Sejarah penyebaran agama Kristen ke suku Batak: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Kris Simbolon (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler Suntingan seluler lanjutan
menambah konten
Baris 5:
Sebelum penyebaran agama Kristen, masyarakat Batak menganut sistem kepercayaan yang merupakan campuran kepercayaan [[animisme]], [[Hindu di Indonesia|Hindu]] dan [[Majus|magi]].<ref>{{Cite book|last=Ricklefs|first=Merle Calvin|date=2008|url=https://books.google.co.id/books?id=uk-Edtb-m6kC&printsec=frontcover|title=Sejarah Indonesia Modern 1200–2008|publisher=Penerbit Serambi|isbn=978-979-024-115-2|pages=314|language=id|url-status=live}}</ref> Masyarakat Batak mempercayai Yang Maha Kuasa yang dikenal dengan nama Debata Asiasi yang menciptakan seluruh alam semesta. Debata Asiasi tidak mengatur apa yang diciptakan dan memerintahkan ketiga anaknya untuk menjadi dewa yang mengatur dunia. Anak pertama bernama [[Batara Guru]] yang merupakan Dewa Keadilan, [[Soripada]] yang merupakan dewa belas kasih dan [[Mangala Bulan]] yang merupakan sumber kejahatan dan dewa paling kuat di antara ketiga dewa ini. Masyarakat Batak pada masa itu percaya bahwa sangat penting untuk mengambil hati Mangala Bulan karena dewa ini dipercaya dapat menghancurkan kehidupan mereka. Ketiga dewa ini juga tidak langsung memimpin karena juga mempercayakan pemerintahan kepada para delegasinya yang dibagi menjadi tiga tingkatan, yaitu Debata Di Ginjang (dewa atas), Debata Di Toru (dewa bawah dan Debata Dos Tonga (dewa tengah) . Selain para dewa, masyarakat batak pada masa tersebut juga percaya terhadap [[penunggu]].<ref name=":0" />
 
=== Kepercayaan ===
Mereka juga percaya bahwa tiap individu dijaga oleh sejumlah roh, baik yang jahat disebut dengan nama setan dan yang baik dikenal dengan nama begu. Mayoritas dari roh ini merupakan jiwa dari nenek moyang yang menjaga atau mengganggu mereka.<ref name=":0" /> Ada banyak nama begu yang disembah, seperti Begu Jau (roh yang tidak dikenal orang), Begu Antuk (roh yang memukul kepala seseorang sebelum ia mati), Begu Siberut (roh yang membuat orang kurus tinggal kulit).<ref name="Panitia">Panitia Distrik IX Perayaan Jubileum, 1961. ''Seratus Tahun Kekristenan Dalam Sejarah Rakyat Rakyat Batak''. Jakarta: Panitia Distrik IX Perayaan Jubileum.</ref> Selain para begu, masyarakat Batak juga percaya terhadap beberapa dewa seperti [[Naga Padoha]], [[Boru Saniang Naga]], Boru Namora dan Martua Sombaon.<ref name=":0" />
 
