Pengepungan Konstantinopel (717–718)
Pengepungan Kedua Konstantinopel oleh Arab pada tahun 717–718 adalah upaya gabungan darat dan laut oleh pasukan Arab dari Kekhalifahan Umayyah untuk menaklukan ibukota Kekaisaran Bizantium, Konstantinopel. Kampanye ini menandai puncak dari dua puluh tahun serangan dan gangguan Arab yang bertahap terhadap perbatasan Bizantium, dibantu oleh kekacauan dalam negeri Bizantium. Pasukan Arab, dipimpin oleh Maslamah bin Abdul Malik, menginvasi Asia Kecil milik Bizantium pada tahun 716. Meskipun pada awalnya mereka ingin memanfaatkan pertikaian antara jenderal Bizantium Leo orang Isauria dan Theodosius III, namun Leo berhasil memperdayai mereka dan merebut tahta Bizantium untuk dirinya sendiri.
Pengepungan Kedua Konstantinopel oleh Arab | |||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|
Bagian dari Perang Bizantium-Arab | |||||||
| |||||||
Pihak terlibat | |||||||
Kekhalifahan Umayyah |
Kekaisaran Bizantium Kekhanan Bulgar | ||||||
Tokoh dan pemimpin | |||||||
Maslamah bin Abdul Malik Sulaiman bin Mu'adz Umar bin Hubaira |
Leo III Tervel | ||||||
Kekuatan | |||||||
120000 orang[2] 2560 kapal[3] | tidak diketahui |
Setelah bermusim dingin di pesisir barat Asia Kecil, pasukan Arab menyeberang ke Trakia pada awal musim panas 717 dan membangun garis pengepungan untuk memblokade kota, yang dilindungi oleh Tembok Theodosius yang besar. Armada kapal Arab, yang mengiringi pasukan darat dan dimasudkan untuk melengkapi blokade kota lewat laut, dihalau beberapa saat setelah kedatangannya oleh angkatan laut Bizantium, yang menyerang armada Arab menggunakan api Yunani, memungkinkan Konstantinopel untuk memperoleh pasokan makanan melalui laut, sementara pasukan Arab menderita wabah kepalaran dan penyaut pada musim dingin berikutnya yang keras. Pada musim semi 718, dua armada Arab yang dikirim sebagai bala bantuan dihancurkan oleh Bizantium setelah ada kru Kristennya yang membelot, dan satu pasukan tambahan yang dikirim lewat darat melalui Asia Kecil disergap dan dikalahkan. Ditambah dengan serangan oleh pasukan Bulgar dari arah belakang, pasukan Arab terpaksa menghentikan pengepungan pada 15 Agustus 718. Dalam perjalanan pulangnya, armada Arab nyaris diluluhlantakkan oleh bencana alam dan serangan Bizantium.
Kegagalan pengepungan ini mengakibatkan dampak yang luas. Penyelamatan Konstantinopel menjamin kerberlangsungan Bizantium, sementara pandangan strategi Kekhalifahan diubah: meskipun serangan rutin terhadap wilayah Bizantium terus berlanjut, tujuan penaklukan langsung mulai ditinggalkan. Pengepungan ini juga dianngap sebagai peristiwa yang menghentikan gerak maju Islam ke Eropa, dan karenanya sering dianggap sebagai salah satu pertempuran paling menentukan dalam sejarah.
