Ekonomi Indonesia

perekonomian di Indonesia
Revisi sejak 15 November 2021 18.38 oleh Agus Damanik (bicara | kontrib) (→‎Orde Baru (1966-1998): menambah data pertumbuhan ekonomi)

Ekonomi Indonesia merupakan salah satu kekuatan ekonomi berkembang utama dunia yang terbesar di Asia Tenggara dan terbesar di Asia keenam setelah Tiongkok, Jepang, India, Rusia dan Korea Selatan. Ekonomi negara ini menempatkan Indonesia sebagai kekuatan ekonomi terbesar ke-16 dunia yang artinya Indonesia juga merupakan anggota G-20.

Ekonomi Indonesia
Jakarta, Ibukota Ekonomi dan Politik Indonesia.
Peringkat16 (PDB Nominal) / 7 (Paritas Daya Beli / PPP)
Mata uangRupiah (IDR)
Tahun fiskalTahun kalender
Organisasi perdaganganAPEC, ASEAN, D-8, G-20, IORA, MIKTA, OPEC, RCEP, WTO
Statistik
PDB
  • Penurunan US$ 1,09 triliun (nominal, est. 2020)[1]
  • Penurunan US$ 3,33 triliun (PPP, est. 2020)[1]
Pertumbuhan PDBPenurunan -2,07% (2020) [2]
PDB per kapita
Penurunan US$ 4,038 (Nominal, est. 2020)[1]

Penurunan US$ 12,345 (PPP, est. 2020)[1]

PDB per sektorPertanian: 13,7%, Industri: 40,3%, Jasa: 46% (perkiraan 2016)[3]
Inflasi (IHK) 1,33% (2021)[4]
Penduduk
di bawah garis kemiskinan
9.78% (2020)[5]
Koefisien gini 0,38 (September 2019)[6]
Angkatan kerjaKenaikan 137,91 Juta (2019)[7]
Angkatan kerja
berdasarkan sektor
Pertanian: 38,3%, Industri: 12,8%, Layanan: 48,9% (2010 est.)
Pengangguran 6,26% (Juli 2020)[8]
Industri utamaMinyak dan gas alam, tekstil, pakaian, sepatu, pertambangan, semen, pupuk kimia, kayu lapis, karet, makanan, pariwisata
Peringkat kemudahan melakukan bisnisKenaikan 73 (2019) [9]
Eksternal
EksporKenaikan US$ 183,5 miliar (2019)[10]
Komoditas eksporminyak dan gas, alat listrik, kayu lapis, tekstil, karet
Tujuan ekspor utama(2019)[11]
ImporKenaikan US$ 156,4 miliar (2019) [12]
Komoditas impormesin dan peralatan, bahan kimia, bahan bakar, bahan makanan
Negara asal impor utama(2019)[13]
Modal investasi langsung asingUS$ 292.8 miliar [14]
Utang kotor luar negeri US$ 413,4 miliar / Rp 5.858,29 triliun (Oktober 2020)[15]
Pembiayaan publik
Utang publik38,5% dari PDB ( 2020)[16]
Defisit anggaran US$ 16,8 miliar (1,8% PDB)[17]
PendapatanUS$ 131,7 miliar (2017)[18]
BebanUS$ 159,6 miliar (2017)[19]
Peringkat utangStandard & Poor's:[20]
BBB- (Domestic)
BBB- (Foreign)
BBB- (T&C Assessment)
Outlook: Stable
Moody's:[21]
Baa3
Outlook: Stable
Fitch:[21]
BBB-
Outlook: Positive
Cadangan mata uang asingKenaikan US$ 146,9 miliar (September 2021)[22]
Sumber data utama: CIA World Fact Book