Setiap desa memiliki [[datu]] yang tugasnya adalah melakukan [[ramalan]] dan [[sihir]]. Pada saat pemakaman, para datu ini akan dikuburkan dengan menggunakan peti mati berbahan kayu atau batu yang dirayakan dengan makan-makan.<ref name=":2">{{Cite book|last=Greatheed|first=Samuel|last2=Parken|first2=Daniel|last3=Williams|first3=Theophilus|last4=Conder|first4=Josiah|last5=Price|first5=Thomas|last6=Ryland|first6=Jonathan Edwards|last7=Hood|first7=Edwin Paxton|date=1826|url=https://books.google.co.id/books?id=HXNKAQAAMAAJ&pg=PA428&lpg=PA428&dq=Debata+hasi+asi&source=bl&ots=KHogsEExHb&sig=ACfU3U0-nfMilBiOc_abMavGDGTuIVGnnw&hl=id&sa=X&ved=2ahUKEwjfmubEw-z_AhUboGMGHQeFD8IQ6AF6BAgWEAM|title=The Eclectic Review|publisher=C. Taylor|pages=428|language=en|url-status=live}}</ref> Karena para datu dipilih berdasarkan pengetahuan terkai buku-buku dan [[takhayul]] dan biasanya pengetahuannya ini hanya tersebar dikalangan para kepala suku, maka biasanya para datu juga menjabat sebagai raja atau kepala suku dari desa tersebut. Sekecil apapun keputusan ekonomis, bahkan seperti mengorbankan hewan untuk acara, keputusan ini harus didiskusikan dengan datu setempat. Saat sebuah keputusan ingin diambil, para datu akan membaca bukunya untuk menentukan tanggal baik untuk melakukan kegiatan tersebut. Datu akan membuka [[parhalaan]] yang terdiri dari dua belas garis horisontal yang melambangkan dua belas bulan dalam setahun. Selain itu, juga empat garis diagonal yang tergambar tanda [[hieroglif]] yang melambangkan dua [[rasi bintang]], yaitu [[skorpio]] atau yang dikenal dengan nama "Bentang Hala" dan rasi bintang [[pleiades]]. Bentang Hala terbagi menjadi empat bagian yang terbagi menjadi empat hari yang terdiri dari satu bagian di kepala, dua bagian di tubuh dan satu bagian di ekor. Ketika hari jatuh pada bagian selain tubuh, maka hari tesebut akan dinyatakan sebagai hari buruk. Selain perhalaan, datu memiliki dua tongkat, yaitu tondung hujur dan tondung rangas berukuran empat kaki berbahan kayu hitam yang keras dengan bagian kepala yang mengambarkan wajah hewan debngan beragam tanda. Tanda-tanda di tongkat inilah yang digunakan untuk mencari barang yang hilang atau dicuri. Datu juga menggunakan buku selain perhalaan, yaitu ati siporhas untuk menentukan waktu menyerang musuh dan tali yang bernama rombu siporhas untuk menentukan kekuatan musuh. Pada ritualnya, datu juga menggunakan [[jeroan]] ayam yang memberikan 77 tanda berbeda, 70 tanda dari [[kapur tohor]] dan 73 tanda dari lemon yang dipotong. Dia pun juga harus menghapal beragam jenis mantra yang sering digunakan di wilayahnya.<ref name=":0" />
 
==== Persembahan ====
Masyarakat Batak hidup dengan [[Budi daya|bercocok tanam]], [[Peternakan|berternak hewan]], dan [[ladang|berladang]].<ref name="B. Napitupulu" /> Mereka menjual hasil dari perternakan dan cocok tanam ke pasar (''onan'') pada hari tertentu.<ref name="B. Napitupulu" /> Di pasar mereka melakukan transaksi untuk keperluan sehari-hari seperti membeli beras, garam, tembakau, dan lainnya.<ref name="B. Napitupulu" />
Masyarakat Batak tidak memiliki ritual persembahan individu khusus dalam keadaan senang kecuali dalam keadaan genting, terancam peperangan, kesialan atau dilanda penyakit. Ketika hal ini terjadi mereka yang mengalami nasib buruk ini akan melakukan ritual persembahan kepada roh nenek moyang dan dewa yang mereka sembah dengan meminta datu memimpin ritual ini. Datu akan meminta burung dan sedikit beras sebagai persembahan. Kemudian, Datu akan membelah burung yang diberikan sebagai persembahan dan menyatakan bahwa si pelapor harus melakukan persembahan atas kesalahan yang dilakukan nenek moyangnya yang menyebabkan tragedi yang dia alami. Kemudian, datu akan memilih jenis hewan apa yang akan dikorbankan sebagai persembahan tergantung masalah yang dihadapi setelah melihat buku yang dia punya. Sang pelapor akan melakukan ritual makan besar terhadap hewan yang dikorbankan selama tiga hari tiga malam dengan mengundang saudara dan teman-temannya. Pada hari ketiga, saat mereka sedang menari-menari, salah satu dari mereka akan kerasukan roh leluhur karena tertarik suara gong yang dibunyikan. Orang tersebut akan diberikan persembahan dan akan makan dan minum dengan lahap. Orang yang kerasukan akan ditanyakan terkait masalah yang dihadapi oleh orang yang melaksanakan pesta. Setelah mendapatkan jawaban dari orang yang kerasukan maka rohnya akan pergi dan orang tersebut akan sadar kembali. Ritual ini pun akan dianggap selesai setelah hal ini terjadi.<ref name=":0" />
 