Latar belakang
Setelah Pengepungan Pertama Konstantinopel oleh Arab (674–678), baik Arab maupun Bizantium mengalami periode yang damai. Setelah tahun 680, Kekhalifahan Umayyah menderita Perang Saudara Islam Kedua dan kebangkitan Bizantium yang terjadi kemudian di Timur memungkinkan Bizantium untuk menarik upeti berjumlah besar dari pemerintah Umayyah di Damaskus.[4] Pada tahun 692, setelah Umayyah berhasil menghentikan Perang Saudara Muslim, Kaisar Justinianus II (berkuasa. 685–695 dan 705–711) kembali memicu permusuhan dengan Umayyah. Hasilnya adalah serangkaian kemenangan Arab yang berujung pada lepasnya kendali Bizantium atas Armenia dan kepangeranan-kepangeranan Kaukasus, serta gangguan bertahap terhadap wilayah Bizantium. Dari tahun ke tahun, para jenderal Kekhalifahan, biasanya anggota keluarga Umayyah, melancarkan serbuan ke wilayah Bizantium dan merebut benteng dan kota.[5] Setelah 712, sistem pertahanan Bizantium mulai menampakkan tanda-tanda keruntuhan: semakin lama, serbuan Arab menembus semakin dalam ke Asia Kecil, benteng-benteng di perbatasan berulang kali diserang dan dijarah, dan reaksi Bizantium semakin lama semakin lemah.[6] Dalam usaha ini, Arab dibantu oleh adanya periode ketidastabilan dalam negeri yang berkepanjangan, yang berlangsung menyusul penggulingan pertama Justinianus II pada 695. Selama periode ini, tahta Biznatium tujuh kali berpindah tangan dalam revolusi yang keras.[7] Meskipun demikian, seperti disebutkan oleh ahli Bizantium Warren Treadgold, "Serangan Arab bagaimanapun juga semakin meningkat setelah berakhirnya perang saudara ... Dengan tenaga manusia, lahan, dan kekayaan yang lebih besar daripada Bizantium, Arab mulai memusatkan seluruh kekuatan mereka untuk melawan Bizantium. Kini mereka berniat sepenuhnya meruntuhkan kekaisaran itu dengan menaklukan ibukotanya."[8]
Tahap awal kampanye
Keberhasilan Arab membuka jalan untuk serangan kedua ke Konstantinopel, suatu usaha yang sudah dimulai semenjak Khalifah al-Walid I (b. 705–715). Setelah kematiannya, saudara dan penerusnya Sulaiman (b. 715–717) mengambil proyek tersebut dengan semangat yang meningkat, diduga karena adanya sabda Nabi bahwa Khalifah yang memiliki nama Nabi akan menaklukkan Konstantinopel; Sulaiman adalah satu-satunya anggota Wangsa Umayyah yang membawa nama Nabi, yaitu nabi Sulaiman. Menurut sumber-sumber berbahasa Suryani, Khalifah baru itu bersumpah "untuk tidak akan berhenti berjuang melawan Konstantinopel sebelum mencapai titik darah penghabisan bangsa Arab atau sebelum merebut kota itu."[9][10][11][12][13] Pasukan Umayyah mulai berkumpul di dataran Dabiq sebelah utara Aleppo, di bawah pengawasan langsung Khalifah. Karena Sulaiman sedang sakit, komando dipercayakan kepada saudaranya Maslamah bin Abdul-Malik.[14] Operasi terhadap Konstantinopel terjadi pada saat negara Umayyah sedang mengalami periode ekspansi berkelanjutan ke timur dan barat. Pasukan Muslim bergerak maju ke Transoxiana, India dan Kerajaan Visigoth di Hispania.[15]
Persiapan Arab, khususnya pembanguan armada besar, sebenarnya telah diketahui oleh Bizantium yang merasa cemas. Kaisar Anastasios II (berkuasa 713–715) mengirim utusan ke Damaskus di bawah patrician dan prefek urban, Daniel dari Sinope, berpura-pura meminta perdamaian, namun pada kenyataanya memata-matai pasukan Arab. Anastasios kemudian memulai persiapan untuk pengepungan yang tak terhindarkan: perbentengan Konstantinopel diperbaiki dan dilengkapi dengan banyak artileri, sedangkan persediaan makanan dimasukkan ke dalam kota dan penduduk yang tidak mampu menimbun bahan makanan untuk cadangan selaam tiga tahun dievakuasi.[16][17][18] Anastasios memperkuat angkatan lautnya dan pada awal 715 mengerahkannya melawan armada Arab yang mendatangi pesisir Lykia di Phoinix—ada kemungkinan bahwa ada kebingungan antara tempat yang dimaksud dengan Phoinix di seberang Rhodes,[19] dan bahkan mungkin dengan Fenisia (Lebanon modern), yang terkenal akan hutan cedarnya[20]—untuk mengumpulkan kayu untuk membuat kapal. Akan tetapi, di Rhodes, armada Bizantium, didorong oleh para tentara dari Theme Opsikion, memberontak, membunuh komandan mereka Yohanes Diakon dan berlayar ke utara menuju Adramyttion. Di sana mereka mengangkat seorang bekas pemungut pajak yang agak enggan, Theodosios III, sebagai kaisar.