Kebijakan Saat Orba

Setelah mengalami gejolak politik dan sosial yang hebat pada pertengahan 1960-an di bawah Presiden Soekarno, Indonesia yang dipimpin oleh Presiden Soeharto segera melakukan restrukturisasi tata kelola fiskal yang tercerai berai akibat berbagai kebijakan ekonomi yang memberatkan perimbangan neraca APBN yang ada dengan berbagai cara, dari mengadakan renegosiasi terkait pembayaran utang jatuh tempo hingga meminta IMF untuk mengasistensi pengelolaan fiskal Indonesia yang masih rapuh. Selama 2 dekade Indonesia membangkitan kembali ekonomi, ekonomi Indonesia yang ditopang dari kegiatan industri dan perdagangan berbasis ekspor menggerakkan ekonomi Indonesia masuk sebagai salah satu The East Asia Miracle pada tahun 1990-an, di mana Indonesia mampu menciptakan stabilitas politik, sosial dan pertahanan-keamanan yang menjadi fondasi ekonomi yang kuat untuk menghasilkan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dengan ditopang dari sektor industri manufaktur berbasis ekspor dan industri pengolahan sumber daya alam. Alhasil, ekonomi Indonesia menjadi salah satu ekonomi yang terindustrialisasi seperti Jepang, Korea Selatan dan Thailand. Meski Indonesia berhasil mencapai stabilitas polsoshankam dan industri manufaktur dan pengolahan mampu menggerakkan pertumbuhan ekonomi Indonesia, ternyata keberadaan infrastruktur transportasi seperti jalan tol, pelabuhan, kereta api dan bandara yang ada di Indonesia tidak mampu mengejar pertumbuhan kebutuhan pasar yang ada dan perlahan, hal ini mengakibatkan munculnya kesenjangan ekonomi di antara Pulau Jawa dan Pulau di luar Jawa akibat minimnya pembangunan infrastruktur transportasi di luar pulau Jawa, mengakibatkan terjadi maraknya urbanisasi massal warga luar Pulau Jawa yang menuju Pulau Jawa memunculkan kesimpulan bahwa pembangunan dan pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya diperuntukkan untuk Pulau Jawa sendiri. Tidak hanya itu saja, pengelolaan fiskal APBN yang mulai menunjukkan perimbangan neraca yang tidak sehat dan penegakan regulasi dan pengawasan kegiatan sektor finansial yang lemah karena minimnya kecakapan instansi untuk mengatur kegiatan sektor jasa keuangan mengakibatkan terjadinya pertumbuhan pinjaman tidak bergerak (non-performing loan) yang tidak terkendali, hal ini tidak lepas juga dari peran regulator finansial yang gagal untuk menegakkan peraturan untuk memberikan pertanggungjawaban sosial perusahaan berupa edukasi keuangan kepada rakyat.

Hal tersebut mencapai titik klimaksnya ketika Krisis moneter 1998 merebak ke berbagai negara di Asia, ketika jaring pengaman sistem keuangan gagal menahan epidemi krisis moneter tersebut masuk ke Indonesia, maka merebaklah krisis tersebut kesemua sektor perekonomian dan menjangkiti industri keuangan Indonesia yang akhirnya menjadi awal kejatuhan ekonomi dan segala pencapaian yang Indonesia raih yang diawali dengan terjadinya pemutusan hubungan kerja massal yang berakhir dengan berbagai kerusuhan yang menuntut mundurnya Soeharto sebagai Presiden Indonesia, membuat Indonesia mau tidak mau harus meminta IMF untuk mengajukan pinjaman untuk melakukan normalisasi ekonomi Indonesia yang sudah sakit akibat harus menanggung biaya yang sangat berat akibat kegagalan jaringan sistem pengamanan keuangan Indonesia saat itu untuk mendeteksi adanya kejatuhan sistem keuangan secara sistemik dan mengantisipasi terjadinya peningkatan beban yang luar biasa, hal ini tidak lepas dari ketidakmampuan rezim Soeharto yang tidak mampu menciptakan ekonomi yang berpondasi kuat untuk mengantisipasi dan menghadapi bahaya ekonomi, ditambah lagi dengan kurang cakapnya pejabat dan sistem yang terkait untuk mengantisipasi adanya krisis moneter tersebut.

