Tatakrama bahasa Sunda

Tuturan honorifik dalam bahasa Sunda

Tatakrama bahasa Sunda (bahasa Sunda: ᮒᮒᮊᮢᮙ ᮘᮞ ᮞᮥᮔ᮪ᮓ, translit. Tatakrama basa Sunda, pengucapan bahasa Sunda: [tatakrama basa sʊnda], dahulu dikenal sebagai ᮅᮔ᮪ᮓᮊ᮪ ᮅᮞᮥᮊ᮪ ᮘᮞ ᮞᮥᮔ᮪ᮓ Undak Usuk Basa Sunda[a]) adalah sebuah sistem aturan penggunaan ragam bahasa Sunda yang digunakan atau dipilih oleh seorang penutur berdasarkan keadaan sang penutur tersebut, yang diajak berbicara dan apa yang dibicarakannya. Berdasarkan artinya, Tatakrama bahasa Sunda berarti tingkatan-tingkatan atau tahapan-tahapan bahasa Sunda. Penggunaan Tatakrama bahasa Sunda bertujuan untuk saling menghargai dan menghormati dalam berkomunikasi dengan orang lain dan dalam kehidupan bermasyarakat. Penggunaan Tatakrama bahasa Sunda berhubungan atau disesuaikan dengan kondisi usia, kedudukan, keilmuan, serta situasi orang yang berbicara, yang diajak bicara, dan yang dibicarakan.[2][3]

Pembagian tingkat tutur dalam bahasa Sunda.

Sistem tuturan honorifik semacam ini juga ditemukan dalam bahasa lainnya seperti bahasa Jepang dan bahasa Korea.

Pembagian

Secara garis besar, Tatakrama bahasa Sunda dibagi menjadi dua jenis yaitu: basa hormat (ᮘᮞ ᮠᮧᮁᮙᮒ᮪, bahasa penghormatan) dan basa loma (ᮘᮞ ᮜᮧᮙ, bahasa akrab/netral). Basa hormat sendiri berdasarkan orientasinya kemudian dibagi lagi menjadi basa hormat ka batur (ᮘᮞ ᮠᮧᮁᮙᮒ᮪ ᮊ ᮘᮒᮥᮁ, bahasa yang meninggikan lawan bicara/pihak ketiga) dan basa hormat ka sorangan (ᮘᮞ ᮠᮧᮁᮙᮒ᮪ ᮊ ᮞᮧᮛᮍᮔ᮪, bahasa yang merendahkan subjek/diri sendiri).[4][b]

Ciri dari setiap jenis tuturan di atas bisa dijabarkan sebagai berikut:

Pembagian Ciri Bahasa
Basa Hormat Basa hormat ka batur Menggunakan kata-kata yang meninggikan keadaan, peristiwa, serta tindakan yang dilakukan oleh pihak ketiga atau lawan bicara. Contohnya damang (ᮓᮙᮀ) sumping (ᮞᮥᮙ᮪ᮕᮤᮀ) dan candak (ᮎᮔ᮪ᮓᮊ᮪).
Basa hormat ka sorangan Menggunakan kata-kata yang merendahkan keadaan, peristiwa, serta tindakan yang dilakukan oleh diri sendiri. Contohnya pangésto (ᮕᮍᮦᮞ᮪ᮒᮧ) dongkap (ᮓᮤᮀᮊᮕ᮪) dan bantun (ᮘᮔ᮪ᮒᮥᮔ᮪).
Basa Loma Tidak menggunakan bentuk penghormatan apapun secara keseluruhan. Contohnya cageur (ᮎᮌᮩᮁ) datang (ᮓᮒᮀ) dan bawa (ᮘᮝ).

Hormat

Hormat atau Basa Hormat (aksara Sunda baku: ᮘᮞ ᮠᮧᮁᮙᮒ᮪, pengucapan bahasa Sunda: [basa hormat], terkadang disebut dengan istilah basa lemes yang lebih dikenal oleh kebanyakan penutur bahasa Sunda, bahasa Indonesia: bahasa Hormat) adalah ragam bahasa Sunda yang digunakan ketika berbicara kepada ataupun membicarakan orang yang lebih tinggi baik pangkatnya, kedudukannya dan umurnya maupun terhadap siapa saja yang dihormati.[5] Serta untuk membicarakan diri sendiri dengan tetap meninggikan lawan bicara.[4] Oleh karena itu ragam bahasa ini dibagi menjadi dua yaitu hormat ka batur dan hormat ka sorangan.

