Dalam agama Buddha, Nirwana (bahasa Sanskerta: निर्वाण nirvāṇa; Pali: nibbāna; Hanzi: 涅槃; Pinyin: nièpán) adalah puncak tertinggi pencarian umat Buddha terhadap kebebasan dari saṃsāra, yaitu siklus mati dan kelahiran kembali. Secara harfiah, Nibbāna berarti "pemadaman". Buddha mendeskripsikan Nibbāna sebagai padamnya kekotoran-kekotoran batin (kilesa) pada Mahāli Sutta, Dīgha Nikāya 6:

Idha, mahāli, bhikkhu tiṇṇaṁ saṁyojanānaṁ parikkhayā sotāpanno hoti avinipātadhammo niyato sambodhiparāyaṇo. Ayampi kho, mahāli, dhammo uttaritaro ca paṇītataro ca, yassa sacchikiriyāhetu bhikkhū mayi brahmacariyaṁ caranti.

Puna caparaṁ, mahāli, bhikkhu tiṇṇaṁ saṁyojanānaṁ parikkhayā rāgadosamohānaṁ tanuttā sakadāgāmī hoti, sakideva imaṁ lokaṁ āgantvā dukkhassantaṁ karoti. Ayampi kho, mahāli, dhammo uttaritaro ca paṇītataro ca, yassa sacchikiriyāhetu bhikkhū mayi brahmacariyaṁ caranti.

Puna caparaṁ, mahāli, bhikkhu pañcannaṁ orambhāgiyānaṁ saṁyojanānaṁ parikkhayā opapātiko hoti, tattha parinibbāyī, anāvattidhammo tasmā lokā. Ayampi kho, mahāli, dhammo uttaritaro ca paṇītataro ca, yassa sacchikiriyāhetu bhikkhū mayi brahmacariyaṁ caranti.

Puna caparaṁ, mahāli, bhikkhu āsavānaṁ khayā anāsavaṁ cetovimuttiṁ paññāvimuttiṁ diṭṭheva dhamme sayaṁ abhiññā sacchikatvā upasampajja viharati. Ayampi kho, mahāli, dhammo uttaritaro ca paṇītataro ca, yassa sacchikiriyāhetu bhikkhū mayi brahmacariyaṁ caranti.

Ime kho te, mahāli, dhammā uttaritarā ca paṇītatarā ca, yesaṁ sacchikiriyāhetu bhikkhū mayi brahmacariyaṁ carantī”ti.

— Mahāli, dalam satu kasus, seorang bhikkhu, setelah meninggalkan tiga belenggu, menjadi seorang Pemenang-Arus [pencapaian sotāpanna], tidak akan jatuh ke dalam kondisi sengsara, kokoh berada di jalan menuju pencerahan [menuju pencapaian Nibbāna; arahant].

Kemudian, seorang bhikkhu yang telah meninggalkan tiga belenggu, dan telah melemahkan keserakahan, kebencian dan delusinya, menjadi seorang Yang-Kembali-Sekali [pencapaian sakadāgāmī] yang, setelah kembali ke alam ini satu kali lagi, akan mengakhiri penderitaan [pencapaian Nibbāna; arahant].

Kemudian, seorang bhikkhu yang telah meninggalkan lima belenggu yang lebih rendah dan terlahir kembali secara spontan [di alam yang tinggi] dan, tanpa jatuh dari alam itu [pencapaian anāgāmī], mencapai pencerahan [pencapaian Nibbāna; arahant].

Kemudian lagi, seorang bhikkhu melalui padamnya kekotoran-kekotoran mencapai, dalam kehidupan ini juga, kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan, yang ia capai dengan pandangan terangnya sendiri [pencapaian Nibbāna; arahant].

Itu adalah hal-hal lain yang lebih tinggi dan lebih sempurna daripada yang ini, yang oleh karenanya para bhikkhu menjalankan kehidupan suci di bawahKu.

Pada sutta yang sama, Buddha juga menguraikan empat tingkatan pencerahan, yakni Pemenang-Arus (sotāpanna), Yang-Kembali-Sekali (sakadāgāmī), Yang-Tak-Kembali (anāgāmī), dan pencapaian Nibbāna (arahant). Buddha juga menguraikan cara mencapai Nibbāna, yaitu dengan mengikuti Jalan Utama Berunsur Delapan:

“Atthi pana, bhante, maggo atthi paṭipadā etesaṁ dhammānaṁ sacchikiriyāyā”ti?

“Atthi kho, mahāli, maggo atthi paṭipadā etesaṁ dhammānaṁ sacchikiriyāyā”ti.

“Katamo pana, bhante, maggo katamā paṭipadā etesaṁ dhammānaṁ sacchikiriyāyā”ti?

