Thomas Stamford Raffles

Gubernur Jenderal Hindia Belanda
Revisi sejak 30 September 2023 12.23 oleh Pijri Paijar (bicara | kontrib)

Sir Thomas Stamford Bingley Raffles FRS (6 Juli 1781 – 5 Juli 1826)[1][2] adalah seorang negarawan Britania, Gubernur Jenderal Hindia Belanda (1811–1816), dan Letnan Gubernur Jenderal Bengkulu (1818–1824); yang sangat terkenal dikarenakan mampu membawa pendirian Malaysia dan Singapura yang lebih maju dan modern.

Sir Stamford Raffles
Potret oleh George Francis Joseph [en], 1817
Letnan Gubernur Jenderal Bengkulu
Masa jabatan
1818–1824
Sebelum
Pengganti
dihapuskan
John Prince
Residen Bencoolen
Gubernur Jenderal Hindia Belanda
Masa jabatan
1811–1816
Ditunjuk olehEarl of Minto
Penguasa monarkiGeorge III
Informasi pribadi
Lahir
Thomas Stamford Bingley Raffles

(1781-07-05)5 Juli 1781[1][2]
Port Morant, Jamaika
Meninggal5 Juli 1826(1826-07-05) (umur 45)[2]
Highwood House, Highwood Hill, Middlesex, Britania Raya
Sebab kematianTumor otak
MakamSt Mary's Church, Hendon, London Raya, Britania
KebangsaanBritania
Suami/istri
(m. 1805; meninggal 1814)
(m. 1817)
Anak
Orang tua
KerabatWilliam Charles Raffles Flint (keponakan)
Tempat tinggalHighwood House, Highwood Hill, Middlesex, Britania
Alma materMansion House Boarding School
PekerjaanPejabat Kolonial Inggris
Zoolog
Dikenal karenaPendiri Malaysia dan Singapura modern
karya terkenalThe History of Java (1817)
Sunting kotak info
Sunting kotak info • L • B
Bantuan penggunaan templat ini
Thomas Stamford Raffles

Raffles sangat terlibat dalam perebutan pulau Jawa di Indonesia dari Belanda selama Perang Napoleon, dan menjalankan operasi sehari-hari di Singapura. Ia juga menulis The History of Java (1817).[3]

Latar belakang keluarga

Thomas Stamford Raffles merupakan anak pertama dari lima bersaudara. Di antara saudaranya, hanya dirinya yang berjenis kelamin laki-laki. Ayahnya bernama Benjamin Raffles dan ibunya bernama Ann Raffles. Ketika Stamford berusia 19 tahun pada tahun 1800, ia memiliki empat adik perempuan, yaitu Harriot Raffles (16 tahun), Leonora Raffles (15 tahun), Mary Anne Raffles (11 tahun) dan Ann Raffles (7 tahun). Pada tahun yang sama, ayahnya pensiun dari pekerjaan sebagai pedagang di Hindia Barat. Karena hal ini, keluarganya mengalami kesulitan keuangan.[4]

Stamford langsung mulai bekerja sebagai seorang juru tulis di London untuk melunasi utang keluarganya. Ia bekerja untuk Perusahaan Hindia Timur Britania. Perusahaan ini merupakan perusahaan dagang semi-pemerintah yang banyak berperan di dalam penaklukan-penaklukan yang dilakukan oleh Inggris di negara lain. Pada 1805 ia dikirim ke pulau yang kini dikenal sebagai Penang, di negara Malaysia, yang saat itu masih bernama Pulau Pangeran Wales. Itulah awal-mula hubungannya dengan Asia Tenggara.

Tekad yang dimiliki Raffles saat masih muda dalam mengejar pengetahuan. Ini menyoroti pentingnya penghargaan terhadap waktu bagi setiap pembelajar. Pada usia 14 tahun, ia harus membagi waktu antara belajar secara mandiri dan bekerja sebagai juru tulis junior di Perusahaan India Timur di London. Kematian ayahnya, Benjamin Raffles, yang merupakan kapten kapal milik Hibberts and Co, mengganggu pendidikan Raffles dan mendorongnya untuk menjadi penyokong utama bagi keluarganya.[5]