Basa hormat dinyatakan dengan penggunaan kata-kata yang dikhususkan untuk dipakai dalam situasi sopan, kata-kata ini dibentuk dengan perubahan vokal, konsonan, atau bunyi dari sebuah kata loma, maupun tercipta dari perubahan kata secara menyeluruh.[6]

Hormat ka batur

Basa Hormat ka batur (aksara Sunda baku: ᮘᮞ ᮠᮧᮁᮙᮒ᮪ ᮊ ᮘᮒᮥᮁ, pengucapan bahasa Sunda: [basa hormat ka batʊɾ], bahasa Indonesia: bahasa hormat terhadap orang lain) adalah ragam bahasa hormat dalam bahasa Sunda yang tingkatannya paling tinggi diantara ragam bahasa yang lainnya. Ragam bahasa ini digunakan ketika berbicara kepada ataupun membicarakan seseorang yang dihormati.[7] Kosakata yang digunakan dalam ragam bahasa ini adalah kata lemes, kata lemes pisan dan kata lemes enteng.[4] Selain penggunaan kosakata tersebut, ragam bahasa ini juga memiliki ciri sebagai berikut:

  • Penambahan artikula

Pada istilah kekerabatan (bahasa Sunda: pancakaki), ragam bahasa ini menambahkan kata tuang[c] yang ditempatkan di depan kata sebagai bentuk kata ganti kepemilikan orang ketiga, misalnya: tuang rama (ᮒᮤᮃᮀ ᮛᮙ, ayah/paman anda), tuang ibu (ᮒᮤᮃᮀ ᮄᮘᮥ, ibu/bibi anda), tuang rayi (ᮒᮤᮃᮀ ᮛᮚᮤ, adik/istri anda), tuang raka (ᮒᮤᮃᮀ ᮛᮊ, kakak/suami anda), tuang putra (ᮒᮤᮃᮀ ᮕᮥᮒᮢ, anak anda), tuang putu (ᮒᮤᮃᮀ ᮕᮥᮒᮥ, cucu anda), tuang éyang (ᮒᮤᮃᮀ ᮆᮚᮀ, kakek/nenek anda).[8]

Hormat ka sorangan

Basa Hormat ka sorangan (aksara Sunda baku: ᮘᮞ ᮠᮧᮁᮙᮒ᮪ ᮊ ᮘᮒᮥᮁ, pengucapan bahasa Sunda: [basa hormat ka soraŋan], bahasa Indonesia: bahasa hormat terhadap diri sendiri) adalah ragam bahasa hormat dalam bahasa Sunda yang tingkatannya berada di bawah bahasa hormat ka batur. Ragam bahasa ini digunakan untuk membicarakan diri sendiri[3] dalam situasi yang sopan serta bersifat merendahkan diri sendiri dan meninggikan lawan bicara, selain itu ragam bahasa ini juga bisa dipakai untuk menghormati orang lain namun usia dan kedudukannya lebih rendah dari penutur. Kosakata yang digunakan adalah kata sedeng, kata panengah dan kata lemes enteng.[4][9] Selain penggunaan kosakata tersebut, ragam bahasa ini juga memiliki ciri sebagai berikut:

  • Penambahan artikula

Di dalam ragam bahasa ini, istilah kekerabatan (bahasa Sunda: pancakaki) biasanya ditambahkan dengan kata pun yang ditempatkan di depan kata sebagai bentuk kata ganti kepemilikan orang pertama, misalnya: pun bapa (ᮕᮥᮔ᮪ ᮘᮕ ayah saya), pun biang (ᮕᮥᮔ᮪ ᮘᮤᮃᮀ ibu saya), pun paman (ᮕᮥᮔ᮪ ᮕᮙᮔ᮪ paman saya), pun bibi (ᮕᮥᮔ᮪ ᮘᮤᮘᮤ bibi saya), pun adi (ᮕᮥᮔ᮪ ᮃᮓᮤ adik saya), pun lanceuk (ᮕᮥᮔ᮪ ᮜᮔ᮪ᮎᮩᮊ᮪ kakak saya), pun anak (ᮕᮥᮔ᮪ ᮃᮔᮊ᮪ anak saya), pun incu (ᮕᮥᮔ᮪ ᮄᮔ᮪ᮎᮥ cucu saya), pun aki (ᮕᮥᮔ᮪ ᮃᮊᮤ kakek saya), pun nini (ᮕᮥᮔ᮪ ᮔᮤᮔᮤ nenek saya).

Kata-kata berikut ini merupakan kata loma yang sering digunakan dalam ragam bahasa ini, kata-kata tersebut mempunyai padanan kata lemes, tetapi tidak mempunyai padanan kata sedeng.