Data

Tabel berikut menunjukkan indikator ekonomi utama tahun 1980–2020. Inflasi di bawah 5% berwarna hijau.[23]

Year GDP
(dalam bil. US$ PPP)[24]
GDP per capita
(dalam US$ PPP)[25]
Berbagi dunia
(Dalam GDP PPP %)
pertumbuhan GDP
(nyata)[26]
GDP per capita
pertumbuhan (nyata)[27]
Tingkat inflasi
(dalam %)[28]
Hutang pemerintah
(dalam % dari PDB)[29]
1980  189.9  1,287  1.42%  9.88% N/A 18.0% N/A
1981  223.6  1,487  1.50%  7.60% N/A 12.2% N/A
1982  242.8  1,583  1.53%  2.24% N/A 9.48% N/A
1983  262.9  1,681  1.56%  4.19% N/A 11.7% N/A
1984  293.0  1,837  1.61%  7.57% N/A 10.4% N/A
1985  314.1  1,931  1.62%  3.91% N/A 4.7% N/A
1986  343.5  2,070  1.67%  7.18% N/A 5.8% N/A
1987  375.1  2,217  1.71%  6.57% N/A 9.2% N/A
1988  415.4  2,408  1.75%  6.97% N/A 8.0% N/A
1989  470.9  2,677  1.85%  9.08% N/A 6.4% N/A
1990  559.1  3,082  1.90%  7.24%  5.34% 9.0% 45.7%
1991  617.9  3,347  2.00%  6.91%  5.07% 8.7% 40.3%
1992  673.1  3,585  2.08%  6.49%  4.71% 7.2% 42.7%
1993  733.8  3,845  2.17%  6.49%  4.76% 19.1% 37.4%
1994  806.0  4,156  2.26%  7.54%  5.84% 7.8% 36.5%
1995  890.5  4,522  2.37%  8.22%  6.56% 9.8% 30.8%
1996  977.8  4,891  2.46%  7.81%  6.21% 8.6% 23.9%
1997  1,041.0  5,134  2.47%  4.70%  3.19% 12.6% 72.5%
1998  914.8  4,447  2.17%  -13.12%  -14.35% 75.3% 55.2%
1999  935.4  4,484  2.05%  0.79%  -0.61% 14.2% 45.2%
2000  1,003.0  4,743  2.04%  4.92%  3.48% 20.4% 87.4%
2001  1,063.0  4,956  2.07%  3.64%  2.23% 14.3% 73.7%
2002  1,128.0  5,190  2.09%  4.49%  3.09% 5.9% 62.3%
2003  1,204.0  5,465  2.12%  4.78%  3.37% 5.4% 55.6%
2004  1,299.0  5,816  2.11%  5.03%  3.63% 8.5% 51.3%
2005  1,415.0  6,254  2.13%  5.69%  4.29% 14.3% 42.6%
2006  1,538.0  6,708  2.12%  5.50%  4.10% 14.0% 35.8%
2007  1,680.0  7,229  2.14%  6.34%  4.94% 11.2% 32.3%
2008  1,816.0  7,710  2.18%  6.01%  4.62% 18.1% 30.3%
2009  1,914.0  8,021  2.28%  4.62%  3.24% 8.2% 26.4%
2010  2,056.9  8,655  2.29%  6.22%  4.81% 5.1% 24.5%
2011  2,229.5  9,213  2.34%  6.17%  4.74% 5.3% 23.1%
2012  2,413.4  9,833  2.41%  6.03%  4.60% 3.9% 22.9%
2013  2,535.0  10,188  2.41%  5.55%  4.15% 6.4% 24.8%
2014  2,622.2  10,398  2.40%  5.00%  3.63% 6.3% 24.7%
2015  2,647.7  10,359  2.38%  4.87%  3.55% 6.3% 26.9%
2016  2,744.9  10,618  2.38%  5.03%  3.76% 3.5% 27.9%
2017  2,894.1  11,073  2.38%  5.07%  3.84% 3.8% 28.7%
2018  3,116.8  11,798  2.42%  5.17%  3.98% 3.2% 29.8%
2019  3,331.8  12,483  2.47%  5.02%  3.87% 2.8% 30.1%
2020  3,328.2  12,345  2.55%  -2.07% N/A 2.0% 38.5%

