S.H.; Penswick, J.R.; Zamir, A. (19 Maret 1965). "Structure Of A Ribonucleic Acid". Science. 147 (3664): 1462–1465. doi:10.1126/science.147.3664.1462. 
  10. ^ (Inggris) Goujon, P. (2001). From Biotechnology to Genomes: The Meaning of the Double Helix. Singapore: World Scientific Publishing. hlm. 140.  (lihat di Penelusuran Buku Google)
  11. ^ Wu, R.; Taylor, E. (14 Mei 1971). "Nucleotide sequence analysis of DNA: II. Complete nucleotide sequence of the cohesive ends of bacteriophage λ DNA". Journal of Molecular Biology. 57 (3): 491–511. doi:10.1016/0022-2836(71)90105-7. 
  12. ^ (Inggris) Reece, R.J. (2004). Analysis of Genes and Genomes. Chichester: John Wiley & Sons. hlm. 295–296.  (lihat di Penelusuran Buku Google)
  13. ^ Sanger, F.; Coulson, A.R. (1975), "A rapid method for determining sequences in DNA by primed synthesis with DNA polymerase", Journal of Molecular Biology, 94 (3): 441–448, doi:10.1016/0022-2836(75)90213-2 
  14. ^ Sanger, F.; Air, G.M.; Barrell, B.G.; Brown, N.L.; Coulson, A.R.; Fiddes, C.A.; Hutchinson, C.A.; Slocombe, P.M.; Smith, M. (1977), "Nucleotide sequence of bacteriophage φX174 DNA", Nature, 265 (5596): 687–695, doi:10.1038/265687a0 
  15. ^ Maxam, A.M.; Gilbert, W. (1977), "A new method for sequencing DNA", Proceedings of the National Academy of Sciences of the United States of America, 74 (2), hlm. 560–564, doi:10.1073/pnas.74.2.560 
  16. ^ (Inggris) Fitzgerald-Hayes, M., Reichsman, F. (2010). DNA and Biotechnology. Burlington, MA: Academic Press. hlm. 137.  (lihat di Penelusuran Buku Google)
  17. ^ Allison (2007) hlm. 226
  18. ^ (Inggris) Davies, K. (2002). Cracking the Genome: Inside the Race to Unlock Human DNA. Baltimore, MD: The Johns Hopkins University Press. hlm. 144.  (lihat di Penelusuran Buku Google)
  19. ^ a b (Inggris) Poirel L, Naas T, Nordmann P. 2006. Pyrosequencing as a Rapid Tool for Identification of GES-Type Extended-Spectrum Lactamases. J Clin Microbiol 44(8):3008-11.
  20. ^ (Inggris) Nejad AM, Narimani Z, Hosseinkhan N. 2013. Next Generation Sequencing and Sequence Assembly. New York: Springer

Pranala luar

sunting