Tuanku Nan Tuo

Revisi sejak 11 Februari 2022 08.22 oleh Wagino 20100516 (bicara | kontrib) (→‎Pranala luar: merapikan templat stub)

Tuanku Nan Tuo (lahir di Koto Tuo, Balai Gurah, IV Angkek, Agam, Minangkabau, tahun 1723 - meninggal tahun 1830, pada umur 107 tahun) adalah salah seorang ulama Minangkabau terkemuka.[1] Ia dikenal sebagai ulama yang moderat, yang banyak melakukan pembaruan serta pemurnian Islam di kawasan Agam, Sumatra Barat. Selain sebagai seorang sufi, Tuanku Nan Tuo juga dikenal sebagai tokoh yang cukup berpengaruh dalam kelahiran kaum Padri. Meskipun begitu ia tidak setuju dengan pandangan radikal golongan Padri yang dipimpin oleh Tuanku Nan Renceh, salah satu muridnya.

Tuanku Nan Tuo
Lahir1723
Kerajaan Pagaruyung Koto Tuo, Balai Gurah, IV Angkek, Agam, Minangkabau
Meninggal1830 (umur 107)
KebangsaanKerajaan Pagaruyung Minangkabau
Nama lainTuanku Nan Tuo Cangkiang
PekerjaanUlama

Tuanku Nan Tuo sering disamakan dengan Tuanku Nan Tuo Koto Tuo IV Koto (nama kecil Abdullah Arif dan juga bergelar Tuanku Pariaman), moyang Hamka.[2]

Kehidupan

Tuanku Nan Tuo lahir di Koto Tuo, Balai Gurah, IV Angkek, Agam, pada tahun 1723. Pada masa mudanya ia salah seorang remaja yang bersemangat dalam menimba ilmu-ilmu agama. Hampir keseluruhan cabang ilmu agama ia kuasai. Dia belajar ilmu agama dari Tuanku Mansiangan Nan Tuo di Paninjauan, Tanah Datar. Memperoleh ilmu mantiq dan ma'ani dari Tuanku Nan Kaciak di Koto Gadang, Agam, mempelajari ilmu sharaf dari Tuanku di Talang, ilmu nahwu dari Tuanku di Salayo, serta ilmu hadits, tafsir, dan faraidh dari Tuanku di Sumanik.[3]

Pada tahun 1784, Tuanku Nan Tuo menjadi kepala surau Tarekat Naqsyabandiyah di Koto Tuo, IV Angkek, Agam. Ketika menjadi kepala surau ia berhasil menarik ribuan murid dari nagari-nagari di sekitarnya. Salah satu muridnya yang cukup cemerlang, Haji Miskin, ikut bersamanya dalam menyebarkan syariat Islam di kawasan Agam Tuo. Selain itu, beberapa muridnya yang cukup militan juga ditugaskan untuk berdakwah keluar IV Angkek, terutama ke nagari-nagari yang menghalangi usaha perdagangan. Beberapa muridnya yang meneruskan usahanya dalam menanamkan syariat Islam di Minangkabau ialah Jalaluddin gelar Fakih Shagir yang mendirikan surau di Candung Koto Laweh, Agam. Kemudian Tuanku Bandaro dari Alahan Panjang, meneruskan pembaruan di Bonjol bersama Tuanku Imam Bonjol, Tuanku Rao di Rao mengambil alih pimpinan nagari dan berdakwah di tanah kelahirannya, serta Saidi Muning bergelar Tuanku Lintau berdakwah di Lintau, Tanah Datar.

Pendidikan lainnya di surau Tuanku Nan Tuo ialah ilmu bela diri pencak silat. Ilmu ini diberikan agar setiap murid terampil dan mampu menggunakan senjata di medan laga. Berkat usahanya, menjelang tahun 1790-an di daerah IV Angkek, Agam, banyak mengalami kemajuan besar dalam pengaturan urusan dagang. Sejak saat itu ia dikenal sebagai "pelindung para pedagang".[4]

Referensi

  1. ^ Kaum Sufi dalam Sejarah di Minangkabau Diarsipkan 2013-12-11 di Wayback Machine. Harian Singgalang, 30 Maret 2012. Diakses 8 Desember 2013.
  2. ^ https://books.google.co.id/books?id=tLYXAAAAIAAJ&q=%22Tuanku+Nan+Tuo+yang+kita+perkatakan+ini%22&dq=%22Tuanku+Nan+Tuo+yang+kita+perkatakan+ini%22&hl=en&sa=X&ved=0ahUKEwiK27-XluXoAhWO-HMBHcjED54Q6AEIKDAA
  3. ^ Hamka, Antara Fakta Dan Khayal:Tuanku Rao, 1974:110-112,156-157, dari J J de Hollander: “Hikayat Syaich Djalaluddin”, E J Brill, Leiden, 1857
  4. ^ Christine Dobbin, Economic Change in Minangkabau as a Factor in the Rise of the Padri Movement, 1784 - 1830, 1977

Pranala luar