Raffles memiliki ikatan emosional yang kuat dengan lautan karena ia lahir di atas kapal Ann ketika kapal itu berlabuh di pelabuhan Morant, salah satu pulau di Jamaika pada tanggal 5 Juli 1781 (Boulger, 1999:xxxvi). Ibunya, Anne Lyde Lindeman, adalah adik perempuan dari seorang pastor di London, yaitu John Lindeman. Menurut Hahn, keluarganya mengalami kemiskinan sebagai akibat dari krisis ekonomi dan sistem sosial Inggris yang pada saat itu membuat sulit bagi mereka untuk mendapatkan pendidikan formal yang layak, sehingga mereka tidak memiliki posisi sosial yang baik.[5]

Raffles di Hindia Belanda

 
Raffles di 1817

Raffles diangkat sebagai Letnan Gubernur Jawa pada tahun 1811 ketika Inggris menguasai Pulau Jawa.[6] Pengangkatannya dilakukan oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda saat itu yakni Lord Minto. Raffles memperoleh jabatan ini atas jasanya dalam penguasaan seluruh wilayah Hindia Belanda oleh Inggris yang sebelumnya dikuasai oleh Belanda.[7] Tidak lama kemudian, Raffless dipromosikan sebagai Gubernur Sumatra, ketika Kerajaan Belanda diduduki oleh Napoleon Bonaparte dari Prancis.

Sewaktu Raffles menjabat sebagai penguasa Hindia Belanda, ia telah mengusahakan banyak hal, yang mana antara lain adalah sebagai berikut: dia mengintroduksi otonomi terbatas, menghentikan perdagangan budak, mereformasi sistem pertanahan pemerintah kolonial Belanda, menyelidiki flora dan fauna Indonesia, meneliti peninggalan-peninggalan kuno seperti Candi Borobudur dan Candi Prambanan, Sastra Jawa serta banyak hal lainnya. Tidak hanya itu, demi meneliti dokumen-dokumen sejarah Melayu yang mengilhami pencarian Raffles akan Candi Borobudur, ia pun kemudian belajar sendiri Bahasa Melayu. Mendeskripsikan berbagai jenis hewan di Nusantara seperti monyet kra, siamang, pelanduk kancil, beruang madu, lutung kelabu, tupai tanah, dan simpai. Hasil penelitiannya di pulau Jawa dituliskannya pada sebuah buku berjudul: History of Java, yang menceritakan mengenai sejarah pulau Jawa. Dalam melakukan penelitiannya, Raffles dibantu oleh dua orang asistennya yaitu: John Crawfurd dan Kolonel Colin Mackenzie.

Istri Raffles, Olivia Mariamne, wafat pada tanggal 26 November 1814 di Buitenzorg dan dimakamkan di Batavia, tepatnya di tempat yang sekarang menjadi Museum Prasasti[8]. Di Kebun Raya Bogor dibangun monumen peringatan untuk mengenang kematian sang istri.

Kebijakan

Reformasi administrasi dan peradilan

Reformasi sistem administrasi pemerintahan yang dilakukan oleh Raffles memiliki tujuan utama adalah menggantikan sistem feodal menjadi suatu pemerintahan dengan struktur organisasi yang lebih modern. Raffles menerapkan sistem pemerintahan langsung rakyat oleh pejabat pemerintah yang digaji. Sistem ini menggantikan sistem pemerintahan sebelumnya yang merupakan pemerintahan tidak langsung yang penunjukan pejabatnya masih bersifat turun temurun. Konsekuensi dari kebijakan ini adalah hilangnya hak-hak otonomi para bupati dan membuat mereka menjadi pejabat yang berada di bawah kontrol residen.[9]

Reformasi juga terjadi pada sistem peradilan. Raffles mengenalkan sistem juri, sebuah sistem yang diharapkan mampu mewujudkan keadilan dan memberikan perlakuan lebih baik terhadap tahanan. Namun ini adalah sebuah usaha yang sia-sia karena penerapan sistem baru tidak dipersiapkan secara matang dan dilaksanakan secara terburu-buru. Sistem ini tidak dikenal dalam sistem peradilan Belanda sementara orang Jawa sangat asing dengan sistem baru ini. Perubahan ini akhirnya gagal dan diganti ketika Belanda berkuasa kembali.[9]