Sejarah Ekonomi Indonesia

Orde lama

Pada periode 1960-1965, Indonesia mengalami kemunduran ekonomi dengan penurunan pendapatan per kapita menjadi rata-rata 0,1 % serta pertumbuhan ekonomi dan populasi hanya 2 persen dan 2,1 persen per tahun secara berturut-turut.[30] Kondisi ini juga diikuti dengan hiperinflasi dari 250 persen menjadi 650%.[31]

Orde Baru (1966-1998)

Seiring dengan munculnya berbagai demonstrasi di kalangan masyarakat untuk menuntut Presiden Soekarno untuk mundur dari jabatan yang dipegangnya selama lebih dari 20 tahun akibat gejolak politik dan ekonomi yang berujung pada kemiskinan masyarakat menjadi peringatan keras bagi Soekarno untuk mundur dari tampuk kepemimpinan sebagai Presiden. Soekarno yang terdesak akibat berbagai demonstrasi tersebut, memutuskan untuk memulai transisi kepemimpinan pemerintahan dengan menunjuk Soeharto melalui Surat Perintah Sebelas Maret sebagai landasan hukum untuk mengizinkan Soeharto sebagai penjabat Presiden untuk segera menyusun transisi ekonomi Indonesia yang sudah terseok-seok akibat berbagi kebijakan politik yang hedonistik. Utang luar negeri menggunung, defisit melebar tidak terkendali dan inflasi mencapai ratusan persen serta kemiskinan di mana-mana hingga keamanan yang tidak kondusif menjadi permasalahan utama yang harus diselesaikan oleh Soeharto yang baru saja menjabat sebagai Presiden. Dalam bidang ekonomi, Presiden Soeharto mengajukan RUU penanaman modal yang kemudian disahkan oleh DPR RI menjadi UU no 1 Tahun 1967 yang bertujuan untuk mempercepat pengentasan kemiskinan yang ada di Indonesia berupa investasi di berbagai sektor usaha industri dan jasa, sekaligus sebagai upaya mengembalikan kepercayaan internasional terhadap stabilitas dan kondusivitas ekonomi, politik dan sosial serta keamanan Indonesia di mata dunia. Tercatat, sejak undang-undang ini disahkan, jumlah modal yang telah ditanamkan di Indonesia telah mencapai lebih dari US$ 9 Miliar dari 30 negara.[32]

Pemerintahaan orde baru berhasil memperbaiki kondisi ekonomi Indonesia dengan menaikkan pertumbuhan ekonomi yang sebelumnya hanya dua persen menjadi rata-rata lima persen %. Perkembangan ekonomi ini terus menmbaik selama periode orde baru yang dimulai dengan pengenalan program Repelita 1. Berkat program ini, ekonomi Indonesia pada masa itu mencapai rata-rata enam persen pada periode 1969-1973 selama Repelita berlangsung. [33]

Selama lebih dari 30 tahun pemerintahan Orde Baru yang dipimpin oleh Presiden Soeharto, ekonomi Indonesia tumbuh dari GDP per kapita $70 menjadi lebih dari $1.000 pada 1996. Melalui kebijakan moneter dan keuangan yang ketat, inflasi ditahan sekitar 5%-10%, rupiah stabil dan dapat diterka, dan pemerintah menerapkan sistem anggaran berimbang. Banyak dari anggaran pembangunan dibiayai melalui bantuan asing. Pada pertengahan 1980-an pemerintah mulai menghilangkan hambatan kepada aktivitas ekonomi. Langkah ini ditujukan utamanya pada sektor eksternal dan finansial dan dirancang untuk meningkatkan lapangan kerja dan pertumbuhan di bidang ekspor non-minyak. GDP nyata tahunan tumbuh rata-rata mendekati 7% dari 1987-1997, dan banyak analisis mengakui Indonesia sebagai ekonomi industri dan pasar utama yang berkembang.

Tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi dari 1987-1997, menutupi beberapa kelemahan struktural dalam ekonomi Indonesia. Longgarnya kebijakan pemerintah dan institusi jasa keuangan saat itu dan meningkatnya nilai ekspor barang non-migas, membuat banyak jasa keuangan berupa bank, asuransi dan berbagai lembaga keuangan lainnya muncul dnegan tujuan mendapat keuntungan dari fasilitasi ekspor, namun dengan modal inti yang sering kali kurang. Tanpa disadari oleh pemerintah dan institusi keuangan sendiri, besarnya kesempatan untuk membiayai fasilitasi ekspor tersebut, perlahan-lahan mulai menunjukkan bahwa pertumbuhan jasa keuangan tidak berkualitas, mulai memakan korban berupa tutupnya beberapa bank secara berantai akibat gagal menarik kredit yang macet, hingga modal inti yang kurang mulai menandai gelapnya perkembangan jasa keuangan yang saat itu tengah tumbuh pesat. Belum lagi dengan sistem legal sangat lemah, dan tidak ada cara efektif untuk menjalankan kontrak, mengumpulkan hutang, atau menuntut atas kebangkrutan. Aktivitas bank sangat sederhana, dengan peminjaman berdasarkan-"collateral" menyebabkan perluasan dan pelanggaran peraturan, termasuk batas peminjaman. Hambatan non-tarif, penyewaan oleh perusahaan milik negara, subsidi domestik, hambatan ke perdagangan domestik, dan hambatan ekspor menjadi bom waktu yang akan mewarnai kejatuhan ekonomi nasional.

Hal ini mencapai puncaknya ketika Krisis finansial terjadi di Asia dan merembet hingga ke Asia Tenggara, termasuk Indonesia pada akhir 1997 dengan cepat berubah menjadi sebuah krisis ekonomi dan politik. Dengan defisit anggaran yang sudah mencapai lebih dari 60% dari PDB nasional, ditambah dengan rasio NPL (kredit macet) yang sudah mencapai 20% lebih membuat pemerintah dan institusi pengawasan kegiatan keuangan hanya bisa memperlambat dan mengurangi parahnya krisis tersebut dengan menaikkan tingkat suku bunga domestik untuk mengendalikan naiknya inflasi dan melemahnya nilai tukar rupiah, dan memperketat kebijakan fiskalnya. Pada Oktober 1997, Indonesia dan International Monetary Fund (IMF) mencapai kesepakatan tentang program reformasi ekonomi yang diarahkan pada penstabilan ekonomi makro dan penghapusan beberapa kebijakan ekonomi yang dinilai membebani anggaran negara dan berpotensi melebarkan defisit anggaran, berupa penutupan program pesawat nasional, permobilan nasional hingga subsidi ekspor komoditas. Rupiah masih belum stabil dalam jangka waktu yang cukup lama, hingga pada akhirnya Presiden Suharto terpaksa mengundurkan diri pada Mei 1998.

Pasca-Soeharto

 
Perbandingan PDRB provinsi-provinsi di Indonesia dengan negara lain pada 2016

Di bulan Agustus 1998, Indonesia dan IMF menyetujui program pinjaman dana di bawah Presiden B.J Habibie. Presiden Gus Dur yang terpilih sebagai presiden pada Oktober 1999 kemudian memperpanjang program tersebut.

Pada 2010 Ekonomi Indonesia sangat stabil dan tumbuh pesat. PDB bisa dipastikan melebihin Rp 6300 triliun [34] meningkat lebih dari 100 kali lipat dibanding PDB tahun 1980. Setelah India dan China, Indonesia adalah negara dengan ekonomi yang tumbuh paling cepat di antara 20 negara anggota Industri ekonomi terbesar didunia G20.

Ini adalah tabel PDB (Produk Domestik Bruto) Indonesia dari tahun ke tahun[35] oleh IMF dalam juta rupiah.

Tahun PDB % Pertumbuhan/tahun
(bunga majemuk)
1980 60,143.191
1985 112,969.792 13.5
1990 233,013.290 15.5
1995 502,249.558 16.6
2000 1,389,769.700 22.6
2005 2,678,664.096 14.0
2010 6,422,918.230 19.1

Catatan: Data di atas disajikan dalam rupiah, oleh karena itu pertumbuhan yang tampaknya pesat itu sangat dipengaruhi oleh pelemahan rupiah terhadap mata uang yang lebih stabil, misalnya US Dollar. Pertumbuhan sesungguhnya, misalnya daya beli masyarakat akan jauh lebih kecil, bahkan mungkin negatif.