“Ayameva ariyo aṭṭhaṅgiko maggo. Seyyathidaṁ—sammādiṭṭhi sammāsaṅkappo sammāvācā sammākammanto sammāājīvo sammāvāyāmo sammāsati sammāsamādhi. Ayaṁ kho, mahāli, maggo ayaṁ paṭipadā etesaṁ dhammānaṁ sacchikiriyāya.

— ‘Bhagavā, adakah jalan, adakah metode untuk mencapai hal-hal ini?

‘Ada jalan, Mahāli, ada metode.’

‘Dan Bhagavā, apakah jalan itu, apakah metode itu?

‘Yaitu, Jalan Mulia Berunsur Delapan, yaitu, Pandangan Benar, Pemikiran Benar; Ucapan Benar, Perbuatan Benar, Penghidupan Benar; Usaha Benar, Perhatian Benar dan Konsentrasi Benar. Ini adalah jalan, ini adalah cara untuk mencapai hal-hal ini.’

Di lain kesempatan, Buddha juga mendeskripsikan Nibbāna sebagai kebahagiaan tertinggi dan Jalan Utama Berunsur Delapan sebagai jalan terbaik, sebagaimana tercatat pada Māgandiya Sutta, Majjhima Nikāya 75:

Atha kho bhagavā tāyaṁ velāyaṁ imaṁ udānaṁ udānesi:

“Ārogyaparamā lābhā,
nibbānaṁ paramaṁ sukhaṁ;
Aṭṭhaṅgiko ca maggānaṁ,
khemaṁ amatagāminan”ti.

Kemudian pada titik ini Sang Bhagavā mengucapkan seruan kegembiraan:

“Yang tertinggi dari segala perolehan adalah kesehatan,
Nibbāna adalah kebahagiaan tertinggi,
Jalan Mulia Berunsur Delapan adalah jalan terbaik
Karena jalan itu menuntun menuju keselamatan, pada Keabadian.”

Pada Tatiyanibbānapaṭisaṁyutta Sutta, Udāna 8.3, Siddartha Gautamasammāsambuddha masa sekarang—mendeskripsikan Nibbāna sebagai berikut.[1]

... Atthi, bhikkhave, ajātaṁ abhūtaṁ akataṁ asaṅkhataṁ. No cetaṁ, bhikkhave, abhavissa ajātaṁ abhūtaṁ akataṁ asaṅkhataṁ, nayidha jātassa bhūtassa katassa saṅkhatassa nissaraṇaṁ paññāyetha. Yasmā ca kho, bhikkhave, atthi ajātaṁ abhūtaṁ akataṁ asaṅkhataṁ, tasmā jātassa bhūtassa katassa saṅkhatassa nissaraṇaṁ paññāyatī”ti. ...

... Ada, para bhikkhu, yang tidak dilahirkan, tidak menjelma, tidak tercipta, tidak terkondisi. Jika, para bhikkhu, tidak ada yang tidak dilahirkan, tidak menjelma, tidak tercipta, tidak terkondisi, maka kalian tidak mungkin mengetahui jalan membebaskan diri dari yang dilahirkan, yang menjelma, yang diciptakan, dan yang terkondisi. Tetapi, karena ada yang tidak dilahirkan, tidak menjelma, tidak tercipta, tidak terkondisi, maka kalian dapat mengetahui jalan membebaskan diri dari yang dilahirkan, yang menjelma, yang diciptakan, dan yang terkondisi. ...

Ungkapan pada Udāna 8.3 juga merupakan pernyataan dari Sang Buddha yang kemudian diinterpretasikan sebagai Ketuhanan Yang Maha Esa di Indonesia. Nibbāna sebagai Ketuhanan Yang Maha Esa dalam bahasa Pali adalah "ajātaṁ abhūtaṁ akataṁ asaṅkhataṁ" yang artinya "Suatu Yang Tidak Dilahirkan, Tidak Menjelma, Tidak Tercipta, dan Tidak Terkondisi (Mutlak)". Dalam hal ini, Nibbāna sebagai Ketuhanan Yang Mahaesa adalah sesuatu yang tidak terpersonifikasi atau tanpa-Aku (anatta). Dengan adanya Yang Mutlak atau Yang Tidak Terkondisi (asaṅkhataṁ) maka manusia yang berkondisi (saṅkhataṁ) dapat mencapai kebebasan dari lingkaran kehidupan (saṃsāra).

Pada Nirodhanibbānapañha, Milindapañha 3.4.8, Bhante Nāgasena mendeskripsikan Nibbāna sebagai padamnya atau berhentinya nafsu (nirodha). Dukkha-nirodha juga merupakan bagian dari Empat Kebenaran Mulia, yakni Kebenaran Mulia Ketiga.

“Kathaṁ, bhante nāgasena, nirodho nibbānan”ti?