Reformasi sistem pajak

Setelah melakukan serangkaian penelitian, Raffles menemukan gambaran tentang kondisi sosial orang Jawa yang mirip dengan orang Benggala di India yang dijadikan sebagai alasan untuk melakukan reformasi sistem pajak berdasarkan sistem pajak yang dilakukan oleh Perusahaan Hindia Timur Inggris di India. Berdasarkan penelitian tersebut, ia mengeluarkan dekrit yang menyatakan bahwa semua hak milik tanah di seluruh negeri menjadi milik penguasa berdaulat, yakni pemerintah di Batavia. Hal inilah yang menjadi latar belakang Raffles menerapkan sistem pajak dengan menggunakan sewa tanah.[9] Pajak tanah dilakukan dengan cara pemerintah menguasai semua tana di Jawa dan para petani harus membayar sejumlah uang tertentu senilai seperempat dari hasil panennya.[10]

Reformasi sistem pajak ini dilakukan dengan tujuan untuk membebaskan para petani dari cengkraman elit priyayi. Pada masa itu, hal ini merupakan sebuah ide yang revolusioner. Namun, pelaksanaan reformasi sistem pajak menemui beberapa hambatan. Sistem pajak sewa tanah yang mengadopsi hukum pajak di Benggala ini menimbulkan konsekuensi yang serius. Misalnya bahwa semua tanah yang tidak dibudidayakan berada langsung di bawah pemerintah dan bebas digunakan untuk apa saja. Suatu ketidakadilan bagi orang Jawa yang menganggap wilayah tanah yang tak diolah sebagai tanah cadangan yang akan diolah bila jumlah penduduk meningkat. Kalau pemerintah memutuskan menjual tanah ini kepada petanam Eropa atau Cina akan timbul suatu kaum tak bertanah dan berbagai permasalahan yang menyertainya.[9] Selain itu, pemerintahan Raffles juga terhambat oleh tidak adanya pengetahuan yang akurat tentang sistem penguasaan tanah dan jumlah tanah subur yang tersedia sehingga pemerintah mau tak mau mengandalkan informasi dari dari para pejabat Jawa yang terbiasa menggunakan sistem pengukuran tanah yang berbeda-beda di setiap wilayah.[10]

Kontribusi terhadap ilmu pengetahuan

Membangkitkan kembali Masyarakat Kesenian dan Keilmuan Batavia

Minat Raffles terhadap bahasa dan adat istiadat Indonesia sangat kuat. Dia menghabiskan banyak waktu dan surat-menyuratnya untuk kepentingan etnologis. Membangkitkan kembali Masyarakat Kesenian dan Keilmuan Batavia yang sudah mati suri adalah salah satu tindakan pertamanya. Dia menulis beberapa karya untuk perkumpulan itu yang kemudian bersama ahli-ahli Indologi lain dari Britania dan Belanda diterbitkan dalam publikasi perkumpulan yang bernama Verhandelingen. Dia juga mendorong studi botani dan menjadikan Dr. Thomas Horsefield sebagai salah satu temannya.[9]

Penemuan Candi Borobudur

Pada 1814, ketika berkunjung ke Semarang, ia mendapat informasi bahwa di Desa Bumisegara di dekat Magelang terdapat sebuah bangunan besar yang dikenal sebagai Candi Borobudur. Karena tidak bisa mengunjunginya, ia menyuruh H.C. Cornelius untuk menyelidiki dan mengadakan pembersihan untuk menampakan kembali Candi Borobudur. Pada waktu itu yang terlihat hanya sebuah bukit yang tertutup oleh semak belukar dan tampak susunan batu. Candi Borobudur baru tampak setelah dua bulan dan dibantu dengan pekerja sebanyak 200 orang untuk menebang pohon, membakar semak, dan menggali tanah yang menutupi bangunan. Tugas Cornelius kemudia dilanjutkan oleh Hartmann, kemudian oleh Ijzerman dilakukan penggalian di bagian kaki Borobudur dan penemuan relief Kharmawibangga. Sebelum bagian kaki tersebut ditutup, semua relief difoto oleh Kassian Cephas.[11]

Kembali dari Hindia Belanda

 
Patung Sir Stamford Raffles oleh thomas woolner di Singapura

Pada tahun 1815 Raffles kembali ke Inggris setelah Jawa dikembalikan ke Belanda setelah Perang Napoleon selesai. Pada 1817 ia menulis dan menerbitkan buku History of Java, yang melukiskan sejarah pulau itu sejak zaman kuno.