[21][22][23][24] Anastasios menyeberang ke Bithynia di Theme Opsikion untuk menghadapi pemberontakan, namun armada pemberontak berlayar ke Khrysopolis. Dari sana, mereka melancarkan serangan terhadap Konstantinopel, hingga, pada akhir musim panas, para simpatisan di dalam kota membuka gerbang untuk mereka. Anastasios bertahan di Nikaia selama beberapa bulan, sebelum akhirnya bersedia untuk menyerah dan hidup sebagai biarawan.[25][26][27] Naiknya Theodosios, yang banyak disebut sebagai orang yang enggan dan tidak cakap, sebagai kaisar boneka orang Opsikion, memicu reaksi keras dari theme-theme lainnya, terutama Anatolikon dan Armeniakon di bawah strategosnya (jenderal) masing-masing, yaitu Leo orang Isauria dan Artabasdos.[28]
Dalam kondisi yang mendekati perang saudara, Arab dengan hati-hati mulai mempersiapkan gerak maju mereka. Pada September 715, barisan terdepan yang dipimpin Jenderal Sulaiman bin Mu'adz, berjalan melewati Kilikia menuju Asia Minor, merebut benteng Loulon yang strategis dalam perjalanannya. Mereka bermusim dingin di Afik, sebuah lokasi yang tidak diketahui dekat pintu keluar Gerbang Kilikia. Pada awal 716, pasukan Sulaiman melanjutkan perjalanan ke Asia Kecil bagian tengah. Armada kapal Umayyah di bawah Umar bin Hubaira berlayar di sepanjang pantai Kilikia, sementara Maslamah bin Abdul-Malik menunggu perkembangan dengan pasukan utama di Suriah.[29]
Pihak Arab berharap perpecahan di pihak Bizantium akan menjadi keuntungan bagi mereka. Maslamah telah menjalin hubungan dengan Leo orang Isauria. Sejarawan Perancis Rodolphe Guilland berpendapat bahwa Leo menawarkan untuk menjadi vasal Kekhalifahan, meskipun Jenderal Bizantium itu berniat untuk memanfaatkan pasukan Arab demi keuntungannya sendiri. Pada gilirannya, Maslamah mendukung Leo dengan harapan memperbesar kekacauan dan melemahkan Kekaisaran, untuk meringankan tugasnya dalam merebut Konstantinopel.[30]
Tujuan pertama Sulaiman adalah benteng penting yang strategis di Amorion, yang hendak digunakan oleh Arab sebagai basis pada musim dingin berikutnya. Amorion ditinggalkan dengan tidak berdaya dalam kekacauan perang saudara dan mudah untuk ditaklukan, namun pihak Arab lebih memilih untuk mendukung posisi Leo sebagai penyeimbang Theodosios. Mereka menawarkan kesepakatan damai kepada kota itu jika penduduknya bersedia mengakui Leo sebagai kaisar. Benteng itu menyerah namun tetap tidak mau membuka gerbangnya bagi pasukan Arab. Leo datang mendekati kota itu bersama sejumlah tentara dan melakukan serangkaian tipuan dan negosiasi untuk menempatkan 800 tentara di dalam kota. Pasukan Arab, gagal mencapai tujuannya dan dengan perbekalan yang semakin menipis, akhirnya mundur. Leo melarikan diri ke Pisidia dan, pada musim panas, dengan didukung oleh Artabasdos, diangkat menjadi kaisar.[31][32]
Kesuksesan Leo merupakan keuntungan bagi Bizantium, karena sementra itu, Maslamah dengan pasukan utama Arab melewati Pegunungan Taurus dan berjalan langsung ke Amorion. Selain itu, oleh karena Jenderal Arab itu belum menerima berita tentang kesepakatan ganda Leo, dia tidak menghancurkan wilayah yang ia lewati—theme Anatolikon dan Armeniakon, yang gubernurnya masih ia yakini menjadi sekutunya.[33] Pada pertemuan dengan pasukan Sulaiman yang mundur dan mempelajari apa yang telah terjadi, Maslamah mengubah rencana: dia menyerang Akroinon dan dari sana ia berjalan menuju pesisir barat untuk bermusim dingin. Dalam perjalanannya, dia menjarah Sardis dan Pergamon. Armada kapal Arab bermusim dingin di Kilikia.[34] Sementara itu, Leo memulai perjalanannya menuju Konstantinopel. Dia menaklukkan Nikomedia, di sana dia menemukan dan menangkap, di antara pejabat lainnya, putra Theodosios, dan kemudian berarak menuju Khrysopolis. Pada musim semi 717, setelah negosiasi yang pendek, Leo berhasil membuat Theodosios mundur dan mengakuinya sebagai kaisar. Leo memasuki ibukota pada 25 Maret. Theodosios dan putranya diperbolehkan hidup di biara sebagai biarawan, sedangkan Artabasdos naik pangkat menjadi kouropalates dan dijodohkan dengan anak perempuan Leo, Anna.[35][36][37][38]