Kajian Pengeluaran Publik

Sejak krisis keuangan Asia pada akhir tahun 1990-an, yang memiliki andil atas jatuhnya rezim Suharto pada bulan Mei 1998, keuangan publik Indonesia telah mengalami transformasi besar. Krisis keuangan tersebut menyebabkan kontraksi ekonomi yang sangat besar dan penurunan yang sejalan dalam pengeluaran publik. Tidak mengherankan utang dan subsidi meningkat secara drastis, sementara belanja pembangunan dikurangi secara tajam.

Saat ini, satu dekade kemudian, Indonesia telah keluar dari krisis dan berada dalam situasi di mana sekali lagi negara ini mempunyai sumber daya keuangan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pembangunan. Perubahan ini terjadi karena kebijakan makroekonomi yang berhati-hati, dan yang paling penting defisit anggaran yang sangat rendah. Juga cara pemerintah membelanjakan dana telah mengalami transformasi melalui "perubahan besar" desentralisasi tahun 2001 yang menyebabkan lebih dari sepertiga dari keseluruhan anggaran belanja pemerintah beralih ke pemerintah daerah pada tahun 2006. Hal lain yang sama pentingnya, pada tahun 2005, harga minyak internasional yang terus meningkat menyebabkan subsidi minyak domestik Indonesia tidak bisa dikontrol, mengancam stabilitas makroekonomi yang telah susah payah dicapai. Walaupun terdapat risiko politik bahwa kenaikan harga minyak yang tinggi akan mendorong tingkat inflasi menjadi lebih besar, pemerintah mengambil keputusan yang berani untuk memotong subsidi minyak.

Keputusan tersebut memberikan US$10 miliar [1] tambahan untuk pengeluaran bagi program pembangunan. Sementara itu, pada tahun 2006 tambahan US$5 miliar [2] telah tersedia berkat kombinasi dari peningkatan pendapatan yang didorong oleh pertumbuhan ekonomi yang stabil secara keseluruhan dan penurunan pembayaran utang, sisa dari krisis ekonomi. Ini berarti pada tahun 2006 pemerintah mempunyai US$15 miliar [3] ekstra untuk dibelanjakan pada program pembangunan. Negara ini belum mengalami 'ruang fiskal' yang demikian besar sejak peningkatan pendapatan yang dialami ketika terjadi lonjakan minyak pada pertengahan tahun 1970-an. Akan tetapi, perbedaan yang utama adalah peningkatan pendapatan yang besar dari minyak tahun 1970-an semata-mata hanya merupakan keberuntungan keuangan yang tak terduga. Sebaliknya, ruang fiskal saat ini tercapai sebagai hasil langsung dari keputusan kebijakan pemerintah yang hati hati dan tepat.

Walaupun demikian, sementara Indonesia telah mendapatkan kemajuan yang luar biasa dalam menyediakan sumber keuangan dalam memenuhi kebutuhan pembangunan, dan situasi ini dipersiapkan untuk terus berlanjut dalam beberapa tahun mendatang, subsidi tetap merupakan beban besar pada anggaran pemerintah. Walaupun terdapat pengurangan subsidi pada tahun 2005, total subsidi masih sekitar US$ 10 miliar [4] dari belanja pemerintah tahun 2006 atau sebesar 15 persen dari anggaran total.

Berkat keputusan pemerintahan Habibie (Mei 1998 - Agustus 2001) untuk mendesentralisasikan wewenang pada pemerintah daerah pada tahun 2001, bagian besar dari belanja pemerintah yang meningkat disalurkan melalui pemerintah daerah. Hasilnya pemerintah provinsi dan kabupaten di Indonesia sekarang membelanjakan 37 persen [5] dari total dana publik, yang mencerminkan tingkat desentralisasi fiskal yang bahkan lebih tinggi daripada rata-rata OECD.

