Katu, Lore Tengah, Poso

desa di Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah
Revisi sejak 24 Agustus 2022 10.01 oleh Ansara Gween Althea (bicara | kontrib) (Nama kepala desa saat ini dan periode)

Katu adalah sebuah desa di kecamatan Lore Tengah, Poso, Sulawesi Tengah, Indonesia. Katu bermakna sebagai tempat akhir bagi sebagian komunitas behoa yang menjadi korban kolonialisme Belanda di dataran tinggi Poso pada 1918. Tidak ada sejarah pasti tentang asal-usul orang Behoa, tetapi berdasarkan pada tumpang tindihnya antara kisah asal-usul dan pencatatan sejarah dari kelompok-kelompok lain, orang Behoa tampaknya telah berada di wilayah tersebut selama ratusan tahun. Penduduk Katu adalah bagian dari komunitas Behoa, biasanya sesama behoa menyebut Katu sebagai behoa kakau artinya behoa hutan. Katu resmi menjadi desa pada 1928, yang diresmikan langsung oleh Raja Kabo dan bersama seorang Belanda bernama J.W. Wesseldijk, mendirikan sekolah misionaris Protestan di desa Katu pada tahun 1929.

Desa Katu
Negara Indonesia
ProvinsiSulawesi Tengah
KabupatenPoso
KecamatanLore Tengah
Kode Kemendagri72.02.08.2006
Luas5.461,3 hektar
Jumlah penduduk525 jiwa
Kepadatan-

Pada 1970-an, Katu menarik perhatian komunitas konservasi internasional karena ekologinya yang unik. Para konservasionis menyatakan terdapat 98 persen mamalia dan 27 persen unggas terdapat di Katu. (Daws dan Fujita 1999:87). Flora dan fauna unik yang ditemukan di Sulawesi, atau Celebes, pertama kali dicatat oleh Alfred Russell Wallace pada tahun 1950-an. Sejak saat itu penduduk Katu mulai berurusan dengan Suaka Alam. Tahun 1982, pada Kongres Taman Nasional Dunia, diusulkan perluasan Taman Nasional ke arah utara mencakup seluruh daerah aliran sungai besar di wilayah Sulawesi Tengah. Katu adalah satu di antara ratusan desa lainnya yang masuk dalam kawasan tersebut. Sepanjang tahun 1980-an, pemerintah Indonesia mulai mengusulkan pemindahan penduduk Katu, karena dianggap berada di dalam kawasan Taman Nasional yang baru ditetapkan. Tahun 1989, tetangga orang Katu, pengungsi Rampi dari Dodolo, berhasil dipindahkan di dekat lembah, tetapi Katu menolak. Tahun 1993, ketika wilayah tersebut diresmikan sebagai Taman Nasional, Katu dipindahkan tujuh kilometer di lingkar dalam bagian tenggara Taman Nasional yang baru, tetapi Katu tetap menolak. Proyek ini mendapat pendanaan khusus dari Asian Development Bank (ADB), pada saat itu petani Katu berjumlah 67 rumah tangga dan berjumlah 210 jiwa. Perjuangan panjang orang Katu akhirnya berhasil, pada 1999, Yulianto Laban Banjar, Kepala Balai Taman Nasional Lore Lindu (BTNLL) mengeluarkan surat keputusan yang secara formal mengakui klaim adat Katu di dalam Taman Nasional. Keputusan ini mendapat banyak dukungan dari Direktorat Jenderal Pelestarian Hutan dan Perlindungan Alam, Departemen Kehutanan dan juga para aktivis lingkungan dan Hak Asasi Manusia.