Selain ritual individu di atas, mereka juga melakukan ritual bersama ketika ingin melancarkan perang. Saat hari yang ditentukan oleh Datu berlangsung, tempat tinggal sementara akan didirikan ditengah desa. dan akan mengumpulkan seluruh warga desa. Datu pun akan menggelar [[ulos]] di tengah-tengah lokasi yang diikat. Di tengah ulos ini akan diikatkan dua tali rombu siporhas berukuran dua kaki yang tiap ujungnya ada dua kenop yang terbuat dari lilin yang melambangkan kepala manusia. Pada rombu siporhas, akan diletakkan manik-manik yang berbeda yang menggambarkan tiap anggota desa, baik kepala suku, petarung atau warga biasa. Setelah melakukan tarian, makan besar dan membunyikan gong, datu akan mengambil rombu siporhas dan menjatuhkan rombu siporhas dan menentukan dari rombu siporhas situasi yang harus diikuti warga desanya. Bila ritual ini menunjukkan keberuntungan, maka mereka akan segera melakukan operasi peperangan<ref name=":0" />
 
Masyarakat Batak hidup dengan [[Budi daya|bercocok tanam]], [[Peternakan|berternak hewan]], dan [[ladang|berladang]].<ref name="B. Napitupulu" /> Mereka menjual hasil dari perternakan dan cocok tanam ke pasar (''onan'') pada hari tertentu.<ref name="B. Napitupulu" /> Di pasar mereka melakukan transaksi untuk keperluan sehari-hari seperti membeli beras, garam, tembakau, dan lainnya.<ref name="B. Napitupulu" /> Pada saat itu juga, suku batak telah memiliki sistem hukum yang tertulis dengan hukuman yang beragam. Seseorang yang ditangkap melakukan pencurian akan dibunuh di lokasi bila tertangkap dan langsung dimakan, sedangkan bila berhasi lari, maka orang tersebut hanya akan diberi denda. Bila seseorang ketahuan selingkuh, maka akan dimakan hidup-hidup. Para orang yang dibunuh dan tawanan perang akan dimakan di publik bila merupakan perang besar, tetapi dilarang bila hanya ada dua desa yang berperang. Saat itu, para suku batak memakan apa segala jenis hewan termasuk anjing kucing, ular , monyet dan kalelawar tanpa ada pantangan bagaimana hewan itu tersebut mati. Saat hewan yang dimakan ingin dimakan, mereka menyimpan darahnya untuk digunakan sebagai saus saat memasak daging.<ref name=":2" />
 
Keadaan yang dinamis ini, sering terusik oleh permusuhan antara satu kampung dengan kampung lainya. Tidak jarang permusuhan berakibat pembunuhan dan terjadi saling balas dendam turun-temurun.<ref name="B. Napitupulu"/> Jika di kampung terjadi wabah, seperti [[pes]] dan [[kolera]], mereka akan meminta pertolongan Si Singamangaraja yang berada di [[Baktiraja, Humbang Hasundutan|Bangkara]].<ref name="B. Napitupulu"/> Si Singamangaraja kemudian datang dan melakukan [[upacara]] untuk menolak "bala" dan kehancuran.{{Butuh rujukan}}