Pasukan
Sejak awal, Arab telah menyiapkan serangan besar ke Konstantinopel. Kronik Zuqnin berbahasa Suryani dari akhir abad ke-8 melaporkan bahwa pasukan Arab berjumlah "amat sangat banyak," sedangkan penulis kronik berbahasa Suryani abad ke-12, Mikhael orang Suriah menyebutkan bahwa pasukan Arab terdiri atas 200.000 tentara dan 5.000 kapal, suatu jumlah yang dibesar-besarkan. Penulis Arab abad ke-10 Al-Mas'udi menyebutkan 120.000 tentara, dan catatan abad ke-9 oleh Theophanes Sang Pengaku menyebutkan 1,800 kapal. Perbekalan untuk beberapa tahun dipersiapkan, dan mesin kepung serta bahan pembakar (nafta) dikumpulkan. Kereta barangnya disebutkan berjumlah 12.000 orang, 6.000 unta dan 6.000 keledai, sedangkan menurut sejarawan abad ke--13 Bar Hebraeus, pasukan Arab meliputi 30.000 sukarelawan (mutawa) untuk Perang Suci (jihad).[39] Berapapun jumlah pastinya, pihak penyerang berjumlah jauh lebih banyak daripada pihak bertahan; menurut Treadgold, pasukan Arab kemungkinan berjumlah lebih banyak daripada keseluruhan angkatan perang Bizantium.[2] Satu-satunya rincian mengenai pasukan Arab adalah bahwa sebagian besarnya terdiri atas dan dipimpin oleh orang Suriah dan orang Jazirah dari kelompok elite ahlul Syam ("Orang Suriah"), pilar utama dalam rezim Umayyah dan veteran perang melawan Bizantium.[40] Di samping Maslamah, Umar bin Hubaira, Sulaiman bin Mu'adz, dan Bakhtari bin Hasan disebutkan sebagai letnannya oleh Theophanes dan sejarawan abad ke-10 Agapius dari Hierapolis, sementara itu sebuah kitab anonim dari abad ke-11 Kitabul 'Uyun menyebutkan Abdullah al-Battal alih-alih Bakhtari.[41] Meskipun pengepungan itu menghabiskan banyak sumber daya Kekhalifahan, namun Umayyah masih mampu melancarkan serbuan-serbuah terhadap perbatasan Bizantium di Asia Kecil bagian timur selama pengepungan berlangsung: pada 717, putra Khalifah Sulaiman, yaitu Daud, merebut sebuah benteng di dekat Melitene dan pada 718 Amru bin Qais menyerbu perbatasan.[42] Di pihak Bizantium, jumlah tentaranya tak diketahui. Selain dari persiapan Anastasios II (yang mungkin telah diabaikan menyusul penggulingannya,[43] Bizantium dibantu oleh Bulgar, yang bersama Leo telah menyepakati perjanjian yang kemungkinan meliputi persekutuan melawan Arab.[44]
Pengepungan
Pada awal musim panas, Maslamah memerintahkan armadanya untuk bergabung dengan pasukannya menyeberangi Hellespontos di Abydos menuju Trakia. Pasukan Arab mulai berarak menuju Konstantinopel, sepenuhnya merusak pedesaan, mengumpulkan perbekalan, dan menjarah kota-kota yang mereka lalui.[45][46][47][48] Pada pertengahan Juli atau Agustus,[1] Pasukan Arab tiba di Konstaninopel dan mengepungnya melalui darat dengan membangun tembok kepung ganda dari batu, yang satu menghadap kota dan yang satunya menghadap pedesaan Trakia, dengan perkemahan mereka ditempatkan di antara keduanya. Menurut sumber-sumber Arab, pada titik ini Leo menawarkan untuk memberikan tebusan demi kota itu dengan membayar sekeping koin emas untuk satu orang penduduk Konstantinopel, namun Maslamah menjawab bahwa tak mungkin ada kesepakatan dengan orang yang sudah takluk, dan bahwa garnisun Arab di Konstantinoepl telah ditentukan.[49][50][51][52]
Referensi
Kutipan
- ^ a b Theophanes the Confessor gives the date as 15 August, but this is probably meant to mirror the Arabs' departure date in the next year. Patriarch Nikephoros I records the duration of the siege as 13 months, implying that it began on 15 July. Mango & Scott 1997, hlm. 548 (Note #16); Guilland 1959, hlm. 116–118.