  • kata kerja:[10]
    • nginum (ᮍᮤᮔᮥᮙ᮪), minum
    • hudang (ᮠᮥᮓᮀ), bangun
    • mandi (ᮙᮔ᮪ᮓᮤ), mandi
    • nangtung (ᮔᮀᮒᮥᮀ), berdiri
    • leumpang (ᮜᮩᮙ᮪ᮕᮀ), berjalan

Loma

Loma atau Basa Loma (aksara Sunda baku: ᮘᮞ ᮜᮧᮙ, pengucapan bahasa Sunda: [basa loma], bahasa Indonesia: bahasa Loma) adalah bentuk umum serta merupakan dasar dalam bahasa Sunda yang dijadikan bahasa standar untuk digunakan dalam dalam kehidupan sehari-hari serta dipakai dalam majalah, surat kabar, buku dan literatur lain yang berbahasa Sunda. Bahasa ini menggunakan kata loma dan kata panengah. Bahasa ini bersifat netral serta tidak mempedulikan hierarkis dan tanpa adanya pembagian-pembagian yang rumit. Meskipun begitu, dalam konteks informal, penggunaan ragam bahasa ini tetap dihindari untuk berbicara atau membicarakan orang yang dihormati dan digunakan untuk orang yang sudah akrab atau dekat dengan sang penutur.[5]

Cohag

Selain Hormat dan Loma, sebenarnya dalam bahasa Sunda masih ada satu ragam bahasa lagi yakni Cohag atau basa Cohag (aksara Sunda baku: ᮘᮞ ᮎᮧᮠᮌ᮪, pengucapan bahasa Sunda: [basa t͡ʃohag], dikenal juga sebagai basa kasar/basa garihal, bahasa Indonesia: bahasa Cohag) basa cohag merupakan ragam bahasa yang digunakan ketika seseorang sedang marah atau kesal terhadap orang lain maupun bermaksud untuk merendahkan, namun sebenarnya ragam bahasa ini justru juga bisa digunakan untuk berbicara dengan orang yang sudah sangat akrab dengan penutur sebagai bentuk kehangatan.[5] Ragam bahasa ini menggunakan kata cohag dan kata loma yang biasanya tidak utuh/disingkat. Tentunya, karena sifatnya lebih kasar, maka ragam bahasa ini tidak disertakan dalam tatakrama bahasa Sunda. Pembentukan kata cohag tidak memiliki aturan khusus, dan bentuknya berbeda jauh dengan kata loma. Di bawah ini adalah contoh kalimat yang menggunakan basa cohag.[d]

  1. Sia mun hayang molor mah kari mantog ka gogobrog jig![e]
  2. Ai sia ngabanjut lebokeun teu? Aing can nyatu yeuh.[f]

Perbandingan kalimat

 
Contoh penerapan tatakrama bahasa Sunda dalam percakapan sehari-hari[11]

Di bawah ini disajikan perbandingan dua buah cerita yang sama dengan menggunakan ragam hormat dan ragam loma.

  • Hormat

Waktos énjing-énjing, abdi mios ka bumi pun Aki ngabantun ketu kanggo dipasihkeun ka anjeunna, kaleresan anjeunna nuju nyondong di bumi, saparantos ditampi, éta kopéah[g] lajeng dianggo ku anjeunna dina mastakana, sakantenan abdi nyuhunkeun landong ka pun Aki kanggo nambaan padaharan abdi anu raheut, saparantos dipaparin tamba,[h] teras abdi wangsul ka rorompok.

  • Loma

Waktu keur isuk-isuk, kuring indit ka imah si Aki mawa kerepus pikeun dibérékeun ka manéhna, kabeneran manéhna keur aya di imah, sanggeus ditarima, éta kerepus tuluy dipaké ku manéhna dina sirahna, sakalian kuring ménta ubar ka si Aki pikeun ngubaran beuteung kuring anu raheut, sanggeus dibéré ubar, tuluy kuring balik ka imah.

Arti:

Waktu pagi-pagi, saya pergi ke rumah kakek membawa peci untuk diberikan kepadanya, kebetulan dia sedang berada di rumah, sesudah diterima, peci tersebut lalu dipakai oleh dia di kepalanya, sekalian saya meminta obat kepada kakek untuk mengobati perut saya yang luka, sesudah diberikan obat, kemudian saya pulang ke rumah.

Pada kalimat dalam ragam bahasa hormat, kata yang ditebali adalah kata-kata lemes yang dipergunakan untuk meninggikan pihak ketiga (hormat ka batur), sedangkan kata yang ditebali dan digarisbawahi adalah kata-kata yang bisa digunakan untuk meninggikan lawan bicara dan merendahkan diri sendiri secara sekaligus (kata lemes enteng), sedangkan kata yang hanya digarisbawahi adalah kata-kata sedeng yang dikhususkan hanya untuk merendahkan diri sendiri, dan kata yang tidak ditandai adalah kata-kata (termasuk imbuhan seperti awalan dan akhiran) tak bertingkat yang bisa digunakan dalam ragam basa hormat maupun basa loma.

