Haji adalah sebutan atau gelar untuk pria muslim yang telah berhasil menjalankan ibadah haji. Umum digunakan sebagai tambahan di depan nama dan sering disingkat dengan "H". Dalam hal ini biasanya para Haji membubuhkan gelarnya dianggap oleh mayoritas masyarakat sebagai tauladan maupun contoh di daerah mereka. Bisa dikatakan sebagai guru atau panutan untuk memberikan contoh sikap secara lahiriah dan batiniah dalam segi Islam sehari-hari.

Gelar dalam Islam

Asal mula

Penggunaan gelar haji yang sering disematkan pada seseorang yang telah pergi haji, awalnya digunakan pemerintah Hindia Belanda untuk identifikasi para jemaah haji yang mencoba memberontak, sepulangnya dari Tanah Suci. Mereka dicurigai sebagai anti kolonialisme, dengan pakaian ala penduduk Arab yang disebut oleh VOC sebagai “kostum Muhammad dan sorban”.

Dalam gelombang propaganda anti VOC pada 1670-an di Banten, banyak orang meninggalkan pakaian adat Jawa kemudian menggantinya dengan memakai pakaian Arab.[1]

Salah satu lawan tangguh Belanda pada saat itu adalah Pangeran Diponegoro, pemimpin Perang Jawa (1825-1830). Dalam Babad Dipanegara disebutkan Pangeran Diponegoro pergi ke medan perang dengan mengenakan pakaian berupa celana, jubah, dan penutup kepala berwarna putih. Di kesempatan lain, dia mengenakan pakaian hitam dalam gaya Arab dan sorban hitam atau hijau, terlebih setelah dia mengundurkan diri dari kehidupan istana dan mengembara ke pedesaan. Pada masa itu, seiring kepopuleran Wahabi di Mekah, kalangan ulama memang kerap menggunakan busana jubah dan sorban.

Di Pulau Sumatra, Imam Bonjol yang memimpin Perang Padri, dan pasukannya, juga mengenakan pakaian gaya Arab serba putih. Kaum Padri, seperti juga kaum Wahhabi di Arab, menekankan pada pelaksanaan syariat Islam secara ketat. Dalam hal pakaian, mereka mengharuskan perempuan memakai jilbab dan laki-laki mengenakan pakaian putih bergaya Arab, dari sinilah muncul istilah “kaum putih”.

Pemerintah Hinda Belanda akhirnya menjalankan politik Islam, yaitu sebuah kebijakan dalam mengelola masalah-masalah Islam di Nusantara pada masa itu.[2] Maka sejak tahun 1911, pemerintah Hindia Belanda mengkarantina penduduk pribumi yang ingin pergi haji maupun setelah pulang haji di Pulau Cipir dan Pulau Onrust, mereka mencatat dengan detail nama-nama dan maupun asal wilayah jamaah Haji. Begitu terjadi pemberontakan di wilayah tersebut, Pemerintah Hindia Belanda dengan mudah menemukan warga pribumi, karena di depan nama mereka sudah tercantum gelar haji.

Kontroversi

Dalam penggunaan gelar haji yang sering disematkan oleh mayoritas penduduk Asia Tenggara, sering mendapatkan kritikan dari ulama salafy, yang dianggap sebagai perbuatan riya dan tidak pernah dicontohkan oleh Nabi Muhammad dan para as-sabiqun al-awwalun.[3] Ada ulama yang mengatakan bahwa tidak pernah ada riwayat yang menjelaskan adanya gelar yang pernah disandang oleh rasulallah dan para sahabatnya, sebagai contoh H. Muhammad, H. Abu Bakar, H. Umar bin Khattab, H. Ali bin Abu Thalib dan seterusnya.[4]

Kemudian ulama tersebut mengatakan bahwa di antara 5 rukun Islam hanya ibadah haji saja yang digunakan sebagai gelar, dan mengapa ketika orang mengerjakan rukun Islam yang lain seperti mengucap kalimat syahadat, salat, zakat, puasa tidak diberi gelar seperti halnya ibadah haji.

Gelar para raja

Dalam sejarah Nusantara pra-Islam, Haji atau Aji juga merupakan gelar untuk penguasa. Gelar ini dianggap setara dengan raja, akan tetapi posisinya di bawah Maharaja. Gelar ini ditemukan dalam Bahasa Melayu Kuno, Sunda, dan Jawa kuno, dan ditemukan dalam beberapa prasasti.

Referensi

  1. ^ Kees van Dijk dalam “Sarung, Jubah, dan Celana: Penampilan sebagai Sarana Pembedaan dan Diskriminasi”, yang termuat dalam Outward Appearances: Trend, Identitas, Kepentingan.
  2. ^ Politik Hindia Belanda Terhadap Islam (1985, LP3S) karya Prof. Dr. Aqib Suminto.
  3. ^ Fatwa Syaikh Shalih As-Suhaimi hafizhahullah, seorang pengajar di Masjid Nabawi, Madinah.
  4. ^ Penjelasan Al-Ustadz Hammad Abu Mu’aawiyah hafizhahullah.

Pranala luar

Lihat pula