- ^ a b Treadgold 1997, hlm. 346.
- ^ Treadgold 1997, hlm. 346–347.
- ^ Lilie 1976, hlm. 81–82, 97–106.
- ^ Blankinship 1994, hlm. 31; Haldon 1990, hlm. 72; Lilie 1976, hlm. 107–120.
- ^ Haldon 1990, hlm. 80; Lilie 1976, hlm. 120–122, 139–140.
- ^ Blankinship 1994, hlm. 31; Lilie 1976, hlm. 140; Treadgold 1997, hlm. 345–346.
- ^ Treadgold 1997, hlm. 345.
- ^ Brooks 1899, hlm. 20–21
- ^ El-Cheikh 2004, hlm. 65
- ^ Guilland 1959, hlm. 110
- ^ Lilie 1976, hlm. 122
- ^ Treadgold 1997, hlm. 344.
- ^ Guilland 1959, hlm. 110–111.
- ^ Hawting 2000, hlm. 73.
- ^ Mango & Scott 1997, hlm. 534
- ^ Lilie 1976, hlm. 122–123
- ^ Treadgold 1997, hlm. 343–344.
- ^ Mango & Scott 1997, hlm. 537 (Note #5).
- ^ Lilie 1976, hlm. 123 (Note #62).
- ^ Haldon 1990, hlm. 80
- ^ Mango & Scott 1997, hlm. 535–536
- ^ Lilie 1976, hlm. 123–124
- ^ Treadgold 1997, hlm. 344.
- ^ Haldon 1990, hlm. 80, 82
- ^ Mango & Scott 1997, hlm. 536
- ^ Treadgold 1997, hlm. 344–345.
- ^ Lilie 1976, hlm. 124; Treadgold 1997, hlm. 345.
- ^ Guilland 1959, hlm. 111; Mango & Scott 1997, hlm. 538; Lilie 1976, hlm. 123–125.
- ^ Guilland 1959, hlm. 118–119; Lilie 1976, hlm. 125.
- ^ Mango & Scott 1997, hlm. 538–539; Lilie 1976, hlm. 125–126; Treadgold 1997, hlm. 345.
- ^ Untuk penjelasan rinci tentang negosiasi Leo dengan Arab sebelum sumber-sumber Amorium di Bizantium dan Arab, lihat Guilland 1959, hlm. 112–113, 124–126.
- ^ Guilland 1959, hlm. 125; Mango & Scott 1997, hlm. 539–540; Lilie 1976, hlm. 126–127.
- ^ Guilland 1959, hlm. 113–114; Mango & Scott 1997, hlm. 540–541; Lilie 1976, hlm. 127; Treadgold 1997, hlm. 345.
- ^ Haldon 1990, hlm. 82–83
- ^ Mango & Scott 1997, hlm. 540, 545
- ^ Lilie 1976, hlm. 127–128
- ^ Treadgold 1997, hlm. 345.
- ^ Guilland 1959, hlm. 110; Kaegi 2008, hlm. 384–385; Treadgold 1997, hlm. 938 (Note #1).
- ^ Guilland 1959, hlm. 110; Kennedy 2001, hlm. 47.
- ^ Canard 1926, hlm. 91–92;Guilland 1959, hlm. 111.
- ^ Kesalahan pengutipan: Tag
<ref>
tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernamaLilie132
- ^ Lilie 1976, hlm. 125.
- ^ Treadgold 1997, hlm. 347.
- ^ Brooks 1899, hlm. 23
- ^ Mango & Scott 1997, hlm. 545
- ^ Lilie 1976, hlm. 128
- ^ Treadgold 1997, hlm. 347.
- ^ Guilland 1959, hlm. 119
- ^ Mango & Scott 1997, hlm. 545
- ^ Lilie 1976, hlm. 128–129
- ^ Treadgold 1997, hlm. 347.
Sumber
- Blankinship, Khalid Yahya (1994). The End of the Jihâd State: The Reign of Hishām ibn ʻAbd al-Malik and the Collapse of the Umayyads. Albany, New York: State University of New York Press. ISBN 0-7914-1827-8.