Dengan tingkat desentralisasi di Indonesia saat ini dan ruang fiskal yang kini tersedia, pemerintah Indonesia mempunyai kesempatan unik untuk memperbaiki pelayanan publiknya yang terabaikan. Jika dikelola dengan hati-hati, hal tersebut memungkinkan daerah-daerah tertinggal di bagian timur Indonesia untuk mengejar daerah-daerah lain di Indonesia yang lebih maju dalam hal indikator sosial. Hal ini juga memungkinkan masyarakat Indonesia untuk fokus ke generasi berikutnya dalam melakukan perubahan, seperti meningkatkan kualitas layanan publik dan penyediaan infrastruktur seperti yang ditargetkan. Karena itu, alokasi dana publik yang tepat dan pengelolaan yang hati-hati dari dana tersebut pada saat mereka dialokasikan telah menjadi isu utama untuk belanja publik di Indonesia kedepannya.

Sebagai contoh, sementara anggaran pendidikan telah mencapai 17.2 persen [6] dari total belanja publik- mendapatkan alokasi tertinggi dibandingkan sektor lain dan mengambil sekitar 3.9 persen [7] dari PDB pada tahun 2006, dibandingkan dengan hanya 2.0 persen dari PDB pada tahun 2001 [8] - sebaliknya total belanja kesehatan publik masih di bawah 1.0 persen dari PDB [9]. Sementara itu, investasi infrastruktur publik masih belum sepenuhnya pulih dari titik terendah pasca krisis dan masih pada tingkat 3.4 persen dari PDB [10]. Satu bidang lain yang menjadi perhatian saat ini adalah tingkat pengeluaran untuk administrasi yang luar biasa tinggi. Mencapai sebesar 15 persen pada tahun 2006 [11], menunjukkan suatu penghamburan yang signifikan atas sumber daya publik.

Pada 2012, Indonesia menggantikan India sebagai negara anggota G20 dengan ekonomi tercepat kedua setelah China. Sejak saat itu, pertumbuhan ekonomi Indonesia melambat di kisaran angka 5%.[36][37] Pada 1 Juli 2020, Bank Dunia memutuskan Indonesia untuk dikelompokkan sebagai negara berpenghasilan menengah tinggi dengan pendapatan nasional bruto Indonesia pada tahun 2019 sebesar 4050 Dolar Amerika Serikat, sedikit di atas klasifikasi Bank Dunia bahwa negara berpendapatan menengah tinggi per-kapitanya berkisar 4.046-12.535 Dolar Amerika Serikat. Hal lain menurut Bank Dunia, adalah bahwa populasi kelas menengah di Indonesia saat ini sekitar 52 juta orang dengan pengeluaran Rp 1,2-6 juta perorang perbulan.[38]

