Teologi Queer
Artikel ini merupakan artikel yang dikerjakan oleh Peserta Kompetisi Menulis Bebaskan Pengetahuan 2014 yakni BP25Vanya (bicara). Untuk sementara waktu (hingga 25 Mei 2014), guna menghindari konflik penyuntingan, dimohon jangan melakukan penyuntingan selama pesan ini ditampilkan selain oleh Peserta dan Panitia. Peserta kompetisi harap menghapus tag ini jika artikel telah selesai ditulis atau dapat dihapus siapa saja jika kompetisi telah berakhir. Tag ini diberikan pada 1 April 2014. Halaman ini terakhir disunting oleh BP25Vanya (Kontrib • Log) 3679 hari 562 menit lalu. |
Teologi Queer adalah salah satu cabang dalam ilmu teologi.[1] Teologi ini terinspirasi dari pemahaman teori Queer.[1] Ada beberapa definisi mengenai teologi queer.[1] Pertama, teologi queer adalah teologi yang untuk kaum homoseksual.[1] Kedua, teologi queer adalah teologi yang bersifat transgresif.[1] Ketiga, teologi queer adalah teologi yang menantang dan mendobrak kategori-ketegori umum mengenai seksualitas manusia.[1] Teologi Queer muncul karena adanya pandangan yang dominan dari heteroseksual mengenai seksualitas dan agama.[2] Pandangan ini membuat kaum homoseksual mengalami penindasan dan diskriminasi.[2] Teologi ini biasanya disimbolkan dengan gambar pelangi.[2]
Sejarah Singkat
Teologi queer muncul sekitar tahun 1990an oleh sekelompok orang yang mendukung kebebasan hak seksualitas manusia.[3] Saat itu, ada sebuah pergerakan besar yang dinamakan Queer Movement.[3] Pergerakan ini berangkat dari perkembangan dari teori Queer.[3] Teori queer tidak lagi masuk dalam ranah ilmiah, tetapi juga ranah publik.[3] Pemicu lainnya adalah inspirasi-inspirasi baru mengenai seksualitas, yang diungkapkan oleh filsuf bernama Michel Foucault.[3] Filsuf yang berasal dari Prancis ini memberikan inspirasi baru bagi dunia, yang melawan otoritas pemerintah terhadap seksualitas manusia.[3] Pergerakan queer dan teologi queer juga didukung oleh pergerakan teologi feminis dan teologi pembebasan.[2]
Michel Foucault menolak adanya pemahaman bahwa heteroseksual adalah hubungan yang sah, baik dalam agama dan budaya.[3] Ia berpendapat bahwa pemahaman-pemahaman tersebut adalah pemahaman yang tidak murni dan hanya dibuat oleh penguasa.[3] Selain itu, tokoh-tokoh queer lainnya juga memiliki pandangan lainnya dalam perkembangan teologi queer.[3] Contohnya adalah Gayle Rubin, Eve Kosofsky Sedgwick, Judith Butler, dan Jeffrey Weeks.[3] Para tokoh queer ini menekankan seksualitas manusia yang esensial.[3] Selama ini, seksualitas manusia tidak murni dan diatur oleh penguasa, baik pemerintah sekuler maupun agama.[3] Khususnya pada zaman Ratu Victoria di Inggris, seksualitas manusia sangat diatur dan dikaitkan dengan nilai-nilai agama.[3] Hal ini membuat banyak orang percaya bahwa itulah asal-usul seksualitas manusia, sehingga melanggengkan pemahaman yang telah dibuat penguasa tersebut.[3] Salah satu bentuk hasil dari penguasa adalah pemahaman bahwa pernikahan yang sah adalah pernikahan heteroseksual.[3]
Pandangan para queer dan teolog queer yang dianggap berbeda ini membuat mereka dianggap orang aneh dan dicap sebagai queer.[3] Istilah ini adalah sebuah ejekan bagi para teolog queer.[3] Namun, seiring perkembangan waktu, istilah ini dipakai oleh para queer dan teolg queer dalam memperjuangkan kebebasan hak seksualitas manusia.[3] Salah satu perjuangan mereka adalah penerimaan masyarakat dan agama terhadap kaum homoseksual secara utuh.[3] Selama ini, kaum homoseksualitas dianggap aneh, penyakit, dan orang berdosa.[3] Dari anggapan ini, mereka dikucilkan dari masyarakat dan agama, terutama di dalam gereja. [3]
Sumber-sumber Teologi Queer
Ada empat sumber teologi queer.[1] Sumber-sumber tersebut adalah landasan bagi teologi queer.[1] Pada dasarnya, sumber teologi queer adalah sumber-sumber teologi.[1] Namun, ada beberapa pemahaman yang berbeda.[1] Sumber-sumber tersebut adalah Alkitab, tradisi, alasan, dan pengalaman.[1]