Tetapi pada tahun 1818 ia kembali ke Sumatra dan pada tanggal 29 Januari 1819 ia mendirikan sebuah pos perdagangan bebas di ujung selatan Semenanjung Malaka, yang di kemudian hari menjadi negara kota Singapura. Ini merupakan langkah yang berani, berlawanan dengan kebijakan Britania untuk tidak menyinggung Belanda di wilayah yang diakui berada di bawah pengaruh Belanda. Dalam enam minggu, beberapa ratus pedagang bermunculan untuk mengambil keuntungan dari kebijakan bebas pajak, dan Raffles kemudian mendapatkan persetujuan dari London.

Raffles menetapkan tanggal 6 Februari tahun 1819 sebagai hari jadi Singapura modern. Kekuasaan atas pulau itu pun kemudian dialihkan kepada Perusahaan Hindia Timur Britania. Akhirnya pada tahun 1823, Raffles selamanya kembali ke Inggris dan kota Singapura telah siap untuk berkembang menjadi pelabuhan terbesar di dunia. Kota ini terus berkembang sebagai pusat perdagangan dengan pajak rendah.

Raffles di Inggris

Di Inggris Raffles juga merupakan pendiri dan ketua pertama Zoological Society of London. Raffles dijadikan seorang Bangsawan pada tahun 1817.

Ia meninggal sehari sebelum ulang tahunnya yang ke-45, pada 5 Juli 1826, karena apopleksi atau stroke. Karena pendiriannya yang menentang perbudakan, keluarganya tidak diizinkan mengebumikannya di halaman gereja setempat (St. Mary's, Hendon). Larangan ini dikeluarkan pendeta gereja itu, yang keluarganya memetik keuntungan dari perdagangan budak. Ketika gereja itu diperluas pada 1920-an, kuburannya dimasukkan ke dalam bagian bangunannya.

Raffles di Singapura

Di Singapura, nama Raffles banyak dipakai: Raffles Junior College, Raffles Institution, Raffles Girls' School, Raffles Girls' Primary School, Raffles Hotel, Stamford Road, Stamford House, Raffles City, stasiun MRT Raffles Place, kelas Raffles di pesawat Singapore Airlines dan Museum Penelitian Keanekaragaman Hayati Raffles.

Kontroversi

Plagiarisme The History of Java

Karya monumental Raffles, The History of Java, yang diterbitkan pada 10 Mei 1817, menuai berbagai pujian di London. Terbitnya buku ini sukses merubah citra Rafles yang tadinya hanya seorang juru tulis rendahan dI EIC menjadi seorang sastrawan dan dianugerahi gelar ksatria (Sir) oleh Raja George IV (yang kala itu masih berstatus putra mahkota). Namun ada sisi gelap di balik kesuksesan ini. Karier Raffles sebagai sastrawan bisa melesat karena menggunakan karya-karya orang lain tanpa seizin mereka. Dirangkum dengan terburu-buru dari berbagai sumber selama empat bulan, antara bulan Oktober 1816 hingga Januari 1817, ketika jabatannya diturunkan dari Letnan-Gubernur Jawa menjadi Letnan-Gubernur Bengkulu (ia tiba di Bengkulu pada 10 Maret 1818), masih tinggal di 23 Barnes Street, London, buku ini masih merupakan sekumpulan karya hasil plagiarisme.[12]

Beberapa karya yang ia kutip dalam pembuatan buku ini seperti data untuk tabel statistik ekonomi dan demografi diambil dari survei Kolonel Colin Mackenzie (bertugas 1811-1813). Untuk bahan pengamatan tentang sejarah alam ia mengutip karya Dr Thomas Horsefield. Denah-denah dan gambar-gambar candi dan barang antik dari Jawa disediakan oleh Mayor H.C. Cornelius, Kapten Godfrey-Phipps Baker, dan yang lainnya. Untuk sejarah pemerintahan Belanda di Jawa ia berhutang budi kepada mantan koleganya di Dewan Jawa, Herman Wagner Mutinghe.[12]

Selain itu, sejumlah informan pribumi yang terdiri dari kaum bangsawan, Jawa, Arab, dan Madura yang menyumbangkan banyak materi yang unik bagi Raffles seperti tentang sejarah, adat-istiadat, dan sistem hukum Jawa, nyaris tak diakui sama sekali. Dengan demikian kontribusi-kontribusi dari Paku Alam I, Sultan Paku Nataningrat dari Sumenep, dan Bupati Semarang, Kiai Adipati Suroadimenggolo V dalam bidang hukum Jawa hanya dijadikan catatan kaki dalam karya Raffles.[12]