Jenis-jenis kosakata yang digunakan

 
Senarai kosakata yang digunakan dalam tatakrama bahasa Sunda[12]

Dalam perkembangannya, tatakrama bahasa Sunda merupakan suatu hal yang sangat dinamis, terkadang dalam beberapa waktu aturan pemakaiannya bisa berubah,[13] dalam sejarahnya jenis kosakata serta ragam bahasa yang digunakan dalam tatakrama ini juga mengalami perubahan[i] dan juga terkadang beberapa buku rujukan menggolongkannya secara berbeda-beda. Yang jelas, bila dilihat secara linguistik berdasarkan derajat formalitas, setidaknya kosakata yang digunakan dalam tatakrama bahasa Sunda ada sebanyak 8 jenis kosakata, diantaranya yaitu:

Lemes pisan

Lemes

Lemes énténg

Sedeng

Lemes dusun

Panengah

Loma

Cohag

Lihat pula

Catatan

  1. ^ Kongres bahasa Sunda ke-5 yang diadakan di Cipayung, Bogor pada tahun 1986 menyimpulkan bahwa istilah undak-usuk basa diganti dengan tata krama basa[1]
  2. ^ Konferensi Internasional Budaya Sunda I tahun 2001 di Bandung membagi tatakrama bahasa Sunda menjadi dua bagian, yakni (1) basa loma dan (2) basa hormat, sementara itu, Kongres Bahasa Sunda ke-7 pada tahun 2001 membagi tatakrama bahasa Sunda menjadi tiga bagian, yaitu (1) basa loma (2) basa hormat keur sorangan dan (3) basa hormat keur batur[1]
  3. ^ Sebuah kata ganti kepunyaan yang berbeda dengan kata verba tuang yang bermakna "makan"
  4. ^ Kata cohag digarisbawahi
  5. ^ mun adalah kependekan dari kata lamun
  6. ^ ai adalah kependekan dari kata ari
  7. ^ Pada saat "peci" yang dimaksud dalam kalimat ini masih dimiliki oleh sang penutur, maka dituliskan dalam bentuk sedeng yaitu ketu, sementara ketika sudah diterima oleh sang "kakek", maka kepemilikannya berubah dan dituliskan dalam kata lemes yaitu kopéah.
  8. ^ Pada saat "obat" yang dimaksud dalam kalimat ini masih dimiliki oleh sang "kakek", maka dituliskan dalam bentuk lemes yaitu landong, sementara ketika sudah diterima oleh sang penutur, maka kepemilikannya berubah dan dituliskan dalam kata sedeng yaitu tamba.
  9. ^ Perlu diingat bahwa terkadang penyebutan antara ragam bahasa dengan jenis kosakata sering terjadi tumpang tindih

Rujukan

Catatan kaki

  1. ^ a b Iskandar & Sukmara 2014, hlm. 7.
  2. ^ Adiwijaya 1951, hlm. 53.
  3. ^ a b Iskandar & Sukmara 2014, hlm. 8.
  4. ^ a b c d Ardiwinata 1984, hlm. 2.
  5. ^ a b c Coolsma 1985, hlm. 14.
  6. ^ Adiwijaya 1951, hlm. 61.
  7. ^ Iskandar & Sukmara 2014, hlm. 9.
  8. ^ Coolsma 1985, hlm. 191.
  9. ^ Ardiwinata 1984, hlm. 4.
  10. ^ Kats 1982, hlm. 7.
  11. ^ Iskandar & Sukmara 2014, hlm. 39.
  12. ^ Iskandar & Sukmara 2014, hlm. 13.
  13. ^ Kats 1982, hlm. 5.

Daftar pustaka

  • Iskandar, Ishak; Sukmara, Mara (2014). Tata Krama Basa Sunda Sareng Conto Larapna Dina Kalimah. Ciamis: CV Tiga Putra. 
  • Coolsma, S. (1985) [1904]. Tata bahasa Sunda. Diterjemahkan oleh Wijayakusumah, Husein; Rusyana, Rus. Jakarta: Djambatan. OCLC 13986971. 
  • Ardiwinata, D.K. (1984) [1916]. Tata Bahasa Sunda. Diterjemahkan oleh Ayatrohaedi. Jakarta: Balai Pustaka. OCLC 559541903. 
  • Kats, J; Soeriadiraja, M (1982) [1921]. Tata Bahasa dan Ungkapan Bahasa Sunda. Diterjemahkan oleh Ayatrohaedi. Jakarta: Djambatan. OCLC 69116948. 
  • Adiwijaya, R.I. (1951). Adegan basa sunda. Jakarta: J.B. Wolters. OCLC 64694322. 

Bacaan lanjutan

Pranala luar