Referensi

  1. ^ a b c d "Report for Selected Countries and Subjects". IMF.org. International Monetary Fund. Diakses tanggal 14 October 2020. 
  2. ^ https://www.bps.go.id/pressrelease/2020/02/05/1755/ekonomi-indonesia-2019-tumbuh-5-02-persen.html/
  3. ^ http://www.indexmundi.com/indonesia/gdp_composition_by_sector.html
  4. ^ https://www.bi.go.id/en/moneter/inflasi/data/Default.aspx
  5. ^ "Badan Pusat Statistik". Badan Pusat Statistik. 2020-07-16. Diakses tanggal 2020-10-14. 
  6. ^ https://www.bps.go.id/pressrelease/2020/01/15/1747/gini-ratio-september-2019-tercatat-sebesar-0-380.html
  7. ^ https://www.bps.go.id/pressrelease/2020/05/05/1672/februari-2020--tingkat-pengangguran-terbuka--tpt--sebesar-4-99-persen.html.  Tidak memiliki atau tanpa |title= (bantuan)
  8. ^ https://www.bps.go.id/pressrelease/2020/05/05/1672/februari-2020--tingkat-pengangguran-terbuka--tpt--sebesar-4-99-persen.html
  9. ^ https://tradingeconomics.com/indonesia/ease-of-doing-business. Diakses tanggal 2020-05-31.  Tidak memiliki atau tanpa |title= (bantuan)
  10. ^ http://www.worldstopexports.com/indonesias-top-10-exports/
  11. ^ https://tradingeconomics.com/indonesia/exports-by-country
  12. ^ http://www.worldstopexports.com/indonesias-top-10-imports/
  13. ^ https://tradingeconomics.com/indonesia/imports-by-country
  14. ^ "COUNTRY COMPARISON :: STOCK OF DIRECT FOREIGN INVESTMENT – AT HOME". The World Factbook. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-04-29. Diakses tanggal 06 Juni 2017. 
  15. ^ https://bisnis.tempo.co/read/1414597/utang-luar-negeri-indonesia-naik-jadi-rp-5-858-triliun-per-oktober-2020/
  16. ^ https://nasional.kontan.co.id/news/utang-luar-negeri-indonesia-bertambah-rasio-utang-terhadap-pdb-naik
  17. ^ http://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20170212130213-78-192961/defisit-transaksi-berjalan-q4-cuma-08-persen-dari-pdb/
  18. ^ https://www.cia.gov/library/publications/resources/the-world-factbook/geos/id.html
  19. ^ https://www.cia.gov/library/publications/resources/the-world-factbook/geos/id.html
  20. ^ "Sovereigns rating list". Standard & Poor's. Diakses tanggal 06 June 2017. 
  21. ^ a b Rogers, Simon; Sedghi, Ami (06 June 2017). "How Fitch, Moody's and S&P rate each country's credit rating". The Guardian. Diakses tanggal 06 June 2017. 
  22. ^ https://tradingeconomics.com/indonesia/foreign-exchange-reserves
  23. ^ "Report for Selected Countries and Subjects: October 2020 Indonesia". imf.org (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 16 October 2020. 
  24. ^ "Indonesia GDP world bank". data.worldbank.org (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 30 September 2020. 
  25. ^ "Indonesia GDP Percapita world bank". data.worldbank.org (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 30 September 2020. 
  26. ^ "Indonesia GDP Growth world bank". data.worldbank.org (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 30 September 2020. 
  27. ^ "Indonesia GDP Per capita Growth world bank". data.worldbank.org (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 30 September 2020. 
  28. ^ "Indonesia Inflation world bank". data.worldbank.org (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 30 September 2020. 
  29. ^ "Indonesia Central Government Debt world bank". data.worldbank.org (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 30 September 2020. 
  30. ^ Soeharto (1995). "Address of state H.E the President of the Republic of Indonesia Soeharto". Dalam Alatas, Ali; Moerdiono; Ave, Joop; Sutresna, Nana S; Dharmaputra, Garnawan; Sukartiko, Rachmat; Achjadi, A.S. Indonesia, the first 50 years, 1945-1995. Buku Antar Bangsa. Jakarta: Buku Antar Bangsa. hlm. 69. ISBN 979-8926-00-5. OCLC 37405350. 
  31. ^ "Soeharto, Pernah Naikkan Martabat Indonesia Halaman all". KOMPAS.com. 27 Januari 2008. Diakses tanggal 4 November 2021. 
  32. ^ Uqbah Iqbal, Sejarah Ringkas Hubungan Ekonomi Indonesia-Jepun, Munich: BookRix GmbH & Co. KG., 2015.
  33. ^ Badan Pusat Statistik (2015). Statistik 70 th. Indonesia merdeka (PDF). Jakarta, Indonesia: Badan Pusat Statistik. hlm. 110. ISBN 978-979-064-858-6. OCLC 971018639. 
  34. ^ http://www.antaranews.com/berita/1273491621/bps-pdb-2010-minimal-rp6300-triliun
  35. ^ Edit/Review Countries
  36. ^ "GDP growth (annual %)". data.worldbank.org. Diakses tanggal 2017-08-05. 
  37. ^ "Why Indonesia's Apparent Stability Under Jokowi Is a Sign of Its Stagnation". worldpoliticsreview.com. Diakses tanggal 2020-05-06. 
  38. ^ "Pekerjaan Rumah Pacu Kelas Menengah". Kompas. 4 Juli 2020. Hlm. 1 & 15.