Sikap terhadap rekan kerja

Tidak seperti umumnya seseorang yang berasal dari kelas bawah lalu berhasil menjadi pemimpin yang selalu berusaha untuk mengayomi bawahannya, Raffles kadang menunjukkan sikap acuh tak acuh terhadap nasib karyawannya. Salah satunya adalah sekretaris pribadi Raffles, George Augustus Addison. Sebagai bawahan Raffles, Addison harus bekerja dari subuh hingga larut malam untuk mengurus korespondensi Raffles dari Istana Bogor, Selain itu, ia juga menemani Raffles dalam perjalanan singkat dan kunjungan ke pedalaman. Beberapa bulan sebelum ulang tahunnya yang kedua puluh tiga, Addison meninggal secara tiba-tiba karena radang paru-paru setelah tur inspeksi kilat ke Selat Sunda bersama Raffles pada awal Januari 1815. Di tengah guyuran hujan deras dalam perjalanan kembali ke Bogor yang membuat seragam Addison basah kuyup dan dia mulai menggigil karena kelelahan. Namun Raffles yang tergesa-gesa tidak mengizinkan sekretarisnya untuk mengganti seragam. Setibanya di istana pada larut malam, Addison menderita demam tinggi dan tidak lama kemudian pejabat muda itu meninggal dunia. Nasib serupa juga dialami oleh ahli botani penemu bunga Rafflesia yang juga merupakan sahabat karib Raffles, Dr Joseph Arnold. Ia meninggal dunia karena demam berdarah dalam perjalanan pulang ke Bengkulu setelah menjelajahi pedalaman Sumatera.[12]

Referensi

  1. ^ a b Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama Bastin
  2. ^ a b c Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama SophiaRaffles
  3. ^ Raffles, Thomas Stamford (1 September 2015). The History of Java, v. 1-2. 
  4. ^ Bastin, J., dan Weizenegger, J. (2016). The Family of Sir Thomas Stamford Raffles (PDF). Singapore: National Library Board Singapore dan Marshall Cavendish Editions. hlm. 45. ISBN 978-981-47-2176-9. 
  5. ^ a b Tim Hanigan (2023). Raffles Dan Invasi Inggris Ke Jawa. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. ISBN 9786024241117. 
  6. ^ Maschab, Mashuri (Desember 2013). Gustomy, R., dan Parlindungan, U., ed. Politik Pemerintahan Desa di Indonesia (PDF). Yogyakarta: Penerbit PolGov. ISBN 978-602-14532-2-3. 
  7. ^ Ginandar (2022). Toponimi Nama-nama Kecamatan di Kabupaten Lebak. Lebak: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Lebak. hlm. 27. ISBN 978-623-978-556-7. 
  8. ^ Heuken, SJ, Adolf (2016). Tempat-tempat bersejarah di Jakarta. Jakarta: Cipta Loka Caraka. hlm. 353. ISBN 978-602-70395-7-5. 
  9. ^ a b c d e H. M. Vlekke, Bernard (2022). Nusantara, Sejarah Indonesia. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. ISBN 978-602-6208-06-4. 
  10. ^ a b Wahid, Abdul (2018-02-27). "Dualisme Pajak di Jawa: Administrasi Pajak Tanah di Wilayah Vorstenlanden pada Masa Kolonial, 1915–1942". Lembaran Sejarah. 13 (1): 28–47. doi:10.22146/lembaran-sejarah.33510. ISSN 2620-5882. 
  11. ^ Surti Nastiti, Titi (2018). "Re-interpretasi Nama Candi Borobudur". Amerta. Pusat Penelitian Arkeologi Nasional. 36 (1): 13. doi:10.24832/amt.v36i1.326. 
  12. ^ a b c d Carey, P. B. R.; A. Noor, Farish (2022). Ras, kuasa, dan kekerasan kolonial di Hindia Belanda, 1808-1830. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. ISBN 978-602-481-656-8. OCLC 1348391104. 

Lihat pula

Jabatan pemerintahan
Didahului oleh:
Lord Minto
Gubernur-Letnan Hindia Belanda
1811-1816
Diteruskan oleh:
John Fendall
Didahului oleh:
Jabatan baru
Gubernur-Jenderal Bengkulu
1818-1824
Diteruskan oleh:
Jabatan dihapuskan