- Brooks, E. W. (1899). "The Campaign of 716–718 from Arabic Sources". The Journal of Hellenic Studies. The Society for the Promotion of Hellenic Studies. XIX: 19–33. Hapus pranala luar di parameter
|journal=
(bantuan) - Canard, Marius (1926). "Les expéditions des Arabes contre Constantinople dans l'histoire et dans la légende". Journal Asiatique (dalam bahasa French) (208): 61–121. ISSN 0021-762X.
- Crompton, Samuel Willard (1997). 100 Battles That Shaped World History. San Mateo, California: Bluewood Books. ISBN 978-0-912517-27-8.
- Davis, Paul K. (2001). "Constantinople: August 717–15 August 718". 100 Decisive Battles: From Ancient Times to the Present. Oxford, United Kingdom: Oxford University Press. hlm. 99–102. ISBN 0-19-514366-3.
- El-Cheikh, Nadia Maria (2004). Byzantium Viewed by the Arabs. Cambridge, Massachusets: Harvard Center for Middle Eastern Studies. ISBN 0-932885-30-6.
- Fuller, J. F. C. (1987). A Military History of the Western World, Volume 1: From the Earliest Times to the Battle of Lepanto. New York City, New York: Da Capo Press. ISBN 978-0-30-680304-8.
- Guilland, Rodolphe (1959). "L'Expedition de Maslama contre Constantinople (717-718)". Études byzantines (dalam bahasa French). Paris: Publications de la Faculté des Lettres et Sciences Humaines de Paris: 109–133. OCLC 603552986.
- Haldon, John F. (1990). Byzantium in the Seventh Century: The Transformation of a Culture. Revised Edition. Cambridge, United Kingdom: Cambridge University Press. ISBN 978-0521319171.
- Hasluck, F. W. (1929). "LVII. The Mosques of the Arabs in Constantinople". Christianity and Islam Under the Sultans, Volume 2. Oxford, United Kingdom: Clarendon Press. hlm. 717–735.
- Hawting, G.R. (2000). The First Dynasty of Islam: The Umayyad Caliphate AD 661–750 (edisi ke-2nd). London, United Kingdom and New York City, New York: Routledge. ISBN 0-415-24072-7.
- Kaegi, Walter E. (2008). "Confronting Islam: Emperors versus Caliphs (641–c. 850)". Dalam Shepard, Jonathan. The Cambridge History of the Byzantine Empire c. 500–1492. Cambridge, United Kingdom: Cambridge University Press. hlm. 365–394. ISBN 978-0-52-183231-1.
- Kennedy, Hugh (2001). The Armies of the Caliphs: Military and Society in the Early Islamic State. London, United Kingdom: Routledge. ISBN 978-0-203-45853-2.
- Lewis, Bernard (2002). The Arabs in History (Sixth Edition). Oxford, United Kingdom: Oxford University Press. ISBN 0-19-280310-7.
- Lilie, Ralph-Johannes (1976). Die byzantinische Reaktion auf die Ausbreitung der Araber. Studien zur Strukturwandlung des byzantinischen Staates im 7. und 8. Jhd (dalam bahasa German). Munich, Germany: Institut für Byzantinistik und Neugriechische Philologie der Universität München.
- Mango, Cyril; Scott, Roger (1997). The Chronicle of Theophanes Confessor. Byzantine and Near Eastern History, AD 284–813. Oxford, United Kingdom: Oxford University Press. ISBN 0-19-822568-7.
- Regan, Geoffrey (2002). Battles That Changed History: Fifty Decisive Battles Spanning over 2,500 Years of Warfare. London, United Kingdom: Andre Deutsch. ISBN 978-0-233-05051-5.
- Toynbee, Arnold J. (1973). Constantine Porphyrogenitus and His World. Oxford, United Kingdom: Oxford University Press. ISBN 0-19-215253-X.
- Treadgold, Warren (1997). A History of the Byzantine State and Society. Stanford, California: Stanford University Press. ISBN 0-8047-2630-2.
- Tucker, Spencer C. (2010). Battles That Changed History: An Encyclopedia of World Conflict. Santa Barbara, California: ABC-CLIO. ISBN 978-1-59884-429-0.
Further reading
- Radic, Radivoj (18 August 2008). "Two Arabian sieges of Constantinople (674-678; 717/718)". Encyclopedia of the Hellenic World, Constantinople. Athens, Greece: Foundation of the Hellenic World. Diakses tanggal 14 July 2012.