Alkitab
Teologi queer bersumber pada Alkitab. Alkitab memiliki dua bagian, bagi Kristen Protestan, dan tiga bagian, bagi Kristen Katolik.[1] Bagian-bagian tersebut adalah Perjanjian Lama, Perjanjian Baru, dan Deutrokanonika.[1] Teologi queer menjadikan Alkitab menjadi sumber berteologi, tetapi dengan perspektif yang lain.[1] Ada beberapa ayat dalam Alkitab yang dianggap menentang kaum homoseksual.[1] Ayat-ayat ini ditafsirkan ulang oleh para teolog queer, sehingga tidak bias atau memihak hanya kepada kaum heteroseksual.[1]
Tradisi
Sumber teologi queer yang kedua adalah tradisi.[1] Tradisi yang menjadi sumber teologi queer ini adalah tradisi yang telah dibangun oleh gereja.[1] Salah satu contoh bentuk tradisi adalah keputusan dalam sebuah konsili.[1] Namun, teologi queer memandang tradisi yang dibangun gereja selama ini dianggap hanya berpihak kepada kaum heteroseksual.[1]
Alasan
Sumber teologi queer lainnya adalah alasan.[1] Alasan adalah pemahaman atau filosofi dari para filsuf atau teolog tentang Allah.[1] Filosofi tersebut juga menghubungkan Allah dengan dunia. Pemahaman ini akhirnya menjadi bagian dari sumber teologi, juga teologi queer.[1] Contohnya adalah pemahaman Thomas Aquinas dan pemahaman mengenai prokreasi.[1] Pemahaman prokreasi adalah pemahaman bahwa manusia diciptakan untuk berkembang biak.[1] Untuk dapat berkembang biak, pernikahan yang dianggap sah adalah pernikahan berbeda jenis kelamin.[1] Inilah yang direkonstruksi oleh teologi queer.[1] Teologi queer memandang bahwa tidak hanya prokreasi yang menjadi alasan, tetapi cinta Allah yang murni. [1]
Pengalaman
Sumber teologi queer yang keempat adalah pengalaman.[1] Di dalam teologi, pengalaman yang dialami oleh manusia menjadi pendukung dalam teologi queer.[1] Sama halnya dengan cabang ilmu teologi lainnya, teologi queer juga memandang pengalaman hidup manusia dengan Allah menjadi bagian penting pula di dalam teologi queer.[1]
Tokoh
Marcella Althaus-Reid
Marcella Althaus-Reid adalah salah satu tokoh teologi queer.[4] Ia adalah Profesor bidang teologi kontekstual di Universitas Edinburgh.[4] Ia menulis beberapa buku yang bertema teologi queer.[4] Salah satu bukunya berjudul Queer God.[4] Ia memahami seksualitas dalam budaya Amerika Latin. Salah satu pemahamannya yang cukup terkenal adalah Vanilla Theology.[4]
Patrick S. Cheng
Patrick S. Cheng adalah Profesor bidang teologi sistematika di Episcopal Divinity School, Cambridge, Massachusetts.[5] Ia juga adalah salah satu teolog queer yang ada di Asia.[5] Ia juga menulis beberapa buku mengenai teologi queer.[5] Salah satu bukunya berjudul Radical Love: An Introduction to Queer Theology.[5]
Elizabeth Stuart
Elizabeth Stuart adalah profesor teologi Kristen dan direktur dari Centre for the Study of Sexuality and Religion di Universitas Winchester, Inggris.[2] Ia adalah salah satu teolog queer.[2] Ia juga menulis banyak buku tentang seksualitas.[2] Salah satu bukunya berjudul Gay and Lesbian Theologies: Repetitions with Critical Difference.[2]
Referensi
- ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z aa ab ac ad ae (Inggris)Cheng, Patrick S. 2011. Radical Love: An Introduction to Queer Theology.New York: Seabury Books.
- ^ a b c d e f g h (Inggris)Loughlin, Gerard. 2007. Queer Theology: Rethingking the Western Body.Oxford: Blackwell Publishing.
- ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u (Inggris)Stuart, Elizabeth. 1997. "Religion is a Queer Thing". Cassell: Cambridge University Press.
- ^ a b c d e (Inggris)Marcella ALthaus-Reid. 2009. "Liberation Theology and Sexuality".Orbis Book: New York.
- ^ a b c d (Inggris)Cheng, Patrick S. 2011. Radical Love: An Introduction to Queer Theology.New York: Seabury Books.