“Sabbe bālaputhujjanā kho, mahārāja, ajjhattikabāhire āyatane abhinandanti abhivadanti ajjhosāya tiṭṭhanti, te tena sotena vuyhanti, na parimuccanti jātiyā jarāya maraṇena sokena paridevena dukkhehi domanassehi upāyāsehi na parimuccanti dukkhasmāti vadāmi.

Sutavā ca kho, mahārāja, ariyasāvako ajjhattikabāhire āyatane nābhinandati nābhivadati nājjhosāya tiṭṭhati, tassa taṁ anabhinandato anabhivadato anajjhosāya tiṭṭhato taṇhā nirujjhati, taṇhānirodhā upādānanirodho, upādānanirodhā bhavanirodho, bhavanirodhā jātinirodho, jātinirodhā jarāmaraṇaṁ sokaparidevadukkhadomanassupāyāsā nirujjhanti, evametassa kevalassa dukkhakkhandhassa nirodho hoti,

evaṁ kho, mahārāja, nirodho nibbānan”ti.

— “Bagaimana, Bhante Nāgasena, berhentinya nafsu itu Nibbāna?”

Semua makhluk yang dungu (belum tercerahkan) memanjakan diri dalam kenikmatan indera dan objeknya; mereka menemukan kesenangan di dalamnya dan melekat padanya. Oleh karena itu mereka terhanyut oleh banjir [nafsu] dan tidak terbebas dari kelahiran dan kematian.

Siswa bijaksana orang-orang suci tidak akan menyenangi kenikmatan indera dan objeknya. Dan di dalam dirinya nafsu keinginan berhenti, kemelekatan berhenti, dumadi berhenti, kelahiran berhenti, usia tua, kematian, kesedihan, ratap tangis, kepedihan, kesengsaraan dan keputusasaan berhenti dan tidak ada lagi.

Dengan demikian, berhentinya nafsu adalah Nibbāna.”

Pada Alagaddūpamasutta, Majjhima Nikāya 22, Buddha menjelaskan Buddhisme sebagai sebuah rakit yang, setelah mengantarkan penumpangnya ke pantai seberang (perumpamaan untuk pencapaian Nibbāna), pada akhirnya perlu ditinggalkan.

Kathaṅkārī ca so, bhikkhave, puriso tasmiṁ kulle kiccakārī assa?

Idha, bhikkhave, tassa purisassa uttiṇṇassa pāraṅgatassa evamassa:
‘bahukāro kho me ayaṁ kullo; imāhaṁ kullaṁ nissāya hatthehi ca pādehi ca vāyamamāno sotthinā pāraṁ uttiṇṇo. Yannūnāhaṁ imaṁ kullaṁ thale vā ussādetvā udake vā opilāpetvā yena kāmaṁ pakkameyyan’ti.

Evaṅkārī kho so, bhikkhave, puriso tasmiṁ kulle kiccakārī assa.

Evameva kho, bhikkhave, kullūpamo mayā dhammo desito nittharaṇatthāya, no gahaṇatthāya.

Kullūpamaṁ vo, bhikkhave, dhammaṁ desitaṁ, ājānantehi dhammāpi vo pahātabbā pageva adhammā.

Dengan melakukan apakah maka orang itu melakukan apa yang seharusnya dilakukan dengan rakit itu?

Di sini, para bhikkhu, ketika orang itu telah menyeberang dan telah sampai di pantai seberang, ia mungkin berpikir sebagai berikut:
‘Rakit ini telah sangat berguna bagiku, karena dengan didukung oleh rakit ini dan berupaya dengan tangan dan kakiku, aku dapat dengan selamat menyeberang ke pantai seberang. Bagaimana jika aku menariknya ke daratan atau menghanyutkannya di air, dan kemudian aku pergi kemanapun yang kuinginkan.’

Sekarang, para bhikkhu, adalah dengan melakukan hal itu maka orang itu melakukan apa yang seharusnya dilakukan dengan rakit itu.

Demikianlah Aku telah menunjukkan kepada kalian bagaimana Dhamma itu serupa dengan rakit, karena berguna untuk menyeberang, bukan untuk dilekati.

Para bhikkhu, ketika kalian mengetahui bahwa Dhamma serupa dengan rakit, maka kalian bahkan harus meninggalkan ajaran-ajaran, apalagi hal-hal yang berlawanan dengan ajaran.

Pada syair antara Buddha dengan Dhaniya, Sang Buddha juga menyampaikan perumpamaan yang serupa, sebagaimana tercatat pada Dhaniya Sutta, Sutta Nipāta 1.2:

Baddhāsi bhisī susaṅkhatā,
(iti bhagavā)
Tiṇṇo pāragato vineyya oghaṁ;
Attho bhisiyā na vijjati,
Atha ce patthayasī pavassa deva

Rakit terikat dan dibuat dengan baik,
(ucap Begawan)
Pantai seberang telah tercapai, banjir telah diseberangi;
Apakah lagi yang kuperlukan dari rakit yang dibuat dengan baik ini?
Maka, hujanlah O langit, sesukamu!

Hinduisme juga menggunakan istilah 'Nirwana' sebagai sinonim untuk pemikiran tentang Moksa, sebagaimana dibicarakan dalam beberapa tulisan tantra Hindu dan Bhagawad Gita. Sebaliknya, Buddhisme juga menggunakan istilah 'Moksa' (Pali: mokkha) untuk mendeskripsikan Nibbāna. Kendati demikian, konsep Nirwana antara agama Buddha dan Hindu tidak dapat disamaratakan. Penggunaan istilah mokkha yang ditujukan untuk pembebasan Nibbāna dapat ditemukan pada teks paritta pemujaan Buddha asal Sri Lanka yang berjudul "Puppha Pūjā":

Vaṇṇa gandha guṇopetaṃ,
etaṃ kusuma santatiṃ;

Pūjayāmi munindassa,
siripāda saroruhe;

Pūjemi buddhaṃ kusumenanena,
puññena metena ca hotu mokkhaṃ;

Pupphaṃ milāyāti yathā,
idaṃ me kāyo tathā yāti vināsa bhāvaṃ.

Berkualitas baik, harum, dan beraneka warna,
setumpuk bunga ini;

Saya memuja Sang Petapa,
pada telapak kaki-Nya;

Saya memuja Buddha dengan bunga ini,
dengan kebajikan ini semoga saya mencapai pembebasan (moksa);

Sama seperti bunga-bunga ini yang akan layu,
demikian tubuhku ini akan mengalami kehancuran.

33 Nama Nibbāna

Penggunaan istilah Nibbāna (Bahasa Indonesia: Nirwana atau "kepadaman") hanya merupakan salah satu cara Buddha dalam mengilustrasikan Nibbāna atau Nirwana itu sendiri. Di kesempatan lain, Buddha seringkali menggunakan istilah-istilah lain yang juga merujuk kepada Nibbāna. Pada keseluruhan teks bagian Asaṅkhatasaṁyutta, Saṁyutta Nikāya 43, Buddha menguraikan 33 nama Nibbāna:

  1. Yang Tak Terkondisi (asaṅkhataṁ)
  2. Hancurnya Nafsu, Kebencian, Delusi (rāgakkhayo dosakkhayo mohakkhayo)
  3. Ketidak-Condongan (anata)
  4. Ketanpa-Nodaan (anāsava)
  5. Kebenaran (sacca)
  6. Pantai Seberang (pāra)
  7. Yang Halus (nipuṇa)
  8. Yang Sangat Sulit Dilihat (sududdasa)
  9. Yang Tanpa Penuaan (ajajjara)
  10. Yang Stabil (dhuva)
  11. Ketidak-Hancuran (apalokita)
  12. Ketidak-Berwujudan (anidassana)
  13. Yang Tanpa Proliferasi (nippapañca)
  14. Yang Damai (santa)
  15. Tanpa-Kematian (amata)
  16. Yang Luhur (paṇīta)
  17. Yang Menguntungkan (siva)
  18. Yang Aman (khema)
  19. Hancurnya Nafsu-Keinginan (taṇhākkhaya)
  20. Yang Menakjubkan (acchariya)
  21. Yang Tanpa Penyakit (abbhuta)
  22. Kondisi Tanpa Penyakit (anītika)
  23. Nirwana atau Pemadaman (nibbāna)
  24. Yang Tidak Dirundung (abyābajjha)
  25. Kebosanan atau Ketanpa-keinginan (virāga)
  26. Kemurnian (suddhi)
  27. Kebebasan (mutti)
  28. Yang Tidak Melekat (anālaya)
  29. Pulau (dīpa)
  30. Naungan (leṇa)
  31. Suaka (tāṇa)
  32. Perlindungan (saraṇa)
  33. Tujuan (pāraya)

Jenis Pencapaian

Teradpat dua jenis pencapaian Nibbāna:

  1. Dicapai ketika masih hidup (saupadisesa nibbāna)
  2. Dicapai ketika meninggal dunia (anupadisesa nibbāna)

Ketika Pangeran Siddhartha Gautama mencapai Penerangan Sempurna dan menjadi seorang sammasambuddha, maka pada saat itu Dia mengalami saupadisesa nibbāna. Ketika Buddha Gotama meninggal dunia pada usia 80 tahun di Kusinara, maka Dia mencapai anupadisesa nibbāna atau disebut juga Parinibbana.

Lihat pula


  1. ^ Anggara, Indra. "Ud 8.3: Tatiyanibbānapaṭisaṁyuttasutta". SuttaCentral. Diakses tanggal 2022-09-18.